Showing posts with label HUKUM ACARA PERDATA. Show all posts
Showing posts with label HUKUM ACARA PERDATA. Show all posts

Sunday, June 28, 2020

ULASAN LENGKAP TENTANG TEORI UTILITAS



Di dalam bukunya yang berjudul Introduction to The Principles of Morals and Legislation (1780), Jeremy Bentham, seorang pakar hukum Inggris memperkenalkan suatu teori tentang tujuan hukum. Menurut Bentham, hukurn bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah, "The greatest happiness for the greatest number". Artinya, "Kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak". Ajaran Bentham disebut juga sebagai eudaemonisme atau utilitarisme.[1] Di dalam .teori utilitas ini selanjutnya diajarkan bahwa hanya dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang terbanyak. Setiap orang adalah bernilai penuh (volwaardig), tidak seorang pun bemilai lebih, "Everybody to count for one, no body for more than one". Karena teori ini sangat mengagung-agungkan kepastian hukum dan memerlukan adanya peraturan yang berlaku umum, maka muncullah semboyan yuridis yang terkenal, "Lex dura sed tament scripta" atau Lex dura sed ita scripta. Menurut literatur semboyan ini dikumandangkan Ulpianus dalam Digesta, yang artinya, "Undang-undang itu keras, akan tetapi memang sudah ditentukan demikian bunyinya".[2]
Seperti halnya teori etis, teori utilitas pun dianggap sebagai teori yang berat sebelah, sebab teori ini pun dianggap bersifat subyektif, relatif, dan individual.[3]
BACA JUGA TEORI ETIS
BACA JUGA TEORI PENGAYOMAN
Anggapan tersebut memang benar adanya, sebab hukum baru dapat dikatakan berhasil guna apabila sebanyak mungkin dapat mewujudkan keadilan. Apabila ada gagasan untuk mengeluarkan keadilan dari lingkungan hukum, maka akan terdapat asumsi bahwa hukum itu identik dengan kekuasaan. Sudah tentu hal ini kurang tepat, sebab yang agak tepat barangkali hukum dan kekuasaan saling membutuhkan. Hal ini kiranya sejalan dengan pandangan Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan, "Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman".[4]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik teori etis yang diperkenalkan Aristoteles maupun teori Utilitas keduanya memiliki kekurangan yang sama, yakni menitik beratkan persoalan keadilan pada satu sudut pandang tanpa melihat konsep-konsep keadilan dari sudut pandang yang lain. hal ini tentu menjadikan konsep keadilan bersifat kaku dan rapuh. Padahal makna keadilan itu sendiri sangat luas sehingga memungkinkan terjadinya penyatuan beberapa pandangan untuk menghasilkan nilai keadilan yang lebih ideal. Hal semacam itu kemungkinan dapat terjadi apabila keadilan dan kepastian hukum dijalankan secara bersamaan.
Atas kelemahan kedua teori inilah muncul teori gabungan yaitu teori yang mengkobinasikan kedua teori tujuah hukum yang terdahulu. Adapun para pakar hukum yang menganut teori gabungan ini di antaranya, L]. van Apeldoorn, van Kan, dan Bellefroid.

Download File Doc

Referensi

[1] Benjamin Constant, Course de Politique Constitutionnelle, (Paris: Nouv, 1839), h. 277-293.
[2] S. Adiwinata, h. 62.
[3] Aam M. Purnama, Kuliah Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Universitas Langlangbuana, 1987-1994)
[4] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 5.


Thursday, June 25, 2020

ULASAN LENGKAP TENTANG TEORI ETIS


Dalam bukunya yang berjudul Rhetorica dan Ethica Nicomachea, filosof Aristoteles memperkenalkan teori etis. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah ius suum cuique tribuere yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya.[1] Atau slogan lengkapnya berbunyi, "Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere".[2] Dari slogan tersebut dapat dipahami bahwa apa yang menjadi bagian atau hak seseorang itu tidaklah selalu sama. Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa keadilan itu tidak selamanya diartikan dengan sama rata. Karena konsep penyamarataan dalam kondisi tertentu dapat mengarah kepada ketidakadilan. 
Selanjutnya,  terdapat dua macam keadilan yang diajarkan Aristoteles, yaitu keadilan distributif (distributief) dan keadilan komutatif (commutatief). Namun pakar hukum lain membedakan keadilan atas enam (6) macam, yaitu: keadilan distributif, komutatif, vidikatif, kreatif, protektif, dan legalis.[3] Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
BACA JUGA TEORI UTILITAS
BACA JUGA TEORI PENGAYOMAN
a. Keadilan distributif
Keadilan distributif merupakan keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Apabila dalam Pasal 5 Undang-undang Belanda ditetapkan, bahwa "tiap-tiap orang Belanda dapat diangkat untuk tiap-tiap jabatan", maka ini belum berarti bahwa setiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan jabatan-jabatan tersebut harus diberikan kepada mereka, yang berdasarkan jasa-jasanya, patut untuk memperolehnya. Kiranya hal tersebut dapat kita bandingkan dengan pasal yang menetapkan, 'Tiap-tiap warga negam berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".[4]Dengan demikian keadilan distributif adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Atau apabila diterjemahkan lebih lanjut, keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan suatu organisasi atau lembaga untuk memberikan kepada para anggotanya beban sosial, fungsi, imbalan, balas jasa, dan kehormatan secara proposional atau seimbang sesuai dengan kecakapan dan jasanya, bukan berdasarkan asumsi "like or dislike".[5] Sehingga terciptanya keberimbangan antara hak dan kewajiban yang merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
b. Keadilan komutatif
Keadilan komutatif, merupakan keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan macam ini memegang peranan dalam tukar menukar barang dan jasa, yang sedapat mungkin terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Di sini kita dapat melihat bahwa yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan, dan asas ini melandasi hubungan antar warga masyarakat terutama yang berkecimpung dalam bidang perdagangan. Dengan demikian, ada kesenilaian antara prestasi dengan kontraprestasi.
c. Keadilan vindikatif
Keadilan vindikatif merupakan keadilan yang memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian seseorang tidak dapat diberikan sanksi terhadap perbuatan yang tidak ia lakukan begitupun sebaliknya, bahwa seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau kesalahan harus mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.
d. Keadilan kreatif
Keadilan kreatif merupakan keadilan yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya. Misa1nya perlindungan hak cipta terhadap karya-karya yang telah dihasilkan oleh seseorang dari para plagiator.
e. Keadilan protektif
Keadilan protektif merupakan keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang. Misalnya dalam hal ini Undang-undang tentang HAM yang memberikan perlindungan bagi setiap orang agar tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang. 
e. Keadilan legalis
Keadilan legalis merupakan keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang [6]Misalnya dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya". Begitu pula keadilan legalis ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menetapkann:[7]
"Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan"..
Berdasarkan uraian macam-macam keadilan tersebut dapat dipahami bahwa Teori Keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles disebut sebagai teori etis, karena menurut teori ini kandungan dari sebuah hukum harus didasarkan atas kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Menurut LJ. van Apeldoorn teori etis ini dianggap berat sebelah, sebab terlalu mengangung-agungkan keadilan yang pada akhirnya tidak akan mampu membuat peraturan umum. Sedangkan perturan umum itu merupakan sarana untuk kepastian dan tertib hukum. Dari sinilah timbul kesenjangan antara tuntutan keadilan di satu pihak, dan tuntutan kepastian di lain pihak. Semakin tepat dan tajam suatu peraturan hukum, maka semakin terdesaklah keadilan. Muncullah adagium, "Summum ius, summa iniuria" yang berarti, "Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi".[8] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta menyatakan bahwa "tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat itu, yang akhirnya bermuara pada keadilan.[9] Tetapi perlu disadari bahwa keadilan mengandung makna yang sangat luas, sehingga memungkinkan terjadi perbedaan dalam memahami nilai-nilai keadilan tersebut. Hal-hal seperti ini tidak akan luput dan senantiasa akan terjadi tergantung dari sudut mana keadilan itu dipandang.

Download File Doc

Referensi
------------
[1] Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentang Hukum, (Bandung: Armico, 1986), h. 8.
[2] Tim Pengajar PIH-FH-Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Unpar, 1995), h. 35
[3] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1987), h.10.
[4] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2), (Jakarta: BP-7 Pusat, 1974)
[5] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 24.
[6] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, h.10.
[7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah),  (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 695.
[8] S. Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1977), h. 92.
[9] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 52.

MACAM-MACAM BENTUK KEADILAN DALAM HUKUM


Menurut pakar hukum, keadilan dibedakan atas enam (6) macam, yaitu: keadilan distributif, komutatif, vidikatif, kreatif, protektif, dan legalis.[1] Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
a. Keadilan distributif
Keadilan distributif merupakan keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Apabila dalam Pasal 5 Undang-undang Belanda ditetapkan, bahwa "tiap-tiap orang Belanda dapat diangkat untuk tiap-tiap jabatan", maka ini belum berarti bahwa setiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan jabatan-jabatan tersebut harus diberikan kepada mereka, yang berdasarkan jasa-jasanya, patut untuk memperolehnya. Kiranya hal tersebut dapat kita bandingkan dengan pasal yang menetapkan, 'Tiap-tiap warga negam berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".[2]Dengan demikian keadilan distributif adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Atau apabila diterjemahkan lebih lanjut, keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan suatu organisasi atau lembaga untuk memberikan kepada para anggotanya beban sosial, fungsi, imbalan, balas jasa, dan kehormatan secara proposional atau seimbang sesuai dengan kecakapan dan jasanya, bukan berdasarkan asumsi "like or dislike".[3] Sehingga terciptanya keberimbangan antara hak dan kewajiban yang merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
b. Keadilan komutatif
Keadilan komutatif, merupakan keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan macam ini memegang peranan dalam tukar menukar barang dan jasa, yang sedapat mungkin terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Di sini kita dapat melihat bahwa yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan, dan asas ini melandasi hubungan antar warga masyarakat terutama yang berkecimpung dalam bidang perdagangan. Dengan demikian, ada kesenilaian antara prestasi dengan kontraprestasi.
c. Keadilan vindikatif
Keadilan vindikatif merupakan keadilan yang memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian seseorang tidak dapat diberikan sanksi terhadap perbuatan yang tidak ia lakukan begitupun sebaliknya, bahwa seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau kesalahan harus mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.
d. Keadilan kreatif
Keadilan kreatif merupakan keadilan yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya. Misa1nya perlindungan hak cipta terhadap karya-karya yang telah dihasilkan oleh seseorang dari para plagiator.
e. Keadilan protektif
Keadilan protektif merupakan keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang. Misalnya dalam hal ini Undang-undang tentang HAM yang memberikan perlindungan bagi setiap orang agar tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang. 
e. Keadilan legalis
Keadilan legalis merupakan keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang [4]Misalnya dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya". Begitu pula keadilan legalis ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menetapkann:[5]
"Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan"..

Referensi
------------
[1] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1987), h.10.
[2] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2), (Jakarta: BP-7 Pusat, 1974)
[3] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 24.
[4] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, h.10.
[5] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah),  (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 695.

Tuesday, June 23, 2020

ASAS-ASAS HUKUM LENGKAP



Asas hukum merupakan jiwa dari peraturan hukum dapat dikemukakan contoh sebagai berikut:
Ketika seseorang melakukan perbuatan dursila yang merugikan orang lain, ia harus mengganti kerugian itu (asas hukum). Sedangkan norma hukumnya, adalah Pasal 1365 KUH Perdata.
Baik dalam mempelajari ilmu hukum maupun dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah-istilah yang apabila diteliti ternyata masuk ke dalam kriteria asas hukum. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa asas hukum secara alphabetis, diantaranya:
1. Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars
Artinya: Bahwa para pihak harus didengar. Contohnya apabila persidangan sudah dimulai, maka hakim harus mendengar dari kedua belah pihak yang  bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja;
2. Bis de eadem re ne sit actio atau Ne bis in idem
Artinya: Mengenai perkara yang sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya. Contohnya periksa Pasal 76 KUH Pidana;
3. Clausula rebus sic stantibus
Artinya: Suatu syarat dalam hukum internasional bahwa suatu perjanjian antar negara masih tetap berlaku, apabila situasi dan kondisinya tetap sama;
4. Cogitationis poenam nemo patitur
Artinya: Tiada seorang pun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya;
5. Concubitus facit nuptias
Artinya: Perkawinan terjadi karena hubungan kelamin;
6. De gustibus non est disputandum
Artinya: Mengenai selera tidak dapat disengketakan;
7. Errare humanum est, turpe in errore perseverare
Artinya: Membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan;
8. Fiat justitia ruat coelum atau Fiat justitia pereat mundus
Artinya: Sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan;
9. Geen straf zonder schuld
Artinya: Tiada hukuman tanpa kesalahan;
10. Hodi mihi cras tibi
Artinya: Ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan, tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat;
11. In dubio pro reo
Artinya: Dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi si terdakwa;
12. Juro suo uti nemo cogitur
Artinya: Tak ada seorang pun yang diwajibkan menggunakan haknya. Contohnya orang yang berpiutang tidak mempunyai kewajiban untuk menagih terus;
13. Koop breekt geen huur
Artinya: Jual beli tidak memutuskan sewa menyewa. Perjanjian sewa-menyewa tidak berubah, walaupun barang yang disewanya beralih tangan. Lebih jelas periksa Pasal 1576 KUH Perdata;
14. Lex dura sed ita scripta atau Lex dura sed tamente scripta
Artinya: Undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian. Contohnya periksa Pasal 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
15. Lex niminem cogit ad impossibilia
Artinya: Undang-undang tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin. Contohnya periksa Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
16. Lex posterior derogat legi priori atau Lex posterior derogat legi anteriori
Artinya: Undang-undang yang lebih baru mengenyampingkan undang-undang yang lama. Contohnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan mengenyampingkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965;
17. Lex specialis derogat legi generali
Artinya: Undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum. Contohnya pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Dagang terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam hal perdagangan;
18. Lex superior derogat legi inferiori
Artinya: Undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya;
19. Matrimonium ratum et non consummatum
Artinya: Perkawinan yang dilakukan secara formal, namun belum dianggap jadi mengingat belum terjadi hubungan kelamin. Contoh yang identik yaitu dalam perkawinan suku Sunda, yang disebut Randa Bengsrat;
20. Melius est acciepere quam facere injuriam
Artinya: Lebih baik mengalami ketidakadilan, daripada melakukan ketidakadilan;
21. Modus vivendi
Artinya: Cara hidup bersama;
22. Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet
Artinya: Tak seorang pun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki;
23. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali
Artinya: Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu. Asas ini dipopulerkan oleh seorang yang bemama-Anselm von Feuerbach. Lebih jelas periksa Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
24. Opinio necessitatis
Artinya: Keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan;
25. Pacta sunt servanda
Artinya: Setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik. Lebih jelas periksa Pasal 1338 KUH Perdata;
26. Potior est qui prior est
Artinya: Siapa yang datang pertama, dialah yang beruntung;
27. Presumption of innocence
Artinya: Biasa Juga disebut asas praduga tidak bersalah, yaitu bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan yang tetap. Lebih jelas lihat Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP butir 3 c;
28. Primus inter pares
Artinya: Yang pertama (utama) di antara sesama;
29. Princeps legibus solutus est
Artinya: Kaisar tidak terikat oleh undang-undang atau para pemimpin sering berbuat sekehendak hatinya terhadap anak buahnya;
29. Quiquid est in territorio, etiam est de territorio
Artinya: Asas dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa apa yang berada dalam batas-batas wilayah negara tunduk kepada hukum negara itu;
30. Qui tacet consentire videtur,
Artinya: Siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui;
31. Res nullius credit occupanti
Artinya: Benda yang diterlantarkan pemiliknya dapat diambil untuk dimiliki;
32. Summum ius summa injuria
Artinya: Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi;
33. Similia similibus
Artinya: Dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal sama pula, tidak pilih kasih;
34. Testimonium de auditu
Artinya: Kesaksian dapat didengar dari orang lain;
35. Unus testis nullus testis
Artinya: Satu orang saksi bukanlah saksi. Lebih jelas periksa Pasal 185 Ayat (2) KUHAP;
36. Ut sementem feceris ita metes
Artinya: Siapa yang menanam sesuatu dialah yang akan memetik hasilnya. Siapa yang menabur angin dialah yang akan menuai badai;
37. Vox populi vox dei
Artinya: Suara rakyat adalah suara Tuhan;
38. Verba volant scripta manent
Artinya: Kata-kata biasanya tidak berbekas sedangkan apa yang ditulis tetap ada.

Download File Pdf

Thursday, June 18, 2020

ULASAN LENGKAP : TENTANG PETITUM


Download File Doc
Petitum adalah uraian tentang hal-hal yang diinginkan atau dimohonkan atau yang dituntut supaya diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, petitum memuat tuntutan atau isi pokok gugatan atau permohonan penggugat kepada pengadilan untuk dinyatakan atau ditetapkan sebagai hak atau hukuman kepada penggugat atau perumusan tentang tuntutan penggugat/para penggugat kepada tergugat/para tergugat atau turut tergugat. Istilah yang sama dengan petitum dinamakan conclusum (pokok tuntutan), berarti apa yang dituntut; onderwerp der eis (pokok tuntutan). Selain itu, disebut juga dengan istilah petition atau duidelijke en bepaalde conclusie.
Karena petitum merupakan isi dari gugatan, maka petitum merupakan bagian penting dalam suatu gugatan, karena itu, harus diperhatikan kesinkronan petitum dengan fundamentum fetendi (posita) dan petitum harus jelas dan dirinci satu per satu yang dibuat di akhir gugatan. Apabila tidak sinkron, tergugat dapat mengajukan eksepsi atau tangkisan kepada penggugat dengan alasan ketidakjelasan atau obcuur libel. Jadi, tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna bisa berakibat tidak diterimanya gugatan karena obscuur libel dan tidak sempurna. Oleh karena itu, hakim wajib terikat pada petitum.
Menurut Pasal 178 HIR, hakim wajib mengadili semua bagian dari petitum dan dilarang untuk lebih dari apa yang diminta. Apabila putusan hakim melebihi dari yang dituntut, putusan hakim tersebut dapat dibatalkan pada tingkat kasasi.
Petitum dapat dirinci menjadi dua macam, sebagai berikut:
Tuntutan primair (petitum primair), merupakan tuntutan pokok (principal), misalnya tuntutan kepada tergugat menyerahkan barang yang dibeli, tuntuan meminta kepada hakim sebagai pemilik yang sah, tuntutan agar tergugat membayar ongkos perkara, atau tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu.
BACA JUGA TENTANG 
Tuntutan subsidair (petitum subsidair), merupakan tuntutan pengganti apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim. Lazimnya dirumuskan, ”Mohon keadilan yang seadil-adilnya (ex aeque et bono)”. Baik petitum primair maupun petitum subsidair samasama dirinci. Dalam penerapannya kedua-duanya tidak sama. Petitum primair mutlak diterapkan oleh hakim secara alternatif. Oleh karena itu, hakim dalam mengambil dan menjatuhkan putusarmya memilih apakah petitum primair atau subsidair; tidakboleh mencampur-adukkannya, misalnya mengambil sebagian dari petitum primair dan sebagian dari petitum subsidair. Petitum subsidair bersifat alternatif atau tidak mutlak. Hakim bebas mengambil seluruh atau semua petitum primair dan mengesampingkan petitum subsidair. Dalam praktik peradilan aneka ragam tuntutan atau petitum dikatagorikan sebagai petitum ”primair” dan ”subsidair” atau dengan formulasi ”dalam provisi”, dalam pokok perkara/ primair dan subsidair, atau hanya terdiri dari tuntutan primair tanpa tuntutan subsidair.
Di lihat dari tingkatannya, menurut A. Ridwan Halim, petitum dapat dibedakan sebagai berikut.[1]

  1. Tuntutan menurut tingkatannya: primair dan subsidair.
  2. Tuntutan menurut proses dan kualitas: tuntutan provisional dan tuntutan induk yang terdiri atas tuntutan pokok dan tuntutan tambahan. Tuntutan primair adalah tuntutan yang merupakan tuntutan pokok awal yang diajukan. Tuntutan subsidair adalah tuntutan pokok yang diajukan di samping tuntutan primair yang pada dasarnya lebih berfungsi sebagai tuntutan”cadangan” yang diusahakan agar dapat dikabulkan bila tuntutan primair ditolak.
  3. Tuntutan menurut proses dan kualitasnya: Tuntutan provisional dan tuntutan induk yang terdiri atas tuntutan pokok dan tambahan.
  4. Tuntutan provisional, yaitu tuntutan agar dilakukan tindakan-tindakan tertentu secara lebih dulu, sementara tuntutan induk sedang dalam proses pemeriksaan dan pertimbangan. Tuntutan induk, yaitu tuntutan keseluruhan yang sebenarnya menjadi pokok masalah dalam perkara yang bersangkutan, yang pada dasarnya terdiri atas tuntutan pokok, yaitu hal atau inti yang menjadi isi dari tuntutan tersebut. Tuntutan tambahan, yaitu tuntutan lainnya yang merupakan penyerta atau tambahan yang masih erat hubungannya dengan tuntutan pokok.
  5. Tuntutan menurut maksudnya: (1) supaya pihak lawan melakukan sesuatu, (2) supaya pihak lawan tidak melakukan sesuatu, dan (3) campuran antara a dan b.
  6. Menurut wujud/maknanya: tuntutan materiil, tuntutan immateriil, dan campuran a dan b. Tuntutan materiil, yaitu tuntutan yang berupa penyerahan kebendaan atau tuntutan yang tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat bendawi atau sesuatu yang harganya dapat diukur/ditukar dengan uang. Tuntutan immateriil, yaitu tuntutan yang tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang tidak bersifat bendawi atau sesuatu yang nilainya tidak dapat diukur dengan uang.
  7. Tuntutan menurut sumber timbulnya: tuntutan praktis dan tuntutan pengandaian. Tuntutan praktis, yaitu tuntutan yang secara langsung didasarkan atas fakta keadaan yang sudah dihadapi. Tuntutan pengandaian, yaitu tuntutan yang timbulnya tergantung pada terpenuhi atau tidaknya persyaratan yang diandaikan sebagai sumber timbulnya tuntutan itu.
  8. Tuntutan menurut urutan timbulnya: tuntutan awal (dalam konvensi) dan tuntutan balasan (dalam rekonvensi). Tuntutan awal, yaitu tuntutan yang timbul pertama kali sebagai awal proses pemeriksaan dan pengadilan perkara yang bersangkutan di pengadilan. Tuntutan balasan, yaitu tuntutan yang timbul kemudian dari pihak tergugat dalam konvensi sebagai tuntutan balasan terhadap tuntutan awal tersebut di atas.
  9. Tuntutan menurut sasarannya: tuntutan terhadap tergugat tunggal, tuntutan terhadap secara masing-masing dan secara tangung renteng, dan tuntutan terhadap beberapa tergugat.
  10. Tuntutan menurut sifat hubungan antar tuntutan: tuntutan alternatif dan tuntutan kumulatif. Tuntutan alternatif, yaitu tuntutan yang jumlahnya lebih dari satu dan pemenuhannya berupa suatu pihak salah satu atau beberapa saja di antaranya. Tuntutan kumulatif, yaitu tuntutan yang jumlahnya lebih dari satu dan semuanya dipenuhi sebagai suatu penjumlahan.
Di lihat dari isinya, petitum gugatan dapat dikelompokkan sebagai berikut.

  1. Petitum declaratoir, artinya petitium yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan keabsahan. Misalnya, menyatakan perjanjian yang dibuat antara penggugat dan tergugat adalah sah.
  2. Petitum konstitutif, artinya petitum yang isinya bersifat untuk menciptakan atau meniadakan suatu keadaan hukum. Misalnya menyatakan penggugat dan tergugat adalah ahli waris sah dari almarhum (menciptakan); menyatakan bahwa hubungan ikatan perkawinan antara penggugat dengan tergugat putus karena perceraian. 
  3. Petitum comdemnatoir, artinya petitum yang isinya bersifat hukuman yang dapat dipaksakan dengan cara eksekusi.
  4. Petitum provisionil, artinya petitum yang isinya bersifat permintaan kepada hakim agar diadakan tindakan pendahuluan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung, misalnya penangguhan pembangunan rumah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
  5. Petitum alternatif, artinya petitum yang isinya bersifat pilihan dengan memberi kesempatan kepada hakim untuk melakukan pilihan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam praktik biasanya ada dua pilihan dan kadang-kadang tiga pilihan dengan model primair dan subsidair atau ex aequo et bono.
Di dalam membuat petitum, menurut Achmad Fauzan, yang penting dan harus menjadi perhatian adalah hal-hal berikut.[2]

  1. Kesesuaian/sinkroninisasi dengan posita, intinya alasan-alasan yang diuraikan dalam posita-lah yang harus digunakan sebagai dasar untuk mengajukan permintaan. Misalnya, uraian dalam posita sudah berdasar hukum sehingga petitum pertama yang diminta adalah mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya; uraian membuktikan bahwa tergugat telah menguasai tanah sengketa tanpa alas hak yang sah, sehingga petitum yang diminta menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
  2. Tidak kontradiksi, artinya petitum tidak boleh kontradiksi dengan posita maupun dengan bagian petitum lainnya. Misalnya, di dalam posita diuraikan tentang tergugat telah menguasai tanah sengketa tanpa alasan hak yang sah, sehingga merupakan perbuatan yang melawan hukum. Akan tetapi di dalam petitum lupa tidak disebutkan adanya perbuatan melawan hukum tergugat, misalnya dengan formulasi kalimat, ”Menyatakan bahwa tanah sengketa milik sah Penggugat. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa kepada Penggugat”.
  3. Orang yang ditetapkan dalam petitum harus sebagai pihak dalam perkara. Misalnya, menyatakan bahwa penggugat dan tergugat yang bernama Amin adalah ahli waris yang sah dari suami-istri almarhum dan almarhumah Jalil dan Romlah yang berhak atas harta peninggalannya, yaitu barang sengekata, padahal Amin tidak memihak dalam perkara.
  4. Petitum harus jelas dan tegas, artinya apa yang diminta harus jelas sehingga tidak membingunkan. Misalnya, menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, padahal seharusnya disebutkan beberapa yang diminta penggugat, misalnya menetapkan hak Penggugat atas tanah sengketa adalah setengah bagian.
  5. Petitum tidak boleh bersifat negatif, artinya berisi perintah untuk tidak berbuat. Misalnya, menghukum tergugat untuk tidak berbuat tindakan-tindakan yang bersifat merusak agunan sengketa.
  6. Petitum harus runtut dan disusun sesuai dengan poin-poin posita serta diberi nomor urut. 
Hal yang perlu diperhatikan adalah antara fundamentum petendi (posita) dan petitum harus ada hubungannya, artinya uraian dalam petitum harus didukung oleh posita. Apabila petitum tidak didukung oleh posita, gugatan menjadi kabur dan akan berakibat gugatan ditolak/tidak diterima. ‘

Wednesday, June 17, 2020

ULASAN LENGKAP : TENTANG POSITA ATAU FUNDAMENTUM PETENDI




Yang dimaksud dengan fundamentum petendi adalah dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslag van delis) yang memuat tentang adanya hubungan hukum di antara pihak-pihak yang beperkara dan sebagai landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara. Dengan kata lain, posita adalah suatu uraian jelas mengenai hal-hal yang menjadi dasar atau alasan hukum dari pengajuan gugatan atau latar belakang (dasar fakta) diajukannya gugatan. Istilah lain yang sering digunakan dalam praktik disebut positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan dan dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan.
Dalam merumuskan fundamentum petendi atau posita dapat didasarkan pada sustantieseringstheori dan individualiseringtheori. Substantiseringtheori, menjelaskan bahwa gugatan selain menguraikan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menguraikan kejadian-kejadian nyata. Adapun individualiseringtheori menyelesaikan bahwa dalam gugatan itu cukup diuraikan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya fakta nyata yang menyebabkan timbulnya peristiwa atau kejadian-kejadian tersebut. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman praktik peradilan, kedua teori itu digabung untuk menghindari terjadinya perumusan gugatan yang kabur/gugatan gelap atau obscuur libel. [1]
Fundamentum petendi memuat 2 (dua) unsur berikut ini. 
  1. Dasar fakta (feitelijk grond), yaitu uraian tentang kejadian-kejadian materiil peristiwa hukum sebagai penjelasan duduk perkaranya (alasan-alasan berdasarkan keadaan). Penegasan atau penjelasan yang dimaksud adalah pernyataan mengenai fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan materi atau objek perkara maupun pihak tergugat atau penjelasan fakta yang langsung berkaitan dengan hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat.
  2. Dasar hukum (rechtelijk grond, legal grond), yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis gugatan (alasan-alasan berdasarkan hukum). Hubungan hukum yang dimaksud adalah hubungan hukum antara penggugat dengan materi atau objek yang disengketakan dan hubungan antara penggugat dengan tergugat mengenai materi atau objek perkara.
Secara faktual dan praktik peradilan fundamentum petendi (posita) memuat hal-hal sebagai berikut.
  1. Objek perkara/gugatan, yaitu berupa uraian mengenai hal yang menjadi pokok sengketa sebagai dasar atau alasan hukum diajukannya kepada ketua PN yang berwenang, misalnya dalam sengketa perkawinan, hak cipta, jual beli, sewa beli, perjanjian, wanprestasi, dan lain-lain. Bila objek perkara menyangkut benda tetap, gugatan yang diajukan harus terinci baik cara memperolehnya, luasnya, dan batas-batasnya secara tegas dan tepat serta hubungan benda tersebut dengan penggugat. Apabila objeknya benda tidak tetap harus diuraikan ciri-ciri, nomor, jenis, cara memperolehnya, dan lain-lain. Perincian tersebut dalam gugatan sangat penting dan sangat diperlukan. Tanpa objek perkara yang menjadi sengketa, maka perkara tidak dapat diadili. Apabila perinciannya tidak jelas dan terang, berakibat gugatan tidak dapat diterima. Objek perkara banyak macamnya, dapat berupa barang bergerak, tidak bergerak, dan dapat juga berupa barang bergerak yang masih akan didapat atau belum dipegang tangan. Untuk objek perkara/gugatan barang bergerak, misalnya tanah dan bangunan, maka untuk mengajukan gugatan harus menguraikan secara lengkap tentang letak objek secara lengkap dan tegas, batas-batas tanah dan bangunannya, termasuk luasnya, serta surat bukti dan nama pemegang hak. Batas-batas tanah yang disebutkan dalam gugatan harus sama dengan kenyataan di lapangan. Orang yang secara nyata menguasai dan menghaki tanah dan bangunan harus ditarik sebagai pihak penggugat. Jenis bangunan harus disebutkan, misalnya bertingkat dua, berlantai keramik, beratap genting, bahannya terbuat dari kayu apa, dan sebagainya. Hasil tanaman dari tanah dan bangunan harus dibuat secara rinci. Apabila gugatannya menuntut ganti rugi dapat menghasilkan nilai sebesar tertentu. Kalau objek perkara menyangkut barang bergerak, dalam jenis apa pun pada prinsipnya harus disebukan secara lengkap dan terinci, sehingga dapat terhindar dari adanya kemungkinan mengenai salah objek.
  2. Fakta-fakta hukum, yakni meliputi penguraian terhadap asal muasal penyebab sengketa, seperti adanya perbuatan melawan hukum atau perbuatan melawan hukum oleh penguasa, cidera janji yang timbul antara penggugat dengan tergugat, utang piutang, warisan, dan lain-lain. 
  3. Kualifikasi perbuatan tergugat/para tergugat atau turut tergugat baik yang bersifat formal atau materiil. Kualifikasi perbuatan tersebut adalah melanggar undang-undang, perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya, wanprestasi, dan lain-lain atau hal yang bertentangan dengan kebiasaan, adat-istiadat, kesusilaan, dan lain-lain.
  4. Penguraian dan penjabaran anasir kerugian dan permintaan lain sebagai akibat tindakan tergugat/para tergugat. Hal ini dapat dirinci berupa kalkulasi kerugian yang diderita, baik kerugian materiil maupun non materiil, adanya permintaan dwangson, bunga moratoir, permintaan sita jaminan, dan sebagainya.
Dengan demikian, dalam fundamentum petendi (posita) ada dua unsur yang sangat penting, yaitu dasar hukum dan dasar fakta. Dasar hukum maksudnya adalah hubungan antara penggugat dengan objek sengketa dan hubungan tergugat dengan objek sengketa. Adapun dasar fakta maksudnya adalah uraian tentang fakta yang terjadi dalam hubungan penggugat, tergugat, dan objek sengketa.
Fundamentum petendi (posita) harus disusun secara sistematik dan sedemikian rupa sesuai dengan kronologis perkara dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
  1. Etika, artinya menggunakan gaya bahasa yang sopan; tidak menyerang kehormatan atau merendahkan pihak lain, khususnya tergugat (lawan).
  2. Estetika, artinya menggunakan gaya bahasa yang indah, sehingga enak dibaca dan mudah dipahami, serta tidak monoton.
  3. Bahasa baku, artinya tidak menggunakan kalimat yang berbelit-belit dan/atau panjang, tetapi cukup sederhana, singkat, jelas, dan tegas.
  4. Memilih kata-kata yang tidak bermakna ganda sehingga dapat dihindari perbedaan penafsiran antara penggugat, tergugat, dan hakim.
  5. Konsisten dalam menggunakan istilah, artinya tidak menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk hal tertentu, misalnya tim 9 dan panitia IX, ketua, pimpinan, dan pemimpin, tanah sengketa, objek perkara, dan tanah terperkara, dan lan-lain.
  6. Sinkron, artinya tidak kontradiktif di antara bagian-bagian posita maupun dengan petitum.
  7. Menggunakan kalimat yang bermakna hubungan sebab-akibat (kausal), artinya fakta-fakta hukum yang ditampilkan dalam kalimat awal akan membawa akibat hukum yang diuraikan dalam kalimat berikutnya, misalnya ”Oleh karena Tergugat menguasai tanah sengketa tanpa dasar hak yang sah, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum".
  8. Menyusun fundamentum petendi (posita) dengan menggunakan kronologi peristiwa hukum untuk memudahkan pemahaman yang runtut guna menyakinkan hakim akan dasar hak yang sah bagi penggugat dengan memberi nomor urut masing-masing alinea dan memberi nomor halaman untuk setiap lembar kertas yang digunakan. [2]
Download File Doc

Referensi
-----------
1. M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 58.
2. Achmad Fauzan dan Suhartanto, Tentang Melaksanakan Putusan Hakim Perdata di Pengadilan Negeri,  (Bandung: Yrama Widya, 2007), h. 60-61.

PENJELASAN LENGKAP : TENTANG JENIS-JENIS PUTUSAN HAKIM




Putusan pengadilan diatur dalam Pasal 185 HIR/Pasal 196 RBg Pasal 46-68 RV. Menurut HIR/RBg putusan pengadilan dapat dibedakan atas dua macam, yaitu putusan akhir dan putusan bukan akhir. Putusan sela dikenal juga sebagai putusan provisional. Putusan sela banyak digunakan dalam acara singkat dan dijatuhkan karena harus segera diambil tindakan. Dalam ilmu hukum acara perdata dikenal beberapa macam putusan, seperti putusan kontrakdiktoir, putusan insidentil, putusan preparatoir, putusan bersifat deklaratoir, putusan bersifat konstitutif, dan putusan bersifat condemnatoir. Jenis putusan ini tidak dikenal dalam HIR/RBg, tetapi kemudian ada yang sudah terserap.
Mengenai jens-jenis putusan hakim/pengadilan dapat dibedakan melalui pembagian yang ditinjau dari berbagai segi, sebagai berikut: [1]
  • Di lihat dari fungsinya, yaitu mengakhiri sengketa atau perkara, dibedakan atas dua macam putusan akhir dan putusan sela.
  • Di lihat dari segi ketidakhadiran para pihak di persidangan, dibedakan atas putusan gugur, putusan verstek, dan putusan kontrakdiktoir.
  • Di lihat dari segi isinya terhadap gugatan (positif dan negatif) dibedakan atas Tidak menerima gugatan, menolak gugatan, Mengabulkan gugatan untuk sebagaian, mengabulkan gugatan untuk seluruhnya.
  • Di lihat dri segi sifatnya terhadap hukum yang ditimbulkan dapat dibedakan atas putusan diklataoir, putusan konstitutif. dan putusan kondemnatoir.

1. Putusan Akhir

Putusan akhir yang disebut dengan istilah ein vonnis atau final judment, adalah putusan yang mengakhiri perkara di persidangan. Putusan-putusan hakim diatur dalam Pasal 185 HIR/Pasal 196 RBg dan Pasal 46-Pasal 68 RV.

a. Ditinjau dari segi isi, putusan dapat berupa berikut ini. 

1) Putusan tidak menerima, yaitu putusan hakim yang mengakhiri perkara yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan Penggugat karena gugatan tidak memenuhi syarat hukum, baik secara formil atau materil.
2) Putusan menolak gugatan Penggugat, yaitu putusan hakim setelah semua tahap pemeriksaan yang ternyata dalil-dalinya tidak terbukti. 
3) Putusan mengabulkan gugatan dapat dibedakan atas: 
a) Mengabulkan gugatan untuk sebagian dan menolat/tidak menerima selebihnya, putusan hakim yang mengakhiri perkara karena dalil gugat ada yang terbukti dan ada yang tidak terbukti atau tidak memenuhi syarat, terhadap dalil gugat yang terbukti tuntutannya dikabulkan, dalil gugat yang tidak terbukti tuntutannya ditolak, dan dalil gugat yang tidak memenuhi syarat diputus tidak diterima.
b) Mengabulkan gugatan seluruhnya, putusan hakim yang dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan semua dalil-dalil yang mendukung petium terbukti.

b. Ditinjau dari segi sifatnya, putusan dapat berupa berikut ini:

1) Putusan condemnatoir atau condemnatory judgement, yaitu putusan yang bersifat menghukum salah satu pihak untuk melakukan atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan. Jadi, putusan ini hanya menerangkan dan menegaskan suatu keadaan hukum. Contohnya adalah menghukum A untuk menyerahkan sesuatu (rumah atau sebidang tanah) atau membayar sejumlah uang untuk membayar utang. 
2) Putusan deklaratoir (declaratoir vonnis), yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan atau menguatkan suatu fakta hukum tertentu. Misalnya A adalah ahli waris dari B atau C adalah anak angkat D.
3) Putusan konstitutif (constitutive vonnis atau constitutive judgement), yaitu putusan yang meniadakan atau menciptakan atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Contohnya adalah dalam putusan perceraian atau putusan peradialan niaga yang menyatakan suatu perusahaan pailit.

c. Berdasarkan faktor ketidakhadiran tanpa alasan yang sah, sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, dijatuhkan putusan yang mengakhiri pemeriksaan, yaitu: 

1) Putusan gugur, yaitu putusan yang dijatuhkan hakim di mana pada sidang yang ditentukan Penggugat tidak datang atau tidak menyuruh wakilnya, pada hal telah dipanggil dengan patut.
2) Putusan verstek, yaitu putusan yang dijatuhkan hakim Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah dipersidangan, pada hal telah dipanggil dengan patut.
3) Putusan contradiktoir (contradictoir vonnis), putusan yang dijatuhkan salah satu atau kedua pihak tidak hadir dipersidangan.

2. Putusan Bukan Akhir (Putusan Sela)

Putusan yang bukan putusan akhir, lazim disebut dengan istilah putusan sela, putusan antara, tussen vonnis, putusan sementara, atau interlocutoir vonnis. Putusan sela banyak digunakan dalam acara singkat dan dijatuhkan karena harus diambil tindakan. Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan itu masih dalam proses pemeriksaan perkara yang belum mengakhiri perkara, melainkan hanya dimaksudkan untuk memperlancar perkara menuju kepada pengambilan keputusan akhir. Putusan sela disebut juga putusan sementara atau putusan insidentil (incidentil vonnis) atau putusan provisional (Pasal 180 HIR).
Menurut Pasal 48 RV disebutkan bahwa sebelum hakim mengambil putusan akhir, hakim dapat mengambil putusan persiapan atau putusan sela. Selanjutnya dijelaskan bahwa putusan persiapan mencakup putusan-putusan dan surat-surat perintah yang dikeluarkan untuk memberi petunjuk mengenai perkara dan bermaksud mempersiapkan keputusan akhir tanpa mempengaruhi pokok perkaranya. Putusan sela mencakup putusan-putusan dan surat-surat yang memberi jalan kepada hakim sebelum memutus perkara yang bersangkutan memperoleh bukti, memerintahkan suatu penyelidikan ataupun pengarahan yang dapat menentukan dalam pengambilan keputusan. Selain itu putusan insidentil karena gugatan antara (insidentil).
Pada dasarnya putusan sela dapat berupa berikut ini.

a. Putusan preparatoir

Putusan preparatoir, yaitu putusan sela sebagai persiapan putusan akhir yang tidak berpengaruh terhadap pokok perkara atau putusan akhir, misalnya tentang penggabungan perkara, pemeriksaan saksi.

b. Putusan Interlocutoir

Putusan Interlocutoir, yaitu bentuk khusus putusan sela yang isinya memerintahkan pembuktian, misalnya: memerintahkan pendengaran saksi, pemeriksaan setempat, memerintahkan pengucapan sumpah baik sumpah penentu atau tambahan, pemeriksaan pembukuan perusahaan.

c. Putusan Insidentil (incidentele vonnis)

Putusan Insidentil, yaitu putusan sela yang berkaitan dengan insiden, yaitu peristiwa yang untuk sementara waktu menghentikan pemeriksaan yang tidak berkaitan dengan pokok perkara. Misalnya: putusan tentang sita jaminan dari pemohon, putusan tentang gugat prodeo, putusan eksepsi tidak berwenang.

d. Putusan Provisi (provisionele beschikking, provionele vonnis = tuntutan sementara)

Putusan Provisi, yaitu putusan sela yang berisi tindakan sementara menunggu sampai putusan akhir mengenai pokok perkara. Dengan demikian, putusan provisi tidak boleh mengenai pokok perkara hanya terbatas mengenai tindakan sementara yang melarang melanjutkan suatu kegiatan, misalnya melarang meneruskan pembangunan di atas tanah terperkara. Putusn provisi dijatuhkan hakim berdasarkan gugatan provisi (provisionele eis, provisionele verdering). Jadi, putusan provisi diartikan putusan sela yang menjawab gugatan provisionil. Gugatan/tuntutan provosisi adalah tuntutan dari salah satu pihak yang berperkara agar hakim mengambil tindakan sementara sebelum putusan akhir dijatuhkan. Menurut Sudikno Mertokusumo menyatakan putusan provisi adalah putusan yang menjawab putusan provisi, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. MA dalam Surat Edarannya No. 4 Tahun 1965 tertanggal 30 Desember 1965 menyebutkan bahwa tuntutan provisionil dimaksudkan putusan sela. Di dalam putusan MA 1967 K/Pdt/1995, tanggal 4 Juni 1998 disebutkan bahwa tuntutan provionil adalah suatu tuntutan agar diadakan tindakan pendahuluan yang bersifat sementara, tuntutan mana yang harus dipenuhi sebelum memeriksa pokok perkara. Tuntutan provisi muncul karena suatu peristiwa pada saat perkara berlangsung, yang memerlukan penanganan segera diputus oleh hakjm selama proses berlangsung. Tututan provisionil tidak termasuk dalam ruang lingkup perkara, meskipun selalu terkait dengan pokok perkara.

Download File Doc. di Sini

Referensi
------------
[1] Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata: Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), h. 294-298

Tuesday, June 16, 2020

ASAS-ASAS HUKUM PUTUSAN HAKIM




Putusan yang baik sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan, terutama untuk memenuhi kebutuhan teoretis dan kebutuhan praktis. Memenuhi kebutuhan teoretis mempunyai arti bahwa menilik isinya, suatu putusan harus dapat dipertanggugjawabkan dari sudut ilmu hukum (juridis verantwoord), bahkan tidak jarang melalui putusannya ini hakim dapat membentuk atau menemukan hukum baru. Adapun memenuhi kebutuhan praktis maksudnya adalah bahwa dengan putusan hakim itu diharapkan dapat menyelesaikan persoalan/sengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan khususnya dan masyarakat umumnya karena putusan itu dirasakan adil, benar, dan berdasarkan hukum. [1]
Hal yang terpenting bagi para pihak yang berkepentingan adalah putusan hakim/pengadilan itu dapat diterima. Suatu putusan dapat diterima kalau putusan tersebut tidak mengandung cacat hukum. Agar suatu putusan tidak mengandung cacat hukum maka putusan itu harus dilandasi atau didasarkan asas atau prinsip hukum sebagai pedoman. Asas-asas atau prinsip hukum tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR/Pasal 189 RBg, Pasal 50 UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas atau prinsip yang tersebut adalah:

1. Putusan hakim harus memuat alasan yang jelas dan rinci.

Putusan hakim harus memuat alasan yang jelas dan rinci, Artinya, putusan yang dijatuhkan berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara didasarkan pada sumber hukum perundangundangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, atau doktrin hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengatakan putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dalam ketentuan Pasal 178 ayat (1) HIR/Pasal 189 ayat (1) RBg, hakim karena jabatannya atau secara ex-officio wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan pihak yang berperkara. Untuk memenuhi kewajiban itu hakim karena kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam kedudukannya tersebut maka hakim mempunyai peran atau fungsi sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

2.Hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan yang diajukan.

Prinsip ini dapat dipedomani dari ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) RBg dan Pasal 50 Rv. Dengan ketentuan ini, maka sebelum putusan harus secara menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap gugatan yang diajukan. Hakim tidak boleh memutuskan atau memberikan keputusan melebihi dari tuntutan penggugat. Prinsip ini dipedomani berdasarkan ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR/ Pasal 189 ayat (3) RBg dan Pasal 50 Rv, yang menegaskan bahwa hakim tidak boleh memberikan keputusan melebihi dari hal yang dituntut penggugat dalam perkara yang bersangkutan. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBg, yang memberikan pembatasan itu, maka posisi hakim menjadi pasif sehingga fungsi hakim hanyalah semata-mata menjadi wasit dalam pemeriksaan perkara tersebut. Pada hal menurut Pasal 119 HIR, hakim berwenang memberikan petunjuk kepada penggugat atau kuasanya. Inilah kelemahan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBg. Larangan bagi hakim untuk tidak memutuskan melebihi tuntutan disebut larangan ultra petitum. Hakim yang melanggar ketentuan tersebut dianggap telah melampaui wewenang (ultra virus). Tindakan tersebut invalid (cacat) dan tidak sah (illegal) sekalipun dilakukan dengan ihtikad baik (goodfaith) dan sesuai dengan kepentingan umum (publik interest). Hakim yang melakukan ultra virus merupakan pelanggaran terhadap prinsip the rule of law, yaitu prinsip tindakan apa pun harus sesuai dengan hukum dan prinsip siapa pun tidak boleh melakukan tindakan melawan hukum.

3. Putusan hakim diucapkan di muka umum.

Prinsip peradilan terbuka ini untuk umum, mulai dari awal pemeriksaan perkara sampai putusan dijatuhkan, merupakan bagian dari asas fair trial. Menurut asas fair trial, pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Dalam literatur hal tersebut disebut the open justice principle. Tujuannya adalah untuk menjamin proses peradilan yang terhindar dari perbuatan tercela (misbehavior) dari pejabat peradilan. Melalui prinsip terbuka untuk umum, persalinan dianggap memiliki efek pencegah terjadinya proses peradilan yang berat sebelah atau diskriminasi. Prinsip pemeriksaan dan putusan yang diucapkan secara terbuka ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam kasus-kasus tertentu di mana undang-undang membenarkan pemeriksaan secara tertutup, misalnya dalam bidang perceraian (Pasal 39 ayat [3] UU No. 1 Tahun 1974) yang telah diubah menjadi UU No. 16 Tahun 2019. Untuk melindungi nama baik suami-istri dalam pergaulan masyarakat, maka pembacaan putusan harus dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974). Jadi, menyangkut pengucapan putusan, harus dilakukan di persidangan, yakni di ruang sidang pengadilan. [2]

Download File Doc 

Referensi
-----------
1. Ateng Afandi dan Wahyu Afandi, Tentang Melaksanakan Putusan Hakim Perdata, (Bandung: Alumni, 1983), h. 10..
2. Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata: tahap-tahap penyelesaian perkara perdata, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), h. 273-275.

Friday, May 29, 2020

PENGAJUAN GUGATAN PERDATA: PROSES DAN PROSEDUR ADMINISTRASI



Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa penyerahan kewenangan memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara diajukan kepada pengadilan. Pengajuan gugatan, penggugat mengharapkan, di samping mendapatkan sesuatu hak, mendapatkan juga kepastian hukum terhadap sesuatu hak, terutama untuk mencegah main hakim sendiri (eigenrichting).
Mengajukan gugatan sudah tentu setelah gugatan disusun. Penyusunan diusahakan sejelas dan selengkap mungkin. Kalau gugatan tidak jelas, ketua pengadilan dapat memberikan petunjuk kepada penggugat untuk memperbaiki gugatannya (Pasal 119 HIR/143 RBg). Sesuai dengan petunjuk MA, para pihak bebas menyusun dan merumuskan gugatan asalkan cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya. Gugatan yang tidak jelas menyebut apa yang dituntut, gugatan itu dinyatakan tidak sempurna dan gugatan itu dinyatakan tidak dapat diterima. Konsekuensinya ketika gugatan tidak diterima, si penggugat dapat mengajukan gugatannya kembali ke pengadilan setelah ia memperbaikinya dan membayar panjar biaya perkara.
Sebelum menyusun gugatan penting terlebih dahulu untuk melakukan observasi atau audit hukum terhadap kasus posisi perkara tersebut. Oleh karena itu, dalam pengajuan gugatan ke pengadilan, hal-hal penting yang perlu diperhatikan antara lain bcrikut ini.
  1. Gugatan harus berdasarkan atas bukti-bukti yang sebcnar-bcnarnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa bukti yang mendukung. maka dalil-dalil yang dikemukakan dalam gugatan perdata hanya lah kata-kata yang sifatnya kabur.
  2. Pengetahaun tentang kcbenaran formal maupun kebenaran materiil dari perkara yang diajukan.
  3. Masalah yang diajukan ke pengadilan bcnar-bcnar mcrupakan masalah yang patut diajukan atau diperkarakan.
Gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri, apabila penggugat/para penggugat atau kuasanya telah selcsai membuat gugatan secara tertulis ataupun lisan. Gugatan diajukan kcpada PN yang scsuai dengan kompentensi PN yang berwenang. Scsuai dengan kompetcnsi PN itu, gugatan perdata dapat diajukan ke pengadilan mclalui panitcra, baik sendiri oleh penggugat atau dilakukan kuasanya. Kalau gugatan diajukan oleh kuasa hukum penggugat, tcrlcbih dahulu pcnggugat membuat perjanjian pemberian kuasa khusus kepada kuasa hukum. Prosedur administrasi (cara) mengajukan permohonan surat gugatan dapat berpedoman kepada ketentuan Pastal 118 HlR/142RBg dan praktik peradilan.
Setiap proses perkara perdata di persldangan Pcngadilan Negeri dimulai dengan pengajuan surat gugatan ke ketua pengadilan negeri oleh penggugat atau wakilnya/pengacara. Menurut Pasal 118 HlR/142 RBg, pengajuan gugatan perdata dapat dlpedomani sebagai bcrikut.
  1. Gugatan ditujukan kepada ketua PN setelah penggugat menandatangai gugatan sesuai dengan tempat tinggal tergugat.
  2. Kalau tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukan kcpada ketua PN di tempat tinggal yang sesungguhnya.
  3. Jika yang digugat lebih dari seorang dan mereka tldak bertempat tinggal di daerah hukum pengadllan yang sama, gugntan diajukan kepada ketua PN di tempat tinggal salah seorang tergugat, yang dipilih oleh Penggugnt.
  4. Jika orang yang digugat tidak dikctahui tempat tinggalnya yang sesungguhnya, gugutan diajukan kepada ketua PN di tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari para tergugat.
  5. Jika gugatan tersebut mengenai barang tidak bergerak, gugatan diajukan kepada ketua PN di daerah di mana barang tidak bergerak itu terletak. Kemudian, gugatan ltu diserahkan ke panitera PN yang bersangkutan.
  6. Setelah diterima, diteruskan kepada bagian keuangan untuk pembayaran biaya perkara dengan menerima kwitansi resmi. Selanjutnya gugtan ltu didaftarkan dalam buku register yang diberi nomor perkara.
  7. Gugatan yang telah didaftar tersebut diteruskan kepada ketua PN untuk ditctapkan pemeriksaannya.
Di dalam praktik, prosedur pengajuan gugatan dalam perkara perdata terdiri atas tiga meja, yaitu meja 1 (pertama), meja II (dua), dan meja III (tiga), yang semuanya termasuk dalam kepaniteraan PN (Buku Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Administrasi Perkara di Lingkungan Peradilan Umum dan Pengawasan dan Evaluasi atas Hasil Pengawasan serta Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku I dan II).
Gugatan yang telah dibuat dan ditandatangani penggugat atau kuasanya diajukan kepada kompetensi PN yang berwenang. Surat gugatan yang telah dibuat dan ditandatangani pengugat atau kuasanya diajukan kepada ketua pengadilan sesuai dengan kewenangan relatif. Penggugat/kuasanya menyerahkan surat gugatan kepada urusan kepaniteraan perdata/panitera muda perdata pada meja pertama (I). Meja pertama yang bertugas menerima gugatan/permohonan menetapkan rencana biaya perkara (panjar/verscoot) yang dituangkan dalam bentuk SKUM (surat kuasa untuk membayar) berupa kwitansi berisikan kop PN, tanggal dan tahun serta cap/stempel surat gugatan didaftarkan, nama pembayar, banyaknya uang serta untuk pembayaran, serta nama dan tanda tangan kasir. Kwitansi SKUM terdiri atas 3 lembar (lembar pertama untuk penggugat/pemohon, lembar kedua untuk kasir, dan lembar ketiga untuk dilampirkan dalam berkas perkara). Biaya perkara ditaksir dengan mempertimbangkan jarak dan kondisi para pihak lain serta pertimbangan terselenggaranya proses persidangan perkara yang lancar dengan bertitik tolak kepada keperluan pemanggilan para pihak, saksi-saksi, pemberitahuan-pemberitahuan, meterai, dan redaksi putusan.
Di samping itu, dalam perhitungan panjar biaya perkara di pengadilan tingkat pertama, diperhitungkan juga biaya administrasi (SEMA No. 5 Tahun 1994). Kemudian, menyerahkan gugatan/permohonan yang dilengkapi dengan SKUM dalam rangka membayar uang panjar perkara yang tercantun dalam SKUM kepada kas PN. Apabila gugatan telah dilengkapi SKUM, penggugat/kuasanya membayar biaya perkara sesuai dengan SKUM kepada kas PN melalui pembayaran kepada kas PN. Pemegang kas menerima dan membukukan uang panjar sesuai dengan SKUM ke dalam buku jurnal dengan jenis KI-Al/G (perkara perdata). Pencataan panjar perkara dalam buku jurnal khusus perkara-perkara tingkat pertama diikuti dengan pemberian nomor perkara yang dipegang oleh kas PN dalam lembar pertama gugatan. Buku jurnal keuangan perkara digunakan untuk mencatat semua kegiatan penerimaan dan pengeluaran biaya perkara. Untuk setiap nomor perkara digunakan 2 halaman muka. Pencatatan kegiatan dimulai pada tanggal penerimaan biaya perkara serta ditutup pada tanggal perkara diputus dan dimutasi.
Jenis buku jurnal keuangan dalam perkara gugatan perdata adalah K1-Al/G, sedangkan perkara gugatan permohonan adalah KI-Al/P. Setelah penggugat membayar biaya perkara, pihak penggugat akan menerima bukti pembayarannya dan penggugat atau kuasanya mendapatkan satu berkas gugatan yang telah diberi nomor gugatan.
Kemudian, penggugat/pemohon menghadap pada meja II dengan menyerahkan gugatan/permohonan dan SKUM yang telah dibayar tersebut. Berkas perkara tersebut oleh petugas meja II didaftarkan dalam buku register induk perkara perdata sesuai urutan penerimaan dari pemegang kas dan dibubuhi nomor perkara sesuai dengan urutan dalam buku register tersebut. Pemberian nomor perkara diterakan dalam lembar pertama. Berkas surat gugatan diberi map warna hijau yang dilengkapi dengan formulir penetapan majelis hakim dan disampaikan kepada wakil panitera untuk diserahkan kepada ketua PN melalui panitera. Berkas surat gugatan diterima oleh PN setelah diberi nomor register oleh panitera.
Proses berikutnya adalah penunjukan majelis hakim oleh ketua pengadilan negeri dalam bentuk penetapan majelis. Berkas perkara beserta penetapan majelis hakim dalam waktu 7 hari telah sampai kepada majelis hakim yang bersangkutan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan penetapan penunjukan majelis hakim dicatat dalam register oleh panitera kepala. Berkas perkara beserta penetapannya telah diserahkan kepada majelis yang bersangkutan dalam waktu tujuh hari.
Selanjutnya, satu helai surat gugatan/permohonan yang telah terdaftar bersama satu helai SKUM kepada penggugat/pemohon dicatat dalam buku register induk. Buku induk keuangan perdata digunakan untuk mencatat kegiatan penerimaan dan pengeluaran dari seluruh perkara sebagaimana dicatat menurut urutan tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam buku jurnal yang terkait. dimulai dari setiap awal bulan dan ditutup pada akhir bulan. Buku induk keuangan perdata dibuat dalam bentuk model KI-A7. Register induk perkara perdata gugatan dan register induk perdata permohonan harus memuat seluruh data-data perkara dalam tingkat pertama, banding, kasasi, PK, dan eksekusi.
Setelah prosedur administrasi selesai, tahap berikutnya adalah persiapan sidang yang meliputi penetapan hari sidang, pemanggilan para pihak yang beperkara (relaas/risalah panggilan atau exploit), dan sita jaminan. Dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari, ketua pengadilan negeri menunjuk majelis hakim dalam sebuah penatapan majelis hakim (Pasal 121 HIR/145 RBg. Dalam waktu tujuh hari itu juga Ketua PN telah membagi perkara tersebut kepada majelis hakim dengan suatu penetapan.
Penetapan sidang ditentukan oleh ketua pengadilan (Pasal 121 HIR/145 RBg). Bentuk penetapan hari sidang di dalamnya meliputi nomor penetapan, pernyataan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dasar pertimbangan, tanggal dikeluarkan penetapan, identitas lengkap pengguggat/para penggugat dan tergugat/para tergugat, serta penetapan hari, tanggal dan jam persidangan, dan tandatangan ketua PN tersebut.
Surat panggilan tersebut isinya memerintahkan untuk memanggil kedua belah pihak supaya datang menghadap di muka persidangan pada hari dan tanggal yang ditetapkan dan juga membawa saksi-saksi yang akan didengar dan/atau surat-surat yang akan diajukan sebagai bukti dalam perkara. Pemanggilan para pihak lazim disebut relaas/risalah panggilan atau exploit. Perintah pemanggilan dilakukan oleh juru sita untuk disampaikan kepada para pihak dengan berita acara yang harus ditandatangani oleh para pihak dan juru sita.
Pada umumnya relaas/panggilan berisikan tentang nomor perkara, hari, tanggal, bulan, dan tahun pemanggilan, nama pemanggil, para pihak yang dipanggil yang harus datang menghadap ke PN sesuai dengan surat panggilan dengan membawa para saksi, surat, atau alat bukti lainnya, serta keterangan terhadap orang yang dipanggil yang ditandatangani para pihak dan juru sita/juru sita pengganti.
Dalam hal penggugat/para penggugat atau kuasanya mengajukan permohonan sita jaminan, maka sita jaminan yang diajukan pada asasnya dapat berupa sita revindikatoir/revindicatoir beslag (Pasal 226 HIR/260 RBg dan sita conservatoir/revindicatoir beslag (Pasal 227 HIR/261 RBg). Sita rcvindicatoir dilakukan atas perintah majelis hakim yang berbentuk penetapan dan dilaksanakan oleh panitera/juru sita PN dengan dua orang karyawan/karyawati PN sebagai saksi. Permohonan penyitaan revindikatoir itu dibuat dalam bentuk penetapan yang ditulis dalam berita acara penyitaan rcvindikatoir.
Demikian juga permohonan sita conservatoir dilakukan oleh panitera/ jurusita PN yang dilakukan atas perintah majelis hakim yang disertai dua orang saksi. Permohoan itu dibuat dalam bentuk penetapan dan dibuatkan bcrila acara penyitaan conscrvatoir. Dalam persidangan nantinya, pada amar putusan, apabila sila jnminan rcvindikatoir atau sita conservatoir dikabulkan, sita tersebut dinyatakan sah dan berharga, telapi apabila ditolak atau tidak dapat diterima (niet onvankelijk vcrklaard), sita akan diperintahkan untuk dicabut.