Showing posts with label HUKUM PERDATA ISLAM. Show all posts
Showing posts with label HUKUM PERDATA ISLAM. Show all posts

Monday, June 22, 2020

PENGGOLONGAN AKAD



Akad secara garis besar berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini berdasarkan asas (dasar), tujuan, ketentuan, sifat, dan hukum-hukum yang ada dalam akad-akad itu sendiri. Masing-masing golongan akad kadang-kadang dikumpulkan dalam satu kelompok, walaupun ada perbedaan-perbedaan antara satu dengan yang lain. Para ulama fiqih mengemukakan, bahwa akad dapat diklasifikasikan dalam berbagai segi. Antara lain dilihat dari penjelasan berikut ini.
a. Penggolongan akad dilihat dari segi keabsahannya menurut syara' 
Dilihat dari segi keabsahannya menurut syara' maka akad terbagi dua, akad sahih dan akad tidak sahih. [1]
1. Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlaku seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Akad yang sahih menurut Ulama Hanafi dan Maliki terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
a) Akad nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b) Akad mawquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad itu,
Seperti akad yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayyiz. Dalam kasus seperti ini akad itu baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum apabila jual beli itu diizinkan oleh wali anak kecil itu. Contoh lain dari akad mawquf ini adalah yang disebut dalam fiqih dengan ’aqad al-fudhuli, yaitu akad yang keabsahannya berlaku bila telah mendapat persetujuan dari pemilik aslinya (yang diwakili). Misalnya, A memberi uang sebesar Rp 1.000.000 kepada B untuk membeli seekor kambing. Ternyata di tempat penjual kambing, jumlah uang tersebut dapat membeli dua ekor kambing, sehingga B membeli dua ekor kambing. Keabsahan akad jual beli dua ekor kambing ini amat tergantung kepada persetujuan, karena B diperintahkan hanya membeli seekor kambing. Apabila A menyetujui akad yang telah dilaksanakan B, maka jual beli itu menjadi sah. Jika tidak disetujui A, maka jual beli itu tidak sah. Akan tetapi, ulama Syafi’i dan Hambali menganggap jual beli mawquf itu sebagai jual beli yang batil.
2. Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama Hanafi membagi akad yang tidak sahih itu menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
a) Akad batil yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’. Misalnya, objek jual beli itu tidak jelas atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan atau salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum.
b) Akad fasid, adalah akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau kendaraan yang tidak jelas tipe, jenis, dan bentuk rumah yang dijual, sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dengan pembeli. Jual beli ini bisa dianggap sah jika unsur-unsur yang menyebabkan ke-fasad-annya itu dihilangkan, misalnya dengan menjelaskan tipe, jenis, bentuk rumah yang dijual.
Akan tetapi, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa akad yang batil dan akad yang fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan akad hukum apa pun.
b. Penggolongan akad dilihat dari segi penamaannya 
Dilihat dari segi penamaannya para ulama fiqih membagi akad menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:[2]
1. Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara' serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, perikatan, hibah, wakalah, wakaf, hiwalah, ji’alah, wasiat, dan perkawinan.
2. Akad ghair musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat, seperti istishna’, bai’ al-wafa’, dan lain-lain.
c. Penggolongan akad dilihat dari segi disariatkannya akad atau tidak 
Dilihat dari segi disariatkannya akad atau tidak terbagi dua yaitu sebagai berikut:[3]
1. Akad musyara’ah, yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’, umpamanya jual beli, jual harta yang ada harganya dan termasuk juga hibah, dan rahn (gadai).
2. Akad mamnu’ah yaitu akad-akad yang dilarang syara’, seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan.
d. Penggolongan akad dilihat dari sifat bendanya
Dilihat dari sifat bendanya akad dibagi dua, yaitu sebagai berikut:[4]
1. Akad ’ainiyah, yakni akad yang disyaratkan kesempurnaannya dengan melaksanakan apa yang diakadkan itu. Misalnya, benda yang dijual diserahkan kepada yang membeli.
2. Akad ghairu ’ainiyah, yaitu akad yang hasilnya semata-mata berdasarkan akad itu sendiri. Misalnya, benda yang sudah di wakafkan otomatis menjadi benda wakaf.
e. Penggolongan akad dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad
Dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad. Dari sudut ini, dibagi dua pula:[5]
1. Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu. Misalnya, pernikahan yang harus dilakukan di hadapan para saksi, akad yang menimbulkan hak bagi seseorang atas tanah, yang oleh undang-undang mengharuskan hak itu dicatat di kantor agraria.
2. Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya, jual beli yang tidak perlu di tempat yang ditentukan dan tidak perlu di hadapan pejabat.
f. Penggolongan akad Dilihat dari dapat tidaknya dibatalkan akad. 
Dilihat dari dapat tidaknya dibatalkan akad. Dari segi ini akad dibagi empat macam:[6]
1. Akad yang tidak dapat dibatalkan, yaitu ’aqduzziwaj. Akad nikah tak dapat dicabut, meskipun terjadinya dengan persetujuan kedua belah pihak. Akad nikah hanya dapat diakhiri dengan jalan-jalan yang ditetapkan oleh syariat, seperti talak, khulu’, atau karena keputusan hakim.
2. Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak, seperti jual beli, shulh, dan akad-akad lainnya.
3. Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak pertama. Misal, rahn dan kafalah merupakan keharusan bagi si rahin dan si kafil, tidak merupakan keharusan oleh si murtahin (orang yang memegang gadai) atau si makful lahu (orang yang memegang tanggungan). Si murtahin boleh melepaskan rahn kapan saja dia kehendaki.
4. Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak yang kedua, yaitu seperti: wadi’ah, ’ariyah, dan wakalah.
g. Penggolongan akad dilihat dari segi tukar-menukar hak
Dilihat dari segi tukar-menukar hak. Dari segi ini akad dibagi tiga:[7]
1. Akad mu’awadah, yaitu: akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti jual beli, sewa menyewa, shulh terhadap harta dengan harta.
2. Akad tabarru ’at, yaitu akad-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan, seperti hibah dan ’ariyah.
3. Akad yang mengandung tabarru’ pada permulaan tetapi menjadi mu’awadah pada akhirnya, seperti qard dan kafalah. Qard dan kafalah ini permulaan adalah tabarru’, tetapi pada akhirnya menjadi mu’awadah ketika si kafil meminta kembali uangnya kepada si madin.
h. Penggolongan akad dilihat dari keharusan membayar ganti dan tidak
Dilihat dari keharusan membayar ganti dan tidak. Maka dari segi ini dibagi tiga golongan:[8]
1. Akad dhamanah, yaitu tanggung jawab pihak kedua sesudah barang-barang itu diterimanya. Seperti jual beli, qard menjadi dhaman pihak yang kedua sesudah barang itu diterimanya. Kalau rusak sebelum diserahkannya, maka tanggung jawab dipikul oleh pihak yang pertama. Pihak pertama harus mengganti kerugian pihak yang kedua atau mengembalikan harga.
2. Akad amanah, yaitu tanggung jawab dipikul oleh yang empunya, bukan oleh yang memegang barang. Misal, syirkah, wakalah.
3. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang mengharuskan dhamanah, dan dari segi yang lain merupakan amanah, yaitu: ijarah, rahn, shulh.
i. Penggolongan akad dilihat dari segi tujuan akad 
Dilihat dari segi tujuan akad dibagi menjadi 4 golongan:[9]
1. Yang tujuannya tamlik (untuk memperoleh sesuatu), seperti jual beli, mudharabah.
2. Yang tujuannya mengokohkan kepercayaan saja, seperti rahn dan kafalah. Akad itu dilakukan untuk menambah kepercayaan si dai  atau si murtahin.
3. Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah, wasiyat.
4. Yang tujuannya memelihara, yaitu: wadi’ah.
j. Penggolongan akad dilihat dari segi waktu berlakunya
Dilihat dari segi waktu berlakunya terbagi dua yaitu sebagai berikut:[10[
1. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama. Misalnya, jual beli walaupun dengan harga yang ditangguhkan. Demikian pula shulh, qard, dan hibah. Semua akad ini dipandang telah selesai apabila masing-masing pihak telah menyempurnakan apa yang dikehendaki oleh akad.
2. Akad mustamirrah, dinamakan juga ’akad zamaniyah, yaitu akad yang pelaksanaannya memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Contohnya: ijarah, ’ariyah, wakalah, dan syirkah. Pelaksanaan akad-akad ini adalah dengan selesai digunakannya manfaat yang disewa, atau yang dipinjam, atau dilaksanakan tugas-tugas perkongsian.
k. Penggolongan akad dilihat dari ketergantungan denhan yang lain
Dilihat dari ketergantungan denhan yang lain. Akad dari segi ini dibagi dua juga, yaitu sebagai berikut.
1. Akad asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri, tidak memerlukan adanya sesuatu yang lain, misalnya jual beli, ijarah, wadi’ah, ’ariyah.
2. Akad tab’iyah, yaitu akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena memerlukan sesuatu yang lain, seperti: rahn dan kafalah. Rahn tidak dilakukan apabila tidak ada utang.
l. Penggolongan akad dilihat dari maksud dan tujuannya akad 
Dilihat dari maksud dan tujuannya akad terbagi atas dua jenis, yaitu sebagai berikut:[11]
1. Akad tabarru’, yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharap ridha dan pahala dari Allah, sama sekali tidak ada unsur mencari ”return” ataupun motif. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Hibah, Wakaf, Wasiat, Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, dan Qirad.
2. Akad tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan berdasarkan rukun dan syarat yang harus dipenuhi semuanya. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah, Salam, Istishna’ dan Ijarah Muntahiya Bittamlik serta Mudharabah dan Musyarakah.

Download File Doc

Referensi
------------
[1]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 238.
[2]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet. 3, edisi. 2, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 108.
[3]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 109.
[4]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 110.
[5]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 110.
[6]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 111.
[7]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 112.
[8]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 113.
[9]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 114.
[10]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 115.
[11]Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan & peransuransian Syariah di Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 19.

Ulasan Lengkap : Tentang 'Ariyah (Pinjam-Meminjam)



a. Pengertian 'Ariyah
Menurut etimologi, al-ariyah berarti sesuatu yang dipinjam, pergi, dan kembali atau beredar. Sedangkan menurut terminologi fiqih, ada dua definisi yang berbeda. Pertama, Ulama Maliki dan Hanafi mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti rugi. Kedua, Ulama Syafi’i dan Hambali mendefinisikannya dengan kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi. Kedua definisi ini membawa akibat hukum yang berbeda. Definisi pertama membolehkan peminjam meminjamkan barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga. Sedangkan definisi kedua tidak membolehkan. ’Ariyah merupakan sarana tolong-menolong antara orang yang mampu dengan yang tidak mampu.[1]
b. Dasar Hukum 'Ariyah
1. Al-Qur’an
QS. al-Maidah (5): 2:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Terjemah :
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.
2. Hadis
HR. Bukhari dan Muslim:
Dari Shafwan Ibnu Umaiyah: Rasulullah saw meminjam kuda Abi Talhah dan mengendarainya.
HR. Abu Daud:
Dari Shafwan, ”Rasulullah saw meminjam baju perang Abu Shafwan, lalu ia mengatakan: apakah hal ini merupakan pemakaian tanpa izin wahai Muhammad? Rasul menjawab: ”tidak, ini saya pinjam dengan jaminan. ”
HR. Abu Daud dan At-Tirmizi:
Ariah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.
c. Ketentuan 'Ariyah
Para ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal akad. Apakah bersifat pemilikan terhadap manfaat atau hanya sekadar kebolehan memanfaatkannya. Ulama Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa ’ariyah merupakan akad yang menyebabkan peminjam memiliki akad yang dia pinjam. Peminjaman itu dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu, peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi pemanfaatannya untuk peminjam saja.
Sedangkan Ulama Syafi’i, Hambali, dan Abu al Hasan al Karkhi, pakar fiqih Hanafi, berpendapat, bahwa ’ariyah hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda, sehingga pemanfaatannya hanya terbatas bagi pihak peminjam. Namun seluruh ulama fiqih sepakat, bahwa pihak peminjam tidak boleh menyewakannya kepada pihak lain.
Menurut jumhur ulama pemanfaatan barang oleh peminjam terbatas pada sejauh mana izin pemanfaatan yang diberikan oleh pemiliknya. Sedangkan, Ulama Hanafi membedakan antara ’ariyah yang bersifat mutlak dan yang bersifat terbatas. Apabila peminjaman dilakukan secara mutlak berarti peminjam berhak untuk memanfaatkan barang itu sesuai dengan keinginannya. Namun, bila pemanfaatan barang itu menurut adat kebiasaan setempat telah melampaui batas dan barang menjadi rusak, maka kerusakan harus ditanggung oleh peminjam, baik rusak disebabkan pemanfaatannya sendiri maupun karena pemanfaatan oleh orang lain yang ia beri izin. Apabila peminjaman bersifat terbatas, maka peminjam terikat dengan syarat-syarat yang ditentukan pemilik itu. Apabila syarat-syarat itu tidak ia laksanakan, maka segala risiko kerugian barang pinjaman itu menjadi tanggungan peminjam.
Dalam hal pembatalan secara sepihak oleh pemilik barang terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Ulama Hanafi,
Syafi’i, dan Hambali, berpendapat bahwa akad ’ariyah sifatnya tidak mengikat bagi kedua belah pihak sehingga pemilik barang boleh saja membatalkan pinjaman itu kapan saja ia mau, dan pihak peminjam boleh saja memulangkan barang itu kapan saja ia kehendaki tanpa membedakan peminjaman bersifat mutlak atau terbatas. Ulama Maliki berpendapat, bahwa pihak yang meminjamkan barang tidak dapat mengambil barangnya sebelum dimanfaatkan oleh peminjam. Apabila akad ’ariyah memiliki batas waktu pemanfaatan, maka pemilik barang tidak dapat meminta kembali barangnya sebelum tenggang waktu peminjaman jatuh tempo.
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai sifat akad ’ariyah. Menurut Ulama Hanafi, ’ariyah di tangan peminjam bersifat amanah. Peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap kerusakan barang yang bukan disebabkan perbuatannya atau kelalaiannya dalam memanfaatkan barang itu. Namun, apabila kerusakan disengaja atau karena kelalaian peminjam, maka ia dikenakan ganti rugi.
Ulama Hambali berpendapat, bahwa ’ariyah mempunyai risiko ganti rugi, baik disebabkan perbuatan peminjam maupun disebabkan hal lain. Namun, bila yang dipinjam adalah barang-barang yang sifatnya untuk kemaslahatan umum dan dalam pemanfaatan terjadi kerusakan tanpa sengaja dari peminjam, maka ia tidak dikenakan ganti rugi.
Ulama Maliki menyatakan apabila barang yang dipinjamkan itu dapat disembunyikan, lalu peminjam mengatakan barang itu hilang atau hancur sedangkan ia tidak dapat membuktikannya, maka ia dikenakan ganti rugi. Apabila barang itu tidak dapat disembunyikan, maka tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan itu.
Menurut Ulama Syafi’i, apabila kerusakan barang disebabkan pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka peminjam dikenakan ganti rugi. Akan tetapi, apabila kerusakan terjadi dalam batas pemanfaatan yang diizinkan pemiliknya, maka peminjam tidak dikenakan ganti rugi.
Menurut Hanafi, akad ’ariyah yang semula bersifat amanah boleh berubah menjadi akad yang dikenakan ganti rugi dalam hal sebagai berikut:
  • barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak;
  • barang itu disewakan atau tidak dipelihara sama sekali;
  • pemanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku atau tidak sesuai dengan syarat yang disepakati bersama; dan
  • pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan sejak semula dalam akad.[2]
Download File  Doc

Referensi
------------
[1] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 238.
[2] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,  h. 240-244.

Wednesday, May 27, 2020

MONOGAMI, POLIGAMI, DAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM



Asas monogami telah diletakkan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam Islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Islam memandang poligami lebih banyak membawa risiko/ mudarat daripada manfaatnya. Karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antaIa istri beserta anak-anaknya masing-masing. 
Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat/watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.
Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah dengan adanya keturunannya yang saleh yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami bukan mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.[1]
Marilah kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an ‘yang berkenaan dengan masalah monogami dan poligami dalam Surat al-Nisa ayat 2-3:

وَاٰتُوا الْيَتٰمٰىٓ اَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَهُمْ اِلٰٓى اَمْوَالِكُمْ ۗ اِنَّهٗ كَانَ حُوْبًا كَبِيْرً وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ 

Terjemahnya:

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

Ayat 2 dan 3 Surat al-Nisa di atas berkaitan (ada relevansinya) , sebab ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah; sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil serta fair, yakni si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ra waktu ditanya oleh Urwah bin Al-Zubair ra mengenai maksud ayat 3 Surat al-Nisa tersebut.[2]
Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu; tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Dan jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka ia hanya boleh beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat zalim terhadap istri yang seorang
itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap istrinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.[3]
Menurut Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surat ini Surat al-Nisa, maka masalah pokoknya ialah mengingatkan kepada orang yang berpoligami agar berbuat adil terhadap istri-istrinya dan berusaha memperkecil jumlah istrinya agar ia tidak berbuat zalim terhadap keluarganya. Sedangkan menurut Aisyah ra yang didukung oleh Muhammad Abduh, bahwa masalah pokoknya ialah masalah poligami, sebab masalah poligami dibicarakan dalam ayat ini adalah dalam kaitannya dengan masalah anak wanita yatim yang mau dikawini oleh walinya sendiri secara tidak adil atau tidak manusiawi. Kemudian ada pendapat lain lagi, ialah Al-Razi, bahwa yang dimaksud dengan ayat ini ialah larangan berpoligami yang mendorong orang yang bersangkutan memakai harta anak yatim guna mencukupi kebutuhan istri-istrinya.
Menurut Rasyid Ridha, pendapat Al-Razi tersebut lemah, tetapi ia menganggap benar, jika yang dimaksud dengan ayat 3 Surat Al-Nisa itu mencakup tiga masalah pokok yang masing-masing dikemukakan oleh Ibnu Jarir, Muhammad Abduh, dan Al-Razi. Artinya, dengan menggabungkan tiga pendapat tersebut di atas, maka maksud ayat tersebut ialah untuk memberantas/ melarang tradisi zaman Jahiliyah yang tidak manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah, serta ia menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak tersebut. Demikian pula tradisi zaman Jahiliyah yang mengawini istri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam berdasarkan ayat ini.[4]
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil antara lain ialah sebagai berikut:
  1. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul;
  2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya. Data-data statistik menunjukkan bahwa di beberapa negara Barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya prostitusi dan free sex (kumpul kebo) yang berakibat pula anak-anak zina lahir mencapai jumlah yang cukup tinggi. Misalnya di Francis 30%, Austria 50%, dan Belgia 60%. [5]
  4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama seperti perang antara Iran dan Irak yang terjadi antara tahun 1980-1988.[6]
Mengenai hikmah Nabi Muhammad diizinkan beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya ialah sebagai berikut:
  1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. istri nabi sebanyak (sembilan) orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan/kerumahtanggaan;
  2. Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri Al-Harits Kepala suku Banil Musthaliq. Demikian pula perkawinan Nabi dengan Shafiyah, seorang tokoh dari suku Bani Quraidzah dan Banin Nadhir.[7]
  3. Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan Islam yang telah lanjut usianya seperti Saudah binti Zum’ah (suami meninggal sebelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan agamanya, dan penanggung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.[8]
Jelaslah, bahwa perkawinan Nabi dengan sembilan istrinya itu tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks dan kenikmatan seks. Sebab kalau motifnya demikian, tentunya Nabi mengawini gadis-gadis dari kalangan bangsawan dan dari berbagai suku pada masa Nabi masih berusia muda. Tetapi kenyataannya adalah Nabi pada usia 25 tahun kawin dengan Khadijah seorang janda umur 40 tahun dan pasangan suami istri ini selama lebih kurang 25 tahun berumah tangga benar-benar sejahtera dan bahagia dan mendapatkan keturunan: dua anak lelaki, tetapi meninggal masih kecil, dan 4 anak wanita.
Setelah Khadijah wafat tahun ke 10 sejak Muhammad diangkat sebagai nabi pada usia lebih kurang 65 tahun, barulah kemudian Nabi memikirkan kawin lagi. Mula-mula kawin dengan Saudah binti Zum’ah, seorang janda, dan sebulan kemudian Nabi kawin dengan Aisyah, dan kemudian disusul dengan istri-istrinya yang lain. Tetapi tidak ada seorang istrinya pun yang dikawini dengan motif untuk pemuasan nafsu seks atau karena harta kekayaannya, melainkan karena motif agama, politik, sosial dan kemanusiaan.[9]
Mengenai perceraian, Islam memandangnya sebagai perbuatan halal yang paling dibenci agama, sebagaimana Hadis Nabi riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Ibnu Umar.[10]
أبغض الحلال إلى الله الطلاق
ِArtinya:
Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.
Hal ini disebabkan karena perceraian itu bertentangan dengan tujuan perkawinan, ialah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia untuk selamanya. Dan lagi perceraian itu mempunyai dampak yang negatif terhadap bekas suami-istri dan anak-anak.
Karena itu, perceraian seperti halnya poligami hanya diizinkan kalau dalam keadaan terpaksa (darurat), yakni sudah terjadi syiaq atau kemelut rumah tangga yang sudah sangat gawat keadaannya dan sudah diusahakan dengan itikad baik dan serius untuk adanya islah atau rekonsiliasi antara suami istri, namun tidak berhasil, termasuk pula usaha dua hakam dari pengadilan, tetap tidak berhasil. Maka dalam keadaan rumah tangga seperti itu, Islam memberi jalan keluar, yakni ”perceraian” yang masih bersifat talaq raj‘i, artinya masih memungkinkan suami merujuk istri dalam masa idah. Karena itu, masa idah istri itu dimaksudkan sebagai cooling period atau masa pengendapan untuk merenungkan dengan tenang tentang baik buruknya perceraian bagi keluarga, dan menelusuri apakah penyebab yang sebenarnya sampai terjadi syiqaq itu dari suami atau dari istri atau dari pihak ketiga? Dengan introspeksi dan retrospeksi, mungkin timbul penyesalan pada suami istri, kemudian berhasrat islah dan niat masing-masing suami istri untuk membina rumah tangga lagi.[11] (Perhatikan al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 228 dan al-Nisa ayat 34).
Mengingat madarat yang timbul akibat dari perceraian dan poligami itu sangat besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan berkeluarga dan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, maka Pemerintah RI berhak dan bahkan berkewajiban untuk memperketat dan mempersulit izin perceraian dan poligami, sebagaimana tersebut dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang telah diubah menjadi UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan demi menjaga kemaslahatan keluarga dan masyarakat. Dan bagi umat Islam Indonesia wajib mentaati peraturan perundang-undangan tersebut, karena tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalam al-Qur’an dan Sunah, dan juga mengingat al-Qur’ an Surat al-Nisa ayat 59:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ 
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Daftar Literasi
-----------------

1. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. IV (Mesir: Darul Manar, 1347 H), h. 364-370.
2. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 344-345.
3. Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (Lahore: The Ahmadiyah Anjuman Isya'at Islam, 1950), h. 662-663.
4.  Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 347-348.
5. Ali Ahmad al-Jurjani, Hikamh al-Tasyri' wa Falsafatuh, vol.II (Cairo: Al-Mathba'ah al-Yusufiah, 1931), h. 11-13.
6. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 357-358.
7. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 371.
8. Abbas Mahmud al-Aqqad, Haqaiqul Islam wa Abathilu Khushumih, (Cairo: Darul Qalam, 1957), h. 181-182.
9. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 370-374.
10. Al-Suyuti, Al-Jami' al-Shagir, vol. 1 (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halabi wa Auladuh, 1954), h. 5.
11. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1996). h. 18.




Tuesday, May 26, 2020

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM MONOPOLI DAN OLIGOPOLI


Monopoli dan oligopoli merupakan praktik kegiatan yang banyak dijumpai pada era globalisasi ini. keduanya memiliki ciri yang sama, yaitu bentuk penguasaan terhadap penawaran dan harga. apabila penguasaan itu dilaksanakan oleh sebuah perusahaan maka hal itu disebut monopoli, sedangkan apabila penguasaan itu dilaksanakan oleh sekelompok perusahaan tertentu disebut sebagai oligopoli. Pada intinya, yang dimaksud dengan monopoli adalah menahan barang untuk tidak beredar di pasar supaya naik harganya. semakin besar dosa orang yang melakukannya jika praktik monopoli tersebut dilakukan secara kolektif, di mana para pedagang barang-barang jenis tertentu dari barang dagangan untuk keuntungan mereka sendiri dan menguasai pasar sekehendaknya.[1] Monopoli sempurna terlihat bila sebuah perusahaan tunggal memproduksi suatu komoditi yang tidak dikeluarkan oleh perusahaan lain. Dengan demikian, elastisitas permintaan silang sebuah perusahaan monopoli adalah kecil. Perbedaan antara monopoli dengan bentuk persaingan usaha lain adalah bahwa monopoli  dapat menentukan harga pasar untuk hasil produksinya, karena ia merupakan produsen tunggal untuk jenis barang tersebut. karena muncul motif untuk memaksimumkan keuntungan, dia akan menetapkan harga barang menurut kehendaknya dan menentukan agar penjualan suatu barang dengan harga tertentu. dalam hal ini dapat mengakibatkan timbulnya suatu pasar yang tidak sempurna.[2]
Apabila suatu perusahaan bergerak dengan dipengaruhi oleh ekonomi Islam, maka ia tidak akan mencari peluang untuk melakukan eksploitasi. Sebagaimana diketahui bahwa sebenarnya tidak terdapat satu pun unsur yang dapat memaksa sebuah perusahaan untuk melakukan eksploitasi. Bahkan jika perusahaan ini tidak menjalankan dasar eksploitasi, ia tetap akan mendapatkan keuntungan normal, sama halnya dengan apa yang didapat dalam pasar persaingan yang sehat. Walaupun pengaruh pasar mungkin saja memberi pengaruh yang besar maupun kecil terhadap pengusaha dalam mengeksploitasi konsumen guna mendapatkan keuntungan maksimum, tetapi apabila diterapkan sistem ekonomi Islam, maka akan ada suatu kontrol terhadap pengusaha untuk melakukan tindakan manipulasi yang mengarah pada eksploitasi ini.[3]
Permasalahan terhadap sistem monopoli dalam bisnis menurut Hukum Islam dikarenakan sistem monopoli ini bertentangan dengan prinsip kasih sayang menurut Islam. Agama Islam mempunyai banyak nilai-nilai yang patut diikuti oleh umat manusia.
Di antara nilai-nilai yang penting itu adalah sifat ”kasih sayang” yang telah dijadikan Allah sebagai risalah kepada Nabi Muhammad saw. Dalam QS. al-Anbiya/21: 107, Allah berfirman: ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Demikian pula Nabi Muhammad saw menyebutkan sifat dirinya sendiri dengan sifat ini sebagaimana sabdanya: ”Orang-orang yang belas kasih akan dirahmati (dikasihi) oleh Ar-Rahrnan (Tuhan Yang Maha Pengasih), kasihilah orang yang di muka bumi niscaya yang berada di langit akan mengasihimu." (HR. Abu Dawud (4941) dan at-Tarrnidzi, ia mengatakan: hasan shahih (1925) dari Abdullah bin ’Amr).
Dari ayat al-Qur'an dan Hadis Nabi saw. di atas Islam mewajibkan sikap kasih sayang kepada setiap makhluk. Karena itu seorang pedagang tidak boleh menjadikan obsesi terbesarnya dan tujuan usahanya adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, demi memenuhi laci atau saldonya di bank, meskipun di atas jerih payah orang lain, khususnya orang-orang lemah di antara mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk bersaing dengan pihak yang kuat dan mampu. 
Pedagang tidak boleh menaikkan atau menentukan harga yang tinggi dengan semena-mena sehingga masyarakat sulit untuk membelinya. Pada dasarnya pemberian harga dalam Islam harus adil. Dengan kata lain bukan hanya mendapatkan keuntungan semata, tetapi harus berdasarkan untuk menolong. Selain itu ketika memerhatikan pesaing bukan bertujuan untuk memonopoli, tetapi terjadi persaingan yang sehat.[4]
Islam melarang monopoli juga dikarenakan akibat yang ditimbulkan oleh monopoli tersebut. Akibat dari praktik monopoli yang ada dalam masyarakat antara lain adalah:

  1. Pasar monopoli adalah industri satu perusahaan. Barang dan jasa yang dihasilkan tidak dapat dibeli dari tempat lain. Para pembeli tidak mempunyai pilihan lain, kalau mereka menginginkan barang tersebut. Syarat-syarat penjualan sepenuhnya ditentukan oleh monopoli itu, dan para pembeli tidak dapat berbuat apa pun di dalam menentukannya syarat jual beli.
  2. Barang yang dihasilkan di pasar monopoli tidak dapat digantikan oleh barang lain yang ada di dalam pasat. Barang tersebut merupakan satu-satunya jenis barang dan tidak terdapat barang mirip yang dapat menggantikan barang tersebut
  3. Tidak terdapat kemungkinan perusahaan lain untuk masuk ke dalam industri monopoli. Sifat ini merupakan sebab utama yang menimbulkan sebuah perusahaan mempunyai kekuasaan monopoli. Tanpa sifat ini perusahaan monopoli tidak akan terwujud, karena pada akhimya akan terdapat beberapa perusahaan di dalam satu industri.
  4. Perusahaan monopoli akan menentukan harga. Karena perusahaan monopoli merupakan satu-satunya penjual di dalam pasar, maka penentuan harga dapat dikuasainya melalui pengendalian terhadap lajunya produksi dan jumlah barang yang ditawarkan, sehingga dapat menentukan harga pada tingkat yang dikehendakinya.

Dari uraian di atas jelas, bahwa Islam telah mengharamkan ”monopoli”, yang merupakan salah satu  dari dua unsur penopang kapitalisme yang rakus dan otoriter.[5] Unsur penopang kapitalisme yang lairmya adalah riba. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad saw. bersabda: ”Barangsiapa memonopoli maka ia berdosa." (HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tarmidzi, ia menyahihkannya, dan Ibnu Majah, al-Muntaqa: 999). Dalam Hadits lain disebutkan: ”Barangsiapa memonopoli bahan makanan selama empat puluh hari, maka sesungguhnya ia telah terlepas diri dari Allah dan Allah pun berlepas darinya.” (HR. Ahmad dalam Musnad Ibnu Umar, disahihkan Ahmad Syakir (No. 448), dan al’Iraqi dalam Takhrij al-ihya’(II/72).
Yusuf al-Qardhawi menggambarkan hal ini sebagai berikut: Sesungguhnya Islam ingin mendirikan di bawah naungan sejumlah nilai luhur suatu pasar yang manusiawi, di mana orang-orang yang besar mengasihi orang yang kecil, orang yang kuat membimbing yang lemah, orang yang bodoh belajar dari yang pintar, dan orang-orang yang bebas menegur orang yang nakal dan zalim. Sedangkan pasar yang berada di bawah naungan peradaban materialisme dan filosofi kapitalisne tidak lain adalah miniatur hutan rimba, di mana orang yang kuat memangsa yang lemah. orang yang besar menginjak-injak yang kecil. Orang yang bisa bertahan dan menang hanyalah orang yang paling kuat dan kejam, bukan orang yang paling baik dan ideal.[6]

Daftar Literasi
--------------------
[1]Ahmad Muhammad Al-'Assal dan  Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1980), h. 330.
[2]Muhammad Najetullah Siddiqie, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, cet. 1, (Jakarta: Bmi Aksara, 1996), h. 127.
[3]Muhammad Najetullah Siddiqie, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam,  h. 136.
[4]Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cet. 3 (Jakarta: Kencana, 2007), h. 218.
[5]Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, cet. 1, (Jakarta: Robbani Press. 2001), h. 321.
[6]Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,  h. 321.

Friday, April 24, 2020

JENIS-JENIS LAPANGAN HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA



Di dalam UUDS 1950 pernah disebutkan beberapa lapangan hukum yaitu dalam pasal 102 dan 108. Yakni sebagai berikut:
Dalam pasal 102 UUDS disebut:
  • Hukum Perdata dan Hukum Dagang.
  • Hukum Pidana Sipil dan Hukum Pidana Militer.
  • Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana.

Pasal 108 UUDS menyebut pula Hukum Tata Usaha. Kedua pasal ini tidaklah memuat pembagian lapangan hukum Indonesia, sehingga tidak menyebut lengkap semua lapangan hukum.
Pasal 102 UUDS ini hanya menyebut lapangan lapangan hukum yang harus “diatur dengan dalam undang-undang dalam kitab-kitab hukum. ”Dengan kata lain, pasal 102 UUDS hanya menyebut lapangan lapangan hukum yang harus “dikodifikasikan.”
Sedangkan pasal 108 UUDS hanya menetukan siapa yang harus memutuskan sengketa-sengketa yang mengenai hukum tata usaha (Hukum Administrasi). Pada pokoknya jenis-jenis lapangan hukum dapat disebutkan sebagai berikut :
  • Hukum Tata Negara.
  • Hukum Administrasi Negara.
  • Hukum Perdata.
  • Hukum Dagang.
  • Hukum Pidana.
  • Hukum Acara Perdata dan Pidana.

1. Hukum Tata Negara
Prof. Kusmadi Pudjosewojo, SH. memberikan batasan tentang pengertian hukum tata negara sebagai hukum yang mengatur bentuk negara, bentuk pemerintahan, menunjukkan masyarakat atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya, menegaskan wilayah, lingkungan dan rakyat masing-masing masyarakat hukum; menunjukkan alat-alat perlengkapan negara yang berkuasa dalam masing-masing masyarakat hukum dan susunannya, wewenang serta imbangan dari alat-alat perlengkapan tersebut.
Bertolak dari pengertian tersebut kita dapat mengetahui materi apa yang diatur oleh hukum tata negara. Hukum tata negara menurut pengertian di atas mengatur tentang bentuk negara apakah suatu Negara berbentuk Negara kesatuan atau negara federal, kemudian menentukan apakah bentuk pemerintahannya berbentuk kerajaan atau republik. Ia juga mengatur mengenai masyarakat hukum mana yang atasan dan mana yang bawahan, menentukan alat-alat perlengkapan negara mana yang memegang kekuasaan dalam masing masing masyarakat hukum lersebut, sejauh mana luas lingkungannya, siapa yang menjadi rakyat nya lalu apa tugas masing masing alat perlengkapan Negara tersebut, bagaimana susunan alat-alat perlengkapan negara masing masing masyarakat hukum tersebut dan bagaimana imbangannya. Jadi hukum tata negara meliputi kaidah kaidah hukum yang menetapkan struktur dan system organisasi negara. Pada prinsipnya hukum tata negara mengatur negara dalam keadaan diam, karena hukum tata negara tidak mengatur bagimana cara bekerja alat-alat perlengkapan negara itu dalam menjelaskan tugasnya.

2. Hukum Administrasi Negara
Hukum administrasi Negara adalah aturan aturan hukum yang mengatur bagaimana cara alat-alat perlengkapan negara harus berbuat sesuatu dalam melaksanakan tugasnya. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa hukum administrasi mengatur alat-alat perlengkapan negara dalam kegiatannya melaksanakan tugas. Menurut istilah yang lazim, hukum administrasi Negara mengatur negara dalam keadaan bergerak. Dari pengertian dan penjelasan singkat tersebut tampak jelas perbedaan antara hukum tata negara dengan hukum administrasi negara yaitu hukum tata negara mengatur negara dalam keadaan diam sedangkan hukum administrasi negara mengatur negara dalam keadaan bergerak.

3. Hukum Perdata
Hukum perdata ialah aturan aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat, maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua yaitu hukum perdata materiil dan hukum perdata fomal. Hukum perdata materiil mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaiman Cara seseorang menentukan haknya apabila dirugikan oleh orang lain. Hukum perdata formal mempertahankan hukum perdata materiil, karena hukum perdata formal berfungsi menerapkan hukum perdata materiil apabila ada yang melanggarnya.
Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata dibagi menjadi:
  • Hukum pcrorangan (personenrecht)
  • Hukum keluarga (familierecht)
  • Hukum harta kekayaan (vermogensrecht)
  • Hukum waris (erfrecht)

Menurut KUH Perdata (BW) hukum perdata dibagi menjadi 4 yaitu:
  • Hukum tentang orang (buku ke l)
  • Hukum tentang benda (buku ke II)
  • Hukum tentang perikatan (buku ke III)
  • Hukum tentang pembuktian dan kadaluwarsa (buku ke IV)

4. Hukum Dagang
Hukum dagang menurut pendapat yang Iazim adalah merupakan bagian dari hukum perdata umum dan ia menjadi satu dengannya. Masalahnya adalah bagian yang manakah dari hukum perdata umum tersebut yang merupakan hukum dagang? Bagian yang merupakan hukum dagang dari hukum perdata umum adalah bagian yang mengatur tentang beberapa perjanjian (overeenkomst) dan perikatan perikatan (verbintenissen) yang sebagian sudah dikodiflkasi dalam buku ke III Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Buku ke II KUH Perdata itu berjudul “tentang perikatan-perikatan” baik mengenai asas-asas umum hukum perjanjian maupun beberapa perjanjian khusus misalnya pengertian tentang pemberian ganti rugi, risiko, pertanggung jawaban sepenuhnya oleh seseorang, keadaan memaksa, perjanjian jual beli, pemberian kuasa perburuhan, dan pemborongan. Dalam perkembangannya pemberian kuasa perburuhan dan pemborongan cenderung beralih menjadi hukum publik karena Pemerintah turut campur tangan.
Di samping bagian itu ada bagian lain yang erat hubungannya dengan perkembangan perniagaan misalnya tentang pengangkutan di darat, laut, di perairan pedalaman dan di udara, untuk pengangkutan barang maupun orang. Di luar masalah pengangkutan barang dan orang masih ada lagi yang diurus oleh hukum dagang yaitu tentang penanggungan kerugian jiwa ataupun barang, dan aneka peraturan misalnya makelar, komisioner serta aneka perjanjian tentang kehendak untuk mendirikan usaha perniagaan misalnya firma, perseroan terbatas dan persekutuan komanditer.
Sebaigian besar dari hal-hal tersebut sudah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Dari uraian di atas kita ketahui hal-hal apa saja yang diatur oleh hukum dagang dan bagaimana pengertian hukum dagang itu sebenamya serta bagaimana kedudukan hukum dagang terhadap hukum perdata umum. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa hukum dagang ialah aturan-aruran hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan lainnya khususnya dalam hal perniagaan. Hukum dagang adalah merupakan hukum perdata khusus.

5. Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan. Dari rumusan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukuman pidana bukan suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, tetapi hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum. Kepentingan umum yang dimaksud adalah:
1) Badan peraturan perundangan negara seperti negara, lembaga negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya.
2) Kepentingan hukum setiap manusia misalnya jiwa, tubuh, kemerdekaan, kehormatan dan harta benda.
Pelanggaran adalah tindak pidana ringan yang diancam dengan hukuman denda. Pelanggaran dapat dilakukan terhadap keamanan umum bagi manusia, barang, kesehatan umum, dan terhadap ketertiban umum, penguasa umum, dan lain lain. Kejahatan adalah tindak pidana berat yang diancam dengan hukuman denda, kurungan, penjara dan hukuman mati. Hukum pidana Indonesia mengatur pelanggaran dalam buku ketiga KUHP dan mengatur tentang kejahatan dalam buku kedua KUHP. KUHP yang berlaku di Indonesia adalah KUHP yang dikodiflkasikan tahun 1918 yang telah diubah dan ditambah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang telah semakin maju dan berkembang.
Pembagian Hukum Pidana 
Hukum pidana dibedakan menjadi dua:
1) Hukum pidana objektif ialah peraturan yang memuat perintah dan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman bagi setiap pelanggarnya. Hukum pidana objektif dibagi dua menjadi:
a. Hukum pidana materiil yaitu semua peraturan yang merumuskan tentang perbuatan perbuatan apa yang dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan hukum apa yang dapat diterapkan. Dengan kata lain hukum pidana materiil adalah peraturan yang merumuskan tentang pelanggaran dan kejahatan, syarat-syarat apa yang harus dipenuhi seseorang dapat dihukum serta hukuman apa yang dapat diterapkan kepada pelaku kejahatan atau pelanggaran itu.
Hukum pidana materiil dibedakan lagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang berlaku bagi siapa saja, sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang berlakunya bagi orang orang tertentu atau hukum pidana mengenai hal tenentu. Contoh hukum pidana umum yang berlaku di Indonesia adalah hukum pidana yang berlaku bagi penduduk Indonesia kecuali anggota ABRI atau yang dipersamakan dengan mereka. Hukum pidana khusus yang berlaku di Indonesia misalnya:
  • Hukum pidana militer
  • Hukum pidana fiscal
  • Hukum pidana ekonomi

b. Hukum pidana formil ialah peraturan hukum pidana yang mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya hukum pidana materiil. Hukum pidana formil memproses bagaimana menghukum atau tidak menghukum seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, oleh karenanya dinamakan hukum acara pidana.
2) Hukum pidana subjektif ialah hak negara untuk menghukum seseorang berdasarkan setiap orang bertindak sendiri, menghukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana.

6. Hukum Perburuhan
Hukum perburuhan adalah himpunan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan. Buruh bekerja pada dan di bawah majikan dengan mendapat upah sebagai balas jasanya. Dari rumusan tersebut dapat dltarik kesimpulan bahwa hukum perburuhan mengandung unsur-unsur tertentu yaitu :
  • Peraturan tertulis dan tidak tertulis yang berperan mengatur hubungan buruh dan majikan.
  • Peraturan tersebut mengenai kejadian dalam hubungan perburuhan.
  • Ada orang yang bekerja pada orang lain dan dibawah pimpinan tersebut.
  • Ada balas jasa yang diterima buruh scbagai upah. Jadi kalau ditegaskan unsur penting dalam hukum perburuhan itu adalah majikan, buruh dan upah. Majikan adalah pemberi pekerjaan. buruh adalah orang yang bekerja atas perintah dari pimpinan majikan. upah adalah balas jasa yang diterima buruh dari majikan.

7. Hukum Agraria
Hukum agraria adalah keseluruhan peraturan tertulis maupun tidak tertulis. Pengertian agraria adalah meliputi seluruh bumi. air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan kesatuan wilayah Republik Indonesia yang berasal dari karunia Tuhan Yang maha Esa, yang menjadi kekayaan nasional bangsa Indonesia (ps. I UUPA).
Jika diamati tentang rumusan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum agraria mengatur tentang bagaimana bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam dimanfaatkan sebaik baiknya bagi bangsa Indonesia, karena pada dasarnya kesemuanya itu adalah karunia Tuhan bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Jika tidak diatur oleh hukum agraria tersebut niscaya bangsa Indonesia akan berbuat menurut kehendak mereka sendiri, sehingga dapat merugikan sesama bangsa Indonesia atau kekayaan bangsa tidak dapat dinikmati secara maksimal.

8. Hukum Pajak
Hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Rumusan pengertian tersebut mengandung arti bahwa pada dasamya pemerintah mempunyai wewenang untuk mengambil sebagian dari kekayaan seseorang yang berada di bawah naungan pemerintah, dengan kewajiban menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara sebagai kontra prestasinya. Pengambilan kekayaan orang oleh pemerintah tidak semata mata menurut kehendak pemerintah tetapi berdasarkan ketentuan dalam peraturan pajak dan pengembaliannya tidak secara langsung kepada orang yang kebetulan diambil sebagian kekayaannya sebagai pajak, tetapi semua orang dapat menikmati kontra prestasi yang diserahkan pemerintah melalui kas negara tadi. Wujud pengambilan itu dapat berupa pendidikan, pembangunan jalan, jembatan, dan lain-lain yang prinsipnya semua orang dapat menikmatinya.

9. Hukum Antar Golongan
Hukum antar golongan (H.A.G) adalah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan hukum apa dan hukum mana yang berlaku, apabila dalam satu peristiwa hukum, ada dua hukum atau lebih yang berlainan satu sama lain karena berlainan golongan penghuni dalam suatu negara.
Rumusan pengertian tersebut di atas menunjukkan kepada kita bahwa hukum antar golongan akan mengatur bagaimana jika terjadi peristiwa hukum di mana masing masing orang tunduk pada hukum yang berbeda, karena golongan penduduknya berbeda walaupun mereka berada dalam wilayah negara yang sama. Sebagai contoh misalnya peristiwa perkawinan antara orang pribumi Indonesia dengan golongan Eropa yang tinggal di Indonesia. Jelas hal tersebut memerlukan penyelesaian atau penetapan hukum mana yang akan dipakai, karena masing masing menganut hukum perkawinan yang berbeda. Orang pribumi menganut hukum adat sedangkan golongan Eropa tunduk pada KUH Perdata.

10. Hukum Perdata Internasional
Sebagaimana telah diketengahkan dimuka, pengertian hukum perdata internasionaladalah hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas-batas negara. Dengan kata lain hukum perdata internasional mengatur hubungan perdata antara para pelaku hukum perdata yang masing masing tunduk pada hukum perdata nasional yang berbeda, sehingga unsur asing menjadi penting di dalam hukum perdata internasional.
Hubungan yang diatur adalah hubungan internasional mengenai masalah keperdataan. Jelas disini sebagai subjek hukumnya adalah idnividu atau badan hukum perdata. Jika terjadi peristiwa hukum yang melibatkan dua orang atau lebih yang masing masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda, hukum perdata internasional menentukan hukum mana yang akan berlaku.

11. Hukum Internasional
Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara yang bukan bersifat perdata. Secara singkat hukum internasional adalah kaidah kaidah dan asas asas hukum yang mengatur hubungan internasional dan bukuan hubungan perdata. Dari rumusan di atas yang dimaksud dengan hukum internasional adalah hukum internasional publik.
Hukum lain yang mengatur hubungan internasional adalah hukum perdata internasional yaitu hukum yang mengatur hubungan perdata antara pelaku hukum perdata nasional yang satu dengan yang lain yang berbeda. Persamaan antara kedua hukum internasional tersebut ialah bahwa keduanya mengatur hubungan hukum yang melintasi batas negara.
Perbedaannya adalah sebagai berikut:
  • Hukum internasional subjeknya negara atau badan hukum publik, sedangkan hukum perdata internasional adalah perorangan atau badan hukum perdata.
  • Hukum internasional mengatur hubungan antar negara, hukum perdata internasional mengatur hubungan antar warga negara.

12. Hukum Acara
Hukum acara adalah aturan-aturan hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan hukum materiil melalui beracara di pengadilan. Berdasarkan tujuan hukum, hukum materiil adalah mengatur hubungan antara anggota masyarakat agar keseimbangan kepentingan mereka terjamin sesuai dengan hak-hak asasinya. Karena hukum acara mengatur bagaimana mempertahankan hukum materiil, maka fungsi dari hukum acara secara tidak langsung adalah sebagai sarana untuk melindungi hak asasi manusia. Hukum acara dibedakan menjadi dua yaitu hukum acara pidana yang mengatur bagaimana mempertahankan hukum pidana materiil, dan hukum acara perdata yang mengatur bagaimana mempertahankan hukum perdata materiil.

13. Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumeber dari wahyu Tuhan, sunnah Rasul dan Ijtihad. Jika diperhatikan dari sumbernya dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah hukum yang lebih tinggi dari hukum positif lainnya, karena sumber hukum positif yang lain adalah dari akal budi manusia.
Tujuan diantara kedua hukum positif diatas pun juga berbeda. Hukum Islam tujuannya adalah menghendaki manusia baik secara menyeleuruh yaitu tingkah lakunya baik di dalam masyarakat maupun secara pribadi. Sehingga faktor faktor individu, masyarakat maupun kemanusiaan diperhatikannya. Dengan demikian jika manusia pribadinya baik umumnya sikap dan tindakannya baik pula. Apabila semua anggota masyarakat berprilaku demikian, maka masyarakat akan aman tentram dan damai. Begitupula denga hal hal yang bersifat kebendaan atau materiil, yang mendapat perhatian di dalam hukum Islam tersebut.
Hukum Islam berbeda dengan hukum postif lainnya. Untuk mengetahui perbedaan itu dapat dilihat dari ciri-ciiri yang ada pada hukum Islam. Ciri-Ciri hukum Islam ialah:
  • Sumbernya adalah wahyu dari Tuhan (al-Qur’an), Sunnah Rasu! dan ljtihad.
  • Ketentuan ketentuan hukum Islam didasarkan pada akhlak dan agama.
  • Sanksi terhadap pelanggarannya adalah rangkap yaitu sanksi di dunia dan di akhirat.
  • Hukum islam bersifat collectivisme.

Perbedaan antara hukum Islam dengan hukum positif lainnya dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:
  • Dari segi dasar atau sumbemya ialah bahwa hukum Islam bersumber pada wahyu Tuhan, sedangkan hukum positif lainnya bersumber dari akal budi manusia karena hukum positif dibuat oleh manusia.
  • Dari segi sanksinya adalah bahwa hukum Islam ada dua sanksi yaitu sangsi di dunia dan sanksi di akhirat, sedangkan hukum positif lainnya sanksinya adalah di dunia saja.
  • Dari segi tujuannya ialah bahwa hukum Islam bertujuan agar masyarakat tentram baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan hukum Islam tidak hanya tebatas pada lapangan kebendaan saja, sedangkan hukum positif lainnya terbatas tujuannya pada lapangan materiil atau kebendaan saja.

Yang dimaksud hukum positif lainnya dalam konteks ini adalah hukum perdata, hukum pidana, hukum pajak dan lain sebagainya.

14. Hukum Adat
Hukum adat menurut pendapal beberapa sarjana hukum adalah sebagai berikut:
  • Menurut Snouck Hurgronye, hukum adat adalah adat yang mempunyai akibat hukum.
  • Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah aturan-aturan kelakuan yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi, dipihak lain tidak dikodifikasi.
  • Menurut B. Ter Hear BZN. hukum adat adalah peraturan yang menjelma pada keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa serta pengaruh yang dalam dan pelaksanaannya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati.
  • Menurut Prof. Mr. Dr. Soekanto, hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan, bersifat memaksa dan mempunyai sanksi, maka mempunyai akibat hukum.

Jika diperhatikan dari ke empat pengertian hukum adat yang diketengahkan oleh empat orang ahli hukum adat di atas dapat diketahui beberapa unsur yang terkandung di dalamnya:
  • Peraturan peraturan yang umumnya tidak dikitabkan dan tidak dikodifikasi.
  • Peraturan peraturan yang tertulis
  • Bersumber pada adat istiadat bangsa Indonesia
  • Berlaku bagi orang Indonesia asli dan orang timur asing
  • Berlaku secara spontan (serta-merta), memaksa, mempunyai akibat hukum jika dilanggar.

Dari unsur terakhir ini dapat dipahami bahwa adat itu secara riil selalu diindahkan dan secara psikologis diyakini oleh rakyat bahwa adat mempunyai kekuatan hukum.
Meskipun hukun adat bersumber dari adat istiadat bangsa Indonesia, tetapi tidak semua adat istiadat menjadi sumber hukum adat. Hanya adat istiadat yang mempunyai akibat hukum atau bersanksi saja yang menjadi hukum adat, sedangkan adat istiadat yang tidak mempunyai akibat hukum bukan merupakan hukum adat. Adat istiadat yang dimaksud terakhir misalnya tradisi bangsa Indonesia yang bersifat religius (selamatan, memuja pada roh nenek moyang, memuja benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan sebagainya),
Hukum adat tumbuh bcrkembang (tidak statis) dan meliputi bidang-bidang hukum tertentu yaitu: 1. Hukum tata negara adat, 2. Hukum kekeluargaan adat (hukum kekerabatan), 3. Hukum perkawinan adat, 4. Hukum perjanjian adat, 5.Hukum waris adat, 6. Hukum pidana adat, dan 7. Hukum tanah adat.


Thursday, March 5, 2020

FIQIH MUAMALAH


Pengertian fiqih muamalah
Fikih muamalah terdiri dari 2 kata yakni Fiqih dan muamalah
Fiqih” Berasal dari bahasa Arab yang diambil dari akar kata faqaha-yafqahu yang bermakna al-fahmu  (paham). Arti ini sesuai dengan arti fikih dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari muslim sebagai berikut:
من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
Artinya:
Barangsiapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi-Nya, niscaya diberikan kepadanya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.
Sedangkan secara istilah, fikih berarti:
العلم بأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفسيلية
Artinya: 
Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyyah yang digali atau diperoleh dari dalil-dalil yang tafshili (rinci).
Unsur-unsur yang perlu diingat
1. Ilmu
2. Hukum syara’
3. ‘Amaliyyah 
4. Digali/diperoleh
5. Dalil-dalil yang terperinci
Dengan kata lain, fiqih berarti kumpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia (mukallaf) yang digali dari dalil-dalil yang rinci.
Muamalah” berasal dari kata ‘amala-yu’amilu-mu’amalatan yang secara etimologi (bahasa) semakna dengan kata mufa’alatan  yakni saling berbuat, saling bertindak, saling mengamalkan atau berbuat secara timbal balik. Lebih sederhana lagi berarti “hubungan antara orang dengan orang yang lain”. (Amir Syarifuddin, 2003)  Kata ini menggambarkan adanya suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dengan seseorang atau beberapa orang untuk memenuhi kebutuhan masing-masing.
Secara terminologi, muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu oengertian muamalah dalam arti luas dan muamalah dalam arti sempit.
Muamalah dalam arti luas yaitu “menghasilkan duniawi supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhwrawi pengertian ini diutarakan oleh al-Dimyati dalam bukunya I’anah al-Thalibin.  Sedangkan menurut Yusuf Musa “muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.(Abdul Madjid, 1986)
Jadi, berdasarkan pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa muamalah dalam arti luas yaitu ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah untuk mengatur segala kegiatan manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi baik itu yang berhubungan dengan harta benda maupun yang berhubungan dengan  perkawinan, peradilan dan waris.
Muamalah dalam arti sempit,  Menurut Hudhari Byk yang dikutip oleh (Hendi Suhendi, 2005), “muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat”,  sedangkan Menurut Rasyid Ridha, “muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan”.  Adapun Ali Fikri memberikan definisi muamalah sebagai ilmu yang mengatur pertukaran harta benda, manfaat atau jasa antar sesama manusia dengan perantara akad dan perjanjian. 
Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami bahwa pengertian muamalah dalam arti sempit yaitu semua akad yang membolehkan manusia untuk saling tukar menukar harta benda atau yang bermanfaat dengan cara-cara dan aturan-aturan yang telah ditentukan Allah dan manusia wajib mentaati-Nya. Jadi, muamalah dalam arti sempit inilah yang menjadi pembahasan dalam mata kuliah ini. 
Olehkarenanya jika kata fiqih dan muamalah disatukan dalam sebuah pengertian maka dapat diartikan sebagai  ilmu tentang hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan tindakan manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan khususnya dalam bidang pertukaran harta benda (mal), misalnya dalam persoalan jual-beli, utang-piutang, kerja sama dagang, perserikatan, kerja sama dalam penggarapan tanah, sewa-menyewa dll”.
Tujuannya adalah dalam rangka menjaga kepentingan orang-orang mukallaf terhadap harta mereka, sehingga tidak dirugikan oleh tindakan orang lain dan dapat memanfaatkan harta miliknya itu untuk memenuhi kepentingan hidup mereka. (Dede Rosyada, 1993)
Adapun ciri utama fiqih muamalah adalah adanya kepentingan untuk memperoleh keuntungan (profit) dalam pelaksanaannya. Berbeda halnya dengan fiqh ibadah yang dilakukan semata-mata untuk meningkatkan ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah tanpa adanya tendensi untuk kepentingan material.
Pembagian fikih muamalah
  1. Al-Muamalah al-Adabiyah, yaitu muamalah yang mengkaji manusia sebagai subjek dalam kegiatan muamalah yang ditinjau dari segi tata cara tukar-menukar harta benda yang bersumber dari pancaindra manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban dalam ijab qabul, keridaan kedua belah pihak yang melangsungkan akad, jujur, hasud, dengki, dan dendam. Contoh: dalam jual-beli manusia sebagai subjek dalam hal ini tidak boleh berlaku curang, seperti mengurangi takaran, berdusta, menyembunyikan cacat barang yang hendak dijual, dll.
  2. Al-Muamalah al-Madiyah, yaitu muamalah yang mengkaji harta benda sebagai objeknya, sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah al-madiyah ialah muamalah bersifat kebendaan karena objek fikih muamalah adalah benda yang halal, haram, dan syubhat untuk diperjual-belikan, benda-benda yang memudaratkan, dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, serta segi-segi yang lainnya. Contoh: dalam jual beli manusia tidak diperbolehkan memperjualbelikan benda atau barang-barang yang diharamkan dalam sari’at agama Islam seperti khamar, sabu-sabu, daging babi, dll.

Oleh karena itu, dalam muamalah al-madiyah, jual beli bagi muslim bukan hanya sekadar memperoleh untung yang sebesar-besarnya, tetapi secara vertikal bertujuan untuk memperoleh rida Allah dan secara horizontal bertujuan untuk memperoleh keuntungan sehingga benda-benda yang diperjual-belikan akan senantiasa dirujukkan (dikembalikan) kepada aturan-aturan Allah. 

Ruang lingkup fiqih muamalah
Ruang lingkup fiqih muamalah terbagi menjadi dua, yakni: (Abdul Rahman Ghazaly, 2010)
  1. Al-Muamalah Al-Adabiyah. Hal-hal yang termasuk dalam Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta dalam hidup bermasyarakat.
  2. Al-Muamalah Al-Madiyah
  • Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah)
  • Gadai (rahn)
  • Jaminan dan tanggungan (kafalah dan dhaman)
  • Pemindahan utang (hiwalah)
  • Jatuh bangkit (taflis)
  • Batasan bertindak (al-hajru)
  • Perseroan atau perkongsian (al-syirkah)
  • Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
  • Sewa-menyewa (al-Ijarah)
  • Pemberian hak guna pakai (al-‘ariyah)
  • Penitipan barang (wadi’ah)
  • Barang temuan (al-luqathah) 
  • Garapan tanah (al-muzara’ah)
  • Sewa-menyewa tanah (al-mukhabarah)
  • Upah (ujrah al-‘aman) 
  • Gugatan (alsyuf’ah)
  • Sayembara (al-ji’alah)
  • Pembagian kekayaan bersama (al-qismah)
  • Pemberian (al-hibah)
  • Pembebasan (al-ibra‘)
  • Damai (al-shulhu) dan ditambah dengan beberapa masalah kontemporer (al-mu’ashirah/al-muhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi kredit, dan masalah-masalah baru lainnya.

Sumber hukum fiqih muamalah
Sumber hukum fiqih Muamalah yang pertama adalah al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang muamalah (bisnis syari’ah), seperti jual-beli, perniagaan, dan perdagangan. Di antaranya terdapat beberapa ayat berikut: (Mardani, 2011)

  • Jual Bell
  1. Perintah mencari nafkah (QS 2: 282, QS 17: 12),
  2. Perdagangan dI darat (QS 106: 2),
  3. Perdagangan d! laut (QS 2: 164, QS 16:14, QS 17; 17, QS 30: 46. QS 35: 12).
  4. Ridho sebagai syarat jual bell (QS 4: 29).
  • Rlba
  1. Hukum riba (QS2: 275, QS 2: 278, QS 3:130, QS 30: 39), 
  2. Sanksi riba (QS 2: 279).
  • Sewa Menyewa
  1. Menyewa buruh untuk suatu pekerjaan yang akan datang (QS 2: 280),
  2. Pembatasan masa sewa (QS 28: 27), 
  3. Kebolehan sewa menyewa (QS 18: 94, QS 28: 27).
  • Utang Piutang
  1. Memberi kelonggaran utnuk orang yang susah (QS 2: 280), 
  2. Pencatatan utang (QS 2: 282-283).

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang muamalah dan salah satunya yang dapat menjadi perwakilan dari keseluruhan ayat tersebut yakni:
له ما في السموات و ما في الأرض و ما بينهما و ما تحت الثرى  
Terjemahnya: 
Kepunyaan-Nya lah semua yang ada di bumi dan di langit, semua yang ada di antara keduanya, dan semua yang ada di bawah tanah, (QS. Taha: 6)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa manusia dalam kegiatan muamalah hanyalah bertindak sebagai wakil dari pemilik harta yang sesungguhnya. Di mana seorang wakil hanya boleh menggunakan harta tersebut sesuai dengan ketentuan dan keinginan yang diwakilkan yaitu Allah swt.
Imam Abu Hanifah selain dikenal sebagai ulama besar yang menjadi tokoh berdirinya mazhab Hanafi, selain beliau juga merupakan seorang pebisnis yang sukses. Sang imam pernah suatu kali mengumpulkan keuntungan bisnisnya Ialu kemudian diberikan kepada ulama-ulama ahli hadis yang sudah sepuh, kemudian beliau berkata, ”Jangan memuji kecuali kepada Allah swt. Sebab ini bukan hartaku melainkan karunia Allah yang kebetulan ada padaku. 
Maka, ketika seseorang meyakini bahwa semua harta yang ada padanya adalah milik Allah swt. dia akan sadar dan memposisikan dirinya sebagai wakil dan pemegang amanah yang berkewajiban untuk menggunakan harta yang dititipkan padanya sesuai dengan aturan yang Allah berikan sebagai pemilik harta yang sesungguhnya. (Muhammad Abdul Wahab, 2018) 
Sumber hukum Fiqih Muamalah yang kedua adalah Hadis. Hadis menurut istilah ahli hadis adalah apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Baik berupa ucapan, perbuatan, dan penetapan, sifat, atau sirah beliau, baik sebelum kenabian atau sesudahnya. (Syaikh Manna' Al-Qaththan, 2015)
Hadls merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran. Hadis meniadi sumber hukum, karena apa yang diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. Bukanlah atas kehendak diri pribadi Beliau atau berdasarkan  hawa nafsu-Nya melainkan wahyu yang diturunkan kepada-Nya. Hal ini didasarkan pada QS. Al-Najm/53: 3, sebagai berikut:
وما ينطق عن الهوى إن هو وحي يوحى      
Terjemahnya: 
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Banyak hadis yang menlelaskan tentang fikih muamalah, salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Anas ibn Malik, ra.  sebagai berikut:
لايؤمن أحدكم حتي يحب لأخيه ما يحب لنفسه
Artinya: 
Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian sehingga ia menyukai untuk saudaranya apa yang dia sukai untuk dirinya (H.R. Bukhari Muslim).
Dari hadis tersebut kita diajarkan untuk berperilaku baik kepada sesama manusia dalam muamalah sebagaimana kita ingin diperlakukan. Oleh karena itu dalam kegiatan muamalah Akhlak menjadi kunci kesuksesan di dunia dan di akhirat, karena tanpa akhlak manusia hanya akan membuka ruang persaingan yang tidak sehat untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Tidak peduli apakah muamalah itu dilakukan dengan cara yang halal atau tidak.

Sumber hukum yang ketiga dari Fiqih Muamalah adalah ljtihad. 
Ijtihad yaitu mengerahkan segala kemampuan secara maksimal, baik mengistinbathkan hukum syara' maupun dalam penerapannya. Untuk mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum muamalah aktual seiring dengan kemajuan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Ijtihad inilah yang memegang peranan panting dalam mengembangkan Fikih Islam, terutama bldang muamalah.
Secara konkretnya, sumber pokok hukum Islam adalah al-Quran dan Hadis, dan sumber sumber tambahan meliputi ljma’ (kesepakatan ulama), qiyas (analogi), istihsan (kebijaksnaan hukum), kemaslahatan, ‘urf (adat istiadat), Saddu al-Zari’ah (tindakan preventif), istishab (kelangsungan hukum), fatwa shahabat Nabi saw, syar’u man qoblana (hukurn agama terdahulu). (S. Anwar, 2007) Menurut Maielis Tarjlh Muhammadiyah, bahwa sumber hukum hanya dua yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Dikatakan sebagal sumber hukum, karena kedua hal ini berasal dari wahyu (yang maha benar), Sesuatu yang belum mutlak kebenarannya (seperti litihad) tidak dapat dikatakan sebagai sumber, tetapi hanya sebagai alat untuk memahami kedua sumber hukum tadi yaitu al-Qur’an dan Hadis. Terlepas pro dan kontra tentang masalah iitihad, apakah sebagai sumber hukum atau dasar hukum maupun alat, Maka yang penting bahwa ljtihad dapat diiadikan rujukan tambahan untuk menentukan hukum muamalah, ketika al-Qur’an dan Hadis belum mengatumya.

Prinsip-prinsip fiqih muamalah
Fikih muamalah mempunyai prinsip-prinsip yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
  1. Hukum asal segala bentuk muamalah adalah mubah. Prinsip hukum ini merupakan asas hukum Islam bidang muamalah. Hukum Islam memberikan kebebasan membuat bentuk atau jenis muamalah baru sesuai dengan kebutuhan. Asas ini menjelaskan bahwa asas segala sesuatu ltu boleh dllakukan sampai ada dalil yang melarangnya. 
  2. Muamalah dllakukan atas dasar suka-rela. Kebebasan berkehendak para pihak yang melakukan transaksi muamalah sangat diperhatikan dalam hukum Islam. Pelanggaran terhadap kebebasan kehendak ini berakibat tidak dapat dibenarkannya suatu bentuk atau jenis transaksi muamalah. (Ahmad Azhar Basyir, 1988) Berhubung kebebasan kehendak merupakan urusan batin seseorang, maka sebagai konkretisasinya dalam bentuk ijab dan qabul. Subtansi yang terkandung dari ijab qabul adalah perizinan (ridho, persetujuan), sedang wahana penandanya adalah iiab dan qabul
  3. Muamalah dllakukan atas dasar menarlk manfaat dan menolak mudharat. Prinsip mendatangkan maslahah dan menolak mudhorot merupakan ruh dan semangat hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan al-Hadis. Aklbat dari prinsip ini, maka segala bentuk muamalah yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat tidak dibenarkan oleh hukum Islam. Berdasar prinsip hukum ini, menjadikan sebuah teori hukum Islam, bahwa setiap transaksi (akad) muamalah jenis apapun (termasuk dalam pasar modal) harus bebas dari unsur-unsur rlba, Najazsy, lhtikar, dan gharar.(Burhanuddin S, 2002) 
  4. Muamalah dilakukan atas dasar menegakkan keadilan. Bentuk-bentuk muamalah yang mengandung unsur penindasan tidaklah dibenarkan dalam Islam. Misalnya dalam akad utang-piutang dengan tanggungan barang. Dimana niali utang jauh leblh kecil dari harga barang tanggungan. Dengan ketentuan jika dalam jangka waktu yang ditentukan utang tidak dapat dilunasi, maka barang tanggungan menjadi milik berpiutang. Prinsip hukum keadllan ini membawa sebuah teori dalam hukum Islam bahwa keadilan yang diwujudkan dalam setiap transaksi muamalah adalah keadilan yang berimbang, artinya keadilan yang dapat memelihara dua kehidupan yaitu hidup yang sementara (dunia) dan hidup yang abadi (akhirat).
--------------------------------
Referensi
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fikih, (Bogor: Kencana, 2003), h. 175.
Al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, (Semarang: Toha Putra, t.th), h. 2.
Abdul Majid, Pokok-Pokok Fikih Muamalah dan Hukum Kebendaan dalam Islam (Bandung: IAIN Sunan Gunung Jati, 1986), h. 1.
Hudhari Byk dalam Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 2.
Ali Fikri, al-Mu’amalah al-Maliyyah wa al-Adabiyyah, h. 7.
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), h. 71
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fikih Muamalah. (Jakarta: Kencana, 2010), h. 10-11.
Mardani, Ayat-Ayat dan Hadis Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011)
Muhammad Abdul Wahab, Pengantar Fikih Muamalah, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018), h. 14-15.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 22.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Akad dalam Fikih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007)
Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat, (Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1988)
Burhanuddin S, Fiqh Muamalah: Dasar-Dasar Transaksi dalam Ekonomi dan Bisnis, (Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2002)