BENTUK-BENTUK KONSTRUKSI HUKUM
“Kesulitan
juga timbul (dihadapi) apabila di satu pihak ada tuntutan menyelesaikan
suatu petitiwa hukum, sedangkan di pihak lain rumusan kaidah hukum
tidak jelas bahkan mungkin ada kekosongan hukum. Untuk memecahkan
persoalan-persoalan tersebut harus dikonstruksi atau yang lazim disebut
dengan "konstruksi hukum” [1] Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa konstruksi hukum
adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan oleh hakim untuk
menyelesaikan masalah hukum (kasus) konkret yang tidak terakomodasi oleh
peraturan perundang-undangan atau terdapat kekosongan hukum. oleh karena itu dibutuhkan sebuah konstruksi hukum untuk menyelesaikan perkara tersebut dengan beberapa bentuk konstruksi hukum sebagai berikut:
a.
Konstruksi Analogi (Argumentum per Analogiam)
Analogi adalah proses
konstruksi yang dilakukan dengan cara mencari rasio legis (genus) dari
suatu undang-undang dan kemudian menerapkannya kepada hal-hal lain yang
sebenarmya tidak diatur dalam undang-undang itu. Penerapan analogi hanya
dapat dilakukan dalam perkara perdata. Dalam hukum pidana tidak berlaku
analogi sebab bisa menimbulkan delik baru, dan bertentangan dengan asas
'nullum crimen sine lege”. Analogi merupakan metode penemuan hukum di
mana hakim mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum
atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-undang maupun
yang belum ada peraturannya. [2]
b. Konstruksi Pengahalusan Hukum
(Rechtsverfijning)
Penghalusan hukum dilakukan apabila penerapan hukum
tertulis sebagaimana adanya akan mengakibatkan ketidakadilan, sehingga
ketentuan hukum tetulis itu sebaiknya tidak diterapklan atau diterapkan
secara lain apabila hendak dicapai keadilan.
c. Argumentum a Contrario
Argumentum
a Contrario adalah memberlakukan peraturan perundang-undangan yang ada
seperti kegiatan analogi, yaitu penerapan suatu peraturan yang
sebenarnya tidak dimaksudkan untuk penyelesaian perkara itu. Ada
perbedaan dalam penerapan antara argumentum per anagium dengan
argumentum a contrario. Dengan metode argumentum a contrario hakim
mengambil kesimpulan negatif, artinya ia menerapkan aturan dalam perkara
yang dihadapinya.
Sudarsono dalam kamus hukum memasukkan penemuan
hukum dengan metode a contrario ini ke dalam kelompok penafsiran hukum,
dengan menyatakan, bahwa penafsiran a contrario (menurut peringkaran),
ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada
perlawanan pengertian antara persoalan yang dihadapi dan persoalan yang
diatur dalam suatu pasal undang-undang. Berdasarkan perlawanan
pengertian itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak
diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain berada di luar
pasal tersebut.[3]
Catatan kaki
1 Bagir Manan,
Penafsiran dan Konstruksi Hukum terhadap Undung-Undang dalam Lingkungan
Badan Peradilan di Francis, dalam Varia Paadilan Tahun XXX. No. 355 Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2015, hlm. 30.
2 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta; Sinar Grafika, 2010), hlm. 75.
3 Sudarsono, Kamus Hukum, Edisi Baru (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 347
0 komentar:
Post a Comment