Thursday, July 11, 2019

WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN


1. Ketentuan Umum
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang artinya prestasi buruk, yang menurut kamus hukum wanprestasi berarti kelalaian, kealpaan, cedera janji, dan tidak menepati janji dalam perjanjiem. [1} Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan atau kelalaian. Menurut J. Satrio, wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya.
Menurut Yahya Harahap, wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.
Pada prinsipnya, wanprestasi berarti tidak melakukan apa-apa yang menjadi unsur prestasi, konkretnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
  • Berbuat sesuatu; 
  • Tidak berbuat sesuatu; dan 
  • Menyerahkan sesuatu. 
2. Bentuk-bentuk Wanprestasi 
Terdapat beberapa bentuk wanprestasi, secara umum dikenal empat bentuk wanprestasi yang sering terjadi, sebagai berikut: 
  • Tidak melaksanakan prestasi sama sekali; 
  • Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu atau terlambat dari yang diperjanjikan sebelumnya;
  • Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan 
  • Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. 
3. Tata Cara Menyatakan Debitur Wanprestasi 
Mekanisme dalam menyatakan debitur wanprestasi mesti melalui bebarapa tahapan. Setidaknya terdapat dua bentuk tahapan yang harus dilakukan, sebagai berikut:
  • Sommatie, yaitu peringatan tertulis yang diberikan oleh kreditur kepada debitur secara resmi melalui pengadilan. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal 1243 KUH Perdata; dan 
  • Ingebreke Stelling, yaitu peringatan kreditur kepada debitur secara tersendiri dan tidak melalui pengadilan. [2]
Adapun substansi dari peringatan yang diberikan oleh kreditur kepada debitur harus memenuhi hal-hal, sebagai berikut:
  • Teguran kreditur supaya debitur segera melaksanakan prestasi; 
  • Dasar teguran; dan 
  • Tanggal paling lambat untuk memenuhi prestasi (misalnya tanggal l Februari 2017). 
Kemudian somasi minimal telah dilakukan sebanyak dua kali oleh kreditur atau juru sita dengan dilandasi dengan iktikad baik. Adapun jeda Waktu antara somasi pertama dan somasi kedua adalah satu minggu hari kerja. Namun dalam praktiknya ditemukan di kalangan perbankan, entah karena dilandaskan iktikad baik atau berdasarkan kebiasaan memberikan somasi (3) tiga kali. [3] Apabila somasi tersebut tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan, selanjutnya pengadilan yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.
Berkaitan terhadap gugatan wanprestasi di bidang akad ekonomi syariah, maka hakim tidak boleh membatalkan akad syariah yang sudah dibuat oleh para pihak, yang apabila menurut penilaian hakirn tidak sesuai dengan prinsip syariah, apabila dalam hal tersebut tidak ada gugatan pembatalan akad dari para pihak. Jika terjadi wanprestasi meskipun belum jatuh tempo pelunasan pembayaran, maka terhadap hak tanggungan atas akad tersebut dapat dieksekusi yang tentunya setelah diberi peringatan (somasi) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. [4]
4. Akibat Hukum bagi Debitur yang Wanprestasi
Terdapat berbagai akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi, akibat hukum ataupun sanksi tersebut dapat berupa:
  • a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur, yaitu berupa pembayaran ganti rugi;
  • b. Pembatalan perjanjian;
  • c. Peralihan risiko, di mana benda yang dijanjikan berupa objek perjanjian, sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur; dan
  • d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim melalui pengadilan.
Di samping debitur harus menanggung akibat hukum dan sanksi yang diberikan sebagaimana tersebut, maka berdasarkan Pasal 1276 KUH Perdata terdapat lima opsi yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi, sebagai berikut:
  • Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
  • Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi: 
  • Membayar ganti rugi;
  • Membatalkan perjanjian; dan 
  • Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.
Berkaitan dengan ganti rugi yang dapat dituntut, dalam hal ini kreditur dapat melakukan tindakan berdasarkan Pasal 1243 KUH Perdata yang menegaskan bahwa debitur wajib membayar ganti rugi, setelah dinyatakan lalai namun ia tetap tidak memenuhi prestasi itu. Selanjutnya, dapat dipahami maksud Pasal 1244 s.d. 1246 yang menyatakan bahwa ganti rugi terdiri dari biaya, rugi, dan bunga.
Maksud biaya dalam ketentuan hukum adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh suatu pihak, sedangkan maksud dari rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Adapun maksud bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan atau dihitung oleh kreditur.
Selain yang telah dijelaskan tersebut, terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan ganti rugi dalam wanprestasi, sebagai berikut:
  • Ganti rugi harus mempunyai hubungan langsung (hubungan kausal) dengan ingkar janji (Pasal 1248 KUH Perdata) dan kerugian dapat diduga atau sepatutnya diduga pada saat waktu perikatan dibuat;
  • Ada kemungkinan bahwa ingkar janji (wanprestasi) itu terjadi bukan hanya karena kesalahan debitur (lalai atau kesengajaan), tetapi juga terjadi karena keadaan memaksa;
  • Kesengajaan adalah perbuatan yang diketahui dan dikehendaki; dan
  • Kelalaian adalah perbuatan yang mana si pembuatnya mengetahui akan kemungkinan terjadinya akibat yang merugikan orang Iain.
5. Pembelaan Debitur yang Dituntut Membayar Ganti Rugi
Terhadap debitur yang dituntut membayar ganti rugi tidak serta-merta bersifat absolut. Akan tetapi, dalam hal ini debitur dapat melakukan pembelaan. Adapun langkah-langkah dari pembelaan tersebut dapat dilakukan, sebagai berikut:
  • Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa, misalnya karena barang yang diperjanjikan musnah atau hilang, atau terjadi kerusuhan, atau bencana alam, dan lain lain;
  • Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (Execptio Non Adimreti Contractus), misalnya si pembeli menuduh penjual terlambat menyerahkan barangnya, tetapi ia sendiri tidak menepati janjinya untuk menyerahkan uang muka; dan 
  • Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (Rehtsverwerking). Misalnya si pembeli menerima barang yang tidak memuaskan kualitasnya, namun pembeli tidak menegur si penjual atau tidak mengembalikan barangnya.
 Catatan kaki
1 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 578. 
2 Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan, Pustaka Setia, Bandung. 2011. hlm. 111.
3 Hery Shietra, Praktik Hukum Jaminan Kebendaan. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2016, hlm. 115.
4 Surat Edaran MA Rl Nomor 4 Tahun 2016 hlm. 9.


0 komentar:

Post a Comment