Wednesday, July 10, 2019

MACAM-MACAM PENAFSIRAN HUKUM


Hakim dalam melakukan penafsiran hukum diwajibkan memahami maksud dan kehendak pembuat undang-undang, sehingga tidak menyimpang dari maksud yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang tersebut. Penafsiran hukum / interpretasi hukum terjadi, apabila terdapat ketentuan undang-undang yang secara langsung tidak dapat ditetapkan pada kasus konkret yang dihadapi ....[1] oleh karena itu dibutuhkan penafsiran hukum untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan berbagai macam penafsiran hukum.
Adapun macam-macam, jenis dan bentuk penafsirah hukum (interpretasi hukum) berserta contohnya yakni sebagai berikut:    
a. Penafsiran Gramatikal (Taatkundige Interpretatie)
Istilah yang terdapat dalam perundangan-undangan sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku, karena itu hakim harus memahami suatu teks dalam peraturan perundang-undangan, dengan merujuk makna teks kepada makna yang telah dibakukan dalam kaidah bahasa. “Dalam hal ini yang dijadikan sebagai pedoman adalah arti perkataan, kalimat menurut tata bahasa atau kebiasaan.[2] Contoh: Kata menggelapkan artinya menghilangkan. Meninggalkan artinya menelantarkan. Dalam implementasi dapat dipakai salah satu arti dari arti tersebut.
b. Penafsiran Sejarah (Historische Interpetatie)
Hukum ditafsirkan dengan merujuk kepada catatan proses pembentukan suatu peraturan perundang-undangan tersebut. Hakim dapat memahami maksud dan tujuan pembuat undang-undang tadi melalui sejarah, riwayat peraturan perundang-undangan tersebut. [3]
c. Penafsiran Sistematis (Sistematische Interpetatie)
Penafsiran suatu peraturan dengan menghubungkan dengan peraturan lain dengan keseluruhan sistem hukum. Misalnya pengertian “Dewasa” dalam KUHP tidak ditemukan tetapi ditemukan dalam KUHPerdata, maka bisa ditafsirkan dengan ketentuan yang terdapat dalam hukum perdata. “Interpretasi sistematis adalah metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari seluruh sistem perundang-undangan. Artinya tidak satu pun dari peraturan perundang-undangan tersebut, ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya.” [4]
d. Penafsiran Sosiologis (Teleologis Interpetatie)
Aturan hukum ditafsirkan dengan hal-hal yang konkret yang ditemui dalam masyarakat. Pada dasarnya penafsiran teleologis/sosiologis ini adalah penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. HaI ini penting karena kebutuhan-kebutuhan masyarakat berubah menurut masa dan tempat, sedangkan bunyi undang-undang kaku dan tidak berubah menurut masa sedangkan bunyi undang-undang sama saja ‘tetap tidak berubah’. [5] Peraturan perundang-undangan itu disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.[6]

BACA JUGA Bentuk-Bentuk Konstruksi Hukum
e. Penafsiran Autentik
Penafsiran ini adalah penafsiran terhadap teks peraturan perundang-undangan dengan makna yang telah ditetapkan oleh pembuat undang-undang. Sudarsono menyebut penafsiran ini dengan penafsiran sahih (autentik, resmi) yaitu penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana diberikan oleh pembentuk undang-undang.[7]
f. Penafsiran Futuristik
Penafsiran futuristik merupakan penemuan hukum yang bersifat antisipasi, yang menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitum) yang berpedoman kepada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constuendum). Seperti rancangan suatu undang-undang (RUU) yang masih dalam pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin RUU itu akan diundangkan (dugaan politis).[8]
g. Penafsiran Restriktif
Penafsiran dengan pembatasan cakupan. Contoh: Kata tetangga, dibatasi sebagai orang yang memiliki rumah, dan anak kos tidak disebut tetangga karena anak kos hanya sebagai penyewa, bukan pemilik rumah. Contoh lain, “Kerugian, tidak termasuk kerugian yang tak berwujud seperti sakit, cacat, dan sebagainya”.[9]
h. Penafsiran Ekstensif
Penafsiran dengan perluasan cakupan suatu ketentuan. Misalnya: tetangga diartikan sebagai orang yang memilih rumah dan yang menempati rumah, maka anak kos pun dianggap sebagai tetangga, karena anak kos tidak pemilik rumah, hanya menempati saja. Perluasan arti kata-kata tersebut di dalam penafsiran ekstensif ini terkait erat dengan Pasal 326 KUHPidana, yaitu: Barang siapa mengambil sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.[10]
Baca Juga Asas-asas Hukum Putusan Hakim
i. Penafsiran Interdisipliner
Metode interpretasi interdisipliner dilakukan oleh hakim apabila dia melakukan analisis terhadap kasus yang ternyata menyangkut berbagai disiplin kekhususan dalam lingkup ilmu hukum, seperti hukum pidana, hukum administrasi, hukum internasional. [11]
Penafsiran dengan menggunakan berbagai sudut pandang hukum. Artinya suatu peristiwa hukum ditinjau dari berbagai pandangan hukum. Contoh: AQJ dalam kasus kecelakaan di tol Jagorawi yang mengakibatkan tujuh orang meninggal dunia. Peristiwa itu termasuk peristiwa pidana, tetapi AQJ masih di bawah umur, maka dia dikenakan UU Perlindungan Anak. Sementara Ahmad Dani orang tua AQJ membiarkan anaknya mengemudikan mobil tanpa SIM. Dilihat dari KUHP dengan membiarkan tersebut termasuk keikutsertaan.
j. Penafsiran Multidisipliner
Penafsiran dengan mempergunakan ilmu-ilmu lain di luar ilmu hukum, seperti penafsiran dengan ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, ilmu psikologi, dan sebagainya. Contoh: Kasus Aborsi harus melibatkan ilmu kedokteran. Dalam metode interpretasi multidisipliner, selain menangani dan berusaha membuat terang suatu kasus yang dihadapinya, seorang hakim harus mempelajari dan mempertimbangkan berbagai masukan dari disiplin ilmu lain di luar ilmu hukum. [12]

Catatan kaki
1 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 59.
2 Sudarsono, Kamus Hukum, Edisi Baru (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 347.
3 Ibid‘. hlm. 348.
4 Ahmad Rifai, Ibid., hlm. 66-67.
5 Lac. Cit.
6 H Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum (Jakarta: Badam Penerbit Iblam, 2006), hlm. 123.
7 Sudarsono, Ibid., hlm. 347.
8 Ahmad Rifai, Ibid., hlm. 70.
9 Sudarsono, Ibid., hlm. 348. 
10 Ibid, hlm. 347-348
11 Ahmad Rifai, Ibid., hlm. 72
12 Loc. Cit.

2 comments: