MACAM-MACAM PENAFSIRAN HUKUM
Hakim dalam melakukan penafsiran hukum
diwajibkan memahami maksud dan kehendak pembuat undang-undang, sehingga
tidak menyimpang dari maksud yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang
tersebut. Penafsiran hukum / interpretasi hukum terjadi, apabila terdapat
ketentuan undang-undang yang secara langsung tidak dapat ditetapkan pada
kasus konkret yang dihadapi ....[1] oleh karena itu dibutuhkan penafsiran hukum untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan berbagai macam penafsiran hukum.
Adapun macam-macam, jenis dan bentuk penafsirah hukum (interpretasi hukum) berserta contohnya yakni sebagai berikut:
Adapun macam-macam, jenis dan bentuk penafsirah hukum (interpretasi hukum) berserta contohnya yakni sebagai berikut:
a. Penafsiran Gramatikal (Taatkundige Interpretatie)
Istilah
yang terdapat dalam perundangan-undangan sesuai dengan kaidah bahasa
yang berlaku, karena itu hakim harus memahami suatu teks dalam peraturan
perundang-undangan, dengan merujuk makna teks kepada makna yang telah
dibakukan dalam kaidah bahasa. “Dalam hal ini yang dijadikan sebagai
pedoman adalah arti perkataan, kalimat menurut tata bahasa atau
kebiasaan.[2] Contoh: Kata menggelapkan artinya menghilangkan. Meninggalkan artinya menelantarkan. Dalam implementasi dapat dipakai salah satu arti dari arti tersebut.
b. Penafsiran Sejarah (Historische Interpetatie)
Hukum
ditafsirkan dengan merujuk kepada catatan proses pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan tersebut. Hakim dapat memahami maksud dan
tujuan pembuat undang-undang tadi melalui sejarah, riwayat peraturan
perundang-undangan tersebut. [3]
c. Penafsiran Sistematis (Sistematische Interpetatie)
Penafsiran
suatu peraturan dengan menghubungkan dengan peraturan lain dengan
keseluruhan sistem hukum. Misalnya pengertian “Dewasa” dalam KUHP tidak
ditemukan tetapi ditemukan dalam KUHPerdata, maka bisa ditafsirkan
dengan ketentuan yang terdapat dalam hukum perdata. “Interpretasi
sistematis adalah metode yang menafsirkan undang-undang sebagai bagian
dari seluruh sistem perundang-undangan. Artinya tidak satu pun dari
peraturan perundang-undangan tersebut, ditafsirkan seakan-akan berdiri
sendiri, tetapi harus dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan
yang lainnya.” [4]
d. Penafsiran Sosiologis (Teleologis Interpetatie)
Aturan
hukum ditafsirkan dengan hal-hal yang konkret yang ditemui dalam
masyarakat. Pada dasarnya penafsiran teleologis/sosiologis ini adalah
penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. HaI ini
penting karena kebutuhan-kebutuhan masyarakat berubah menurut masa dan
tempat, sedangkan bunyi undang-undang kaku dan tidak berubah menurut
masa sedangkan bunyi undang-undang sama saja ‘tetap tidak berubah’. [5]
Peraturan perundang-undangan itu disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.[6]
BACA JUGA Bentuk-Bentuk Konstruksi Hukum
BACA JUGA Bentuk-Bentuk Konstruksi Hukum
e. Penafsiran Autentik
Penafsiran
ini adalah penafsiran terhadap teks peraturan perundang-undangan dengan
makna yang telah ditetapkan oleh pembuat undang-undang. Sudarsono
menyebut penafsiran ini dengan penafsiran sahih (autentik, resmi) yaitu
penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana diberikan
oleh pembentuk undang-undang.[7]
f. Penafsiran Futuristik
Penafsiran
futuristik merupakan penemuan hukum yang bersifat antisipasi, yang
menjelaskan undang-undang yang berlaku sekarang (ius constitum) yang
berpedoman kepada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius
constuendum). Seperti rancangan suatu undang-undang (RUU) yang masih
dalam pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin RUU itu akan diundangkan
(dugaan politis).[8]
g. Penafsiran Restriktif
Penafsiran
dengan pembatasan cakupan. Contoh: Kata tetangga, dibatasi sebagai orang
yang memiliki rumah, dan anak kos tidak disebut tetangga karena anak
kos hanya sebagai penyewa, bukan pemilik rumah. Contoh lain, “Kerugian,
tidak termasuk kerugian yang tak berwujud seperti sakit, cacat, dan
sebagainya”.[9]
h. Penafsiran Ekstensif
Penafsiran dengan
perluasan cakupan suatu ketentuan. Misalnya: tetangga diartikan sebagai
orang yang memilih rumah dan yang menempati rumah, maka anak kos pun
dianggap sebagai tetangga, karena anak kos tidak pemilik rumah, hanya
menempati saja. Perluasan arti kata-kata tersebut di dalam penafsiran ekstensif ini terkait erat dengan Pasal 326
KUHPidana, yaitu: Barang siapa mengambil sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.[10]
Baca Juga Asas-asas Hukum Putusan Hakim
Baca Juga Asas-asas Hukum Putusan Hakim
i. Penafsiran Interdisipliner
Metode interpretasi
interdisipliner dilakukan oleh hakim apabila dia melakukan analisis
terhadap kasus yang ternyata menyangkut berbagai disiplin kekhususan
dalam lingkup ilmu hukum, seperti hukum pidana, hukum administrasi,
hukum internasional. [11]
Penafsiran dengan menggunakan berbagai
sudut pandang hukum. Artinya suatu peristiwa hukum ditinjau dari
berbagai pandangan hukum. Contoh: AQJ dalam kasus kecelakaan di tol
Jagorawi yang mengakibatkan tujuh orang meninggal dunia. Peristiwa itu
termasuk peristiwa pidana, tetapi AQJ masih di bawah umur, maka dia
dikenakan UU Perlindungan Anak. Sementara Ahmad Dani orang tua AQJ
membiarkan anaknya mengemudikan mobil tanpa SIM. Dilihat dari KUHP
dengan membiarkan tersebut termasuk keikutsertaan.
j. Penafsiran Multidisipliner
Penafsiran
dengan mempergunakan ilmu-ilmu lain di luar ilmu hukum, seperti
penafsiran dengan ilmu kedokteran, ilmu ekonomi, ilmu psikologi, dan
sebagainya. Contoh: Kasus Aborsi harus melibatkan ilmu kedokteran. Dalam
metode interpretasi multidisipliner, selain menangani dan berusaha
membuat terang suatu kasus yang dihadapinya, seorang hakim harus
mempelajari dan mempertimbangkan berbagai masukan dari disiplin ilmu
lain di luar ilmu hukum. [12]
Catatan kaki
1 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 59.
2 Sudarsono, Kamus Hukum, Edisi Baru (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 347.
3 Ibid‘. hlm. 348.
4 Ahmad Rifai, Ibid., hlm. 66-67.
5 Lac. Cit.
6 H Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum (Jakarta: Badam Penerbit Iblam, 2006), hlm. 123.
7 Sudarsono, Ibid., hlm. 347.
8 Ahmad Rifai, Ibid., hlm. 70.
9 Sudarsono, Ibid., hlm. 348.
10 Ibid, hlm. 347-348
11 Ahmad Rifai, Ibid., hlm. 72
12 Loc. Cit.
Makasih ilmunya
ReplyDeletehay
ReplyDelete