Thursday, July 18, 2019

KUMULASI GUGATAN PERDATA


Pada dasarnya HIR/RBg tidak mengatur tentang penggabungan (kumulasi, samenvoging van verordering, objective cumulatie, atau samenloop rechts-verordering: consursus). Namun demikian, di dalam praktik, kumulasi (penggabungan) diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana dapat dipahami menurut ketentuan Pasal 393 HIR, yang menegaskan bahwa apabila dirasakan perlu dalam perkara perdata untuk mengisi kekosongan hukum, dapat digunakan lembaga yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsverodering (Rv).
Di dalam Rv, mengenai tersebut tidak secara tegas diatur dan juga tidak dilarang. Kumulasi diatur dalam Pasal 102-105 Rv. Namun, secaraa contrario, dapat disimpulkan bahwa membolehkan penggabungan gugatan. Yang dilarang kumulasi menurut Pasal 103 Rv hanya terbatas pada penggabungan atau tuntutan hak menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik.
Dalam praktik acara perdata, kumulasi gugatan tidak dilarang; kumulasi gugatan dibolehkan apabila menguntungkan proses, yaitu apabila antara gugatan yang digabung itu ada hubungan koneksitas dan penggabungan gugatan akan memudahkan pemeriksaan serta dengan penggabungan gugatan akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan (Soeparmono, 2005: 2106)
Secara teknis, menurut Yahaya Harahap (2007: 102), penggabungan gugatan mengandung arti penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan. Menurut Soepomo, penggabungan disebut juga kumulasi atau samenvoegeing van vordering, yakni penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan. Dengan demikian, kumulasi (penggabungan) merupakan penggabugan dari beberapa gugatan yang digabung menjadi satu gugatan. Jadi, yang sebelumnya gugatan itu terdiri dan/atau dapat dibuat dalam beberapa gugatan, maka setelah dilakukan penggabungan menjadi satu gugatan.
Kumulasi gugatan itu diperbolehkan apabila ada hubungan yang erat dan mendasar di antara gugatan-gugatan yang digabung. Pembenaran penerapan kumulasi itu disayaratkan sebagai berikut.
  1. Gugatan yang digabung adalah sejenis.
  2. Yang dituntut oleh para Penggugat sama.
  3. Terdapat hubungan yang sama antara Penggugat dan Tergugat.
  4. Penggabungan gugatan akan mempermudah pembuktian.
  5. Penggabungan tidak bertentangan dengan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan murah.
Pada prinsipnya, setiap gugatan berdiri sendiri, tetapi dalam hal-hal dan dalam batas-batas tertentu diperbolehkan melakukan kumulasi dalam satu gugatan dengan ketentuan asalkan terdapat hubungan yang erat dan mendasar sifatnya atau ada koneksitas (innerlijke samenhangen). Hubungan yang erat tersebut harus dapat dibuktikan dengan fakta-fakta, misalnya beberapa orang debitur berutang, kemudian digugat oleh satu orang kreditur, di mana peristiwa itu mencerminkan adanya hubungan yang erat dan mendasar antara dua gugatan yang bersifat kenyataan (Lilik Mulyadi, 1999: 86)
Kumulasi gugatan adalah penggabungan beberapa tuntutan hak/gugatan ke dalam satu gugatan atau penggabungan beberapa gugatan yang digabung menjadi satu yang mempunyai hubungan yang erat (koneksitas) yang berdasarkan fakta.
Unsur-unsur penggabungan gugatan adalah berikut ini
  1. Beberapa gugatan digabung menjadi satu. 
  2. Gugatan-gugatan yang digabung itu terdapat hubungan yang erat atau ada koneksitas.
  3. Hubungan yang erat itu harus dibuktikan berdasarkan fakta.
Dibenarkannya kumulasi gugatan didasarkan pada pemikiran untuk menghindarkan terjadi kemungkinan adanya keputusan yang berlawanan atau bertentangan terhadap perkara yang sama-sama diperiksa oleh hakim yang sama dan benar-benar memberikan kemudahan atau menyederhanakan proses pemeriksaan.
Berdasarkan alasan tersebut, syarat pokok kumulasi adalah berikut ini.
  1. Terdapat hubungan yang erat, artinya antara gugatangugatan yang digabung itu harus ada hubungan batin (innerlijke samenhang).
  2. Terdapat hubungan hukum antara penggugat atau antara tergugat; kalau tidak ada hubungan hukum, gugatan wajib diajukan secara terpisah.
  3. penggabungan itu memudahkan atau menguntungkan proses.
  4. Dalam teori dan praktik hukum acara perdata dikenal dua bentuk penggabungan (kumulasi). 
  • Kumulasi Subjektif (Subjective Cumulatie) 
    Kumulasi subjektif adalah beberapa subjek hukum yang menjadi satu dalam gugatan atau dengan kata lain, dalam satu gugatan terdapat berapa orang tergugat. 
    Kumulasi subjektif terdapat beberapa bentuk. 
    • Kumulasi subjektif penggugat, yaitu beberapa orang penggugat berhadapan dengan satu orang tergugat. Misalnya, beberapa orang penggugat (A, B, C) mengajukan gugatan terhadap seorang tergugat (D) yang melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).   
    • Kumulasi subjektif tergugat, yaitu seorang penggugat berhadapan dengan beberapa orang. Misalnya, seorang kreditur (A) menggugat beberapa orang debitur (B, C, D, E, F) yang berutang secara tanggung-renteng.  
    • Kumulasi subektif penggugat dan tergugat, yaitu penggugat yang terdiri atas beberapa orang berhadapan dengan berberapa orang Tergugat. Misalnya, beberapa orang ahli waris (A, B, C) berhadapan dengan ahli waris yang, lain (D, E, F). 
  • Kumulasi Objektif (Objective Cumulatie) Kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan, atau seorang Penggugat mengajukan beberapa gugatan yang melawan seorang tergugat. Syarat materiil kumulasi objektif adalah terdapat hubungan yang erat antara gugatan yang satu dengan gugatan yang lain. Kumulasi objektif tidak diatur dalam undang-undang, tetapi diperkenankan karena dapat memudahkan proses dan menghindarkan keputusan yang saling bertentangan.
Menurut Soeparmono (2005: 107), penggabungan merupakan suatu masalah yang berkaitan dengan ketertiban umum, dalam hal ini ketertiban beracara. Hakim kasasi juga berwenang menilai penggabungan gugatan-gugatan kalau nampak jelas adanya pelanggaran terhadap ketertiban umum/ketertiban beracara tersebut. Pada asasnya kumulasi gugatan telah dianggap sebagai penilaian mengenai fakta, tetapi apabila terjadi pelanggaran terhadap ketertiban umum/ketertiban beracara dengan adanya kumulasi gugatan-gugatan, hal ini dapat dipandang sebagai kesalahan menerapkan hukum yang ditentukan secara kasus demi kasus.
Undang-undang tidak melarang penggugat mengajukan kumulasi gugatan terhadap beberapa orang tergugat sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 127 HIR/151 RBg; Pasal 1283 dan 1284 KUHP dt; Pasal 18 KUHD. Yang harus diperhatikan adalah bahwa untuk mengadakan kumulasi subjektif disyaratkan harus ada hubungan yang erat satu sama lain (koneksitas). Putusan MA No. 415 K/Sip/1975, 20 Iuni 1975, telah menyatakan bahwa gugatan yang ditujukan kepada lebih dari seorang tergugat, yang antara tergugat-tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya, tidak dapat diadakan dalam satu gugatan, tetapi masing-masing tergugat harus digugat sendiri atau terpisah satu dengan yang lain.
Kumulasi objektif tidak ada pengaturannya dalam undang-undang, tetapi ada diperkenankan dengan alasan bahwa kumulasi itu dapat memudahkan proses dan dapat menghindarkan keputusan yang saling bertentangan.
Terhadap kumulasi objektif tidak disyaratkan sebagaimana pada kumulasi subjektif bahwa gugatan itu harus ada hubungan yang erat satu sama lain. Namun dalam hal tertentu, kumulasi objektif tidak dapat diperkenankan untuk hal berikut ini.
  1. Penggabungan antara gugatan yang diperiksa dengan acara khusus, misalnya perceraian, dan gugatan lain yang harus diperiksa dengan acara biasa misalnya mengenai pelaksanaan perjanjian.
  2. Penggabungan dua atau lebih tuntutan, di mana salah satu di antaranya hakim tidak berwenang secara relatif untuk memeriksanya.
  3. Penggabungan antara tuntutan mengenai bezit dan tuntutan mengenai eigendom (Riduan Syahrani, 2007: 37).
Kumulasi gugatan cerai dengan pembagian harta bersama atau harta gono gini. Di sini ada gugatan, yaitu gugatan cerai dan gugatan pembagian harta bersama. Kedua gugatan tersebut berbeda dan masing-masing berdiri sendiri. Gugatan perceraian berada di depan dan pembagian harta bersama berada di belakang. Gugatan harta bersama dapat muncul setelah gugatan perceraian memperoleh putusan yang berkekuatan tetap. Namun demikian, penggabungan terhadap kedua gugatan menjadi satu gugatan diperbolehkan berdasarkan Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang menentukan bahwa gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau pun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Untuk dapat melakukan kumulasi, dapat mempedomani ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 102-105 Rv, tetapi di dalam praktik terdapat kumulasi yang tidak dibenarkan, yaitu berikut ini.
  1. Pemilik objek gugatan berbeda. Gugatan kumulasi yang dilakukan terhadap beberapa objek, yang masing-masing objek gugatan dimiliki oleh pernilik yang berbeda atau berlainan, tidak dapat dilakukan kumulasi, baik secara objektif maupun subjektif.
  2. Gugatan yang digabung tunduk pada hukum acara yang berbeda. Kumulasi gugatan yang tunduk pada hukum acara yang berbeda tidak dibenarkan meskipun terdapat hubungan yang erat. Prinsip kumulasi gugatan adalah bahwa perkara yang dapat digabung tunduk pada hukum acara yang sama. Pasal 57 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan bahwa gugatan pembatalan merek menjadi yuridiksi absolut pengadilan niaga, sedangkan sengketa perbuatan melawan hukum menjadi kewenangan PN.
  3. Gugatan tunduk pada kompetensi absolut yang berbeda. Gugatan yang diajukan harus tunduk kepada kewenangan absolut dan karena itu kumulasi tidak dapat dibenarkan. Misalnya, gugatan perdata TUN dengan gugatan perdata sengketa hak milik atau perbuatan melawan hukum. Menurut Pasal 2 Jo. Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 1986 tentang TUN, gugatan perdata TUN secara absolut menjadi kewenangan TUN, sedangkan sengketa hak milik dan perbuatan melawan hukum menjadi kewenangan absolut PN. Sehubungan dengan pembagian fungsi dan kewenangan absolut tersebut, tidak dibenarkan melakukan gugatan yang berbeda yuridiksi untuk mengadilinya. 
  4. Gugatan rekonvensi tidak ada hubungan dengan gugatan konvensi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 132 a ayat (1) HIR, tergugat berhak mengajukan gugatan rekonvensi, sehingga terjadi penggabungan antara konvensi dan rekonvensi. Namun, tetap berpatokan pada syarat bahwa terdapat hubungan yang erat antara keduanya (Yahya Harahap, 2007: 108-109).

0 komentar:

Post a Comment