Showing posts with label HUKUM PERDATA. Show all posts
Showing posts with label HUKUM PERDATA. Show all posts

Sunday, June 28, 2020

MACAM-MACAM TEORI TUJUAN HUKUM



A.    TEORI ETIS

Dalam bukunya yang berjudul Rhetorica dan Ethica Nicomachea, filosof Aristoteles memperkenalkan teori etis. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah ius suum cuique tribuere yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya.[1] Atau slogan lengkapnya berbunyi, "Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere".[2] Dari slogan tersebut dapat dipahami bahwa apa yang menjadi bagian atau hak seseorang itu tidaklah selalu sama. Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa keadilan itu tidak selamanya diartikan dengan sama rata. Karena konsep penyamarataan dalam kondisi tertentu dapat mengarah kepada ketidakadilan. 
Selanjutnya,  terdapat dua macam keadilan yang diajarkan Aristoteles, yaitu keadilan distributif (distributief) dan keadilan komutatif (commutatief). Namun pakar hukum lain membedakan keadilan atas enam (6) macam, yaitu: keadilan distributif, komutatif, vidikatif, kreatif, protektif, dan legalis.[3] Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
a. Keadilan distributif
Keadilan distributif merupakan keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Apabila dalam Pasal 5 Undang-undang Belanda ditetapkan, bahwa "tiap-tiap orang Belanda dapat diangkat untuk tiap-tiap jabatan", maka ini belum berarti bahwa setiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan jabatan-jabatan tersebut harus diberikan kepada mereka, yang berdasarkan jasa-jasanya, patut untuk memperolehnya. Kiranya hal tersebut dapat kita bandingkan dengan pasal yang menetapkan, 'Tiap-tiap warga negam berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".[4]
Dengan demikian keadilan distributif adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Atau apabila diterjemahkan lebih lanjut, keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan suatu organisasi atau lembaga untuk memberikan kepada para anggotanya beban sosial, fungsi, imbalan, balas jasa, dan kehormatan secara proposional atau seimbang sesuai dengan kecakapan dan jasanya, bukan berdasarkan asumsi "like or dislike".[5] Sehingga terciptanya keberimbangan antara hak dan kewajiban yang merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
b. Keadilan komutatif
Keadilan komutatif, merupakan keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan macam ini memegang peranan dalam tukar menukar barang dan jasa, yang sedapat mungkin terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Di sini kita dapat melihat bahwa yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan, dan asas ini melandasi hubungan antar warga masyarakat terutama yang berkecimpung dalam bidang perdagangan. Dengan demikian, ada kesenilaian antara prestasi dengan kontraprestasi.
c. Keadilan vindikatif
Keadilan vindikatif merupakan keadilan yang memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian seseorang tidak dapat diberikan sanksi terhadap perbuatan yang tidak ia lakukan begitupun sebaliknya, bahwa seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau kesalahan harus mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.
d. Keadilan kreatif
Keadilan kreatif merupakan keadilan yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya. Misa1nya perlindungan hak cipta terhadap karya-karya yang telah dihasilkan oleh seseorang dari para plagiator.
e. Keadilan protektif
Keadilan protektif merupakan keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang. Misalnya dalam hal ini Undang-undang tentang HAM yang memberikan perlindungan bagi setiap orang agar tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang. 
e. Keadilan legalis
Keadilan legalis merupakan keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang [6]Misalnya dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya". Begitu pula keadilan legalis ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menetapkann:[7]
"Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan"..
Berdasarkan uraian macam-macam keadilan tersebut dapat dipahami bahwa Teori Keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles disebut sebagai teori etis, karena menurut teori ini kandungan dari sebuah hukum harus didasarkan atas kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Menurut LJ. van Apeldoorn teori etis ini dianggap berat sebelah, sebab terlalu mengangung-agungkan keadilan yang pada akhirnya tidak akan mampu membuat peraturan umum. Sedangkan perturan umum itu merupakan sarana untuk kepastian dan tertib hukum. Dari sinilah timbul kesenjangan antara tuntutan keadilan di satu pihak, dan tuntutan kepastian di lain pihak. Semakin tepat dan tajam suatu peraturan hukum, maka semakin terdesaklah keadilan. Muncullah adagium, "Summum ius, summa iniuria" yang berarti, "Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi".[8] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta menyatakan bahwa "tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat itu, yang akhirnya bermuara pada keadilan.[9] Tetapi perlu disadari bahwa keadilan mengandung makna yang sangat luas, sehingga memungkinkan terjadi perbedaan dalam memahami nilai-nilai keadilan tersebut. Hal-hal seperti ini tidak akan luput dan senantiasa akan terjadi tergantung dari sudut mana keadilan itu dipandang.

B.   TEORI UTILITAS

Di dalam bukunya yang berjudul Introduction to The Principles of Morals and Legislation (1780), Jeremy Bentham, seorang pakar hukum Inggris memperkenalkan suatu teori tentang tujuan hukum. Menurut Bentham, hukurn bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah, "The greatest happiness for the greatest number". Artinya, "Kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak". Ajaran Bentham disebut juga sebagai eudaemonisme atau utilitarisme.[10] Di dalam .teori utilitas ini selanjutnya diajarkan bahwa hanya dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang terbanyak. Setiap orang adalah bernilai penuh (volwaardig), tidak seorang pun bemilai lebih, "Everybody to count for one, no body for more than one". Karena teori ini sangat mengagung-agungkan kepastian hukum dan memerlukan adanya peraturan yang berlaku umum, maka muncullah semboyan yuridis yang terkenal, "Lex dura sed tament scripta" atau Lex dura sed ita scripta. Menurut literatur semboyan ini dikumandangkan Ulpianus dalam Digesta, yang artinya, "Undang-undang itu keras, akan tetapi memang sudah ditentukan demikian bunyinya".[11]
Seperti halnya teori etis, teori utilitas pun dianggap sebagai teori yang berat sebelah, sebab teori ini pun dianggap bersifat subyektif, relatif, dan individual.[12]
Anggapan tersebut memang benar adanya, sebab hukum baru dapat dikatakan berhasil guna apabila sebanyak mungkin dapat mewujudkan keadilan. Apabila ada gagasan untuk mengeluarkan keadilan dari lingkungan hukum, maka akan terdapat asumsi bahwa hukum itu identik dengan kekuasaan. Sudah tentu hal ini kurang tepat, sebab yang agak tepat barangkali hukum dan kekuasaan saling membutuhkan. Hal ini kiranya sejalan dengan pandangan Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan, "Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman".[13]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik teori etis yang diperkenalkan Aristoteles maupun teori Utilitas keduanya memiliki kekurangan yang sama, yakni menitik beratkan persoalan keadilan pada satu sudut pandang tanpa melihat konsep-konsep keadilan dari sudut pandang yang lain. hal ini tentu menjadikan konsep keadilan bersifat kaku dan rapuh. Padahal makna keadilan itu sendiri sangat luas sehingga memungkinkan terjadinya penyatuan beberapa pandangan untuk menghasilkan nilai keadilan yang lebih ideal. Hal semacam itu kemungkinan dapat terjadi apabila keadilan dan kepastian hukum dijalankan secara bersamaan.
Atas kelemahan kedua teori inilah muncul teori gabungan yaitu teori yang mengkobinasikan kedua teori tujuah hukum yang terdahulu. Adapun para pakar hukum yang menganut teori gabungan ini di antaranya, L]. van Apeldoorn, van Kan, dan Bellefroid.

C.     TEORI PENGAYOMAN

Suatu peristiwa penting dalam proses pembinaan hukum nasional, adalah ditemukannya lambang keadilan yang serasi dengan kepribadian bangsa kita oleh Menteri Kehakiman Sahardjo berupa pohon beringin sebagai lambang pengayoman. Lambang pengayoman ini dimaksudkan guna menggantikan simbol keadilan negara Barat yang dirupakan oleh Dewi Themis (puteri Ouranos dan Gala) sebagai dewi keadilam.[14]
Secara logika mémang suatu kemustahilan seorang dewi cantik dalam kondisi mata tertutup karena dibalut kain hitam, tangan kiri memegang sebuah pedang, dan tangan kanan memegang sebuah dacin mampu menegakkan keadilan. Barangkali alasan itulah yang menyebabkan di negara Indonesia lambang dewi keadilan diganti oleh lambang pengayoman.
Dengan demikian, menurut teori pengayoman tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksudkan secara pasif, adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak.
Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah: 
1.     Mewujudkan ketertiban dan keteraturan; 
2.     Mewujudkan kedamaian sejati;
3.     Mewujudkan keadilan;
4.     Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.[15]
Dari upaya tersebut kita dapat menyimak, bahwa kedamaian sejati dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan suatu ketenteraman baik lahir maupun batin. Begitu pula halnya dengan ketenteraman, dianggap sudah ada, apabila warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak bergantung pada kekuatan fisik maupun nonfisik belaka. Selanjutnya selama tidak melanggar hak dan merugikan ofang lain, warga masyarakat tanpa rasa khawatir akan:
1.     Secara bebas melakukan apa yang dianggapnya benar;
2.     Secara bebas akan dapat mengembangkan bakat dan minatnya;
3.     Merasa selalu mendapat perlakuan yang wajar, begitu juga ketika ” ia telah melakukan suatu kesalahan.[16]

Download File Pdf


[1]Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentang Hukum, (Bandung: Armico, 1986), h. 8.
[2]Tim Pengajar PIH-FH-Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Unpar, 1995), h. 35
[3]R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1987), h.10.
[4]Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2), (Jakarta: BP-7 Pusat, 1974)
[5]Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 24.

[6]R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, h.10.
[7]Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah),  (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 695.
[8]S. Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1977), h. 92.
[9]Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 52.
[10]Benjamin Constant, Course de Politique Constitutionnelle, (Paris: Nouv, 1839), h. 277-293.
[11]S. Adiwinata, h. 62.
[12]Aam M. Purnama, Kuliah Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Universitas Langlangbuana, 1987-1994)
[13]Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 5.
[14]Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum, (Bandung: Binacipta, 1983), h. 568.
[15]PIH-FH-Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, (Bamdung: Unpar, 1995), h. 36.
[16]Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 29

ULASAN LENGKAP TENTANG TEORI UTILITAS



Di dalam bukunya yang berjudul Introduction to The Principles of Morals and Legislation (1780), Jeremy Bentham, seorang pakar hukum Inggris memperkenalkan suatu teori tentang tujuan hukum. Menurut Bentham, hukurn bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah, "The greatest happiness for the greatest number". Artinya, "Kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak". Ajaran Bentham disebut juga sebagai eudaemonisme atau utilitarisme.[1] Di dalam .teori utilitas ini selanjutnya diajarkan bahwa hanya dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang terbanyak. Setiap orang adalah bernilai penuh (volwaardig), tidak seorang pun bemilai lebih, "Everybody to count for one, no body for more than one". Karena teori ini sangat mengagung-agungkan kepastian hukum dan memerlukan adanya peraturan yang berlaku umum, maka muncullah semboyan yuridis yang terkenal, "Lex dura sed tament scripta" atau Lex dura sed ita scripta. Menurut literatur semboyan ini dikumandangkan Ulpianus dalam Digesta, yang artinya, "Undang-undang itu keras, akan tetapi memang sudah ditentukan demikian bunyinya".[2]
Seperti halnya teori etis, teori utilitas pun dianggap sebagai teori yang berat sebelah, sebab teori ini pun dianggap bersifat subyektif, relatif, dan individual.[3]
BACA JUGA TEORI ETIS
BACA JUGA TEORI PENGAYOMAN
Anggapan tersebut memang benar adanya, sebab hukum baru dapat dikatakan berhasil guna apabila sebanyak mungkin dapat mewujudkan keadilan. Apabila ada gagasan untuk mengeluarkan keadilan dari lingkungan hukum, maka akan terdapat asumsi bahwa hukum itu identik dengan kekuasaan. Sudah tentu hal ini kurang tepat, sebab yang agak tepat barangkali hukum dan kekuasaan saling membutuhkan. Hal ini kiranya sejalan dengan pandangan Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan, "Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman".[4]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik teori etis yang diperkenalkan Aristoteles maupun teori Utilitas keduanya memiliki kekurangan yang sama, yakni menitik beratkan persoalan keadilan pada satu sudut pandang tanpa melihat konsep-konsep keadilan dari sudut pandang yang lain. hal ini tentu menjadikan konsep keadilan bersifat kaku dan rapuh. Padahal makna keadilan itu sendiri sangat luas sehingga memungkinkan terjadinya penyatuan beberapa pandangan untuk menghasilkan nilai keadilan yang lebih ideal. Hal semacam itu kemungkinan dapat terjadi apabila keadilan dan kepastian hukum dijalankan secara bersamaan.
Atas kelemahan kedua teori inilah muncul teori gabungan yaitu teori yang mengkobinasikan kedua teori tujuah hukum yang terdahulu. Adapun para pakar hukum yang menganut teori gabungan ini di antaranya, L]. van Apeldoorn, van Kan, dan Bellefroid.

Download File Doc

Referensi

[1] Benjamin Constant, Course de Politique Constitutionnelle, (Paris: Nouv, 1839), h. 277-293.
[2] S. Adiwinata, h. 62.
[3] Aam M. Purnama, Kuliah Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Universitas Langlangbuana, 1987-1994)
[4] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 5.


ULASAN LENGKAP TENTANG TEORI PENGAYOMAN


Suatu peristiwa penting dalam proses pembinaan hukum nasional, adalah ditemukannya lambang keadilan yang serasi dengan kepribadian bangsa kita oleh Menteri Kehakiman Sahardjo berupa pohon beringin sebagai lambang pengayoman. Lambang pengayoman ini dimaksudkan guna menggantikan simbol keadilan negara Barat yang dirupakan oleh Dewi Themis (puteri Ouranos dan Gala) sebagai dewi keadilam.[1]
Secara logika mémang suatu kemustahilan seorang dewi cantik dalam kondisi mata tertutup karena dibalut kain hitam, tangan kiri memegang sebuah pedang, dan tangan kanan memegang sebuah dacin mampu menegakkan keadilan. Barangkali alasan itulah yang menyebabkan di negara Indonesia lambang dewi keadilan diganti oleh lambang pengayoman.
Dengan demikian, menurut teori pengayoman tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksudkan secara pasif, adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak.
Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah: 
  1. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan; 
  2. Mewujudkan kedamaian sejati;
  3. Mewujudkan keadilan;
  4. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.[2]
Dari upaya tersebut kita dapat menyimak, bahwa kedamaian sejati dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan suatu ketenteraman baik lahir maupun batin. Begitu pula halnya dengan ketenteraman, dianggap sudah ada, apabila warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak bergantung pada kekuatan fisik maupun nonfisik belaka. Selanjutnya selama tidak melanggar hak dan merugikan ofang lain, warga masyarakat tanpa rasa khawatir akan:
  1. Secara bebas melakukan apa yang dianggapnya benar;
  2. Secara bebas akan dapat mengembangkan bakat dan minatnya;
  3. Merasa selalu mendapat perlakuan yang wajar, begitu juga ketika ” ia telah melakukan suatu kesalahan.[3]
Download File Doc
Referensi

[1] Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum, (Bandung: Binacipta, 1983), h. 568.
[2] PIH-FH-Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, (Bamdung: Unpar, 1995), h. 36.
[3] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 29.

Thursday, June 25, 2020

ULASAN LENGKAP TENTANG TEORI ETIS


Dalam bukunya yang berjudul Rhetorica dan Ethica Nicomachea, filosof Aristoteles memperkenalkan teori etis. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah ius suum cuique tribuere yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya.[1] Atau slogan lengkapnya berbunyi, "Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere".[2] Dari slogan tersebut dapat dipahami bahwa apa yang menjadi bagian atau hak seseorang itu tidaklah selalu sama. Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa keadilan itu tidak selamanya diartikan dengan sama rata. Karena konsep penyamarataan dalam kondisi tertentu dapat mengarah kepada ketidakadilan. 
Selanjutnya,  terdapat dua macam keadilan yang diajarkan Aristoteles, yaitu keadilan distributif (distributief) dan keadilan komutatif (commutatief). Namun pakar hukum lain membedakan keadilan atas enam (6) macam, yaitu: keadilan distributif, komutatif, vidikatif, kreatif, protektif, dan legalis.[3] Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
BACA JUGA TEORI UTILITAS
BACA JUGA TEORI PENGAYOMAN
a. Keadilan distributif
Keadilan distributif merupakan keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Apabila dalam Pasal 5 Undang-undang Belanda ditetapkan, bahwa "tiap-tiap orang Belanda dapat diangkat untuk tiap-tiap jabatan", maka ini belum berarti bahwa setiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan jabatan-jabatan tersebut harus diberikan kepada mereka, yang berdasarkan jasa-jasanya, patut untuk memperolehnya. Kiranya hal tersebut dapat kita bandingkan dengan pasal yang menetapkan, 'Tiap-tiap warga negam berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".[4]Dengan demikian keadilan distributif adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Atau apabila diterjemahkan lebih lanjut, keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan suatu organisasi atau lembaga untuk memberikan kepada para anggotanya beban sosial, fungsi, imbalan, balas jasa, dan kehormatan secara proposional atau seimbang sesuai dengan kecakapan dan jasanya, bukan berdasarkan asumsi "like or dislike".[5] Sehingga terciptanya keberimbangan antara hak dan kewajiban yang merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
b. Keadilan komutatif
Keadilan komutatif, merupakan keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan macam ini memegang peranan dalam tukar menukar barang dan jasa, yang sedapat mungkin terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Di sini kita dapat melihat bahwa yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan, dan asas ini melandasi hubungan antar warga masyarakat terutama yang berkecimpung dalam bidang perdagangan. Dengan demikian, ada kesenilaian antara prestasi dengan kontraprestasi.
c. Keadilan vindikatif
Keadilan vindikatif merupakan keadilan yang memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian seseorang tidak dapat diberikan sanksi terhadap perbuatan yang tidak ia lakukan begitupun sebaliknya, bahwa seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau kesalahan harus mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.
d. Keadilan kreatif
Keadilan kreatif merupakan keadilan yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya. Misa1nya perlindungan hak cipta terhadap karya-karya yang telah dihasilkan oleh seseorang dari para plagiator.
e. Keadilan protektif
Keadilan protektif merupakan keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang. Misalnya dalam hal ini Undang-undang tentang HAM yang memberikan perlindungan bagi setiap orang agar tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang. 
e. Keadilan legalis
Keadilan legalis merupakan keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang [6]Misalnya dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya". Begitu pula keadilan legalis ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menetapkann:[7]
"Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan"..
Berdasarkan uraian macam-macam keadilan tersebut dapat dipahami bahwa Teori Keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles disebut sebagai teori etis, karena menurut teori ini kandungan dari sebuah hukum harus didasarkan atas kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Menurut LJ. van Apeldoorn teori etis ini dianggap berat sebelah, sebab terlalu mengangung-agungkan keadilan yang pada akhirnya tidak akan mampu membuat peraturan umum. Sedangkan perturan umum itu merupakan sarana untuk kepastian dan tertib hukum. Dari sinilah timbul kesenjangan antara tuntutan keadilan di satu pihak, dan tuntutan kepastian di lain pihak. Semakin tepat dan tajam suatu peraturan hukum, maka semakin terdesaklah keadilan. Muncullah adagium, "Summum ius, summa iniuria" yang berarti, "Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi".[8] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta menyatakan bahwa "tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat itu, yang akhirnya bermuara pada keadilan.[9] Tetapi perlu disadari bahwa keadilan mengandung makna yang sangat luas, sehingga memungkinkan terjadi perbedaan dalam memahami nilai-nilai keadilan tersebut. Hal-hal seperti ini tidak akan luput dan senantiasa akan terjadi tergantung dari sudut mana keadilan itu dipandang.

Download File Doc

Referensi
------------
[1] Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentang Hukum, (Bandung: Armico, 1986), h. 8.
[2] Tim Pengajar PIH-FH-Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Unpar, 1995), h. 35
[3] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1987), h.10.
[4] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2), (Jakarta: BP-7 Pusat, 1974)
[5] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 24.
[6] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, h.10.
[7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah),  (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 695.
[8] S. Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1977), h. 92.
[9] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 52.

MACAM-MACAM BENTUK KEADILAN DALAM HUKUM


Menurut pakar hukum, keadilan dibedakan atas enam (6) macam, yaitu: keadilan distributif, komutatif, vidikatif, kreatif, protektif, dan legalis.[1] Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
a. Keadilan distributif
Keadilan distributif merupakan keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Apabila dalam Pasal 5 Undang-undang Belanda ditetapkan, bahwa "tiap-tiap orang Belanda dapat diangkat untuk tiap-tiap jabatan", maka ini belum berarti bahwa setiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan jabatan-jabatan tersebut harus diberikan kepada mereka, yang berdasarkan jasa-jasanya, patut untuk memperolehnya. Kiranya hal tersebut dapat kita bandingkan dengan pasal yang menetapkan, 'Tiap-tiap warga negam berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".[2]Dengan demikian keadilan distributif adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Atau apabila diterjemahkan lebih lanjut, keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan suatu organisasi atau lembaga untuk memberikan kepada para anggotanya beban sosial, fungsi, imbalan, balas jasa, dan kehormatan secara proposional atau seimbang sesuai dengan kecakapan dan jasanya, bukan berdasarkan asumsi "like or dislike".[3] Sehingga terciptanya keberimbangan antara hak dan kewajiban yang merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
b. Keadilan komutatif
Keadilan komutatif, merupakan keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan macam ini memegang peranan dalam tukar menukar barang dan jasa, yang sedapat mungkin terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Di sini kita dapat melihat bahwa yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan, dan asas ini melandasi hubungan antar warga masyarakat terutama yang berkecimpung dalam bidang perdagangan. Dengan demikian, ada kesenilaian antara prestasi dengan kontraprestasi.
c. Keadilan vindikatif
Keadilan vindikatif merupakan keadilan yang memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian seseorang tidak dapat diberikan sanksi terhadap perbuatan yang tidak ia lakukan begitupun sebaliknya, bahwa seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau kesalahan harus mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.
d. Keadilan kreatif
Keadilan kreatif merupakan keadilan yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya. Misa1nya perlindungan hak cipta terhadap karya-karya yang telah dihasilkan oleh seseorang dari para plagiator.
e. Keadilan protektif
Keadilan protektif merupakan keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang. Misalnya dalam hal ini Undang-undang tentang HAM yang memberikan perlindungan bagi setiap orang agar tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang. 
e. Keadilan legalis
Keadilan legalis merupakan keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang [4]Misalnya dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya". Begitu pula keadilan legalis ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menetapkann:[5]
"Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan"..

Referensi
------------
[1] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1987), h.10.
[2] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2), (Jakarta: BP-7 Pusat, 1974)
[3] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 24.
[4] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, h.10.
[5] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah),  (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 695.

Tuesday, June 23, 2020

ASAS-ASAS HUKUM LENGKAP



Asas hukum merupakan jiwa dari peraturan hukum dapat dikemukakan contoh sebagai berikut:
Ketika seseorang melakukan perbuatan dursila yang merugikan orang lain, ia harus mengganti kerugian itu (asas hukum). Sedangkan norma hukumnya, adalah Pasal 1365 KUH Perdata.
Baik dalam mempelajari ilmu hukum maupun dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah-istilah yang apabila diteliti ternyata masuk ke dalam kriteria asas hukum. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa asas hukum secara alphabetis, diantaranya:
1. Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars
Artinya: Bahwa para pihak harus didengar. Contohnya apabila persidangan sudah dimulai, maka hakim harus mendengar dari kedua belah pihak yang  bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja;
2. Bis de eadem re ne sit actio atau Ne bis in idem
Artinya: Mengenai perkara yang sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya. Contohnya periksa Pasal 76 KUH Pidana;
3. Clausula rebus sic stantibus
Artinya: Suatu syarat dalam hukum internasional bahwa suatu perjanjian antar negara masih tetap berlaku, apabila situasi dan kondisinya tetap sama;
4. Cogitationis poenam nemo patitur
Artinya: Tiada seorang pun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya;
5. Concubitus facit nuptias
Artinya: Perkawinan terjadi karena hubungan kelamin;
6. De gustibus non est disputandum
Artinya: Mengenai selera tidak dapat disengketakan;
7. Errare humanum est, turpe in errore perseverare
Artinya: Membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan;
8. Fiat justitia ruat coelum atau Fiat justitia pereat mundus
Artinya: Sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan;
9. Geen straf zonder schuld
Artinya: Tiada hukuman tanpa kesalahan;
10. Hodi mihi cras tibi
Artinya: Ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan, tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat;
11. In dubio pro reo
Artinya: Dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi si terdakwa;
12. Juro suo uti nemo cogitur
Artinya: Tak ada seorang pun yang diwajibkan menggunakan haknya. Contohnya orang yang berpiutang tidak mempunyai kewajiban untuk menagih terus;
13. Koop breekt geen huur
Artinya: Jual beli tidak memutuskan sewa menyewa. Perjanjian sewa-menyewa tidak berubah, walaupun barang yang disewanya beralih tangan. Lebih jelas periksa Pasal 1576 KUH Perdata;
14. Lex dura sed ita scripta atau Lex dura sed tamente scripta
Artinya: Undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian. Contohnya periksa Pasal 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
15. Lex niminem cogit ad impossibilia
Artinya: Undang-undang tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin. Contohnya periksa Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
16. Lex posterior derogat legi priori atau Lex posterior derogat legi anteriori
Artinya: Undang-undang yang lebih baru mengenyampingkan undang-undang yang lama. Contohnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan mengenyampingkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965;
17. Lex specialis derogat legi generali
Artinya: Undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum. Contohnya pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Dagang terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam hal perdagangan;
18. Lex superior derogat legi inferiori
Artinya: Undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya;
19. Matrimonium ratum et non consummatum
Artinya: Perkawinan yang dilakukan secara formal, namun belum dianggap jadi mengingat belum terjadi hubungan kelamin. Contoh yang identik yaitu dalam perkawinan suku Sunda, yang disebut Randa Bengsrat;
20. Melius est acciepere quam facere injuriam
Artinya: Lebih baik mengalami ketidakadilan, daripada melakukan ketidakadilan;
21. Modus vivendi
Artinya: Cara hidup bersama;
22. Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet
Artinya: Tak seorang pun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki;
23. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali
Artinya: Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu. Asas ini dipopulerkan oleh seorang yang bemama-Anselm von Feuerbach. Lebih jelas periksa Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
24. Opinio necessitatis
Artinya: Keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan;
25. Pacta sunt servanda
Artinya: Setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik. Lebih jelas periksa Pasal 1338 KUH Perdata;
26. Potior est qui prior est
Artinya: Siapa yang datang pertama, dialah yang beruntung;
27. Presumption of innocence
Artinya: Biasa Juga disebut asas praduga tidak bersalah, yaitu bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan yang tetap. Lebih jelas lihat Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP butir 3 c;
28. Primus inter pares
Artinya: Yang pertama (utama) di antara sesama;
29. Princeps legibus solutus est
Artinya: Kaisar tidak terikat oleh undang-undang atau para pemimpin sering berbuat sekehendak hatinya terhadap anak buahnya;
29. Quiquid est in territorio, etiam est de territorio
Artinya: Asas dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa apa yang berada dalam batas-batas wilayah negara tunduk kepada hukum negara itu;
30. Qui tacet consentire videtur,
Artinya: Siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui;
31. Res nullius credit occupanti
Artinya: Benda yang diterlantarkan pemiliknya dapat diambil untuk dimiliki;
32. Summum ius summa injuria
Artinya: Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi;
33. Similia similibus
Artinya: Dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal sama pula, tidak pilih kasih;
34. Testimonium de auditu
Artinya: Kesaksian dapat didengar dari orang lain;
35. Unus testis nullus testis
Artinya: Satu orang saksi bukanlah saksi. Lebih jelas periksa Pasal 185 Ayat (2) KUHAP;
36. Ut sementem feceris ita metes
Artinya: Siapa yang menanam sesuatu dialah yang akan memetik hasilnya. Siapa yang menabur angin dialah yang akan menuai badai;
37. Vox populi vox dei
Artinya: Suara rakyat adalah suara Tuhan;
38. Verba volant scripta manent
Artinya: Kata-kata biasanya tidak berbekas sedangkan apa yang ditulis tetap ada.

Download File Pdf

Friday, May 29, 2020

PENGAJUAN GUGATAN PERDATA: PROSES DAN PROSEDUR ADMINISTRASI



Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa penyerahan kewenangan memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara diajukan kepada pengadilan. Pengajuan gugatan, penggugat mengharapkan, di samping mendapatkan sesuatu hak, mendapatkan juga kepastian hukum terhadap sesuatu hak, terutama untuk mencegah main hakim sendiri (eigenrichting).
Mengajukan gugatan sudah tentu setelah gugatan disusun. Penyusunan diusahakan sejelas dan selengkap mungkin. Kalau gugatan tidak jelas, ketua pengadilan dapat memberikan petunjuk kepada penggugat untuk memperbaiki gugatannya (Pasal 119 HIR/143 RBg). Sesuai dengan petunjuk MA, para pihak bebas menyusun dan merumuskan gugatan asalkan cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya. Gugatan yang tidak jelas menyebut apa yang dituntut, gugatan itu dinyatakan tidak sempurna dan gugatan itu dinyatakan tidak dapat diterima. Konsekuensinya ketika gugatan tidak diterima, si penggugat dapat mengajukan gugatannya kembali ke pengadilan setelah ia memperbaikinya dan membayar panjar biaya perkara.
Sebelum menyusun gugatan penting terlebih dahulu untuk melakukan observasi atau audit hukum terhadap kasus posisi perkara tersebut. Oleh karena itu, dalam pengajuan gugatan ke pengadilan, hal-hal penting yang perlu diperhatikan antara lain bcrikut ini.
  1. Gugatan harus berdasarkan atas bukti-bukti yang sebcnar-bcnarnya dan dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa bukti yang mendukung. maka dalil-dalil yang dikemukakan dalam gugatan perdata hanya lah kata-kata yang sifatnya kabur.
  2. Pengetahaun tentang kcbenaran formal maupun kebenaran materiil dari perkara yang diajukan.
  3. Masalah yang diajukan ke pengadilan bcnar-bcnar mcrupakan masalah yang patut diajukan atau diperkarakan.
Gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri, apabila penggugat/para penggugat atau kuasanya telah selcsai membuat gugatan secara tertulis ataupun lisan. Gugatan diajukan kcpada PN yang scsuai dengan kompentensi PN yang berwenang. Scsuai dengan kompetcnsi PN itu, gugatan perdata dapat diajukan ke pengadilan mclalui panitcra, baik sendiri oleh penggugat atau dilakukan kuasanya. Kalau gugatan diajukan oleh kuasa hukum penggugat, tcrlcbih dahulu pcnggugat membuat perjanjian pemberian kuasa khusus kepada kuasa hukum. Prosedur administrasi (cara) mengajukan permohonan surat gugatan dapat berpedoman kepada ketentuan Pastal 118 HlR/142RBg dan praktik peradilan.
Setiap proses perkara perdata di persldangan Pcngadilan Negeri dimulai dengan pengajuan surat gugatan ke ketua pengadilan negeri oleh penggugat atau wakilnya/pengacara. Menurut Pasal 118 HlR/142 RBg, pengajuan gugatan perdata dapat dlpedomani sebagai bcrikut.
  1. Gugatan ditujukan kepada ketua PN setelah penggugat menandatangai gugatan sesuai dengan tempat tinggal tergugat.
  2. Kalau tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukan kcpada ketua PN di tempat tinggal yang sesungguhnya.
  3. Jika yang digugat lebih dari seorang dan mereka tldak bertempat tinggal di daerah hukum pengadllan yang sama, gugntan diajukan kepada ketua PN di tempat tinggal salah seorang tergugat, yang dipilih oleh Penggugnt.
  4. Jika orang yang digugat tidak dikctahui tempat tinggalnya yang sesungguhnya, gugutan diajukan kepada ketua PN di tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari para tergugat.
  5. Jika gugatan tersebut mengenai barang tidak bergerak, gugatan diajukan kepada ketua PN di daerah di mana barang tidak bergerak itu terletak. Kemudian, gugatan ltu diserahkan ke panitera PN yang bersangkutan.
  6. Setelah diterima, diteruskan kepada bagian keuangan untuk pembayaran biaya perkara dengan menerima kwitansi resmi. Selanjutnya gugtan ltu didaftarkan dalam buku register yang diberi nomor perkara.
  7. Gugatan yang telah didaftar tersebut diteruskan kepada ketua PN untuk ditctapkan pemeriksaannya.
Di dalam praktik, prosedur pengajuan gugatan dalam perkara perdata terdiri atas tiga meja, yaitu meja 1 (pertama), meja II (dua), dan meja III (tiga), yang semuanya termasuk dalam kepaniteraan PN (Buku Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Administrasi Perkara di Lingkungan Peradilan Umum dan Pengawasan dan Evaluasi atas Hasil Pengawasan serta Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku I dan II).
Gugatan yang telah dibuat dan ditandatangani penggugat atau kuasanya diajukan kepada kompetensi PN yang berwenang. Surat gugatan yang telah dibuat dan ditandatangani pengugat atau kuasanya diajukan kepada ketua pengadilan sesuai dengan kewenangan relatif. Penggugat/kuasanya menyerahkan surat gugatan kepada urusan kepaniteraan perdata/panitera muda perdata pada meja pertama (I). Meja pertama yang bertugas menerima gugatan/permohonan menetapkan rencana biaya perkara (panjar/verscoot) yang dituangkan dalam bentuk SKUM (surat kuasa untuk membayar) berupa kwitansi berisikan kop PN, tanggal dan tahun serta cap/stempel surat gugatan didaftarkan, nama pembayar, banyaknya uang serta untuk pembayaran, serta nama dan tanda tangan kasir. Kwitansi SKUM terdiri atas 3 lembar (lembar pertama untuk penggugat/pemohon, lembar kedua untuk kasir, dan lembar ketiga untuk dilampirkan dalam berkas perkara). Biaya perkara ditaksir dengan mempertimbangkan jarak dan kondisi para pihak lain serta pertimbangan terselenggaranya proses persidangan perkara yang lancar dengan bertitik tolak kepada keperluan pemanggilan para pihak, saksi-saksi, pemberitahuan-pemberitahuan, meterai, dan redaksi putusan.
Di samping itu, dalam perhitungan panjar biaya perkara di pengadilan tingkat pertama, diperhitungkan juga biaya administrasi (SEMA No. 5 Tahun 1994). Kemudian, menyerahkan gugatan/permohonan yang dilengkapi dengan SKUM dalam rangka membayar uang panjar perkara yang tercantun dalam SKUM kepada kas PN. Apabila gugatan telah dilengkapi SKUM, penggugat/kuasanya membayar biaya perkara sesuai dengan SKUM kepada kas PN melalui pembayaran kepada kas PN. Pemegang kas menerima dan membukukan uang panjar sesuai dengan SKUM ke dalam buku jurnal dengan jenis KI-Al/G (perkara perdata). Pencataan panjar perkara dalam buku jurnal khusus perkara-perkara tingkat pertama diikuti dengan pemberian nomor perkara yang dipegang oleh kas PN dalam lembar pertama gugatan. Buku jurnal keuangan perkara digunakan untuk mencatat semua kegiatan penerimaan dan pengeluaran biaya perkara. Untuk setiap nomor perkara digunakan 2 halaman muka. Pencatatan kegiatan dimulai pada tanggal penerimaan biaya perkara serta ditutup pada tanggal perkara diputus dan dimutasi.
Jenis buku jurnal keuangan dalam perkara gugatan perdata adalah K1-Al/G, sedangkan perkara gugatan permohonan adalah KI-Al/P. Setelah penggugat membayar biaya perkara, pihak penggugat akan menerima bukti pembayarannya dan penggugat atau kuasanya mendapatkan satu berkas gugatan yang telah diberi nomor gugatan.
Kemudian, penggugat/pemohon menghadap pada meja II dengan menyerahkan gugatan/permohonan dan SKUM yang telah dibayar tersebut. Berkas perkara tersebut oleh petugas meja II didaftarkan dalam buku register induk perkara perdata sesuai urutan penerimaan dari pemegang kas dan dibubuhi nomor perkara sesuai dengan urutan dalam buku register tersebut. Pemberian nomor perkara diterakan dalam lembar pertama. Berkas surat gugatan diberi map warna hijau yang dilengkapi dengan formulir penetapan majelis hakim dan disampaikan kepada wakil panitera untuk diserahkan kepada ketua PN melalui panitera. Berkas surat gugatan diterima oleh PN setelah diberi nomor register oleh panitera.
Proses berikutnya adalah penunjukan majelis hakim oleh ketua pengadilan negeri dalam bentuk penetapan majelis. Berkas perkara beserta penetapan majelis hakim dalam waktu 7 hari telah sampai kepada majelis hakim yang bersangkutan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan penetapan penunjukan majelis hakim dicatat dalam register oleh panitera kepala. Berkas perkara beserta penetapannya telah diserahkan kepada majelis yang bersangkutan dalam waktu tujuh hari.
Selanjutnya, satu helai surat gugatan/permohonan yang telah terdaftar bersama satu helai SKUM kepada penggugat/pemohon dicatat dalam buku register induk. Buku induk keuangan perdata digunakan untuk mencatat kegiatan penerimaan dan pengeluaran dari seluruh perkara sebagaimana dicatat menurut urutan tanggal penerimaan dan pengeluaran dalam buku jurnal yang terkait. dimulai dari setiap awal bulan dan ditutup pada akhir bulan. Buku induk keuangan perdata dibuat dalam bentuk model KI-A7. Register induk perkara perdata gugatan dan register induk perdata permohonan harus memuat seluruh data-data perkara dalam tingkat pertama, banding, kasasi, PK, dan eksekusi.
Setelah prosedur administrasi selesai, tahap berikutnya adalah persiapan sidang yang meliputi penetapan hari sidang, pemanggilan para pihak yang beperkara (relaas/risalah panggilan atau exploit), dan sita jaminan. Dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari, ketua pengadilan negeri menunjuk majelis hakim dalam sebuah penatapan majelis hakim (Pasal 121 HIR/145 RBg. Dalam waktu tujuh hari itu juga Ketua PN telah membagi perkara tersebut kepada majelis hakim dengan suatu penetapan.
Penetapan sidang ditentukan oleh ketua pengadilan (Pasal 121 HIR/145 RBg). Bentuk penetapan hari sidang di dalamnya meliputi nomor penetapan, pernyataan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dasar pertimbangan, tanggal dikeluarkan penetapan, identitas lengkap pengguggat/para penggugat dan tergugat/para tergugat, serta penetapan hari, tanggal dan jam persidangan, dan tandatangan ketua PN tersebut.
Surat panggilan tersebut isinya memerintahkan untuk memanggil kedua belah pihak supaya datang menghadap di muka persidangan pada hari dan tanggal yang ditetapkan dan juga membawa saksi-saksi yang akan didengar dan/atau surat-surat yang akan diajukan sebagai bukti dalam perkara. Pemanggilan para pihak lazim disebut relaas/risalah panggilan atau exploit. Perintah pemanggilan dilakukan oleh juru sita untuk disampaikan kepada para pihak dengan berita acara yang harus ditandatangani oleh para pihak dan juru sita.
Pada umumnya relaas/panggilan berisikan tentang nomor perkara, hari, tanggal, bulan, dan tahun pemanggilan, nama pemanggil, para pihak yang dipanggil yang harus datang menghadap ke PN sesuai dengan surat panggilan dengan membawa para saksi, surat, atau alat bukti lainnya, serta keterangan terhadap orang yang dipanggil yang ditandatangani para pihak dan juru sita/juru sita pengganti.
Dalam hal penggugat/para penggugat atau kuasanya mengajukan permohonan sita jaminan, maka sita jaminan yang diajukan pada asasnya dapat berupa sita revindikatoir/revindicatoir beslag (Pasal 226 HIR/260 RBg dan sita conservatoir/revindicatoir beslag (Pasal 227 HIR/261 RBg). Sita rcvindicatoir dilakukan atas perintah majelis hakim yang berbentuk penetapan dan dilaksanakan oleh panitera/juru sita PN dengan dua orang karyawan/karyawati PN sebagai saksi. Permohonan penyitaan revindikatoir itu dibuat dalam bentuk penetapan yang ditulis dalam berita acara penyitaan rcvindikatoir.
Demikian juga permohonan sita conservatoir dilakukan oleh panitera/ jurusita PN yang dilakukan atas perintah majelis hakim yang disertai dua orang saksi. Permohoan itu dibuat dalam bentuk penetapan dan dibuatkan bcrila acara penyitaan conscrvatoir. Dalam persidangan nantinya, pada amar putusan, apabila sila jnminan rcvindikatoir atau sita conservatoir dikabulkan, sita tersebut dinyatakan sah dan berharga, telapi apabila ditolak atau tidak dapat diterima (niet onvankelijk vcrklaard), sita akan diperintahkan untuk dicabut.

Friday, April 24, 2020

JENIS-JENIS LAPANGAN HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA



Di dalam UUDS 1950 pernah disebutkan beberapa lapangan hukum yaitu dalam pasal 102 dan 108. Yakni sebagai berikut:
Dalam pasal 102 UUDS disebut:
  • Hukum Perdata dan Hukum Dagang.
  • Hukum Pidana Sipil dan Hukum Pidana Militer.
  • Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana.

Pasal 108 UUDS menyebut pula Hukum Tata Usaha. Kedua pasal ini tidaklah memuat pembagian lapangan hukum Indonesia, sehingga tidak menyebut lengkap semua lapangan hukum.
Pasal 102 UUDS ini hanya menyebut lapangan lapangan hukum yang harus “diatur dengan dalam undang-undang dalam kitab-kitab hukum. ”Dengan kata lain, pasal 102 UUDS hanya menyebut lapangan lapangan hukum yang harus “dikodifikasikan.”
Sedangkan pasal 108 UUDS hanya menetukan siapa yang harus memutuskan sengketa-sengketa yang mengenai hukum tata usaha (Hukum Administrasi). Pada pokoknya jenis-jenis lapangan hukum dapat disebutkan sebagai berikut :
  • Hukum Tata Negara.
  • Hukum Administrasi Negara.
  • Hukum Perdata.
  • Hukum Dagang.
  • Hukum Pidana.
  • Hukum Acara Perdata dan Pidana.

1. Hukum Tata Negara
Prof. Kusmadi Pudjosewojo, SH. memberikan batasan tentang pengertian hukum tata negara sebagai hukum yang mengatur bentuk negara, bentuk pemerintahan, menunjukkan masyarakat atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya, menegaskan wilayah, lingkungan dan rakyat masing-masing masyarakat hukum; menunjukkan alat-alat perlengkapan negara yang berkuasa dalam masing-masing masyarakat hukum dan susunannya, wewenang serta imbangan dari alat-alat perlengkapan tersebut.
Bertolak dari pengertian tersebut kita dapat mengetahui materi apa yang diatur oleh hukum tata negara. Hukum tata negara menurut pengertian di atas mengatur tentang bentuk negara apakah suatu Negara berbentuk Negara kesatuan atau negara federal, kemudian menentukan apakah bentuk pemerintahannya berbentuk kerajaan atau republik. Ia juga mengatur mengenai masyarakat hukum mana yang atasan dan mana yang bawahan, menentukan alat-alat perlengkapan negara mana yang memegang kekuasaan dalam masing masing masyarakat hukum lersebut, sejauh mana luas lingkungannya, siapa yang menjadi rakyat nya lalu apa tugas masing masing alat perlengkapan Negara tersebut, bagaimana susunan alat-alat perlengkapan negara masing masing masyarakat hukum tersebut dan bagaimana imbangannya. Jadi hukum tata negara meliputi kaidah kaidah hukum yang menetapkan struktur dan system organisasi negara. Pada prinsipnya hukum tata negara mengatur negara dalam keadaan diam, karena hukum tata negara tidak mengatur bagimana cara bekerja alat-alat perlengkapan negara itu dalam menjelaskan tugasnya.

2. Hukum Administrasi Negara
Hukum administrasi Negara adalah aturan aturan hukum yang mengatur bagaimana cara alat-alat perlengkapan negara harus berbuat sesuatu dalam melaksanakan tugasnya. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa hukum administrasi mengatur alat-alat perlengkapan negara dalam kegiatannya melaksanakan tugas. Menurut istilah yang lazim, hukum administrasi Negara mengatur negara dalam keadaan bergerak. Dari pengertian dan penjelasan singkat tersebut tampak jelas perbedaan antara hukum tata negara dengan hukum administrasi negara yaitu hukum tata negara mengatur negara dalam keadaan diam sedangkan hukum administrasi negara mengatur negara dalam keadaan bergerak.

3. Hukum Perdata
Hukum perdata ialah aturan aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat, maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua yaitu hukum perdata materiil dan hukum perdata fomal. Hukum perdata materiil mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaiman Cara seseorang menentukan haknya apabila dirugikan oleh orang lain. Hukum perdata formal mempertahankan hukum perdata materiil, karena hukum perdata formal berfungsi menerapkan hukum perdata materiil apabila ada yang melanggarnya.
Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata dibagi menjadi:
  • Hukum pcrorangan (personenrecht)
  • Hukum keluarga (familierecht)
  • Hukum harta kekayaan (vermogensrecht)
  • Hukum waris (erfrecht)

Menurut KUH Perdata (BW) hukum perdata dibagi menjadi 4 yaitu:
  • Hukum tentang orang (buku ke l)
  • Hukum tentang benda (buku ke II)
  • Hukum tentang perikatan (buku ke III)
  • Hukum tentang pembuktian dan kadaluwarsa (buku ke IV)

4. Hukum Dagang
Hukum dagang menurut pendapat yang Iazim adalah merupakan bagian dari hukum perdata umum dan ia menjadi satu dengannya. Masalahnya adalah bagian yang manakah dari hukum perdata umum tersebut yang merupakan hukum dagang? Bagian yang merupakan hukum dagang dari hukum perdata umum adalah bagian yang mengatur tentang beberapa perjanjian (overeenkomst) dan perikatan perikatan (verbintenissen) yang sebagian sudah dikodiflkasi dalam buku ke III Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Buku ke II KUH Perdata itu berjudul “tentang perikatan-perikatan” baik mengenai asas-asas umum hukum perjanjian maupun beberapa perjanjian khusus misalnya pengertian tentang pemberian ganti rugi, risiko, pertanggung jawaban sepenuhnya oleh seseorang, keadaan memaksa, perjanjian jual beli, pemberian kuasa perburuhan, dan pemborongan. Dalam perkembangannya pemberian kuasa perburuhan dan pemborongan cenderung beralih menjadi hukum publik karena Pemerintah turut campur tangan.
Di samping bagian itu ada bagian lain yang erat hubungannya dengan perkembangan perniagaan misalnya tentang pengangkutan di darat, laut, di perairan pedalaman dan di udara, untuk pengangkutan barang maupun orang. Di luar masalah pengangkutan barang dan orang masih ada lagi yang diurus oleh hukum dagang yaitu tentang penanggungan kerugian jiwa ataupun barang, dan aneka peraturan misalnya makelar, komisioner serta aneka perjanjian tentang kehendak untuk mendirikan usaha perniagaan misalnya firma, perseroan terbatas dan persekutuan komanditer.
Sebaigian besar dari hal-hal tersebut sudah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Dari uraian di atas kita ketahui hal-hal apa saja yang diatur oleh hukum dagang dan bagaimana pengertian hukum dagang itu sebenamya serta bagaimana kedudukan hukum dagang terhadap hukum perdata umum. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa hukum dagang ialah aturan-aruran hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan lainnya khususnya dalam hal perniagaan. Hukum dagang adalah merupakan hukum perdata khusus.

5. Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan. Dari rumusan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukuman pidana bukan suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, tetapi hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum. Kepentingan umum yang dimaksud adalah:
1) Badan peraturan perundangan negara seperti negara, lembaga negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya.
2) Kepentingan hukum setiap manusia misalnya jiwa, tubuh, kemerdekaan, kehormatan dan harta benda.
Pelanggaran adalah tindak pidana ringan yang diancam dengan hukuman denda. Pelanggaran dapat dilakukan terhadap keamanan umum bagi manusia, barang, kesehatan umum, dan terhadap ketertiban umum, penguasa umum, dan lain lain. Kejahatan adalah tindak pidana berat yang diancam dengan hukuman denda, kurungan, penjara dan hukuman mati. Hukum pidana Indonesia mengatur pelanggaran dalam buku ketiga KUHP dan mengatur tentang kejahatan dalam buku kedua KUHP. KUHP yang berlaku di Indonesia adalah KUHP yang dikodiflkasikan tahun 1918 yang telah diubah dan ditambah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang telah semakin maju dan berkembang.
Pembagian Hukum Pidana 
Hukum pidana dibedakan menjadi dua:
1) Hukum pidana objektif ialah peraturan yang memuat perintah dan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman bagi setiap pelanggarnya. Hukum pidana objektif dibagi dua menjadi:
a. Hukum pidana materiil yaitu semua peraturan yang merumuskan tentang perbuatan perbuatan apa yang dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan hukum apa yang dapat diterapkan. Dengan kata lain hukum pidana materiil adalah peraturan yang merumuskan tentang pelanggaran dan kejahatan, syarat-syarat apa yang harus dipenuhi seseorang dapat dihukum serta hukuman apa yang dapat diterapkan kepada pelaku kejahatan atau pelanggaran itu.
Hukum pidana materiil dibedakan lagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang berlaku bagi siapa saja, sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang berlakunya bagi orang orang tertentu atau hukum pidana mengenai hal tenentu. Contoh hukum pidana umum yang berlaku di Indonesia adalah hukum pidana yang berlaku bagi penduduk Indonesia kecuali anggota ABRI atau yang dipersamakan dengan mereka. Hukum pidana khusus yang berlaku di Indonesia misalnya:
  • Hukum pidana militer
  • Hukum pidana fiscal
  • Hukum pidana ekonomi

b. Hukum pidana formil ialah peraturan hukum pidana yang mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya hukum pidana materiil. Hukum pidana formil memproses bagaimana menghukum atau tidak menghukum seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, oleh karenanya dinamakan hukum acara pidana.
2) Hukum pidana subjektif ialah hak negara untuk menghukum seseorang berdasarkan setiap orang bertindak sendiri, menghukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana.

6. Hukum Perburuhan
Hukum perburuhan adalah himpunan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan. Buruh bekerja pada dan di bawah majikan dengan mendapat upah sebagai balas jasanya. Dari rumusan tersebut dapat dltarik kesimpulan bahwa hukum perburuhan mengandung unsur-unsur tertentu yaitu :
  • Peraturan tertulis dan tidak tertulis yang berperan mengatur hubungan buruh dan majikan.
  • Peraturan tersebut mengenai kejadian dalam hubungan perburuhan.
  • Ada orang yang bekerja pada orang lain dan dibawah pimpinan tersebut.
  • Ada balas jasa yang diterima buruh scbagai upah. Jadi kalau ditegaskan unsur penting dalam hukum perburuhan itu adalah majikan, buruh dan upah. Majikan adalah pemberi pekerjaan. buruh adalah orang yang bekerja atas perintah dari pimpinan majikan. upah adalah balas jasa yang diterima buruh dari majikan.

7. Hukum Agraria
Hukum agraria adalah keseluruhan peraturan tertulis maupun tidak tertulis. Pengertian agraria adalah meliputi seluruh bumi. air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan kesatuan wilayah Republik Indonesia yang berasal dari karunia Tuhan Yang maha Esa, yang menjadi kekayaan nasional bangsa Indonesia (ps. I UUPA).
Jika diamati tentang rumusan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum agraria mengatur tentang bagaimana bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam dimanfaatkan sebaik baiknya bagi bangsa Indonesia, karena pada dasarnya kesemuanya itu adalah karunia Tuhan bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Jika tidak diatur oleh hukum agraria tersebut niscaya bangsa Indonesia akan berbuat menurut kehendak mereka sendiri, sehingga dapat merugikan sesama bangsa Indonesia atau kekayaan bangsa tidak dapat dinikmati secara maksimal.

8. Hukum Pajak
Hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Rumusan pengertian tersebut mengandung arti bahwa pada dasamya pemerintah mempunyai wewenang untuk mengambil sebagian dari kekayaan seseorang yang berada di bawah naungan pemerintah, dengan kewajiban menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara sebagai kontra prestasinya. Pengambilan kekayaan orang oleh pemerintah tidak semata mata menurut kehendak pemerintah tetapi berdasarkan ketentuan dalam peraturan pajak dan pengembaliannya tidak secara langsung kepada orang yang kebetulan diambil sebagian kekayaannya sebagai pajak, tetapi semua orang dapat menikmati kontra prestasi yang diserahkan pemerintah melalui kas negara tadi. Wujud pengambilan itu dapat berupa pendidikan, pembangunan jalan, jembatan, dan lain-lain yang prinsipnya semua orang dapat menikmatinya.

9. Hukum Antar Golongan
Hukum antar golongan (H.A.G) adalah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan hukum apa dan hukum mana yang berlaku, apabila dalam satu peristiwa hukum, ada dua hukum atau lebih yang berlainan satu sama lain karena berlainan golongan penghuni dalam suatu negara.
Rumusan pengertian tersebut di atas menunjukkan kepada kita bahwa hukum antar golongan akan mengatur bagaimana jika terjadi peristiwa hukum di mana masing masing orang tunduk pada hukum yang berbeda, karena golongan penduduknya berbeda walaupun mereka berada dalam wilayah negara yang sama. Sebagai contoh misalnya peristiwa perkawinan antara orang pribumi Indonesia dengan golongan Eropa yang tinggal di Indonesia. Jelas hal tersebut memerlukan penyelesaian atau penetapan hukum mana yang akan dipakai, karena masing masing menganut hukum perkawinan yang berbeda. Orang pribumi menganut hukum adat sedangkan golongan Eropa tunduk pada KUH Perdata.

10. Hukum Perdata Internasional
Sebagaimana telah diketengahkan dimuka, pengertian hukum perdata internasionaladalah hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas-batas negara. Dengan kata lain hukum perdata internasional mengatur hubungan perdata antara para pelaku hukum perdata yang masing masing tunduk pada hukum perdata nasional yang berbeda, sehingga unsur asing menjadi penting di dalam hukum perdata internasional.
Hubungan yang diatur adalah hubungan internasional mengenai masalah keperdataan. Jelas disini sebagai subjek hukumnya adalah idnividu atau badan hukum perdata. Jika terjadi peristiwa hukum yang melibatkan dua orang atau lebih yang masing masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda, hukum perdata internasional menentukan hukum mana yang akan berlaku.

11. Hukum Internasional
Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara yang bukan bersifat perdata. Secara singkat hukum internasional adalah kaidah kaidah dan asas asas hukum yang mengatur hubungan internasional dan bukuan hubungan perdata. Dari rumusan di atas yang dimaksud dengan hukum internasional adalah hukum internasional publik.
Hukum lain yang mengatur hubungan internasional adalah hukum perdata internasional yaitu hukum yang mengatur hubungan perdata antara pelaku hukum perdata nasional yang satu dengan yang lain yang berbeda. Persamaan antara kedua hukum internasional tersebut ialah bahwa keduanya mengatur hubungan hukum yang melintasi batas negara.
Perbedaannya adalah sebagai berikut:
  • Hukum internasional subjeknya negara atau badan hukum publik, sedangkan hukum perdata internasional adalah perorangan atau badan hukum perdata.
  • Hukum internasional mengatur hubungan antar negara, hukum perdata internasional mengatur hubungan antar warga negara.

12. Hukum Acara
Hukum acara adalah aturan-aturan hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan hukum materiil melalui beracara di pengadilan. Berdasarkan tujuan hukum, hukum materiil adalah mengatur hubungan antara anggota masyarakat agar keseimbangan kepentingan mereka terjamin sesuai dengan hak-hak asasinya. Karena hukum acara mengatur bagaimana mempertahankan hukum materiil, maka fungsi dari hukum acara secara tidak langsung adalah sebagai sarana untuk melindungi hak asasi manusia. Hukum acara dibedakan menjadi dua yaitu hukum acara pidana yang mengatur bagaimana mempertahankan hukum pidana materiil, dan hukum acara perdata yang mengatur bagaimana mempertahankan hukum perdata materiil.

13. Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumeber dari wahyu Tuhan, sunnah Rasul dan Ijtihad. Jika diperhatikan dari sumbernya dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah hukum yang lebih tinggi dari hukum positif lainnya, karena sumber hukum positif yang lain adalah dari akal budi manusia.
Tujuan diantara kedua hukum positif diatas pun juga berbeda. Hukum Islam tujuannya adalah menghendaki manusia baik secara menyeleuruh yaitu tingkah lakunya baik di dalam masyarakat maupun secara pribadi. Sehingga faktor faktor individu, masyarakat maupun kemanusiaan diperhatikannya. Dengan demikian jika manusia pribadinya baik umumnya sikap dan tindakannya baik pula. Apabila semua anggota masyarakat berprilaku demikian, maka masyarakat akan aman tentram dan damai. Begitupula denga hal hal yang bersifat kebendaan atau materiil, yang mendapat perhatian di dalam hukum Islam tersebut.
Hukum Islam berbeda dengan hukum postif lainnya. Untuk mengetahui perbedaan itu dapat dilihat dari ciri-ciiri yang ada pada hukum Islam. Ciri-Ciri hukum Islam ialah:
  • Sumbernya adalah wahyu dari Tuhan (al-Qur’an), Sunnah Rasu! dan ljtihad.
  • Ketentuan ketentuan hukum Islam didasarkan pada akhlak dan agama.
  • Sanksi terhadap pelanggarannya adalah rangkap yaitu sanksi di dunia dan di akhirat.
  • Hukum islam bersifat collectivisme.

Perbedaan antara hukum Islam dengan hukum positif lainnya dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:
  • Dari segi dasar atau sumbemya ialah bahwa hukum Islam bersumber pada wahyu Tuhan, sedangkan hukum positif lainnya bersumber dari akal budi manusia karena hukum positif dibuat oleh manusia.
  • Dari segi sanksinya adalah bahwa hukum Islam ada dua sanksi yaitu sangsi di dunia dan sanksi di akhirat, sedangkan hukum positif lainnya sanksinya adalah di dunia saja.
  • Dari segi tujuannya ialah bahwa hukum Islam bertujuan agar masyarakat tentram baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan hukum Islam tidak hanya tebatas pada lapangan kebendaan saja, sedangkan hukum positif lainnya terbatas tujuannya pada lapangan materiil atau kebendaan saja.

Yang dimaksud hukum positif lainnya dalam konteks ini adalah hukum perdata, hukum pidana, hukum pajak dan lain sebagainya.

14. Hukum Adat
Hukum adat menurut pendapal beberapa sarjana hukum adalah sebagai berikut:
  • Menurut Snouck Hurgronye, hukum adat adalah adat yang mempunyai akibat hukum.
  • Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah aturan-aturan kelakuan yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi, dipihak lain tidak dikodifikasi.
  • Menurut B. Ter Hear BZN. hukum adat adalah peraturan yang menjelma pada keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa serta pengaruh yang dalam dan pelaksanaannya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati.
  • Menurut Prof. Mr. Dr. Soekanto, hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan, bersifat memaksa dan mempunyai sanksi, maka mempunyai akibat hukum.

Jika diperhatikan dari ke empat pengertian hukum adat yang diketengahkan oleh empat orang ahli hukum adat di atas dapat diketahui beberapa unsur yang terkandung di dalamnya:
  • Peraturan peraturan yang umumnya tidak dikitabkan dan tidak dikodifikasi.
  • Peraturan peraturan yang tertulis
  • Bersumber pada adat istiadat bangsa Indonesia
  • Berlaku bagi orang Indonesia asli dan orang timur asing
  • Berlaku secara spontan (serta-merta), memaksa, mempunyai akibat hukum jika dilanggar.

Dari unsur terakhir ini dapat dipahami bahwa adat itu secara riil selalu diindahkan dan secara psikologis diyakini oleh rakyat bahwa adat mempunyai kekuatan hukum.
Meskipun hukun adat bersumber dari adat istiadat bangsa Indonesia, tetapi tidak semua adat istiadat menjadi sumber hukum adat. Hanya adat istiadat yang mempunyai akibat hukum atau bersanksi saja yang menjadi hukum adat, sedangkan adat istiadat yang tidak mempunyai akibat hukum bukan merupakan hukum adat. Adat istiadat yang dimaksud terakhir misalnya tradisi bangsa Indonesia yang bersifat religius (selamatan, memuja pada roh nenek moyang, memuja benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan sebagainya),
Hukum adat tumbuh bcrkembang (tidak statis) dan meliputi bidang-bidang hukum tertentu yaitu: 1. Hukum tata negara adat, 2. Hukum kekeluargaan adat (hukum kekerabatan), 3. Hukum perkawinan adat, 4. Hukum perjanjian adat, 5.Hukum waris adat, 6. Hukum pidana adat, dan 7. Hukum tanah adat.