Sunday, June 28, 2020

MACAM-MACAM TEORI TUJUAN HUKUM



A.    TEORI ETIS

Dalam bukunya yang berjudul Rhetorica dan Ethica Nicomachea, filosof Aristoteles memperkenalkan teori etis. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah ius suum cuique tribuere yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya.[1] Atau slogan lengkapnya berbunyi, "Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere".[2] Dari slogan tersebut dapat dipahami bahwa apa yang menjadi bagian atau hak seseorang itu tidaklah selalu sama. Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa keadilan itu tidak selamanya diartikan dengan sama rata. Karena konsep penyamarataan dalam kondisi tertentu dapat mengarah kepada ketidakadilan. 
Selanjutnya,  terdapat dua macam keadilan yang diajarkan Aristoteles, yaitu keadilan distributif (distributief) dan keadilan komutatif (commutatief). Namun pakar hukum lain membedakan keadilan atas enam (6) macam, yaitu: keadilan distributif, komutatif, vidikatif, kreatif, protektif, dan legalis.[3] Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
a. Keadilan distributif
Keadilan distributif merupakan keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Apabila dalam Pasal 5 Undang-undang Belanda ditetapkan, bahwa "tiap-tiap orang Belanda dapat diangkat untuk tiap-tiap jabatan", maka ini belum berarti bahwa setiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan jabatan-jabatan tersebut harus diberikan kepada mereka, yang berdasarkan jasa-jasanya, patut untuk memperolehnya. Kiranya hal tersebut dapat kita bandingkan dengan pasal yang menetapkan, 'Tiap-tiap warga negam berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".[4]
Dengan demikian keadilan distributif adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Atau apabila diterjemahkan lebih lanjut, keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan suatu organisasi atau lembaga untuk memberikan kepada para anggotanya beban sosial, fungsi, imbalan, balas jasa, dan kehormatan secara proposional atau seimbang sesuai dengan kecakapan dan jasanya, bukan berdasarkan asumsi "like or dislike".[5] Sehingga terciptanya keberimbangan antara hak dan kewajiban yang merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
b. Keadilan komutatif
Keadilan komutatif, merupakan keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan macam ini memegang peranan dalam tukar menukar barang dan jasa, yang sedapat mungkin terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Di sini kita dapat melihat bahwa yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan, dan asas ini melandasi hubungan antar warga masyarakat terutama yang berkecimpung dalam bidang perdagangan. Dengan demikian, ada kesenilaian antara prestasi dengan kontraprestasi.
c. Keadilan vindikatif
Keadilan vindikatif merupakan keadilan yang memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian seseorang tidak dapat diberikan sanksi terhadap perbuatan yang tidak ia lakukan begitupun sebaliknya, bahwa seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau kesalahan harus mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.
d. Keadilan kreatif
Keadilan kreatif merupakan keadilan yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya. Misa1nya perlindungan hak cipta terhadap karya-karya yang telah dihasilkan oleh seseorang dari para plagiator.
e. Keadilan protektif
Keadilan protektif merupakan keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang. Misalnya dalam hal ini Undang-undang tentang HAM yang memberikan perlindungan bagi setiap orang agar tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang. 
e. Keadilan legalis
Keadilan legalis merupakan keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang [6]Misalnya dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya". Begitu pula keadilan legalis ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menetapkann:[7]
"Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan"..
Berdasarkan uraian macam-macam keadilan tersebut dapat dipahami bahwa Teori Keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles disebut sebagai teori etis, karena menurut teori ini kandungan dari sebuah hukum harus didasarkan atas kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Menurut LJ. van Apeldoorn teori etis ini dianggap berat sebelah, sebab terlalu mengangung-agungkan keadilan yang pada akhirnya tidak akan mampu membuat peraturan umum. Sedangkan perturan umum itu merupakan sarana untuk kepastian dan tertib hukum. Dari sinilah timbul kesenjangan antara tuntutan keadilan di satu pihak, dan tuntutan kepastian di lain pihak. Semakin tepat dan tajam suatu peraturan hukum, maka semakin terdesaklah keadilan. Muncullah adagium, "Summum ius, summa iniuria" yang berarti, "Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi".[8] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta menyatakan bahwa "tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat itu, yang akhirnya bermuara pada keadilan.[9] Tetapi perlu disadari bahwa keadilan mengandung makna yang sangat luas, sehingga memungkinkan terjadi perbedaan dalam memahami nilai-nilai keadilan tersebut. Hal-hal seperti ini tidak akan luput dan senantiasa akan terjadi tergantung dari sudut mana keadilan itu dipandang.

B.   TEORI UTILITAS

Di dalam bukunya yang berjudul Introduction to The Principles of Morals and Legislation (1780), Jeremy Bentham, seorang pakar hukum Inggris memperkenalkan suatu teori tentang tujuan hukum. Menurut Bentham, hukurn bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah, "The greatest happiness for the greatest number". Artinya, "Kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak". Ajaran Bentham disebut juga sebagai eudaemonisme atau utilitarisme.[10] Di dalam .teori utilitas ini selanjutnya diajarkan bahwa hanya dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang terbanyak. Setiap orang adalah bernilai penuh (volwaardig), tidak seorang pun bemilai lebih, "Everybody to count for one, no body for more than one". Karena teori ini sangat mengagung-agungkan kepastian hukum dan memerlukan adanya peraturan yang berlaku umum, maka muncullah semboyan yuridis yang terkenal, "Lex dura sed tament scripta" atau Lex dura sed ita scripta. Menurut literatur semboyan ini dikumandangkan Ulpianus dalam Digesta, yang artinya, "Undang-undang itu keras, akan tetapi memang sudah ditentukan demikian bunyinya".[11]
Seperti halnya teori etis, teori utilitas pun dianggap sebagai teori yang berat sebelah, sebab teori ini pun dianggap bersifat subyektif, relatif, dan individual.[12]
Anggapan tersebut memang benar adanya, sebab hukum baru dapat dikatakan berhasil guna apabila sebanyak mungkin dapat mewujudkan keadilan. Apabila ada gagasan untuk mengeluarkan keadilan dari lingkungan hukum, maka akan terdapat asumsi bahwa hukum itu identik dengan kekuasaan. Sudah tentu hal ini kurang tepat, sebab yang agak tepat barangkali hukum dan kekuasaan saling membutuhkan. Hal ini kiranya sejalan dengan pandangan Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan, "Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman".[13]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik teori etis yang diperkenalkan Aristoteles maupun teori Utilitas keduanya memiliki kekurangan yang sama, yakni menitik beratkan persoalan keadilan pada satu sudut pandang tanpa melihat konsep-konsep keadilan dari sudut pandang yang lain. hal ini tentu menjadikan konsep keadilan bersifat kaku dan rapuh. Padahal makna keadilan itu sendiri sangat luas sehingga memungkinkan terjadinya penyatuan beberapa pandangan untuk menghasilkan nilai keadilan yang lebih ideal. Hal semacam itu kemungkinan dapat terjadi apabila keadilan dan kepastian hukum dijalankan secara bersamaan.
Atas kelemahan kedua teori inilah muncul teori gabungan yaitu teori yang mengkobinasikan kedua teori tujuah hukum yang terdahulu. Adapun para pakar hukum yang menganut teori gabungan ini di antaranya, L]. van Apeldoorn, van Kan, dan Bellefroid.

C.     TEORI PENGAYOMAN

Suatu peristiwa penting dalam proses pembinaan hukum nasional, adalah ditemukannya lambang keadilan yang serasi dengan kepribadian bangsa kita oleh Menteri Kehakiman Sahardjo berupa pohon beringin sebagai lambang pengayoman. Lambang pengayoman ini dimaksudkan guna menggantikan simbol keadilan negara Barat yang dirupakan oleh Dewi Themis (puteri Ouranos dan Gala) sebagai dewi keadilam.[14]
Secara logika mémang suatu kemustahilan seorang dewi cantik dalam kondisi mata tertutup karena dibalut kain hitam, tangan kiri memegang sebuah pedang, dan tangan kanan memegang sebuah dacin mampu menegakkan keadilan. Barangkali alasan itulah yang menyebabkan di negara Indonesia lambang dewi keadilan diganti oleh lambang pengayoman.
Dengan demikian, menurut teori pengayoman tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksudkan secara pasif, adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak.
Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah: 
1.     Mewujudkan ketertiban dan keteraturan; 
2.     Mewujudkan kedamaian sejati;
3.     Mewujudkan keadilan;
4.     Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.[15]
Dari upaya tersebut kita dapat menyimak, bahwa kedamaian sejati dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan suatu ketenteraman baik lahir maupun batin. Begitu pula halnya dengan ketenteraman, dianggap sudah ada, apabila warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak bergantung pada kekuatan fisik maupun nonfisik belaka. Selanjutnya selama tidak melanggar hak dan merugikan ofang lain, warga masyarakat tanpa rasa khawatir akan:
1.     Secara bebas melakukan apa yang dianggapnya benar;
2.     Secara bebas akan dapat mengembangkan bakat dan minatnya;
3.     Merasa selalu mendapat perlakuan yang wajar, begitu juga ketika ” ia telah melakukan suatu kesalahan.[16]

Download File Pdf


[1]Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentang Hukum, (Bandung: Armico, 1986), h. 8.
[2]Tim Pengajar PIH-FH-Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Unpar, 1995), h. 35
[3]R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1987), h.10.
[4]Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2), (Jakarta: BP-7 Pusat, 1974)
[5]Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 24.

[6]R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, h.10.
[7]Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah),  (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 695.
[8]S. Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1977), h. 92.
[9]Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 52.
[10]Benjamin Constant, Course de Politique Constitutionnelle, (Paris: Nouv, 1839), h. 277-293.
[11]S. Adiwinata, h. 62.
[12]Aam M. Purnama, Kuliah Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Universitas Langlangbuana, 1987-1994)
[13]Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 5.
[14]Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum, (Bandung: Binacipta, 1983), h. 568.
[15]PIH-FH-Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, (Bamdung: Unpar, 1995), h. 36.
[16]Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 29

0 komentar:

Post a Comment