MAHAR DALAM PERKAWINAN
1. Pengertian
dan Hukum Mahar
Dalam
istilah ahli flkih, di samping perkataan ”mahar” juga dipakai perkataan :
”shadaq”, nihlah; dan faridhah” dalam bahasa Indonesia dipakai dengan perkataan
maskawin.[1]
Mahar,
secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian
wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami
untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.
Atau,
suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik
dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya). [2]
Islam
sangat memerhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak
kepadanya di antaranya adalah hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar hanya
diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau
siapa pun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah
apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan rida dan
kerelaan si istri. Allah swt. berfirman:
واتوا النساء صدقاتهن نحلة فان
طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا
Terjemahnya:
Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan seriang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.[3]
Pemberian
itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak,
karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
Imam
Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang
laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.[4]
Jika
istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia
memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan
tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, atau takut, maka tidak
halal menerimanya. Allah swt. berflrman:
وان اردتم استبدال زوج مكان
زوج واتيتم احداهن قنطارا فلا تاخذوا منه شيئا بهتانا واثما مبينا
Terjemahnya:
Dan
jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung)
dosa yang nyata? (QS Al-Nisa [4]: 20). [5]
Dalam
ayat selanjutnya, Allah swt. berflrman:
وكيف تاخذونه وقد افضى بعضكم
الى بعض واخذن منكم ميثاقا غليظا
Terjemahnya:
Bagaimana
kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-istri. dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS Al-Nisa [4]: 21)[6]
Karena
mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Maiik mengatakannya sebagai
rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.
Allah
berflrman:
واتوا النساء صدقاتهن نحله
Terjemahnya:
Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. .. (QS Al-Nisa [4]: 4)[7]
Rasulullah
saw. berkata:
عن عامر بن ربيعة ان امراة من
بني فزارة تزوجت على نعلين فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم اريضيت على نفسك او
مالك بنعلين فقالت نعم فأجازه )رواه
احمد وابن ماجه والترمذي وصححه(
Artinya:
Dari
Amir bin Rabi’ah: ”Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazarah kawin
dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah saw. bertanya kepada perempuan
tersebut: Relakan engkau dengan maskawm sepasang sandal? Rasulullah saw.
meluruskannya.” (HR Ahmad dan Ibn Majah dan disahihkan oleh Turmudzi)
Sabdanya
lagi:
تزوج ولو بخاتم من حديد )رواه البخاري(
Artinya:
”Kawinlah
engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi.” (HR Bukhari) '
2. Syarat-syarat
Mahar
Mahar
yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
Harta berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah
disebut mahar.
Barangnya
suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi,
atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
Barangnya
bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa
seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk
mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah,
tetapi akadnya tetap sah.
Bukan
barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang
yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[8]
3. Kadar
(Jumlah) Mahar
Agama
tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberinya.
Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi . maskawin yang lebih besar
jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir
tidak mampu meberinya.[9] Oleh
karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan
disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk
menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal menyebutkan, “Janganlah hendaknya
ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang
bagi berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda nabi:
عن سهل بن سعد ان النبي صلى
الله عليه وسلم جاءته امراة فقالت يا رسول الله اني وهبت نفسي لك. فقامت قياما
طويلا. فقام رجل فقال: يا رسول الله زوجنيها ان لم يكن لك بها حاجة، فقال رسول
الله صلى الله عليه وسلم: هل عندك من شيء تصدقها اياها؟ فقال: ما عندي الا ازارى
هذا فقال النبي صلى الله عليه وسلم ان اعطيتها ازارك جلست لا ازار لك، فلتمس
شيئا، فقال ما اجد شيئا. فقال النبي صلى الله عليه وسلم التمس ولو خاتما من حديد،
فلتمس فلم يجد شيئا فقال له النبي صلى الله عليه وسلم هل معك من القران شيئا فقال
نعم سورة كذا وسورة وكذا. لسور يسميها. فقال النبي صلى الله عليه وسلم زوجتكها
بمامعك من القران (رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
“Dari
Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah saw., seorang
wanita maka ia berkata: ”Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguh-sungguh
diriku kepadamu”. Dan, wanita tersebut berdiri lama sekali, lalu berdirilah
seorang laki-laki, ia berkata: ”Ya Rasulullah Saw., kawinkanlah ia kepada saya jika
engkau tidak berminat terhadapnya”. Maka Rasulullah Saw. menjawab: ”Adakah
engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu
berkata: ”Aku tidak mempunyai sesuatu selain sarungku ini”. Nabi Saw. berkata:
”Jika engkau berikan sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung,
maka carilah sesuatu (yang lain) ”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak
mendapatkan apa-apa. ” Nabi berkata: ”Carilah, walaupun sebuah cincin besi”.
Kemudian ia mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun." Maka,
Rasulullah Saw. bersabda “Adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?”
Laki-laki tersebut berkata: ‘Ada surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat
yang disebutkannya. Nabi Saw. bersabda: ”Engkau telah aku nikahkan dengan dia
dengan maskawin (mahar) Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR Bukhari dan Muslim) .[10]
Mengenai
besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas
tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya.
Imam
Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in
berpendapat béhwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat
menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian
fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik'
dan para pengikutnya ' mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat
dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang
sebanding berat emas perak tersebut.
Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham.
Riwayat lain ada yang mengatakan Iima dirham, ada lagi yang mengatakan empat
puluh dirham.
Pangkal
silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusyd, terjadi karena dua hal, yaitu:
Ketidakjelasan
akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran,
karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun
banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang
sudah ada ketentuannya. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan
mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan
itu mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan
mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip dengan
ibadah.[11]
Adanya
pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan
mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya
pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada
ketentuannya.[12]
Mereka
berpendapat bahwa sabda Nabi Saw., ”nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi”
adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika
memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.[13]
4. Memberi
Mahar Dengan Kontan dan Utang
Pelaksanaan
membayar mahar bisa dilakukan sesuai dehgan kemampuan atau disesuaikan dengan
keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh
dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan
sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar
kontan sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw.:
عن ابن عباس ان النبي صلى الله عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حتى
يعطيها شيئا، فقال: ما عندي شيء، فقال: فاين درعك الخطمة؟ فاعطاه اياه ورواه ابو
داود والنسائي والحاكم وصححه
Artinya:
“Dari
Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw. melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan
sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Di
manakah baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.”
(HR Abu Dawud, Nasa’i dan disahihkan oleh Hakim).
Hadis
di atas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih
baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih
dahulu.
Dalam
hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat di
kalangan ahli flkih. Segolongan ahli fikih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh
diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa
mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian
mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan di antara fuqaha yang
membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkan hanya untuk tenggang
waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik. Ada juga
yang membolehkannya karena perceraian, ini adalah pendapat Al-Auza’i. Perbedaan
pendapat tersebut karena pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli dalam
hal penundaan, atau tidak dapat disamakan dengannya. Fuqaha yang mengatakan
bahwa disamakan dengan jual beli berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh
sampai terjadinya kematian atau perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak
dapat disamakan dengan jual beli berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu
tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.[14]
5. Macam-macam
Mahar
Ulama
fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:
a.
Mahar Musamma
Mahar
musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya
ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.[15]
Ulama
fikih sepakat bahwa, dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara
penuh apabila:
1).
Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah Swt. berflrman:
وان أردتم استبدال مكان زوج
واتيتم احداهن قنطارا فلا تاخذوا منه شيئا
Artinya:
Dan
jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah
kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. (QS Al-Nisa [4]: 20) [16]
2)
Salah satu dari suami-istri meninggal. Demikian menurut ijma’. Mahar musamma
juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan
ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram
sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.[17] Akan
tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya,
berdasarkan firman Allah Swt.:
وان طلقتموهن من قبل ان تمسوهن
وقد فرضتم لهن فريضة فنصف ما فرضتم
Terjemahnya:
jika
kamu menceraikan Istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal
sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar
yang telah kamu tentukan itu.... (QS Al-Baqarah [2] :237).
b.
Mahar Mitsli (Sepadan)
Mahar
mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun
ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang
pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya,
dengan memerhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya.[18]
Bila
terjadi demikian (mahar itu disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau
ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan
pengantin wanita (bibi, bude), uwa perempuan( Jawa Tengah/Jawa Timur), ibu uwa
(Jawa Banten), anak, perempuan, bibi/bude). Apabila tidak ada, mahar mitsli itu
beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar
mitsli juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut.
1).
Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad
nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum
bercampur.
2).
Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri
dan ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah
yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid. Hal
ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Firman Allah Swt.:
لا جناح عليكم ان طلقتم النساء
ما لم تمسوهن او تفرضوا لهن فريضة
Terjemahnya:
Tidak
ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri
kamu sebelum kamu 'bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya....(QS
Al-Baqarah [2]: 236).[19]
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum
digauli dan belum juga ditetapkan jumlahnya mahar tertentu kepada istrinya itu.
6. Bentuk
Mahar (Maskawin)
Pada
prinsipnya maskawin harus bermanfaat dan bukanlah sesuatu yang haram dipakai,
dimiliki, atau dimakan. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mahar harus berupa sesuatu
yang dapat ditukar dan ini terkesan harus berbentuk benda sebab selain
berbentuk benda tidak dapat ditukar tampaknya tidak dibolehkan. Namun, menurut
Rahmat Hakim, sesuatu yang bermanfaat tidak dinilai dengan ukuran umum, tetapi
bersifat subjektif sehingga tidak selalu dikaitkan dengan benda. Dalam hal ini,
calon istri mempunyai hak untuk menilai dan memilihnya, ini sangat kondisional.
Artinya, dia mengetahui siapa dia dan siapa calon suami.[20]
7. Gugur/Rusaknya
Mahar
Mahar
yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari
barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, Mahar yang
rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit
dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual beli yang
mengandung lima persoalan pokok, yaitu:
- Barangnya tidak boleh dimiliki;
- Mahar digabungkan dengan jual beli;
- Penggabungan mahar dengan pemberian;
- Cacat pada mahar; dan
- Persyaratan dalam mahar.
Dalam
hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum
masak atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya
tetap sah apabila telah memenuhi mahar mitsli. Akan tetapi, Imam Malik
berpendapat tentang dua riwayat yang berkenaan dengan persoalan ini. Pertama,
akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan (fasakh), baik sebelum maupun sesudah
dukhul. Pendapat ini juga dikemukkan oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah dukhul,
maka akad nikah menjadi tetap dan istri memperoleh mahar mitsli.
Mengenai
penggabungan mahar dengan jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti: jika
pengantin perempuan memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki,
kemudian pengantin laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan
sebagai mahar, tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai
mahar, maka Imam Malik dan Ibnul Qasim melarangnya, seperti juga Abu Saur. Akan
tetapi, Asyab dan Imam Abu Hanifah membolehkan, sedangkan Abu Ilah mengadakan
pemisahan dengan mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut masih
terdapat kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu
dibolehkan.
Tentang
penggabungan mahar dengan pemberian, ulama juga berselisih pendapat, misalnya
dalam hal seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar
yang diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu).
Perselisihan itu terbagi dalam tiga pendapat.
Imam
Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan
dan maharnya pun sah. Imam Syafl’i mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan
istrinya memperoleh mahar mitsli. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila
syarat itu dikemukakan ketika akad nikah, maka pemberian itu menjadi milik
pihak perempuan, Sedangkan apabila syarat itu dikemukakan setelah akad nikah,
maka pemberiannya menjadi milik ayah.
Mengenai
cara yang terdapat pada mahar, ulama flkih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama
mengatakan bahwa akad nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat
dalam hal apakah harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang
sebanding, atau juga dengan mahar mitsli.
Imam
Syafl’i terkadang menetapkan harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli.
Imam Malik dalam satu pendapat menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan
pendapat lain minta barang yang sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi
berkata, “Jika dikatakan, diminta harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu
lebih tepat. Adapun Suhnun mengatakan bahwa nikahnya batal.
Mengenai
gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk membayar mahar
seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri,
misalnya istri keluar dari Islam, atau mem-fasakh karena suami miskin atau
cacat, atau karena perempuan tersebut setelah dewasa menolak dinikahkan dengan
suami yang dipilih oleh walinya, Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur
karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.
Begitu
juga mahar dapat gugur apabila istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya
atau menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini, gugumya mahar karena
perempuan sendiri yang menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam
kekuasaan perempuan.
8. Mahar
yang Dipersengketakan Suami Istri
Persengketaan
antara suami istri tidak terlepas dari masalah penerimaan, apakah mahar sudah
diterima atau belum, atau kadar besarnya mahar, macamnya atau waktunya yakni
apakah mahar itu menjadi wajib.
a.
Kadar Mahar
Jika
terjadi persengketaan antara suami istri tidak terlepas dari masalah
penerimaan, apakah mahar sudah diterima atau belum, atau kadar besarnya mahar,
macamnya, atau waktunya yakni apakah mahar itu menjadi wajib.
Imam
Malik mengatakan bahwa apabila persengketaan tersebut terjadi sebelum dukhul,
sedang suami mengeluarkan kata-kata yang mirip dengan kata-kata istri juga
mengemukakan kata-kata yang mirip dengan kata-kata suami, maka keduanya saling
bersumpah dan saling membatalkan. Jika salah satu bersumpah, sedangkan yang
lainnya menolak, maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata orang yang
bersumpah. Jika keduanya menolak, maka keduanya Sama dengan apabila mereka
bersumpah. Jika salah satunya mengeluarkan kata-kata yang mirip, maka kata-katanya
itulah yang dijadikan pegangan.
Apabila
persengketaan itu terjadi sesudah dukhul maka yang dijadikan adalah kata-kata
suami, Abu Saur, Ibnu Abu Laila, Ibnu Syubrumah mengatakan bahwa yang dijadikan
pegangan adalah kata-kata suami dengan sumpahnya. Fuqaha lain mengatakan bahwa,
yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri sehingga mencapai mahar mitsli,
dan kata-kata suami apabila lebih dari mahar mitsli. Imam Syaf‘l’i dan
Al-Tsauri mengemukakan bahwa apabila terjadi persengketaan antara suami istri,
keduanya diperintahkan untuk bersumpah dan dikembalikan kepada mahar mitsli.
Dalam
kitab Fathul Mu’in juga disebutkan, “Apabila terjadi persengketaan antara suami
istri mengenai jumlah besarnya mahar serta anggapan suami lebih kecil, atau
mengenai sifat mahar, yaitu jenis mahar, misalnya: dinar, kontan, atau diangsur
membayarnya, padahal tidak ada bukti yang dikemukakan oleh salah satu pihak
atau keduanya mengemukakan bukti yang saling bertentangan, maka, sebagaimana
dalam masalah jual beli, kedua belah pihak harus melakukan sumpah yang
sekaligus untuk menguatkan anggapan sendiri dan menolak anggapan pihak lawan.
Kemudian, setelah terjadi sumpah, maka mahar yang disebut jumlahnya dalam akad
menjadi rusak, dan suami wajib membayar mahar mitsli sekalipun lebih besar
daripada anggapan istri.
b.
Penerimaan Mahar
Apabila
suami istri bersengketa masalah penerimaan, yaitu apabila istri mengatakan
belum menerima mahar, sedangkan suami mengatakan sudah memberikannya, maka jumhur
fuqaha, seperti Imam Syafi’i, Al-Tsauri, Ahmad, dan Abu Saur berpendapat bahwa
yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri, dan ini lebih baik, karena ia
menjadi pihak tergugat.
Imam
Malik berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri sebelum
dukhul, dan dijadikan pegangan kata-kata suami sesudah dukhul. Sebagian
pengikut Imam Malik mengatakan bahwa yang mendorong Imam Malik berpendapat
demikian adalah karena berdasarkan kebiasaan (‘urf) yang berlaku di Madinah
bahwa seorang suami tidak boleh menggauli istrinya kecuali sesudah membayar
mahar. Jika dalam suatu negeri tidak terdapat ‘urf (kebiasaan) seperti itu,
maka yang dijadikan pcgangan selamanya adalah kata-kata istri. Di kalangan pengikut
Imam Malik terdapat perbedaan pendapat tentang terjadinya dukhul tersebut sudah
lama, apakah dalam hal ini yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami
beserta sumpahnya atau tidak?
c.
Persengketaan Mengenai Macam/Jenis Mahar
Apabila
suami misalnya berkata, “Aku nikahi kamu dengan hamba sahaya ini sebagai
mahar,” sedangkan istri mengatakan, “Aku nikahi kamu dengan budak ini”. Menurut
pendapat yang terkenal dalam mazhab Maliki bahwa. “Keduanya saling bersumpah
dan saling membatalkan, jika persengketaan terjadi sebelum dukhul. Akan tetapi,
kalau persengketaan terjadi sesudah dukhul, maka akad nikah tetap sah dan istri
memperoleh mahar mitsli selama tidak lebih banyak dari jumlah yang digugat
istri atau tidak lebih sedikit dari jumlah yang diakui suami.
Ibnu
Qasar berpendapat bahwa keduanya saling bersumpah sebelum dukhul. Adapun kalau
sesudah dukhul, maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami. Sedangkan
Ashbah berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami apabila
kata-katanya mirip, baik mirip dengan kata-kata istri atau tidak. Jika
kata-kata suami mirip sedang kata-kata istri juga mirip, maka kata-katanya
itulah yang dipegang Dan jika kata-kata istri tidak mirip, maka keduanya saling
bersumpah dan istri memperoleh mahar mitsli.
Dalam
persoalan ini, pendapat Imam Syafi’i sama dengan pendapatnya mengenai persengketaan
kadar mahar, yakni suami istri saling bersumpah dan kembali kepada mahar
mitsli.
d.
Persengketaan Mengenai Waktu
Dalam
masalah waktu, perbedaan pendapat bisa terjadi berkenaan dengan tunggakan.
Menurut pokok-pokok pendapat Imam Malik berdasarkan riwayat yang terkenal
darinya yang dijadikan pegangan dalam masalah tunggakan adalah kata-kata orang
yang berutang, karena disamakan dengan jual beli. Perbedaan pendapat juga bisa
teljadi berkenaan dengan kapankah mahar menjadi, apakah sebelum dukhul, atau
sesudahnya?
Fuqaha
yang menyamakan pernikahan dengan jual beli, maka mereka berpendapat bahwa,
mahar baru menjadi wajib setelah dukhul, sedang fuqaha yang berpendapat bahwa
pernikahan merupakan suatu ibadah yang menjadi syarat kehalalan, maka mereka
mengatakan bahwa mahar menjadi wajib sebelum dukhul, Itulah sebabnya Imam Malik
menganjurkan agar suami memberikan mahar sebelum dukhal.
Dalam
hal maskawin/mahar, istri berhak menerima mahar mitsli. Dalam hal ini Kompilasi
Hukum Islam menjelaskan sebagai berikut.
Pasal 35
1).
Suami yang mengatakan istrinya qabla al-dukhul wajib membayar setengah mahar
yang telah ditentukan dalam akad nikah.
2).
Apabila suami meninggal dunia qabla al-dukhul, seluruh mahar yang ditetapkan
menjadi hak penuh istrinya.
3).
Apabila perceraian terjadi qabla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum
ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsli.
Pasal
36
Apabila
mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain
yang sama bentuk dan jenisnya, atau dengan barang lain yang sama nilainya, atau
dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.
Pasal
37
Apabila
terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,
penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan
Agama.
Pasal
38
1).
Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon
mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar
dianggap kurang.
2).
Apabila istri menoIak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus
menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum
diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.[21]
[1]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 81.
[2]Kamus
Istilah Fiqh, hlm. 184. Lihat Zakiyah Daradjat, Op.Cit., hlm. 83. Lihat pula H.
Abdurahman Ghazali, op, cit, hlm. 84
[3]Al-Qur’an dan terjemahnya
[4]Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib
al-Arba’ah, juz 4, m. 94
[5]Al-Qur’an dan terjemahnya
[6]Al-Qur’an dan terjemahnya
[7]Al-Qur’an dan terjemahnya
[8]Abdurrahman
Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 103.
[9]Mukhtrar Kamal, Op.Cit., hlm. 82.
[10]Mukhtrar
Kamal, Op.Cit., hlm. 83.
[11]H.Abd.
Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 88-89
[12]Ibid.
[13]Bandingkan dengan Ibn Rusyd, Op.Cit.,hlm. 14-15.
[14]Ibid,
hlm. 15.
[15]M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 185.
[16]Al-Qur’an dan terjemahnya
[17]Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93.
[18]M. Abdul Mujib dkk, Op.Cit., hlm. 185; H. Abd.
Rahman Ghazali. Op.Cit., hlm. 93.
[19]Al-Qur’an dan terjemahnya
[20]Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 75.
[21]KHI