Showing posts with label FIQIH MUNAKAHAT. Show all posts
Showing posts with label FIQIH MUNAKAHAT. Show all posts

Monday, September 21, 2020

MAHAR DALAM PERKAWINAN



1. Pengertian dan Hukum Mahar

Dalam istilah ahli flkih, di samping perkataan ”mahar” juga dipakai perkataan : ”shadaq”, nihlah; dan faridhah” dalam bahasa Indonesia dipakai dengan perkataan maskawin.[1]

Mahar, secara etimologi, artinya maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.

Atau, suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dan lain sebagainya). [2]

Islam sangat memerhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya di antaranya adalah hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapa pun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan rida dan kerelaan si istri. Allah swt. berfirman:

واتوا النساء صدقاتهن نحلة فان طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا

Terjemahnya:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan seriang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.[3]

Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.

Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.[4]

Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan, dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya maka boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya. Allah swt. berflrman:

وان اردتم استبدال زوج مكان زوج واتيتم احداهن قنطارا فلا تاخذوا منه شيئا بهتانا واثما مبينا

Terjemahnya:

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (QS Al-Nisa [4]: 20). [5]

Dalam ayat selanjutnya, Allah swt. berflrman:

وكيف تاخذونه وقد افضى بعضكم الى بعض واخذن منكم ميثاقا غليظا

Terjemahnya:

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS Al-Nisa [4]: 21)[6]

Karena mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Maiik mengatakannya sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.

Allah berflrman:

واتوا النساء صدقاتهن نحله

Terjemahnya:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. .. (QS Al-Nisa [4]: 4)[7]

Rasulullah saw. berkata:

عن عامر بن ربيعة ان امراة من بني فزارة تزوجت على نعلين فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم اريضيت على نفسك او مالك بنعلين  فقالت نعم فأجازه )رواه احمد وابن ماجه والترمذي وصححه(

Artinya:

Dari Amir bin Rabi’ah: ”Sesungguhnya seorang perempuan dari Bani Fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rasulullah saw. bertanya kepada perempuan tersebut: Relakan engkau dengan maskawm sepasang sandal? Rasulullah saw. meluruskannya.” (HR Ahmad dan Ibn Majah dan disahihkan oleh Turmudzi)

Sabdanya lagi:

تزوج ولو بخاتم من حديد )رواه البخاري(

Artinya:

”Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cincin dari besi.” (HR Bukhari) '

2. Syarat-syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. Harta berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit, tapi bernilai tetap sah disebut mahar.

Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan memberikan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.

Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya tetap sah.

Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[8]

3. Kadar (Jumlah) Mahar

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan begitu pula jumlah maksimum dari maskawin. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberinya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi . maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. Sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu meberinya.[9] Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtar Kamal menyebutkan, “Janganlah hendaknya ketidaksanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan,” sesuai dengan sabda nabi:

عن سهل بن سعد ان النبي صلى الله عليه وسلم جاءته امراة فقالت يا رسول الله اني وهبت نفسي لك. فقامت قياما طويلا. فقام رجل فقال: يا رسول الله زوجنيها ان لم يكن لك بها حاجة، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: هل عندك من شيء تصدقها اياها؟ فقال: ما عندي الا ازارى هذا فقال النبي صلى الله عليه وسلم ان اعطيتها ازارك  جلست لا ازار لك، فلتمس شيئا، فقال ما اجد شيئا. فقال النبي صلى الله عليه وسلم التمس ولو خاتما من حديد، فلتمس فلم يجد شيئا فقال له النبي صلى الله عليه وسلم هل معك من القران شيئا فقال نعم سورة كذا وسورة وكذا. لسور يسميها. فقال النبي صلى الله عليه وسلم زوجتكها بمامعك من القران (رواه البخاري ومسلم)

Artinya:

“Dari Sahl bin Sa’ad, sesungguhnya telah datang kepada Rasulullah saw., seorang wanita maka ia berkata: ”Ya Rasulullah! Aku serahkan dengan sungguh-sungguh diriku kepadamu”. Dan, wanita tersebut berdiri lama sekali, lalu berdirilah seorang laki-laki, ia berkata: ”Ya Rasulullah Saw., kawinkanlah ia kepada saya jika engkau tidak berminat terhadapnya”. Maka Rasulullah Saw. menjawab: ”Adakah engkau mempunyai sesuatu yang dapat engkau jadikan mahar untuknya? Laki-laki itu berkata: ”Aku tidak mempunyai sesuatu selain sarungku ini”. Nabi Saw. berkata: ”Jika engkau berikan sarungmu (sebagai mahar) tentulah kamu duduk tanpa sarung, maka carilah sesuatu (yang lain) ”. Laki-laki itu menjawab: “Saya tidak mendapatkan apa-apa. ” Nabi berkata: ”Carilah, walaupun sebuah cincin besi”. Kemudian ia mencarinya lagi, tetapi ia tidak memperoleh sesuatu apa pun." Maka, Rasulullah Saw. bersabda “Adakah engkau hafal sesuatu ayat dari Al-Qur’an?” Laki-laki tersebut berkata: ‘Ada surat ini, dan surat ini” sampai kepada surat yang disebutkannya. Nabi Saw. bersabda: ”Engkau telah aku nikahkan dengan dia dengan maskawin (mahar) Al-Qur’an yang engkau hafal” (HR Bukhari dan Muslim) .[10]

Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang batas terendahnya.

Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat béhwa mahar tidak ada batas minimalnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.

Sebagian fuqaha yang lain berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik' dan para pengikutnya ' mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat dinar emas murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas perak tersebut.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan Iima dirham, ada lagi yang mengatakan empat puluh dirham.

Pangkal silang pendapat ini, menurut Ibnu Rusyd, terjadi karena dua hal, yaitu:

Ketidakjelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalam jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuannya. Demikian itu, karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran. Tetapi, ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka hal itu mirip dengan ibadah.[11]

Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mahfum hadis yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.[12]

Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi Saw., ”nikahlah walaupun hanya dengan cincin besi” adalah dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karena, jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.[13]

4. Memberi Mahar Dengan Kontan dan Utang

Pelaksanaan membayar mahar bisa dilakukan sesuai dehgan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau utang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan utang sebagian. Kalau memang demikian, maka disunahkan membayar kontan sebagian, berdasarkan sabda Nabi Saw.:

عن ابن عباس ان النبي صلى الله عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حتى يعطيها شيئا، فقال: ما عندي شيء، فقال: فاين درعك الخطمة؟ فاعطاه اياه ورواه ابو داود والنسائي والحاكم وصححه

Artinya:

“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw. melarang Ali menggauli Fatimah sampai memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabnya: Saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya: Di manakah baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah.” (HR Abu Dawud, Nasa’i dan disahihkan oleh Hakim).

Hadis di atas menunjukkan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tindakan yang lebih baik, dan secara hukum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian terlebih dahulu.

Dalam hal penundaan pembayaran mahar (diutang) terdapat dua perbedaan pendapat di kalangan ahli flkih. Segolongan ahli fikih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara diutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar di muka manakala akan menggauli istri. Dan di antara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkan hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya. Demikian pendapat Imam Malik. Ada juga yang membolehkannya karena perceraian, ini adalah pendapat Al-Auza’i. Perbedaan pendapat tersebut karena pernikahan itu dapat disamakan dengan jual beli dalam hal penundaan, atau tidak dapat disamakan dengannya. Fuqaha yang mengatakan bahwa disamakan dengan jual beli berpendapat bahwa penundaan itu tidak boleh sampai terjadinya kematian atau perceraian. Sedangkan yang mengatakan tidak dapat disamakan dengan jual beli berpendapat bahwa penundaan membayar mahar itu tidak boleh dengan alasan bahwa pernikahan itu merupakan ibadah.[14]

5. Macam-macam Mahar

Ulama fikih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu:

a. Mahar Musamma

Mahar musamma, yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.[15]

Ulama fikih sepakat bahwa, dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:

1). Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah Swt. berflrman:

وان أردتم استبدال مكان زوج واتيتم احداهن قنطارا فلا تاخذوا منه شيئا

Artinya:

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. (QS Al-Nisa [4]: 20) [16]

2) Salah satu dari suami-istri meninggal. Demikian menurut ijma’. Mahar musamma juga wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama.[17] Akan tetapi, kalau istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya, berdasarkan firman Allah Swt.:

 

وان طلقتموهن من قبل ان تمسوهن وقد فرضتم لهن فريضة فنصف ما فرضتم

Terjemahnya:

jika kamu menceraikan Istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.... (QS Al-Baqarah [2] :237).

b. Mahar Mitsli (Sepadan)

Mahar mitsli yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan memerhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya.[18]

Bila terjadi demikian (mahar itu disebut besar kadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude), uwa perempuan( Jawa Tengah/Jawa Timur), ibu uwa (Jawa Banten), anak, perempuan, bibi/bude). Apabila tidak ada, mahar mitsli itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.

Mahar mitsli juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut.

1). Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah, kemudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.

2). Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.

Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwid. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Firman Allah Swt.:

لا جناح عليكم ان طلقتم النساء ما لم تمسوهن او تفرضوا لهن فريضة

Terjemahnya:

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu 'bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya....(QS Al-Baqarah [2]: 236).[19]

Ayat tersebut menunjukkan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan belum juga ditetapkan jumlahnya mahar tertentu kepada istrinya itu.

6. Bentuk Mahar (Maskawin)

Pada prinsipnya maskawin harus bermanfaat dan bukanlah sesuatu yang haram dipakai, dimiliki, atau dimakan. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mahar harus berupa sesuatu yang dapat ditukar dan ini terkesan harus berbentuk benda sebab selain berbentuk benda tidak dapat ditukar tampaknya tidak dibolehkan. Namun, menurut Rahmat Hakim, sesuatu yang bermanfaat tidak dinilai dengan ukuran umum, tetapi bersifat subjektif sehingga tidak selalu dikaitkan dengan benda. Dalam hal ini, calon istri mempunyai hak untuk menilai dan memilihnya, ini sangat kondisional. Artinya, dia mengetahui siapa dia dan siapa calon suami.[20]

7. Gugur/Rusaknya Mahar

Mahar yang rusak bisa terjadi karena barang itu sendiri atau karena sifat-sifat dari barang tersebut, seperti tidak diketahui atau sulit diserahkan, Mahar yang rusak karena zatnya sendiri, yaitu seperti khamar yang rusak karena sulit dimiliki atau diketahui, pada dasarnya disamakan dengan jual beli yang mengandung lima persoalan pokok, yaitu:

  • Barangnya tidak boleh dimiliki;
  • Mahar digabungkan dengan jual beli;
  • Penggabungan mahar dengan pemberian;
  • Cacat pada mahar; dan
  • Persyaratan dalam mahar.

Dalam hal barangnya tidak boleh dimiliki seperti: khamar, babi, dan buah yang belum masak atau unta yang lepas, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa akad nikahnya tetap sah apabila telah memenuhi mahar mitsli. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat tentang dua riwayat yang berkenaan dengan persoalan ini. Pertama, akad nikahnya rusak dan harus dibatalkan (fasakh), baik sebelum maupun sesudah dukhul. Pendapat ini juga dikemukkan oleh Abu Ubaid. Kedua, apabila telah dukhul, maka akad nikah menjadi tetap dan istri memperoleh mahar mitsli.

Mengenai penggabungan mahar dengan jual beli, ulama fikih berbeda pendapat seperti: jika pengantin perempuan memberikan hamba sahaya kepada pengantin laki-laki, kemudian pengantin laki-laki memberikan seribu dirham untuk membayar hamba dan sebagai mahar, tanpa menyebutkan mana yang sebagai harga dan mana yang sebagai mahar, maka Imam Malik dan Ibnul Qasim melarangnya, seperti juga Abu Saur. Akan tetapi, Asyab dan Imam Abu Hanifah membolehkan, sedangkan Abu Ilah mengadakan pemisahan dengan mengatakan bahwa apabila dari jual beli tersebut masih terdapat kelebihan sebesar seperempat dinar ke atas, maka cara seperti itu dibolehkan.

Tentang penggabungan mahar dengan pemberian, ulama juga berselisih pendapat, misalnya dalam hal seseorang yang menikahi wanita dengan mensyaratkan bahwa pada mahar yang diberikannya terdapat pemberian untuk ayahnya (perempuan itu). Perselisihan itu terbagi dalam tiga pendapat.

Imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan bahwa syarat tersebut dapat dibenarkan dan maharnya pun sah. Imam Syafl’i mengatakan bahwa mahar itu rusak, dan istrinya memperoleh mahar mitsli. Adapun Imam Malik berpendapat bahwa apabila syarat itu dikemukakan ketika akad nikah, maka pemberian itu menjadi milik pihak perempuan, Sedangkan apabila syarat itu dikemukakan setelah akad nikah, maka pemberiannya menjadi milik ayah.

Mengenai cara yang terdapat pada mahar, ulama flkih juga berbeda pendapat. Jumhur ulama mengatakan bahwa akad nikah tetap terjadi. Kemudian, mereka berselisih pendapat dalam hal apakah harus diganti dengan harganya, atau dengan barang yang sebanding, atau juga dengan mahar mitsli.

Imam Syafl’i terkadang menetapkan harganya dan terkadang menetapkan mahar mitsli. Imam Malik dalam satu pendapat menetapkan bahwa harus meminta harganya, dan pendapat lain minta barang yang sebanding. Sedangkan Abu Hasan Al-Lakhimi berkata, “Jika dikatakan, diminta harga terendahnya atau mahar mitsli, tentu lebih tepat. Adapun Suhnun mengatakan bahwa nikahnya batal.

Mengenai gugurnya mahar, suami bisa terlepas dari kewajibannya untuk membayar mahar seluruhnya apabila perceraian sebelum persetubuhan datang dari pihak istri, misalnya istri keluar dari Islam, atau mem-fasakh karena suami miskin atau cacat, atau karena perempuan tersebut setelah dewasa menolak dinikahkan dengan suami yang dipilih oleh walinya, Bagi istri seperti ini, hak pesangon gugur karena ia telah menolak sebelum suaminya menerima sesuatu darinya.

Begitu juga mahar dapat gugur apabila istri, yang belum digauli, melepaskan maharnya atau menghibahkan padanya. Dalam hal seperti ini, gugumya mahar karena perempuan sendiri yang menggugurkannya. Sedangkan mahar sepenuhnya berada dalam kekuasaan perempuan.

8. Mahar yang Dipersengketakan Suami Istri

Persengketaan antara suami istri tidak terlepas dari masalah penerimaan, apakah mahar sudah diterima atau belum, atau kadar besarnya mahar, macamnya atau waktunya yakni apakah mahar itu menjadi wajib.

a. Kadar Mahar

Jika terjadi persengketaan antara suami istri tidak terlepas dari masalah penerimaan, apakah mahar sudah diterima atau belum, atau kadar besarnya mahar, macamnya, atau waktunya yakni apakah mahar itu menjadi wajib.

Imam Malik mengatakan bahwa apabila persengketaan tersebut terjadi sebelum dukhul, sedang suami mengeluarkan kata-kata yang mirip dengan kata-kata istri juga mengemukakan kata-kata yang mirip dengan kata-kata suami, maka keduanya saling bersumpah dan saling membatalkan. Jika salah satu bersumpah, sedangkan yang lainnya menolak, maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata orang yang bersumpah. Jika keduanya menolak, maka keduanya Sama dengan apabila mereka bersumpah. Jika salah satunya mengeluarkan kata-kata yang mirip, maka kata-katanya itulah yang dijadikan pegangan.

Apabila persengketaan itu terjadi sesudah dukhul maka yang dijadikan adalah kata-kata suami, Abu Saur, Ibnu Abu Laila, Ibnu Syubrumah mengatakan bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami dengan sumpahnya. Fuqaha lain mengatakan bahwa, yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri sehingga mencapai mahar mitsli, dan kata-kata suami apabila lebih dari mahar mitsli. Imam Syaf‘l’i dan Al-Tsauri mengemukakan bahwa apabila terjadi persengketaan antara suami istri, keduanya diperintahkan untuk bersumpah dan dikembalikan kepada mahar mitsli.

Dalam kitab Fathul Mu’in juga disebutkan, “Apabila terjadi persengketaan antara suami istri mengenai jumlah besarnya mahar serta anggapan suami lebih kecil, atau mengenai sifat mahar, yaitu jenis mahar, misalnya: dinar, kontan, atau diangsur membayarnya, padahal tidak ada bukti yang dikemukakan oleh salah satu pihak atau keduanya mengemukakan bukti yang saling bertentangan, maka, sebagaimana dalam masalah jual beli, kedua belah pihak harus melakukan sumpah yang sekaligus untuk menguatkan anggapan sendiri dan menolak anggapan pihak lawan. Kemudian, setelah terjadi sumpah, maka mahar yang disebut jumlahnya dalam akad menjadi rusak, dan suami wajib membayar mahar mitsli sekalipun lebih besar daripada anggapan istri.

b. Penerimaan Mahar

Apabila suami istri bersengketa masalah penerimaan, yaitu apabila istri mengatakan belum menerima mahar, sedangkan suami mengatakan sudah memberikannya, maka jumhur fuqaha, seperti Imam Syafi’i, Al-Tsauri, Ahmad, dan Abu Saur berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri, dan ini lebih baik, karena ia menjadi pihak tergugat.

Imam Malik berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata istri sebelum dukhul, dan dijadikan pegangan kata-kata suami sesudah dukhul. Sebagian pengikut Imam Malik mengatakan bahwa yang mendorong Imam Malik berpendapat demikian adalah karena berdasarkan kebiasaan (‘urf) yang berlaku di Madinah bahwa seorang suami tidak boleh menggauli istrinya kecuali sesudah membayar mahar. Jika dalam suatu negeri tidak terdapat ‘urf (kebiasaan) seperti itu, maka yang dijadikan pcgangan selamanya adalah kata-kata istri. Di kalangan pengikut Imam Malik terdapat perbedaan pendapat tentang terjadinya dukhul tersebut sudah lama, apakah dalam hal ini yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami beserta sumpahnya atau tidak?

c. Persengketaan Mengenai Macam/Jenis Mahar

Apabila suami misalnya berkata, “Aku nikahi kamu dengan hamba sahaya ini sebagai mahar,” sedangkan istri mengatakan, “Aku nikahi kamu dengan budak ini”. Menurut pendapat yang terkenal dalam mazhab Maliki bahwa. “Keduanya saling bersumpah dan saling membatalkan, jika persengketaan terjadi sebelum dukhul. Akan tetapi, kalau persengketaan terjadi sesudah dukhul, maka akad nikah tetap sah dan istri memperoleh mahar mitsli selama tidak lebih banyak dari jumlah yang digugat istri atau tidak lebih sedikit dari jumlah yang diakui suami.

Ibnu Qasar berpendapat bahwa keduanya saling bersumpah sebelum dukhul. Adapun kalau sesudah dukhul, maka yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami. Sedangkan Ashbah berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami apabila kata-katanya mirip, baik mirip dengan kata-kata istri atau tidak. Jika kata-kata suami mirip sedang kata-kata istri juga mirip, maka kata-katanya itulah yang dipegang Dan jika kata-kata istri tidak mirip, maka keduanya saling bersumpah dan istri memperoleh mahar mitsli.

Dalam persoalan ini, pendapat Imam Syafi’i sama dengan pendapatnya mengenai persengketaan kadar mahar, yakni suami istri saling bersumpah dan kembali kepada mahar mitsli.

d. Persengketaan Mengenai Waktu

Dalam masalah waktu, perbedaan pendapat bisa terjadi berkenaan dengan tunggakan. Menurut pokok-pokok pendapat Imam Malik berdasarkan riwayat yang terkenal darinya yang dijadikan pegangan dalam masalah tunggakan adalah kata-kata orang yang berutang, karena disamakan dengan jual beli. Perbedaan pendapat juga bisa teljadi berkenaan dengan kapankah mahar menjadi, apakah sebelum dukhul, atau sesudahnya?

Fuqaha yang menyamakan pernikahan dengan jual beli, maka mereka berpendapat bahwa, mahar baru menjadi wajib setelah dukhul, sedang fuqaha yang berpendapat bahwa pernikahan merupakan suatu ibadah yang menjadi syarat kehalalan, maka mereka mengatakan bahwa mahar menjadi wajib sebelum dukhul, Itulah sebabnya Imam Malik menganjurkan agar suami memberikan mahar sebelum dukhal.

Dalam hal maskawin/mahar, istri berhak menerima mahar mitsli. Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam menjelaskan sebagai berikut.

Pasal 35

1). Suami yang mengatakan istrinya qabla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.

2). Apabila suami meninggal dunia qabla al-dukhul, seluruh mahar yang ditetapkan menjadi hak penuh istrinya.

3). Apabila perceraian terjadi qabla al-dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsli.

Pasal 36

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya, atau dengan barang lain yang sama nilainya, atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal 37

Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan  Agama.

Pasal 38

1). Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai wanita tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahar dianggap kurang.

2). Apabila istri menoIak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.[21]

 

Download File Doc

[1]Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 81.  

[2]Kamus Istilah Fiqh, hlm. 184. Lihat Zakiyah Daradjat, Op.Cit., hlm. 83. Lihat pula H. Abdurahman Ghazali, op, cit, hlm. 84

[3]Al-Qur’an dan terjemahnya

[4]Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, juz 4, m. 94

[5]Al-Qur’an dan terjemahnya

[6]Al-Qur’an dan terjemahnya

[7]Al-Qur’an dan terjemahnya

[8]Abdurrahman Al-Jaziri, Op.Cit., hlm. 103.

[9]Mukhtrar Kamal, Op.Cit., hlm. 82.

[10]Mukhtrar Kamal, Op.Cit., hlm. 83.

[11]H.Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 88-89

[12]Ibid.

[13]Bandingkan dengan Ibn Rusyd, Op.Cit.,hlm. 14-15.

[14]Ibid, hlm. 15.

[15]M. Abdul Mujid dkk, Kamus Istilah Fikih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), hlm. 185.

[16]Al-Qur’an dan terjemahnya

[17]Abd. Rahman Ghazali, Op.Cit., hlm. 93.

[18]M. Abdul Mujib dkk, Op.Cit., hlm. 185; H. Abd. Rahman Ghazali. Op.Cit., hlm. 93.

[19]Al-Qur’an dan terjemahnya

[20]Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 75.

[21]KHI

Sunday, September 20, 2020

PACARAN DAN PEMINANGAN DALAM PERKAWINAN


1. Etika Pacaran

Akhir-akhir ini, proses khithbah (peminangan) biasanya diawali dengan adanya pacaran. Dalam bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan dan kekasih. Dalam praktiknya, istilah pacaran dengan tunangan sering dirangkai menjadi satu.[1] Muda-mudi yang pacaran, kalau ada kesesuaian lahir batin, dilanjutkan dengan tunangan. Sebaliknya, mereka yang bertunangan biasanya diikuti dengan pacaran. Agaknya, pacaran di sini, dimaksudkan sebagai proses mengenal pribadi masing-masing, yang dalam ajaran Islam disebut dengan ”Ta’aruf” (saling kenal-mengenal).

Akibat pergeseran sosial, dewasa ini, kebiasaan pacaran masyarakat kita menjadi terbuka. Terlebih saat mereka merasa belum ada ikatan resmi, akibatnya bisa melampaui batas kepatutan. Kadangkala, seorang remaja menganggap perlu pacaran untuk tidak hanya mengenal pribadi pasangannya, melainkan sebagai pengalaman, uji coba, maupun bersenang-senang belaka. Itu terlihat dari banyaknya remaja yang gonta-ganti pacar, ataupun masa pacaran yang relatif pendek. Beberapa kasus yang diberitakan oleh media massa juga menunjukkan bahwa akibat pergaulan bebas atau bebas bercinta (free love) tidak jarang menimbulkan hamil pranikah, aborsi, bahkan akibat rasa malu di hati, bayi yang terlahir dari hubungan mereka berdua lantas dibuang begitu saja sehingga tewas.[2]

Islam sebenarnya telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang untuk mendekati zina. Seperti tersebut dalam surat Al-Isra ayat 32: '

ولا تقربوا الزنا انه كان فاحشة وساء سبيلا

Terjemahnya:

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (QS Al-Isra/17: 32)[3]

Dalam Al-Qur’an, Allah swt. telah memberikan petunjuk, bahwa Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku serta berbangsa-bangsa adalah agar mereka dapat berinteraksi (berhubungan) dan saling kenal-mengenal. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:

 يا ايها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم ان الله عليم خبير

 Terjemahnya:

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang Zakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagiMaha Mengenal. (QS Al-Hujurat/49: 13)[4]

Dengan demikian, Islam memiliki etika dalam pergaulan dan mengadakan perkenalan antara pria dan wanita (pacaran), di mana tahapan umumnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, proses ta’aruf atau perkenalan. Setelah bertemu dan tertarik satu sama lain, dianjurkan untuk dapat mengenal kepribadian, latar belakang sosial, budaya, pendidikan, keluarga, maupun agama kedua belah pihak. Dengan tetap menjaga martabat sebagai manusia yang dimuliakan Allah, artinya tidak terjerumus pada perilaku tak senonoh, bila di antara mereka berdua terdapat kecocokan, maka bisa diteruskan dengan saling mengenal kondisi keluarga masing-masing, misalnya dengan jalan bersilaturrahmi ke orang tua keduanya.

Nabi saw., memberikan tips bagi seseorang yang hendak memilih pasangannya, yaitu mendahulukan pertimbangan keberagamaan daripada motif kekayaan, keturunan maupun kecantikan atau ketampaman.[5]

Kedua, proses khithbah, yakni melamar atau meminang.

2. Pengertian Peminangan (Khithbah)

Kata ”peminangan berasal dari kata ”pinang, meminang” (kata kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa Arab disebut ”khithbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya (antara lain)[6] meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi, peminangan ialah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.[7] Atau, seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.[8]

Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan yang disyariatkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinah didasari kerelaan yang didapatkan dari penelitian, pengetahuan, serta kesadaran masing-masing pihak:

Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah perempuan yang memehuhi syarat sebagai berikut:[9]

  • Tidak dalam pinangan orang lain;
  • Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada penghalang syara’ yang melarang dilangsungkannya pernikahan;
  • Perempuan itu tidak dalam masa idah karena talak raj’i; dan
  • Apabila perempuan dalam masa idah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan).

3. Melihat Pinangan

Untuk kebaikan dalam kehidupan berumah tangga kesejahteraan dan kesenangannya, seyogianya laki-laki melihat dulu perempuan yang akan dipinangnya sehingga ia dapat menentukan apakah peminangan itu diteruskan atau dibatalkan.

Dalam agama Islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batas-batas tertentu, berdasarkan sabda Nabi Saw.:

عن المغيرة ابن شعبة انه خطب امراة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم ا نظرت اليها ؟ قال: لا، قال: انظر  اليها فانه ان يؤدم بينكما )رواه النسائي و ابن ماجه والترمذي(

Artinya:

Dari Mughirah bin Syu’bah, ia meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah saw. bertanya kepadanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia menjawab: Belum. Sabda Nabi: Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng. (HR. Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Mengenai bagian badan wanita yang boleh dilihat ketika dipinang, para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Fuqaha yang lain (seperti Abu Daud al-Dhahiry). Membolehkan melihat seluruh badan, kecuali dua kemaluan sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka, dan dua telapak tangan.

Silang pendapat ini disebabkan karena dalam persoalan ini terdapat suruhan untuk melihat wanita secara mutlak, terdapat pula larangan secara mutlak, dan ada pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada muka dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman:

ولا يبدين زينتهن الا ما ظهر منها

Terjemahnya:

Dan janganlah (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya (QS Al-Nur/24: 31).[10]

Maksud ”perhiasan yang biasa tampak daripadanya” adalah muka dan dua telapak tangan. Di samping itu, juga diqiyaskan dengan kebolehan membuka muka dan telapak tangan pada waktu berhaji, oleh kebanyakan fuqaha. Adapun fuqaha yang melarang melihat sama sekali, mereka berpegang kepada aturan pokok, yaitu melihat seorang wanita.[11]

Berdasarkan salah satu riwayat dari Abu Razaq dan Said bin Manshur, Umar pernah meminang putri Ali yang bernama Ummu Kulsum. Ketika itu, Ali menjawab bahwa putrinya masih kecil. Kemudian, Ali berkata lagi: ”Nanti akan saya suruh datang Ummu Kulsum itu kepadamu, bilamana engkau suka, engkau dapat menjadikannya sebagai calon istri.” Setelah Ummu Kulsum datang kepada Umar, lalu Umar membuka pahanya, serentak Ummu Kulsum berkata: “Seandainya Tuan bukan seorang khalifah, tentu sudah saya colok kedua mata tuan.[12]

Bilamana seorang laki-laki melihat bahwa pinangannya ternyata tidak menarik, hendaklah dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya, sebab boleh jadi perempuan yang tidak disenanginya itu akan disenangi orang lain.

4. Meminang Pinangan Orang Lain

Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menghalangi hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketenteraman. Hukum tersebut berdasarkan sabda Nabi Saw.:

المؤمن اخو المؤمن فلا يحل له ان يبتاع على بيع اخيه ولا يخطب على خطبة اخيه حتى يدري رواه احمد ومسلم

Artinya:

Orang mukmin dengah mukmin adalah bersaudara, maka tidak boleh ia membeli barang yang sedang dibeli saudaranya, dan jangan meminang pinangan saudaranya hingga ia meninggalkannya. ” (HR Ahmad dan Muslim) .[13]

Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda:

لا يبيع الرجل على بيع اخيه ولا يخطب على خطبة اخيه ولا تسأل المراة طلاق أختها  لتكتفي ما في انائها او ما في صحفتها )رواه مسلم(

Artinya:

Seorang laki-laki tidak boleh menawar barang yang sudah ditawar oleh saudaranya, dan tidak juga ia boleh melamar atas lamaran saudaranya. Dan seorang wanita tidak boleh meminta perceraian saudara perempuannya supaya ia dapat mendapatkan bagian yang ada di bejananya atau apa yang terdapat dalam piringnya sendiri” (HR Muslim).[14]

Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu telah menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan mengizinkanya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi, kalau pinangan semua ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau karena laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sudah meminangnya, atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka yang demikian itu diperbolehkan.[15]

Tirmidzi meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang makna hadis tersebut sebagai berikut: “Bilamana perempuan yang boleh dipinang merasa rida dan senang maka tidak ada seorang pun meminangnya lagi, tetapi kalau belum diketahui rida dan senangnya, maka tidaklah berdosa meminangnya.”

Jika pinangan laki-laki pertama sudah diterima, namun wanita tersebut menerima pinangan laki-laki kedua kemudian menikah dengannya, maka hukumnya berdosa, tetapi pernikahannya tetap sah, sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedang meminang itu bukan merupakan salah satu syarat sah nikah. Karena itu, pernikahannya tidak boleh dibatalkan walaupun peminangnya itu merupakan tindakan pelanggaran. Imam Abu Daud berkata, ”Pernikahannya dengan peminang kedua harus dibatalkan, baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.”[16]

Ibnu Qasim berpendapat bahwa yang dimaksud larangan tersebut adalah jika seorang yang baik (saleh) meminang di atas pinangan orang saleh pula. Sedangkan apabila peminang pertama tidak baik, sedangkan peminang kedua adalah baik, maka pinangan semacam itu diperbolehkan.[17]

Adapun mengenai waktu pelaksanaan pernikahan, para fuqaha berpendapat waktunya adalah ketika masing-masing pihak (peminang yang dipinang) sudah suka antara satu dengan lainnya, dan bukan pada waktu awal peminangan.[18] Pendapat ini didasarkan atas hadis Fatimah binti Qais r.a.:

جاءت فاطمة الى النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت له ان ابا جهم ابن حذيفة و معاوية ابن سفيان خطباها، فقل: اما ابو جهم فرجل لا يرفع وعصاه عن النساء، و اما معاوية فصعلوك لا مال له ولكن انكحي اسامة

Artinya:

Fatimah datang kepada Nabi saw., kemudian ia menceritakan kepada beliau bahwa Abu jahm bin Hudzaifah dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan telah meminangnya. Maka Nabi Saw. bersabda: Abu jahm adalah orang yang tidak pernah mengangkat tongkatnya kepada seorang perempuan (suka memukul). Adapun Muawiyah adalah orang miskin, tetapi nikahlah kamu dengan Usamah.

5. Meminang Perempuan yang Sedang Dalam Masa Idah

Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa idah, baik karena kematian suaminya, karena talak raj’i maupun talak ba’in, maka hukumnya haram.

Jika perempuan yang sedang idah karena talak raj’i, ia haram dipinang, karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak merujuknya kembali sewaktu-waktu ia suka. Jika perempuan yang sedang idah karena talak ba’in maka ia haram dipinang secara terang-terangan karena mantan suaminya masih tetap mempunyai hak terhadap dirinya juga masih mempunyai hak untuk menikahinya dengan akad baru. Jika ada laki-laki lain meminangnya di masa idahnya berarti ia melanggar hak mantan suaminya.

Dalam hal boleh atau tidaknya meminang perempuan yang sedang idah secara sindiran, kalangan ahli flkih berbeda pendapat. Pendapat yang benar menyatakan boleh. Perempuan yang sedang idah karena kematian suaminya boleh dipinang secara sindiran selama masa idah, karena hubungan suami istri di sini telah terputus sehingga hak suami terhadap istrinya hilang sama sekali. Meskipun demikian, pinangan yang diajukan kepada perempuan tersebut hendaknya tidak mengganggunya, apalagi sampai mencemarkan namanya di mata tetangga atau kerabatnya. Allah Swt. berfirman:

ولا جناح عليكم في ما عرضتم به من خطبة النساء او اكننتم في انفسكم علم الله انكم ستذكرونهن ولكن لا تواعدوهن سرا الا ان تقولوا قولا معروفا ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب اجله واعلموا ان الله يعلم مافى  انفسكم فاحذروه

Terjemahnya:

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan, sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf, dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ’idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maha takutlah kepada-Nya, ......... (QS Al-Baqarah/2: 235)[19]

Maksud perempuan-perempuan di sini adalah perempuan yang sedang dalam masa idah karena kematian suaminya, sebab yang dibicarakan dalam ayat di atas adalah soal kematian. Sedangkan maksud dari kata sindiran adalah seseorang yang mengucapkan kata-kata tersuratnya berlainan dengan yang tersiratnya. Mislanya: Saya ingin menikah, atau saya mengharapkan sekali agar Allah memudahkan jalan bagiku untuk memperoleh istri yang salehah. Termasuk dalam kategori meminang dengan sindiran adalah memberikan hadiah kepada perempuan yang sedang dalam masa idah, atau laki-laki itu menguji dirinya dengan menyebutnya jasa baiknya sebagai cara meminang dengan sindiran. Hal ini pernah dilakukan oleh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein.[20]

Sukainah binti Hanzhalah menceritakan, ”Ali bin Muhammad bin Ali pernah meminangku ketika masa idahku belum selesai (karena suamiku meninggal), Ia berkata Engkau tentu tahu bahwa aku adalah kerabatnya Rasulullah saw. dan kerabatnya Ali, serta betapa mulianya kedudukanku di kalangan bangsa Arab. Lalu Aku menjawab: ”Mudah-mudahan Allah mau mengampuni kamu, wahai Abu Ja’far! Engkau adalah seorang yang menjadi teladan, tetapi engkau meminangku di masa idahku begini?” Ia menjawab: ”Saya hanya sekadar membaritahukan kepadamu tentang hubungan kerabatku dengan Rasulullah dap Ali.”

Rasulullah sendiri pernah masuk ke rumah Ummu Salamah ketika masa idah karena kematian Abu Salamah. Beliau bersabda kepadanya:

و لقد علمت اني رسول الله و خيرته و موضعي في قومي رواه الدارقطني

Artinya:

Tentu engkau sudah tahu bahwa aku ini seorang Rasul dan terbaik, serta betapa mulianya kedudukan di kalangan bangsaku. (HR Daruquthni)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum meminang dengan terang-terangan kepada mantan istri orang lain ketika masa idahnya adalah haram. Kalau meminang dengan sindiran kepada perempuan yang sedang idah karena talak ba’in atau talak mati itu boleh, maka pinangan kepada perempuan yang sedang idah karena talalz raj’i hukumnya adalah haram.

Bagaimana hukumnya meminang secara terang-terangan kepada perempuan yang sedang idah, tetapi pelaksanaan akad nikahnya sesudah idahnya habis? Dalam hal ini, para ulama fikih berbeda pendapat.

Menurut Imam Malik, akad nikahnya sah, tetapi meminangnya secara terang-terangan itu haram, karena antara meminang dan akad nikah itu berlainan. Tetapi, bilamana akad nikahnya terjadi pada masa idah, maka para ulama sepakat harus dibatalkan, sekalipun antara mereka berdua telah terjadi persetubuhan. Apakah nantinya boleh dinikahkan lagi atau tidak sesudah masa idahnya habis? Imam Malik, Al-Laits, dan Al-Auza’i berkata: Tidak boleh menikah lagi setelah masa idahnya habis. Jumhur ulama berpendapat bahwa mereka boleh menikah lagi kapan saja mereka suka, asalkan masa idahnya telah habis.[21]

6. Berkhalwat (Menyendiri) dengan Tunangan

Menyendiri dengan tunangan hukumnya haram, karena ia bukan muhrimnya. Ajaran Islam tidak memperkenankan melakukan sesuatu terhadap pinangannya kecuali melihat. Hal ini karena menyendiri dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan yang dilarang agama. Akan tetapi, bila ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat, maka dibolehkan. Dalam kaitan ini, Rasulullah Saw. bersabda:

عن ابن عباس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا يخلون رجل بإمراة إلا مع ذي محرم )رواه البخاري(

 Artinya:

Dari Ibnu Abbas dari Nabi Saw., beliau bersabda: “janganlah seorang laki-laki bersama dengan seorang perempuan, melainkan (hendaklah) besertanya (ada) mahramnya” (HR Bukhari).[22]

Dalam hadis yang lain, yaitu riwayat Muslim, Rasulullah Saw. menyatakan sebagai berikut.

عن جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يبيتن رجل عند امراة الا ان يكون نا كحا او ذا حرام )رواه مسلم(

Artinya:

Dari jabir r.a., ia 'berkata, bahwa Rasululah saw., bersabda: “Tidak boleh bermalam seseorang bersama dengan seorang wanita, kecuali dengan laki-laki yang menikahinya atau dengan mahramnya” (H.R. Muslim).

Syarah Hadis

Kalimat “Laa Yakhluwanna”= Tidak boleh berkhalwat (berduaan di tempat sunyi), menunjukkan tentang haramnya berkhalwat tersebut, baik di waktu malam maupun di waktu siang. Seseorang boleh berkhalwat dengan seorang wanita asalkan ditemani dengan mahram wanita tersebut. Hal ini dilakukan untuk menjaga kekhawatiran terjadinya zina yang selalu diharapkan oleh setan.[23]

Dalam hadis yang lain dijelaskan “karena orang ketiga dari keduanya adalah setan" dengan redaksi ”Fainna tsalitsahuma asy-syaithan. ”

Adapun hadis yang kedua dari Jabir mengatakan bahwa tidak boleh bermalam seorang laki-laki dengan seorang wanita kecuali dengan suaminya. Kata "Yabitanna" artinya bermalam.

Dalam riwayat Muslim yang lain, berbunyi: La yabi‘tanna rajulun ’inda imra’atin tsayyibin” ini berarti bahwa yang dilarang itu bermalam dalam rumah seorang wanita janda. Diberinya tambahan dengan wanita janda ini, karena biasanya seorang laki-laki akan lebih mudah menemui wanita janda tidak sesukar menemui seorang gadis. Larangan menemui seorang janda di waktu malam ini mengandung adanya makna lebih dilarang lagi untuk menemui gadis di waktu malam.[24]

Kedua hadis tersebut merupakan dalil tentang haramnya berkhalwat dengan wanita ajnabiyah (asing/boleh dinikahi) dan boleh berkhalwat dengan mahramnya, yang dimaksud dengan mahram ialah seseorang yang haram dinikahi, karena ada hubungan nasab atau susuan.[25]

Melihat aurat mahram/mahramah, hukumnya boleh/tidak haram, selain bagian antara pusar dan lutut. Seorang perempuan tidak boleh keluar rumah, kecuiali bersama dengan mahram/mahramahnya.[26]

Jika ada keperluan kepada wanita yang bukan muhrini, Al-Qur’an telah mengajarkan, yaitu melalui tabir.

واذا سالتموهن متاعا فسئلوهن من وراء حجاب

Terjemahnya:

 jika kamu meminta suatu keperluan kepada wanita yang bukan mahram, maka mintalah dari luar dinding. ” (QS Al-Ahzab/33: 53)[27]

Larangan tersebut, antara lain, dimaksudkan sebagai batasan dalam pergaulan antara lawan jenis demi menghindari fitnah. Dalam kenyataannya, di negara-negara yang menganut pergaulan bebas, norma-norma hukum dan kesopanan, yang merupakan salah satu pembeda antara manusia dengan binatang, seakan-akan hilang.

Oleh karena itu, larangan Islam, tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan, tetapi lebih dari itu, yaitu untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan lawan jenis merupakan salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah. Dengan demikian, larangan perbuatan tersebut, sebenarnya sebagai langkah preventif agar tidak melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan yang telah disepakati masyarakat.[28]



Download file Doc

[1]Abd. Rachman Assegaf, Studi Islam Kontekstual, Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah (Yogyakarta: Gama Media, 2005) cet ke-I, hlm. 133.

[2]Ibid

[3]Al-Qur’an

[4]Al-Qur’an

[5]Abd. Rachman Assegaf, Op.Cit., hlm. 135.

[6]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet ke-3 hlm. 556.

[7]H. Abdurahman, Op.Cit., hlm. 113.

[8]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 20. Lihat pula Dahlan Idhamy, Asas-asas Fikih Munakahat: Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1984), hlm. 15. dan lihat pula Selamet Abidin, Fikih Munakahat (Bandung: Pusaka Setia, 1999), hlm. 41.

[9]H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 24-25.

[10]Al-Qur’an

[11]Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), Juz 2,hlm. .37.

[12]Slamet Abidin dan Aminudin, Op.Cit., hlm. 43-44.

[13]Hadis Riwayat Ahmad dan Muslim; lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fikih Munakahat (Jakarta, Prenada Media, 2003), hlm. 77.

[14]Hadis riwayat Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya, bab Al-Nikah, X/198; bandingkan dengan Muhammad Ali As-Shabuni, Al-Zawaj aI-Islami AI-Mubakkir Sa’adah Wa Hasanah, Edisi Indonesia Pernikahan Dini (Solusi Praktis menghadapi Perilaku Seks Bebas), alih bahasa M. Abdul Ghaffar,(Jakarta: Pustaka Al-Naba, 2002), hlm. 62.

[15]H. Abdurrahman Ghazaly, Op.Cit., hlm. 78.

[16]H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Op.Cit., hlm. 24-25.

[17]H. Abdurrahman Ghazaly, Op.Cit., hlm. 78.

[18]Ibn Rusyd, Op.Cit., hlm. 2-3.

[19]Al-Qur’an

[20]Sayyid Sabiq, Op.Cit., hlm. 21-22.

[21]Ibid., hlm. 22-23.

[22]Subulus Salam, Jilid III, hlm. 209.

[23]H. Muhammad Syafl’i, Op.Cit., hlm. 54.

[24]Ibid.

[25]Abdul Mudjieb dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1994) hlm. 186.

[26]Ibid

[27]Al-Qur’an

[28]H. Rachmat Syafi'i, Op.Cit., hlm. 219. “Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 81.