Showing posts with label HUKUM PIDANA. Show all posts
Showing posts with label HUKUM PIDANA. Show all posts

Sunday, June 28, 2020

MACAM-MACAM TEORI TUJUAN HUKUM



A.    TEORI ETIS

Dalam bukunya yang berjudul Rhetorica dan Ethica Nicomachea, filosof Aristoteles memperkenalkan teori etis. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah ius suum cuique tribuere yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya.[1] Atau slogan lengkapnya berbunyi, "Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere".[2] Dari slogan tersebut dapat dipahami bahwa apa yang menjadi bagian atau hak seseorang itu tidaklah selalu sama. Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa keadilan itu tidak selamanya diartikan dengan sama rata. Karena konsep penyamarataan dalam kondisi tertentu dapat mengarah kepada ketidakadilan. 
Selanjutnya,  terdapat dua macam keadilan yang diajarkan Aristoteles, yaitu keadilan distributif (distributief) dan keadilan komutatif (commutatief). Namun pakar hukum lain membedakan keadilan atas enam (6) macam, yaitu: keadilan distributif, komutatif, vidikatif, kreatif, protektif, dan legalis.[3] Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
a. Keadilan distributif
Keadilan distributif merupakan keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Apabila dalam Pasal 5 Undang-undang Belanda ditetapkan, bahwa "tiap-tiap orang Belanda dapat diangkat untuk tiap-tiap jabatan", maka ini belum berarti bahwa setiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan jabatan-jabatan tersebut harus diberikan kepada mereka, yang berdasarkan jasa-jasanya, patut untuk memperolehnya. Kiranya hal tersebut dapat kita bandingkan dengan pasal yang menetapkan, 'Tiap-tiap warga negam berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".[4]
Dengan demikian keadilan distributif adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Atau apabila diterjemahkan lebih lanjut, keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan suatu organisasi atau lembaga untuk memberikan kepada para anggotanya beban sosial, fungsi, imbalan, balas jasa, dan kehormatan secara proposional atau seimbang sesuai dengan kecakapan dan jasanya, bukan berdasarkan asumsi "like or dislike".[5] Sehingga terciptanya keberimbangan antara hak dan kewajiban yang merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
b. Keadilan komutatif
Keadilan komutatif, merupakan keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan macam ini memegang peranan dalam tukar menukar barang dan jasa, yang sedapat mungkin terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Di sini kita dapat melihat bahwa yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan, dan asas ini melandasi hubungan antar warga masyarakat terutama yang berkecimpung dalam bidang perdagangan. Dengan demikian, ada kesenilaian antara prestasi dengan kontraprestasi.
c. Keadilan vindikatif
Keadilan vindikatif merupakan keadilan yang memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian seseorang tidak dapat diberikan sanksi terhadap perbuatan yang tidak ia lakukan begitupun sebaliknya, bahwa seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau kesalahan harus mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.
d. Keadilan kreatif
Keadilan kreatif merupakan keadilan yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya. Misa1nya perlindungan hak cipta terhadap karya-karya yang telah dihasilkan oleh seseorang dari para plagiator.
e. Keadilan protektif
Keadilan protektif merupakan keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang. Misalnya dalam hal ini Undang-undang tentang HAM yang memberikan perlindungan bagi setiap orang agar tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang. 
e. Keadilan legalis
Keadilan legalis merupakan keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang [6]Misalnya dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya". Begitu pula keadilan legalis ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menetapkann:[7]
"Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan"..
Berdasarkan uraian macam-macam keadilan tersebut dapat dipahami bahwa Teori Keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles disebut sebagai teori etis, karena menurut teori ini kandungan dari sebuah hukum harus didasarkan atas kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Menurut LJ. van Apeldoorn teori etis ini dianggap berat sebelah, sebab terlalu mengangung-agungkan keadilan yang pada akhirnya tidak akan mampu membuat peraturan umum. Sedangkan perturan umum itu merupakan sarana untuk kepastian dan tertib hukum. Dari sinilah timbul kesenjangan antara tuntutan keadilan di satu pihak, dan tuntutan kepastian di lain pihak. Semakin tepat dan tajam suatu peraturan hukum, maka semakin terdesaklah keadilan. Muncullah adagium, "Summum ius, summa iniuria" yang berarti, "Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi".[8] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta menyatakan bahwa "tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat itu, yang akhirnya bermuara pada keadilan.[9] Tetapi perlu disadari bahwa keadilan mengandung makna yang sangat luas, sehingga memungkinkan terjadi perbedaan dalam memahami nilai-nilai keadilan tersebut. Hal-hal seperti ini tidak akan luput dan senantiasa akan terjadi tergantung dari sudut mana keadilan itu dipandang.

B.   TEORI UTILITAS

Di dalam bukunya yang berjudul Introduction to The Principles of Morals and Legislation (1780), Jeremy Bentham, seorang pakar hukum Inggris memperkenalkan suatu teori tentang tujuan hukum. Menurut Bentham, hukurn bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah, "The greatest happiness for the greatest number". Artinya, "Kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak". Ajaran Bentham disebut juga sebagai eudaemonisme atau utilitarisme.[10] Di dalam .teori utilitas ini selanjutnya diajarkan bahwa hanya dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang terbanyak. Setiap orang adalah bernilai penuh (volwaardig), tidak seorang pun bemilai lebih, "Everybody to count for one, no body for more than one". Karena teori ini sangat mengagung-agungkan kepastian hukum dan memerlukan adanya peraturan yang berlaku umum, maka muncullah semboyan yuridis yang terkenal, "Lex dura sed tament scripta" atau Lex dura sed ita scripta. Menurut literatur semboyan ini dikumandangkan Ulpianus dalam Digesta, yang artinya, "Undang-undang itu keras, akan tetapi memang sudah ditentukan demikian bunyinya".[11]
Seperti halnya teori etis, teori utilitas pun dianggap sebagai teori yang berat sebelah, sebab teori ini pun dianggap bersifat subyektif, relatif, dan individual.[12]
Anggapan tersebut memang benar adanya, sebab hukum baru dapat dikatakan berhasil guna apabila sebanyak mungkin dapat mewujudkan keadilan. Apabila ada gagasan untuk mengeluarkan keadilan dari lingkungan hukum, maka akan terdapat asumsi bahwa hukum itu identik dengan kekuasaan. Sudah tentu hal ini kurang tepat, sebab yang agak tepat barangkali hukum dan kekuasaan saling membutuhkan. Hal ini kiranya sejalan dengan pandangan Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan, "Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman".[13]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik teori etis yang diperkenalkan Aristoteles maupun teori Utilitas keduanya memiliki kekurangan yang sama, yakni menitik beratkan persoalan keadilan pada satu sudut pandang tanpa melihat konsep-konsep keadilan dari sudut pandang yang lain. hal ini tentu menjadikan konsep keadilan bersifat kaku dan rapuh. Padahal makna keadilan itu sendiri sangat luas sehingga memungkinkan terjadinya penyatuan beberapa pandangan untuk menghasilkan nilai keadilan yang lebih ideal. Hal semacam itu kemungkinan dapat terjadi apabila keadilan dan kepastian hukum dijalankan secara bersamaan.
Atas kelemahan kedua teori inilah muncul teori gabungan yaitu teori yang mengkobinasikan kedua teori tujuah hukum yang terdahulu. Adapun para pakar hukum yang menganut teori gabungan ini di antaranya, L]. van Apeldoorn, van Kan, dan Bellefroid.

C.     TEORI PENGAYOMAN

Suatu peristiwa penting dalam proses pembinaan hukum nasional, adalah ditemukannya lambang keadilan yang serasi dengan kepribadian bangsa kita oleh Menteri Kehakiman Sahardjo berupa pohon beringin sebagai lambang pengayoman. Lambang pengayoman ini dimaksudkan guna menggantikan simbol keadilan negara Barat yang dirupakan oleh Dewi Themis (puteri Ouranos dan Gala) sebagai dewi keadilam.[14]
Secara logika mémang suatu kemustahilan seorang dewi cantik dalam kondisi mata tertutup karena dibalut kain hitam, tangan kiri memegang sebuah pedang, dan tangan kanan memegang sebuah dacin mampu menegakkan keadilan. Barangkali alasan itulah yang menyebabkan di negara Indonesia lambang dewi keadilan diganti oleh lambang pengayoman.
Dengan demikian, menurut teori pengayoman tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksudkan secara pasif, adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak.
Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah: 
1.     Mewujudkan ketertiban dan keteraturan; 
2.     Mewujudkan kedamaian sejati;
3.     Mewujudkan keadilan;
4.     Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.[15]
Dari upaya tersebut kita dapat menyimak, bahwa kedamaian sejati dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan suatu ketenteraman baik lahir maupun batin. Begitu pula halnya dengan ketenteraman, dianggap sudah ada, apabila warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak bergantung pada kekuatan fisik maupun nonfisik belaka. Selanjutnya selama tidak melanggar hak dan merugikan ofang lain, warga masyarakat tanpa rasa khawatir akan:
1.     Secara bebas melakukan apa yang dianggapnya benar;
2.     Secara bebas akan dapat mengembangkan bakat dan minatnya;
3.     Merasa selalu mendapat perlakuan yang wajar, begitu juga ketika ” ia telah melakukan suatu kesalahan.[16]

Download File Pdf


[1]Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentang Hukum, (Bandung: Armico, 1986), h. 8.
[2]Tim Pengajar PIH-FH-Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Unpar, 1995), h. 35
[3]R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1987), h.10.
[4]Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2), (Jakarta: BP-7 Pusat, 1974)
[5]Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 24.

[6]R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, h.10.
[7]Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah),  (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 695.
[8]S. Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1977), h. 92.
[9]Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 52.
[10]Benjamin Constant, Course de Politique Constitutionnelle, (Paris: Nouv, 1839), h. 277-293.
[11]S. Adiwinata, h. 62.
[12]Aam M. Purnama, Kuliah Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Universitas Langlangbuana, 1987-1994)
[13]Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 5.
[14]Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum, (Bandung: Binacipta, 1983), h. 568.
[15]PIH-FH-Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, (Bamdung: Unpar, 1995), h. 36.
[16]Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 29

ULASAN LENGKAP TENTANG TEORI UTILITAS



Di dalam bukunya yang berjudul Introduction to The Principles of Morals and Legislation (1780), Jeremy Bentham, seorang pakar hukum Inggris memperkenalkan suatu teori tentang tujuan hukum. Menurut Bentham, hukurn bertujuan untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan daya guna (efektif). Adagiumnya yang terkenal adalah, "The greatest happiness for the greatest number". Artinya, "Kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak". Ajaran Bentham disebut juga sebagai eudaemonisme atau utilitarisme.[1] Di dalam .teori utilitas ini selanjutnya diajarkan bahwa hanya dalam ketertibanlah setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan yang terbanyak. Setiap orang adalah bernilai penuh (volwaardig), tidak seorang pun bemilai lebih, "Everybody to count for one, no body for more than one". Karena teori ini sangat mengagung-agungkan kepastian hukum dan memerlukan adanya peraturan yang berlaku umum, maka muncullah semboyan yuridis yang terkenal, "Lex dura sed tament scripta" atau Lex dura sed ita scripta. Menurut literatur semboyan ini dikumandangkan Ulpianus dalam Digesta, yang artinya, "Undang-undang itu keras, akan tetapi memang sudah ditentukan demikian bunyinya".[2]
Seperti halnya teori etis, teori utilitas pun dianggap sebagai teori yang berat sebelah, sebab teori ini pun dianggap bersifat subyektif, relatif, dan individual.[3]
BACA JUGA TEORI ETIS
BACA JUGA TEORI PENGAYOMAN
Anggapan tersebut memang benar adanya, sebab hukum baru dapat dikatakan berhasil guna apabila sebanyak mungkin dapat mewujudkan keadilan. Apabila ada gagasan untuk mengeluarkan keadilan dari lingkungan hukum, maka akan terdapat asumsi bahwa hukum itu identik dengan kekuasaan. Sudah tentu hal ini kurang tepat, sebab yang agak tepat barangkali hukum dan kekuasaan saling membutuhkan. Hal ini kiranya sejalan dengan pandangan Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan, "Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman".[4]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa baik teori etis yang diperkenalkan Aristoteles maupun teori Utilitas keduanya memiliki kekurangan yang sama, yakni menitik beratkan persoalan keadilan pada satu sudut pandang tanpa melihat konsep-konsep keadilan dari sudut pandang yang lain. hal ini tentu menjadikan konsep keadilan bersifat kaku dan rapuh. Padahal makna keadilan itu sendiri sangat luas sehingga memungkinkan terjadinya penyatuan beberapa pandangan untuk menghasilkan nilai keadilan yang lebih ideal. Hal semacam itu kemungkinan dapat terjadi apabila keadilan dan kepastian hukum dijalankan secara bersamaan.
Atas kelemahan kedua teori inilah muncul teori gabungan yaitu teori yang mengkobinasikan kedua teori tujuah hukum yang terdahulu. Adapun para pakar hukum yang menganut teori gabungan ini di antaranya, L]. van Apeldoorn, van Kan, dan Bellefroid.

Download File Doc

Referensi

[1] Benjamin Constant, Course de Politique Constitutionnelle, (Paris: Nouv, 1839), h. 277-293.
[2] S. Adiwinata, h. 62.
[3] Aam M. Purnama, Kuliah Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Universitas Langlangbuana, 1987-1994)
[4] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 5.


ULASAN LENGKAP TENTANG TEORI PENGAYOMAN


Suatu peristiwa penting dalam proses pembinaan hukum nasional, adalah ditemukannya lambang keadilan yang serasi dengan kepribadian bangsa kita oleh Menteri Kehakiman Sahardjo berupa pohon beringin sebagai lambang pengayoman. Lambang pengayoman ini dimaksudkan guna menggantikan simbol keadilan negara Barat yang dirupakan oleh Dewi Themis (puteri Ouranos dan Gala) sebagai dewi keadilam.[1]
Secara logika mémang suatu kemustahilan seorang dewi cantik dalam kondisi mata tertutup karena dibalut kain hitam, tangan kiri memegang sebuah pedang, dan tangan kanan memegang sebuah dacin mampu menegakkan keadilan. Barangkali alasan itulah yang menyebabkan di negara Indonesia lambang dewi keadilan diganti oleh lambang pengayoman.
Dengan demikian, menurut teori pengayoman tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksudkan secara pasif, adalah mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan penyalahgunaan hak.
Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah: 
  1. Mewujudkan ketertiban dan keteraturan; 
  2. Mewujudkan kedamaian sejati;
  3. Mewujudkan keadilan;
  4. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.[2]
Dari upaya tersebut kita dapat menyimak, bahwa kedamaian sejati dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan suatu ketenteraman baik lahir maupun batin. Begitu pula halnya dengan ketenteraman, dianggap sudah ada, apabila warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak bergantung pada kekuatan fisik maupun nonfisik belaka. Selanjutnya selama tidak melanggar hak dan merugikan ofang lain, warga masyarakat tanpa rasa khawatir akan:
  1. Secara bebas melakukan apa yang dianggapnya benar;
  2. Secara bebas akan dapat mengembangkan bakat dan minatnya;
  3. Merasa selalu mendapat perlakuan yang wajar, begitu juga ketika ” ia telah melakukan suatu kesalahan.[3]
Download File Doc
Referensi

[1] Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum, (Bandung: Binacipta, 1983), h. 568.
[2] PIH-FH-Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, (Bamdung: Unpar, 1995), h. 36.
[3] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 29.

Thursday, June 25, 2020

ULASAN LENGKAP TENTANG TEORI ETIS


Dalam bukunya yang berjudul Rhetorica dan Ethica Nicomachea, filosof Aristoteles memperkenalkan teori etis. Teori ini berpendapat bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk mewujudkan keadilan. Keadilan di sini adalah ius suum cuique tribuere yang artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagian atau haknya.[1] Atau slogan lengkapnya berbunyi, "Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuere".[2] Dari slogan tersebut dapat dipahami bahwa apa yang menjadi bagian atau hak seseorang itu tidaklah selalu sama. Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa keadilan itu tidak selamanya diartikan dengan sama rata. Karena konsep penyamarataan dalam kondisi tertentu dapat mengarah kepada ketidakadilan. 
Selanjutnya,  terdapat dua macam keadilan yang diajarkan Aristoteles, yaitu keadilan distributif (distributief) dan keadilan komutatif (commutatief). Namun pakar hukum lain membedakan keadilan atas enam (6) macam, yaitu: keadilan distributif, komutatif, vidikatif, kreatif, protektif, dan legalis.[3] Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
BACA JUGA TEORI UTILITAS
BACA JUGA TEORI PENGAYOMAN
a. Keadilan distributif
Keadilan distributif merupakan keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Apabila dalam Pasal 5 Undang-undang Belanda ditetapkan, bahwa "tiap-tiap orang Belanda dapat diangkat untuk tiap-tiap jabatan", maka ini belum berarti bahwa setiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan jabatan-jabatan tersebut harus diberikan kepada mereka, yang berdasarkan jasa-jasanya, patut untuk memperolehnya. Kiranya hal tersebut dapat kita bandingkan dengan pasal yang menetapkan, 'Tiap-tiap warga negam berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".[4]Dengan demikian keadilan distributif adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Atau apabila diterjemahkan lebih lanjut, keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan suatu organisasi atau lembaga untuk memberikan kepada para anggotanya beban sosial, fungsi, imbalan, balas jasa, dan kehormatan secara proposional atau seimbang sesuai dengan kecakapan dan jasanya, bukan berdasarkan asumsi "like or dislike".[5] Sehingga terciptanya keberimbangan antara hak dan kewajiban yang merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
b. Keadilan komutatif
Keadilan komutatif, merupakan keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan macam ini memegang peranan dalam tukar menukar barang dan jasa, yang sedapat mungkin terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Di sini kita dapat melihat bahwa yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan, dan asas ini melandasi hubungan antar warga masyarakat terutama yang berkecimpung dalam bidang perdagangan. Dengan demikian, ada kesenilaian antara prestasi dengan kontraprestasi.
c. Keadilan vindikatif
Keadilan vindikatif merupakan keadilan yang memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian seseorang tidak dapat diberikan sanksi terhadap perbuatan yang tidak ia lakukan begitupun sebaliknya, bahwa seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau kesalahan harus mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.
d. Keadilan kreatif
Keadilan kreatif merupakan keadilan yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya. Misa1nya perlindungan hak cipta terhadap karya-karya yang telah dihasilkan oleh seseorang dari para plagiator.
e. Keadilan protektif
Keadilan protektif merupakan keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang. Misalnya dalam hal ini Undang-undang tentang HAM yang memberikan perlindungan bagi setiap orang agar tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang. 
e. Keadilan legalis
Keadilan legalis merupakan keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang [6]Misalnya dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya". Begitu pula keadilan legalis ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menetapkann:[7]
"Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan"..
Berdasarkan uraian macam-macam keadilan tersebut dapat dipahami bahwa Teori Keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles disebut sebagai teori etis, karena menurut teori ini kandungan dari sebuah hukum harus didasarkan atas kesadaran etis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.
Menurut LJ. van Apeldoorn teori etis ini dianggap berat sebelah, sebab terlalu mengangung-agungkan keadilan yang pada akhirnya tidak akan mampu membuat peraturan umum. Sedangkan perturan umum itu merupakan sarana untuk kepastian dan tertib hukum. Dari sinilah timbul kesenjangan antara tuntutan keadilan di satu pihak, dan tuntutan kepastian di lain pihak. Semakin tepat dan tajam suatu peraturan hukum, maka semakin terdesaklah keadilan. Muncullah adagium, "Summum ius, summa iniuria" yang berarti, "Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi".[8] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta menyatakan bahwa "tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat itu, yang akhirnya bermuara pada keadilan.[9] Tetapi perlu disadari bahwa keadilan mengandung makna yang sangat luas, sehingga memungkinkan terjadi perbedaan dalam memahami nilai-nilai keadilan tersebut. Hal-hal seperti ini tidak akan luput dan senantiasa akan terjadi tergantung dari sudut mana keadilan itu dipandang.

Download File Doc

Referensi
------------
[1] Sjahran Basah, Tiga Tulisan tentang Hukum, (Bandung: Armico, 1986), h. 8.
[2] Tim Pengajar PIH-FH-Unpar, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Unpar, 1995), h. 35
[3] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1987), h.10.
[4] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2), (Jakarta: BP-7 Pusat, 1974)
[5] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 24.
[6] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, h.10.
[7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah),  (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 695.
[8] S. Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, (Jakarta: Intermasa, 1977), h. 92.
[9] Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 52.

MACAM-MACAM BENTUK KEADILAN DALAM HUKUM


Menurut pakar hukum, keadilan dibedakan atas enam (6) macam, yaitu: keadilan distributif, komutatif, vidikatif, kreatif, protektif, dan legalis.[1] Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
a. Keadilan distributif
Keadilan distributif merupakan keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Apabila dalam Pasal 5 Undang-undang Belanda ditetapkan, bahwa "tiap-tiap orang Belanda dapat diangkat untuk tiap-tiap jabatan", maka ini belum berarti bahwa setiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan jabatan-jabatan tersebut harus diberikan kepada mereka, yang berdasarkan jasa-jasanya, patut untuk memperolehnya. Kiranya hal tersebut dapat kita bandingkan dengan pasal yang menetapkan, 'Tiap-tiap warga negam berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".[2]Dengan demikian keadilan distributif adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Atau apabila diterjemahkan lebih lanjut, keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan suatu organisasi atau lembaga untuk memberikan kepada para anggotanya beban sosial, fungsi, imbalan, balas jasa, dan kehormatan secara proposional atau seimbang sesuai dengan kecakapan dan jasanya, bukan berdasarkan asumsi "like or dislike".[3] Sehingga terciptanya keberimbangan antara hak dan kewajiban yang merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
b. Keadilan komutatif
Keadilan komutatif, merupakan keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan macam ini memegang peranan dalam tukar menukar barang dan jasa, yang sedapat mungkin terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Di sini kita dapat melihat bahwa yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan, dan asas ini melandasi hubungan antar warga masyarakat terutama yang berkecimpung dalam bidang perdagangan. Dengan demikian, ada kesenilaian antara prestasi dengan kontraprestasi.
c. Keadilan vindikatif
Keadilan vindikatif merupakan keadilan yang memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian seseorang tidak dapat diberikan sanksi terhadap perbuatan yang tidak ia lakukan begitupun sebaliknya, bahwa seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau kesalahan harus mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.
d. Keadilan kreatif
Keadilan kreatif merupakan keadilan yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya. Misa1nya perlindungan hak cipta terhadap karya-karya yang telah dihasilkan oleh seseorang dari para plagiator.
e. Keadilan protektif
Keadilan protektif merupakan keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang. Misalnya dalam hal ini Undang-undang tentang HAM yang memberikan perlindungan bagi setiap orang agar tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang. 
e. Keadilan legalis
Keadilan legalis merupakan keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang [4]Misalnya dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya". Begitu pula keadilan legalis ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menetapkann:[5]
"Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan"..

Referensi
------------
[1] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1987), h.10.
[2] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2), (Jakarta: BP-7 Pusat, 1974)
[3] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 24.
[4] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, h.10.
[5] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah),  (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 695.

Tuesday, June 23, 2020

ASAS-ASAS HUKUM LENGKAP



Asas hukum merupakan jiwa dari peraturan hukum dapat dikemukakan contoh sebagai berikut:
Ketika seseorang melakukan perbuatan dursila yang merugikan orang lain, ia harus mengganti kerugian itu (asas hukum). Sedangkan norma hukumnya, adalah Pasal 1365 KUH Perdata.
Baik dalam mempelajari ilmu hukum maupun dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah-istilah yang apabila diteliti ternyata masuk ke dalam kriteria asas hukum. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa asas hukum secara alphabetis, diantaranya:
1. Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars
Artinya: Bahwa para pihak harus didengar. Contohnya apabila persidangan sudah dimulai, maka hakim harus mendengar dari kedua belah pihak yang  bersengketa, bukan hanya dari satu pihak saja;
2. Bis de eadem re ne sit actio atau Ne bis in idem
Artinya: Mengenai perkara yang sama dan sejenis tidak boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya. Contohnya periksa Pasal 76 KUH Pidana;
3. Clausula rebus sic stantibus
Artinya: Suatu syarat dalam hukum internasional bahwa suatu perjanjian antar negara masih tetap berlaku, apabila situasi dan kondisinya tetap sama;
4. Cogitationis poenam nemo patitur
Artinya: Tiada seorang pun dapat dihukum oleh sebab apa yang dipikirkannya;
5. Concubitus facit nuptias
Artinya: Perkawinan terjadi karena hubungan kelamin;
6. De gustibus non est disputandum
Artinya: Mengenai selera tidak dapat disengketakan;
7. Errare humanum est, turpe in errore perseverare
Artinya: Membuat kekeliruan itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus kekeliruan;
8. Fiat justitia ruat coelum atau Fiat justitia pereat mundus
Artinya: Sekalipun esok langit akan runtuh atau dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan;
9. Geen straf zonder schuld
Artinya: Tiada hukuman tanpa kesalahan;
10. Hodi mihi cras tibi
Artinya: Ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan, tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat;
11. In dubio pro reo
Artinya: Dalam keragu-raguan diberlakukan ketentuan yang paling menguntungkan bagi si terdakwa;
12. Juro suo uti nemo cogitur
Artinya: Tak ada seorang pun yang diwajibkan menggunakan haknya. Contohnya orang yang berpiutang tidak mempunyai kewajiban untuk menagih terus;
13. Koop breekt geen huur
Artinya: Jual beli tidak memutuskan sewa menyewa. Perjanjian sewa-menyewa tidak berubah, walaupun barang yang disewanya beralih tangan. Lebih jelas periksa Pasal 1576 KUH Perdata;
14. Lex dura sed ita scripta atau Lex dura sed tamente scripta
Artinya: Undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian. Contohnya periksa Pasal 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
15. Lex niminem cogit ad impossibilia
Artinya: Undang-undang tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin. Contohnya periksa Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
16. Lex posterior derogat legi priori atau Lex posterior derogat legi anteriori
Artinya: Undang-undang yang lebih baru mengenyampingkan undang-undang yang lama. Contohnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Undang-Undang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan mengenyampingkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965;
17. Lex specialis derogat legi generali
Artinya: Undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum. Contohnya pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Dagang terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam hal perdagangan;
18. Lex superior derogat legi inferiori
Artinya: Undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatannya;
19. Matrimonium ratum et non consummatum
Artinya: Perkawinan yang dilakukan secara formal, namun belum dianggap jadi mengingat belum terjadi hubungan kelamin. Contoh yang identik yaitu dalam perkawinan suku Sunda, yang disebut Randa Bengsrat;
20. Melius est acciepere quam facere injuriam
Artinya: Lebih baik mengalami ketidakadilan, daripada melakukan ketidakadilan;
21. Modus vivendi
Artinya: Cara hidup bersama;
22. Nemo plus juris transferre potest quam ipse habet
Artinya: Tak seorang pun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki;
23. Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali
Artinya: Tiada suatu perbuatan dapat dihukum, kecuali atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang telah ada lebih dahulu daripada perbuatan itu. Asas ini dipopulerkan oleh seorang yang bemama-Anselm von Feuerbach. Lebih jelas periksa Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
24. Opinio necessitatis
Artinya: Keyakinan atas sesuatu menurut hukum adalah perlu sebagai syarat untuk timbulnya hukum kebiasaan;
25. Pacta sunt servanda
Artinya: Setiap perjanjian itu mengikat para pihak dan harus ditaati dengan itikad baik. Lebih jelas periksa Pasal 1338 KUH Perdata;
26. Potior est qui prior est
Artinya: Siapa yang datang pertama, dialah yang beruntung;
27. Presumption of innocence
Artinya: Biasa Juga disebut asas praduga tidak bersalah, yaitu bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan hakim yang menyatakan ia bersalah dan putusan hakim tersebut telah mempunyai kekuatan yang tetap. Lebih jelas lihat Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP butir 3 c;
28. Primus inter pares
Artinya: Yang pertama (utama) di antara sesama;
29. Princeps legibus solutus est
Artinya: Kaisar tidak terikat oleh undang-undang atau para pemimpin sering berbuat sekehendak hatinya terhadap anak buahnya;
29. Quiquid est in territorio, etiam est de territorio
Artinya: Asas dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa apa yang berada dalam batas-batas wilayah negara tunduk kepada hukum negara itu;
30. Qui tacet consentire videtur,
Artinya: Siapa yang berdiam diri dianggap menyetujui;
31. Res nullius credit occupanti
Artinya: Benda yang diterlantarkan pemiliknya dapat diambil untuk dimiliki;
32. Summum ius summa injuria
Artinya: Keadilan tertinggi dapat berarti ketidakadilan tertinggi;
33. Similia similibus
Artinya: Dalam perkara yang sama harus diputus dengan hal sama pula, tidak pilih kasih;
34. Testimonium de auditu
Artinya: Kesaksian dapat didengar dari orang lain;
35. Unus testis nullus testis
Artinya: Satu orang saksi bukanlah saksi. Lebih jelas periksa Pasal 185 Ayat (2) KUHAP;
36. Ut sementem feceris ita metes
Artinya: Siapa yang menanam sesuatu dialah yang akan memetik hasilnya. Siapa yang menabur angin dialah yang akan menuai badai;
37. Vox populi vox dei
Artinya: Suara rakyat adalah suara Tuhan;
38. Verba volant scripta manent
Artinya: Kata-kata biasanya tidak berbekas sedangkan apa yang ditulis tetap ada.

Download File Pdf

Thursday, April 16, 2020

MACAM-MACAM HUKUM



Hukum pada dasarnya diartikan sebagai aturan atau pedoman bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dengan tujuan agar terciptanya sebuah keteraturan dan ketertiban yang menjadi sumber ketenangan dalam  sebuah kehidupan, yang jika ditelaah kembali hukum-hukum tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa spesifikasi pembagian hukum.
Adapun macam-macam, jenis dan bentuk-bentuk hukum berdasarkan spesifikasinya ialah sebagai berikut:
1. Hukum berdasarkan bentuknya
Hukum berdasarkan bentuknya, dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum tertulis, biasanya dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dibedakan menjadi dua macam hukum tertulis yaitu: Hukum tertulis yang dikodiflkasikan, Contoh: KUHP, KUH Perdata, KUHAP, KUH Dagang. Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan. Contoh: undang undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden.
  • Hukum tidak tertulis ialah kaidah yang hidup dan diyakini oleh masyarakat serta ditaati berlakunya sebagai kaidah hukum. Hukum demikian lazim disebut sebagai hukum kebiasaan.

2. Hukum berdasarkan sumber formalnya
Hukum berdasarkan sumber formalnya, dapat digolongkan menjadi enam macam, yakni:
  • Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan;
  • Hukum kebiasaan dan hukum adat, yaitu hukum yang berbentuk peraturan kebiasaan dan adat
  • Hukum yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim
  • Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara peserta perjanjian internasional
  • Hukum perjanjian, yaitu hukum yang dibuat oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.
  • Hukum ilmu (hukum doktrin), yaitu hukum yang bersumber dari pendapat para sarjana terkemuka atau hukum yang berasal dari doktrin.

3. Hukum berdasarkan isi atau kepentingan yang diatur
Hukum berdasarkan isi atau kepentingan yang diatur dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum privat, adalah hukum yang mengatur kepentingan pribadi, Misalnya hukum perdata, hukum dagang.
  • Hukum publik, ialah hukum yang mengatur kepentingan umum atau kepentingan publik. Contoh: hukum pidana, hukum tata negara, hukum acara pidana, hukum internasional publik.

4. Hukum berdasarkan kekuatan berlakunya atau sifatnya
Hukum berdasarkan kekuatan berlakunya dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum yang bersifat memaksa (imperatif) yaitu kaidah hukum yang tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak. Jadi hukum memaksa harus dilaksanakan. Ada kemungkinan bersifat imperatif, “secara apriori wajib ditaati, kaidah ini tidak dapat dikesampingkan dalam suatu keadaan konkret, hanya karena para pihak membuat perjanjian. Contoh: paasal 147 dan 148 KUH Perdata, ps. 326, ps.338 KUHP.
  • Hukum yang bersifat mengatur (fakultatif) yaitu kaidah hukum yang dapat dikesampingkan oleh para pihak yang bersangkutan. ada kemungkinan bersifat fakultatif, ”tidaklah secara apriori mengikal atau wajib ditaati, jadi ini merupakan kaidah hukum yang dalam keadaan konkret dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak . Contoh: pasal 1476 dan 1477 KUH Perdata.

5. Hukum berdasarkan fungsinya
Hukum berdasarkan fungsinya dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum materiil, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara sesama anggota masyarakat, antara anggota masyarakat dengan penguasa negara, antara masyarakat dengan penguasan negara, dan antara anggota masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, hukum materiil menimbulkan hak dan kewajiban sebagai akibat yang timbul karena adanya hubungan hukum.
  • Hukum formal, yaitu hukum yang mengatur bagaimana cara melaksanakan hukum (bagi penguasa) dan bagaimana cara menuntutnya bila hak-hak seseorang dilanggar oleh orang lain. Hukum formal lazimnya disebut hukum acara dan meliputi hukum acara perdata dan hukum acara pidana.

6. Hukum berdasarkan luas berlakunya
Hukum berdasarkan luas berlakunya dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum Umum, ialah hukum yang berlaku bagi setiap orang dalam masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin, warga negara, maupun jabatan seseorang. Contoh: hukum pidana.
  • Hukum Khusus, ialah hukum yang berlakunya hanya bagi golongan orang tertentu saja. Contoh: hukum pidana militer.

7. Hukum berdasarkan tempat berlakunya
Hukum berdasarkan tempat berlakunya dapat digolongkan menjadi tiga macam, yakni:
  • Hukum nasional, ialah hukum yang berlakunya pada suatu negara tenentu.
  • Hukum internasional, ialah hukum yang mengatur hubungan antara negara satu dengan negara
  • Hukum asing, adalah hukum yang berlaku di negara lain jika dipandang dari suatu negara tertentu.

8. Hukum berdasarkan waktu berlakunya
Hukum berdasarkan waktu berlakunya dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Ius Constitutum, ialah hukum positiv yang sedang berlaku di suatu negara tertentu
  • Ius Constituendum, ialah hukum yang diharapkan akan berlaku pada masa yang akan datang.

Wednesday, March 20, 2019

KRIMINALISASI PERS


A. KEMERDEKAAN PERS
Kemerdekaan pers adalah kebebasan pers menjalankan tugas atau aktivitas juralistik yang meliputi kebebasan mendapat berita, kebebasan menahan berita, kebebasan mengolah berita, kebebasan menyusun berita, kebebasan menyiarkan berita. Setiap bentuk pembatasan baik pembatasan preventif atau represif yang dilakukan tanpa mengikuti prinsip-prinsip atau tatanan demokrasi dan negara hukum, adalah pembatasan yang sewenang-wenang dan karena itu dilarang.
Mengapa harus ada kemerdekaan pers? Apakah kemerdekaan pers dapat dibatasi? Pers adalah salah satu media tempat mewujudkan kebebasan berkomunikasi tempat mewujudkan kebebasan berpendapat, tempat mewujudkan kebebasan berpikir, tempat mewujudkan kebebasan menyampaikan dan memperoleh informasi yang akan mengantarkan manusia mengembangkan saling pengertian dan kemajuan serta perubahan atau dinamika yang merupakan salah satu kebutuhan dasar (kebutuhan asasi) manusia atau individu maupun masyarakat pada umumnya. Membatasi atau membelenggu kebebasan pers berarti meniadakan atau menutup kesempatan pertukaran kebenaran dan meniadakan kesempatan menemukan ukuran yang benar dan tidak benar, yang baik dan tidak baik. Dalam hal kebebasan atau kemerdekaan berekspresi (termasuk kebebasan pers), John Stuart Mill mengatakan setiap upaya membungkam hak berekspresi, baik terhadap orang perorangan atau kelompok minoritas tertentu, berarti meniadakan sesuatu yang sangat penting bagi seluruh rakyat. John Stuart Mill mengatakan: “if the opinion is right, they (the people) are deprived the opportunity of exchanging evoor for truth; if wrong, they lose what is almost as great as benefit, the cleaner perception and livelier impression of truth, produced by collision with error" (dalam Wayne Overbeck-Genelle Belmas, Media Law, 2010). Inilah nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang terkandung dalam kemerdekaan pers. Secara politik kemerdekaan pers juga berkaitan dengan demokrasi. Salah satu sendi demokrasi adalah kehadiran kebebasan (freedom). Salah satu pilar kebebasan atau kemerdekaan demokrasi adalah “freedom of opinion” yang akan sangat terjamin kalau ada kemerdekaan pers. Tanpa kemerdekaan pers, tidak ada demokrasi, atau kalaupun disebut-sebut ada demokrasi, hal itu tidak lebih dari demokrasi semu belaka (pseudo democracy) atau suatu kelancungan belaka.  
Baik kemanusiaan, maupun demokrasi adalah sebagian dari sendi bernegara RI, ditambah pula dengan jaminan hak asasi manusia yang dijamin UUD, (seperti kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berkomunikasi) menunjukkan kemerdekaan pers merupakan sesuatu yang imperatif atau a must dalam tatanan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertanyaan kedua yang telah dicatat di atas, yaitu: “Apakah kemerdekaan pers dapat dibatasi?” Baik menurut doktrin (communis opinio doctorun), maupun secara normatif, disepakati kemerdekaan pers memang dapat dibatasi.
Persoalannya: “Apa yang dibatasi, dalam keadaan apa dibatasi, dan bagaimana cara membatasi?".  
Pada saat ini, sudah ada berbagai undang-undang (baik yang semata-mata dibuat atas inisiatif negara Indonesia sendiri, maupun dari kaidah internasional yang diratifikasi), yang memuat pembatasan memperoleh, menggunakan, dan menyebarkan informasi seperti diatur UU No. 11 Tahun 2008 (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan UU No. 14 Tahun 2008 (Keterbukaan Informasi Publik). Meskipun ada ketentuan-ketentuan yang mengatur pembatasan (atau yang disebut “pengecualian”), seperti dalam UU No. 14 Tahun 2008, masih diperlukan berbagai penjelasan dan rincian, paling tidak harus ada pedoman mengenai isi pembatasan- pembatasan agar tidak secara sewenang-wenang melanggar kemerdekaan pers atau membelenggu kemerdekaan pers. Selain dua undang-undang di atas, pembatasan kemerdekaan pers diatur atau terkandung juga dalam kode etik jurnalistik dan UU Pers yang mengatur syarat-syarat pemberitaan yang benar dan baik (seperti menjauhi fitnah, menghakimi, kewajiban check dan recheck, kewajiban memuat pemberitaan yang berimbang, dan lain-lain).
Pembatasan juga didapati pada ketentuan-ketentuan internasional seperti International Covenant On Civil And Political Rights (UN, 1966). Pasal 14 Kovenan tersebut-antara lain-menyebutkan: The press and the public may be excluded from all or part of a trial for reasons of morals, public order (orde public) or national scurity in a democratic society, or when the interest of the private lives of the parties so requires, or the extent strictly necessary in the opinion of the court in special circumstances where publicity would prejudice the interest of justice; but any judgement rendered in a criminal case or in a suit of law shall be made public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or the proceedings concern matrimonial despute or the guardianship of crhildren.
Pembatasan pers juga dapat dilakukan atas dasar pertimbangan kedaruratan tertentu (baik nasional, regional, atau lokal), seperti perang, kekerasan sosial, dan lain-lain keadaan semacam itu. Namun pembatasan atas dasar kedaruratan harus memenuhi syarat-syarat normatif dan syarat-syarat objektif menurut kenyataan yang ada. Syarat objektif pembatasan pers adalah dapat ditunjukkan ada hubungan yang masuk akal yang tidak lagi diragukan (unreasonable doubt), antara keadaan darurat dengan justifikasi pembatasan kemerdekaan pers.
Selain pembatasan yang datang dari luar, tidak kalah penting, pembatasan dari pelaku pers sendiri. Salah satu pembatasan dari pelaku pers adalah kode etik jurnalistik yang merupakan aturan disiplin (desciplinary rules) dan tuntunan moral (moral code) dan sekaligus sebagai aturan kehormatan (code of honor) yang dibuat sendiri oleh pers. Sangat tidak masuk akal, kode etik yang dibuat sendiri oleh pers tidak dipatuhi dan tidak dijunjung tinggi. Kehormatan dan kemulyaan pers pada tingkat pertama semestinya diukur dari kepatuhan terhadap kode etik. Pembatasan secara internal dapat juga dibimbing oleh tanggung jawab pers (sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain). Pers demokratis hanya dapat berkembang kalau disertai tanggung jawab dan disiplin pers sendiri. Kemerdekaan pers tidak dimaksudkan Sekadar kebebasan demi kebebasan (freedom for the sake of freedom) tetapi untuk mewujudkan secara utuh fungsi pers demokratik.
Bagaimana tata cara pembatasan-pembatasan dapat dilakukan? Dalam setiap negara demokrasi yang berdasarkan hukum, tata cara melakukan atau tidak melakukan sesuatu sangat penting. Negara hukum yang demokratis tidak membenarkan tujuan (yang baik sekalipun) menghalalkan segala cara. Pada negara demokratis berdasarkan hukum, suatu tujuan hanya boleh diusahakan atau dicapai dengan tata cara tertentu menurut asas-asas demokrasi yang dibenarkan oleh hukum. Pertanyaan mengenai tata cara pembatasan kemerdekaan pers (seperti pembatasan lainnya), wajib memenuhi syarat-syarat: Pertama; dilaksanakan berdasarkan tata cara penegakan hukum (procedural due process of law) menurut asas-asas negara hukum (the rule of law). Kedua; pembatasan-pembatasan tidak dibenarkan apabila mengakibatkan pembelengguan terhadap kemerdekaan pers. Ketiga; tidak boleh ada penindakan yang bersifat preventif (prior restraint) dan harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dasar-dasar yang diatur dalam Kode Etik Pers dan UU Pers.  
B. PEMIDANAAN PERS  
Telah dicatat, tidak ada ketentuan pidana yang secara spesiflk mengatur pemidanaan terhadap pers (pers delict, press crime), melainkan sebagai bagian dari pemidanaan pada umumnya (ketentuan pidana yang berlaku pada setiap orang yang dalam KUHPid disebut “barang siapa"). Kalaupun ada spesiflk, diatur dalam UU Pers. Tetapi ketentuan pidana dalam undang-undang pers (Pasal 18), ternyata tidak mengenai pers, melainkan di luar pers.
Walaupun pertanggungjawaban hukum yang dihadapi pers, terbatas pada perbuatan atau tindakan mengenai pelaksanaan tugas atau aktivitas jurnalistik (tugas yang bersifat kewartawanan), sangat banyak ketentuan pidana yang diatur KUHP atau ketentuan pidana lain yang dapat ditimpakan kepada pers, baik sebagai pelaku, turut serta melakukan atau membantu melakukan perbuatan atau tindakan pidana. Pers dalam melakukan tugas jurnalistik, tidak hanya dapat didakwa karena pencemaran nama baik atau kehormatan, fitnah, menghasut, menyebarkan berita bohong, tetapi dapat didakwa melakukan perbuatan pidana yang lebih serius, seperti ikut serta melakukan atau membantu melakukan makar atau permusuhan terhadap negara dan pemerintah. Mengingat luasnya kemungkinan tersebut, walaupun sebagai tindakan represif-pemidanaan dapat menjadi sarana efektif membelenggu kemerdekaan pers, di samping tindakan administratif seperti pembredelan atau larangan terbit (untuk sementara atau selamanya), Karena itu, dapat dimengerti atau mesti dipahami kecemasan pers terhadap pemidanaan. Bukan karena semata-mata karena akan kehilangan kemerdekaan pribadi (karena masuk penjara), tetapi dapat mengancam kemerdekaan yang lebih mendasar yaitu kehilangan kemerdekaan pers sebagai sendi demokrasi dan yang dijamin UUD. Kecemasan makin bertambah dengan kehadiran berbagai undang-undang baru dengan ancaman pidana yang lebih keras (ITE, KIP, Pornografi, dan lakn-lain).
Dalam praktik, perbuatan atau tindakan pidana yang paling umum ditimpakan kepada pers adalah perbuatan atau tindakan pencemaran nama baik, fitnah, perbuatan yang tidak menyenangkan, menghasut. Di berbagai negara (seperti Amerika Serikat), hal semacam ini pula yang sangat umum sebagai dasar menggugat atau mendakwa pers. Namun pada umumnya di Amerika Serikat dan banyak negara, perkara pers atas perbuatan atau tindakan yang disebutkan di atas, lebih ditujukan pada upaya menuntut ganti rugi atau denda yang harus dibayarkan kepada penggugat. Mereka yang merasa dirugikan tidak consern untuk memenjarakan pers karena tidak akan memberi keuntungan apa pun. Sekalipun pernah ada kasus yang mewajibkan pers membayar jumlah yang sangat besar, tetapi diangap lebih “elegan” dibandingkan dengan pemidanaan. Selain karena tidak memberi manfaat terhadap mereka yang merasa dirugikan, tuntutan ganti rugi tidak menyentuh asas-asas kemerdekaan pers yang dijamin DUD (Amendemen I, 1791).  
Bagaimana kemungkinannya menurut sistem hukum Indonesia? Memerhatikan pasal-pasal yang umumnya mudah dikenakan kepada pers seperti pasal-pasal penghasutan (Pasal 155 dan lain-lain), pasal pencemaran, pasal fitnah, dan lain-lain, ancaman pidana selalu bersifat alternatif (pidana badan atau denda) . Memerhatikan pemidanaan alternatif tersebut, dan dalam rangka menjamin atau melindungi kemerdekaan pers, akan bijaksana kalau mengutamakan pidana denda. Kalaupun akan dikenakan pidana badan, sebaiknya dijatuhi pidana bersyarat (voorwaar-delijk). Alternatif lain-seperti yang lazim dilakukan di negara lain, seperti Amerika Serikat-keberatan atas suatu pemberitaan diajukan tuntutan ganti rugi. Dalam sistem hukum Indonesia, hal tersebut dapat digugat atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigedaad). Tetapi persoalan yang dihadapi, ancaman pemidanaan menurut KUHP (alternatit) berbeda dengan berbagai undang-undang baru (produk nasional) yang umumnya memuat ancaman komulatif atau sekurang-kurangnya memuat pilihan komulatif. Hal ini tidak membuka peluang atau sangat mempersempit peluang bagi penuntut dan hakim untuk menghindari penerapan pidana badan. Ancaman pidana komulatif, makin memperkuat kecemasan pers, bahwa undang-undang baru lebih membelenggu kemerdekaan pers. Sesuatu ironi bagi cita-cita demokrasi dan prinsip-prinsip konstitusional yang melindungi dan menjamin kemerdekaan pers. Menghadapi ancaman pemidanaan yang akan sangat berpengaruh terhadap kemerdekaan pers, dianjurkan agar setiap dakwaan dan tuntutan menghindari penerapan undang-undang yang keras tersebut, kecuali apabila didasarkan pada fakta yang sangat nyata (unreasonable doubt), atau sekurang-kurangnya mengajukan dakwaan alternatif untuk membuka peluang kebijakan (beleid) hakim. Selain, atas dasar sistem pemidanaan berdasarkan pasal-pasal yang disebutkan di atas (pencemaran dan lain-lain) sangatlah perlu memerhatikan penerapan tata peradilan pidana yang dinamakan restorative justice, yaitu mediasi dalam kasus pidana yang dilaksanakan bersama antara kelompok masyarakat, korban, dan pelaku. Di Australia dan New Zealand pranata ini dilembagakan secara resmi di bawah asuhan kepolisian. Konsep ini lahir karena beberapa pertimbangan: 
  1. Sebagai upaya lebih menjamin penyelesaian perbuatan pidana yang lebih memuaskan dan lebih mendorong penciptaan harmoni. 
  2. Mendorong agar pelaku bertanggung jawab dan tidak akan mengulangi perbuatannya, tanpa harus menjalani pidana. 
  3. Korban (victim) mendapat perhatian dan kompensasi yang layak secara materiil dan moral.  
  4. Mencegah penunggakan (pending) karena jumlah perkara terlalu banyak.
  5. Meningkatkan peran masyarakat ikut serta menanggulangi perbuatan pidana.  
  6. Proses dekriminalisasi untuk menemukan cara-cara penyelesaian perkara secara lebih efektif dan berhasil guna. Pemidanaan ternyata tidak selalu sebagai sarana efektif memelihara ketertiban dan mencegah perbuatan pidana.  
  7. Dapat mengurangi beban anggaran secara signifikan (proses peradilan yang mahal, karena menyediakan tempat tahanan, lembaga pemasyarakatan, dan lain sebagainya).
Perkara pidana terhadap pers (apabila penerapan hukum pers tidak memuaskan) sangat tepat sebagai objek menerapkan restorative justice yang dilakukan sejak dini (sejak penyelidikan atau penyidikan) dengan semboyan “berdamai dan saling memaafkan senantiasa lebih mulia dari beperkara”. Mereka yang merasa kehormatan dan nama baiknya telah tercemar tidak akan pulih karena memenjarakan pers, tetapi akan pulih apabila pers mengakui kekeliruan disertai permohonan maa yang tulus. Itulah kehormatan dan ketulusan. (Bagir Manan, Mekanisme Penyelesaian Sengketa antara Pers dengan Publik, Makalah, 2010) 
C. TEMPAT KODE ETIK PERS DAN UU PERS DALAM PERKARA PERS Telah dikemukakan, perkara atau sengketa pers adalah perkara atau sengketa yang timbul atau akibat dari pelaksanaan atau aktivitas jurnalistik yang dilakukan pers (wartawan, redaksi, perusahaan pers). Di luar itu (seperti penipuan, pemerasan oleh wartawan) bukan perkara atau sengketa pers.  
Khusus mengenai kedudukan atau tempat hukum (Undang-Undang Pers) sering ada perbedaan mengenai kedudukan hukum pers sebagai lex specialis berhadapan dengan hukum lain sebagai lex generalis. Untuk menetapkan suatu hukum sebagai lex specialis atau lex generalis, ditentukan oleh beberapa prinsip berikut: Pertama; hukum-hukum yang bersangkutan harus berada dalam satu rezim hukum yang sama (seperti sama-sama sebagai rezim hukum keperdataan, misalnya antara hukum perdata umum dan hukum dagang, antara hukum pidana umum dengan hukum pidana militer tertentu). Kedua; tingkat peraturan yang sama (seperti antara undang-undang dengan undang-undang, antara PP dengan PP). Ketiga; mengatur hal yang sama (seperti hukum perjanjian dengan hukum perjanjian). 
Hukum pers atau hukum media berlintas rezim yang sekaligus memuat dimensi hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum keperdataan, hukum pidana, dan bukan hanya terbatas pada hukum materiil tetapi juga hukum acara (seperti pengaturan hak jawab, mediasi atau arbitrase). Karena sifatnya yang khas tersebut, di berbagai pendidikan tinggi hukum (terutama di luar negeri) hukum pers merupakan mata kuliah (course) yang berdiri sendiri dan dalam perkembangan dipandang atau menuju disiplin hukum yang berdiri sendiri.  
Dengan demikian, sebagai rezim hukum yang berdiri sendiri, untuk pers, sudah semestinya hukum pers yang pertama berlaku bagi pelaksanaan tugas-tugas jurnalistik pers (sama halnya hukum pidana militer didahulukan bagi perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas sebagai militer), tanpa harus (lagi) memperdebatkan antara lex specialis dan lex generalis. Mengingat kedudukan pers (memiliki berbagai dimensi) dan hukum pers sebagai rezim hukum mandiri, perlu ada kehati-hatian lain dalam memeriksa perkara pers. Sebelum menentukan (secara apriori) hukum yang akan diterapkan, hendaknya para penegak hukum wajib terlebih dahulu memeriksa sifat perbuatan pers yang bersangkutan. Apakah perbuatan dilakukan sebagai tugas jurnalstik atau di luar tugas jurnalistik. (Bagir Manan, Ibid)