A. KEMERDEKAAN PERS
Kemerdekaan pers adalah kebebasan pers menjalankan tugas atau aktivitas juralistik yang meliputi kebebasan mendapat berita, kebebasan menahan berita, kebebasan mengolah berita, kebebasan menyusun berita, kebebasan menyiarkan berita. Setiap bentuk pembatasan baik pembatasan preventif atau represif yang dilakukan tanpa mengikuti prinsip-prinsip atau tatanan demokrasi dan negara hukum, adalah pembatasan yang sewenang-wenang dan karena itu dilarang.
Mengapa harus ada kemerdekaan pers? Apakah kemerdekaan pers dapat dibatasi? Pers adalah salah satu media tempat mewujudkan kebebasan berkomunikasi tempat mewujudkan kebebasan berpendapat, tempat mewujudkan kebebasan berpikir, tempat mewujudkan kebebasan menyampaikan dan memperoleh informasi yang akan mengantarkan manusia mengembangkan saling pengertian dan kemajuan serta perubahan atau dinamika yang merupakan salah satu kebutuhan dasar (kebutuhan asasi) manusia atau individu maupun masyarakat pada umumnya. Membatasi atau membelenggu kebebasan pers berarti meniadakan atau menutup kesempatan pertukaran kebenaran dan meniadakan kesempatan menemukan ukuran yang benar dan tidak benar, yang baik dan tidak baik. Dalam hal kebebasan atau kemerdekaan berekspresi (termasuk kebebasan pers), John Stuart Mill mengatakan setiap upaya membungkam hak berekspresi, baik terhadap orang perorangan atau kelompok minoritas tertentu, berarti meniadakan sesuatu yang sangat penting bagi seluruh rakyat. John Stuart Mill mengatakan: “if the opinion is right, they (the people) are deprived the opportunity of exchanging evoor for truth; if wrong, they lose what is almost as great as benefit, the cleaner perception and livelier impression of truth, produced by collision with error" (dalam Wayne Overbeck-Genelle Belmas, Media Law, 2010). Inilah nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang terkandung dalam kemerdekaan pers. Secara politik kemerdekaan pers juga berkaitan dengan demokrasi. Salah satu sendi demokrasi adalah kehadiran kebebasan (freedom). Salah satu pilar kebebasan atau kemerdekaan demokrasi adalah “freedom of opinion” yang akan sangat terjamin kalau ada kemerdekaan pers. Tanpa kemerdekaan pers, tidak ada demokrasi, atau kalaupun disebut-sebut ada demokrasi, hal itu tidak lebih dari demokrasi semu belaka (pseudo democracy) atau suatu kelancungan belaka.
Baik kemanusiaan, maupun demokrasi adalah sebagian dari sendi bernegara RI, ditambah pula dengan jaminan hak asasi manusia yang dijamin UUD, (seperti kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan berkomunikasi) menunjukkan kemerdekaan pers merupakan sesuatu yang imperatif atau a must dalam tatanan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertanyaan kedua yang telah dicatat di atas, yaitu: “Apakah kemerdekaan pers dapat dibatasi?” Baik menurut doktrin (communis opinio doctorun), maupun secara normatif, disepakati kemerdekaan pers memang dapat dibatasi.
Persoalannya: “Apa yang dibatasi, dalam keadaan apa dibatasi, dan bagaimana cara membatasi?".
Pada saat ini, sudah ada berbagai undang-undang (baik yang semata-mata dibuat atas inisiatif negara Indonesia sendiri, maupun dari kaidah internasional yang diratifikasi), yang memuat pembatasan memperoleh, menggunakan, dan menyebarkan informasi seperti diatur UU No. 11 Tahun 2008 (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan UU No. 14 Tahun 2008 (Keterbukaan Informasi Publik). Meskipun ada ketentuan-ketentuan yang mengatur pembatasan (atau yang disebut “pengecualian”), seperti dalam UU No. 14 Tahun 2008, masih diperlukan berbagai penjelasan dan rincian, paling tidak harus ada pedoman mengenai isi pembatasan- pembatasan agar tidak secara sewenang-wenang melanggar kemerdekaan pers atau membelenggu kemerdekaan pers. Selain dua undang-undang di atas, pembatasan kemerdekaan pers diatur atau terkandung juga dalam kode etik jurnalistik dan UU Pers yang mengatur syarat-syarat pemberitaan yang benar dan baik (seperti menjauhi fitnah, menghakimi, kewajiban check dan recheck, kewajiban memuat pemberitaan yang berimbang, dan lain-lain).
Pembatasan juga didapati pada ketentuan-ketentuan internasional seperti International Covenant On Civil And Political Rights (UN, 1966). Pasal 14 Kovenan tersebut-antara lain-menyebutkan: The press and the public may be excluded from all or part of a trial for reasons of morals, public order (orde public) or national scurity in a democratic society, or when the interest of the private lives of the parties so requires, or the extent strictly necessary in the opinion of the court in special circumstances where publicity would prejudice the interest of justice; but any judgement rendered in a criminal case or in a suit of law shall be made public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or the proceedings concern matrimonial despute or the guardianship of crhildren.
Pembatasan pers juga dapat dilakukan atas dasar pertimbangan kedaruratan tertentu (baik nasional, regional, atau lokal), seperti perang, kekerasan sosial, dan lain-lain keadaan semacam itu. Namun pembatasan atas dasar kedaruratan harus memenuhi syarat-syarat normatif dan syarat-syarat objektif menurut kenyataan yang ada. Syarat objektif pembatasan pers adalah dapat ditunjukkan ada hubungan yang masuk akal yang tidak lagi diragukan (unreasonable doubt), antara keadaan darurat dengan justifikasi pembatasan kemerdekaan pers.
Selain pembatasan yang datang dari luar, tidak kalah penting, pembatasan dari pelaku pers sendiri. Salah satu pembatasan dari pelaku pers adalah kode etik jurnalistik yang merupakan aturan disiplin (desciplinary rules) dan tuntunan moral (moral code) dan sekaligus sebagai aturan kehormatan (code of honor) yang dibuat sendiri oleh pers. Sangat tidak masuk akal, kode etik yang dibuat sendiri oleh pers tidak dipatuhi dan tidak dijunjung tinggi. Kehormatan dan kemulyaan pers pada tingkat pertama semestinya diukur dari kepatuhan terhadap kode etik. Pembatasan secara internal dapat juga dibimbing oleh tanggung jawab pers (sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain). Pers demokratis hanya dapat berkembang kalau disertai tanggung jawab dan disiplin pers sendiri. Kemerdekaan pers tidak dimaksudkan Sekadar kebebasan demi kebebasan (freedom for the sake of freedom) tetapi untuk mewujudkan secara utuh fungsi pers demokratik.
Bagaimana tata cara pembatasan-pembatasan dapat dilakukan? Dalam setiap negara demokrasi yang berdasarkan hukum, tata cara melakukan atau tidak melakukan sesuatu sangat penting. Negara hukum yang demokratis tidak membenarkan tujuan (yang baik sekalipun) menghalalkan segala cara. Pada negara demokratis berdasarkan hukum, suatu tujuan hanya boleh diusahakan atau dicapai dengan tata cara tertentu menurut asas-asas demokrasi yang dibenarkan oleh hukum. Pertanyaan mengenai tata cara pembatasan kemerdekaan pers (seperti pembatasan lainnya), wajib memenuhi syarat-syarat: Pertama; dilaksanakan berdasarkan tata cara penegakan hukum (procedural due process of law) menurut asas-asas negara hukum (the rule of law). Kedua; pembatasan-pembatasan tidak dibenarkan apabila mengakibatkan pembelengguan terhadap kemerdekaan pers. Ketiga; tidak boleh ada penindakan yang bersifat preventif (prior restraint) dan harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan dasar-dasar yang diatur dalam Kode Etik Pers dan UU Pers.
B. PEMIDANAAN PERS
Telah dicatat, tidak ada ketentuan pidana yang secara spesiflk mengatur pemidanaan terhadap pers (pers delict, press crime), melainkan sebagai bagian dari pemidanaan pada umumnya (ketentuan pidana yang berlaku pada setiap orang yang dalam KUHPid disebut “barang siapa"). Kalaupun ada spesiflk, diatur dalam UU Pers. Tetapi ketentuan pidana dalam undang-undang pers (Pasal 18), ternyata tidak mengenai pers, melainkan di luar pers.
Walaupun pertanggungjawaban hukum yang dihadapi pers, terbatas pada perbuatan atau tindakan mengenai pelaksanaan tugas atau aktivitas jurnalistik (tugas yang bersifat kewartawanan), sangat banyak ketentuan pidana yang diatur KUHP atau ketentuan pidana lain yang dapat ditimpakan kepada pers, baik sebagai pelaku, turut serta melakukan atau membantu melakukan perbuatan atau tindakan pidana. Pers dalam melakukan tugas jurnalistik, tidak hanya dapat didakwa karena pencemaran nama baik atau kehormatan, fitnah, menghasut, menyebarkan berita bohong, tetapi dapat didakwa melakukan perbuatan pidana yang lebih serius, seperti ikut serta melakukan atau membantu melakukan makar atau permusuhan terhadap negara dan pemerintah. Mengingat luasnya kemungkinan tersebut, walaupun sebagai tindakan represif-pemidanaan dapat menjadi sarana efektif membelenggu kemerdekaan pers, di samping tindakan administratif seperti pembredelan atau larangan terbit (untuk sementara atau selamanya), Karena itu, dapat dimengerti atau mesti dipahami kecemasan pers terhadap pemidanaan. Bukan karena semata-mata karena akan kehilangan kemerdekaan pribadi (karena masuk penjara), tetapi dapat mengancam kemerdekaan yang lebih mendasar yaitu kehilangan kemerdekaan pers sebagai sendi demokrasi dan yang dijamin UUD. Kecemasan makin bertambah dengan kehadiran berbagai undang-undang baru dengan ancaman pidana yang lebih keras (ITE, KIP, Pornografi, dan lakn-lain).
Dalam praktik, perbuatan atau tindakan pidana yang paling umum ditimpakan kepada pers adalah perbuatan atau tindakan pencemaran nama baik, fitnah, perbuatan yang tidak menyenangkan, menghasut. Di berbagai negara (seperti Amerika Serikat), hal semacam ini pula yang sangat umum sebagai dasar menggugat atau mendakwa pers. Namun pada umumnya di Amerika Serikat dan banyak negara, perkara pers atas perbuatan atau tindakan yang disebutkan di atas, lebih ditujukan pada upaya menuntut ganti rugi atau denda yang harus dibayarkan kepada penggugat. Mereka yang merasa dirugikan tidak consern untuk memenjarakan pers karena tidak akan memberi keuntungan apa pun. Sekalipun pernah ada kasus yang mewajibkan pers membayar jumlah yang sangat besar, tetapi diangap lebih “elegan” dibandingkan dengan pemidanaan. Selain karena tidak memberi manfaat terhadap mereka yang merasa dirugikan, tuntutan ganti rugi tidak menyentuh asas-asas kemerdekaan pers yang dijamin DUD (Amendemen I, 1791).
Bagaimana kemungkinannya menurut sistem hukum Indonesia? Memerhatikan pasal-pasal yang umumnya mudah dikenakan kepada pers seperti pasal-pasal penghasutan (Pasal 155 dan lain-lain), pasal pencemaran, pasal fitnah, dan lain-lain, ancaman pidana selalu bersifat alternatif (pidana badan atau denda) . Memerhatikan pemidanaan alternatif tersebut, dan dalam rangka menjamin atau melindungi kemerdekaan pers, akan bijaksana kalau mengutamakan pidana denda. Kalaupun akan dikenakan pidana badan, sebaiknya dijatuhi pidana bersyarat (voorwaar-delijk). Alternatif lain-seperti yang lazim dilakukan di negara lain, seperti Amerika Serikat-keberatan atas suatu pemberitaan diajukan tuntutan ganti rugi. Dalam sistem hukum Indonesia, hal tersebut dapat digugat atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigedaad). Tetapi persoalan yang dihadapi, ancaman pemidanaan menurut KUHP (alternatit) berbeda dengan berbagai undang-undang baru (produk nasional) yang umumnya memuat ancaman komulatif atau sekurang-kurangnya memuat pilihan komulatif. Hal ini tidak membuka peluang atau sangat mempersempit peluang bagi penuntut dan hakim untuk menghindari penerapan pidana badan. Ancaman pidana komulatif, makin memperkuat kecemasan pers, bahwa undang-undang baru lebih membelenggu kemerdekaan pers. Sesuatu ironi bagi cita-cita demokrasi dan prinsip-prinsip konstitusional yang melindungi dan menjamin kemerdekaan pers. Menghadapi ancaman pemidanaan yang akan sangat berpengaruh terhadap kemerdekaan pers, dianjurkan agar setiap dakwaan dan tuntutan menghindari penerapan undang-undang yang keras tersebut, kecuali apabila didasarkan pada fakta yang sangat nyata (unreasonable doubt), atau sekurang-kurangnya mengajukan dakwaan alternatif untuk membuka peluang kebijakan (beleid) hakim. Selain, atas dasar sistem pemidanaan berdasarkan pasal-pasal yang disebutkan di atas (pencemaran dan lain-lain) sangatlah perlu memerhatikan penerapan tata peradilan pidana yang dinamakan restorative justice, yaitu mediasi dalam kasus pidana yang dilaksanakan bersama antara kelompok masyarakat, korban, dan pelaku. Di Australia dan New Zealand pranata ini dilembagakan secara resmi di bawah asuhan kepolisian. Konsep ini lahir karena beberapa pertimbangan:
- Sebagai upaya lebih menjamin penyelesaian perbuatan pidana yang lebih memuaskan dan lebih mendorong penciptaan harmoni.
- Mendorong agar pelaku bertanggung jawab dan tidak akan mengulangi perbuatannya, tanpa harus menjalani pidana.
- Korban (victim) mendapat perhatian dan kompensasi yang layak secara materiil dan moral.
- Mencegah penunggakan (pending) karena jumlah perkara terlalu banyak.
- Meningkatkan peran masyarakat ikut serta menanggulangi perbuatan pidana.
- Proses dekriminalisasi untuk menemukan cara-cara penyelesaian perkara secara lebih efektif dan berhasil guna. Pemidanaan ternyata tidak selalu sebagai sarana efektif memelihara ketertiban dan mencegah perbuatan pidana.
Dapat mengurangi beban anggaran secara signifikan (proses peradilan yang mahal, karena menyediakan tempat tahanan, lembaga pemasyarakatan, dan lain sebagainya).
Perkara pidana terhadap pers (apabila penerapan hukum pers tidak memuaskan) sangat tepat sebagai objek menerapkan restorative justice yang dilakukan sejak dini (sejak penyelidikan atau penyidikan) dengan semboyan “berdamai dan saling memaafkan senantiasa lebih mulia dari beperkara”. Mereka yang merasa kehormatan dan nama baiknya telah tercemar tidak akan pulih karena memenjarakan pers, tetapi akan pulih apabila pers mengakui kekeliruan disertai permohonan maa yang tulus. Itulah kehormatan dan ketulusan. (Bagir Manan, Mekanisme Penyelesaian Sengketa antara Pers dengan Publik, Makalah, 2010)
C. TEMPAT KODE ETIK PERS DAN UU PERS DALAM PERKARA PERS Telah dikemukakan, perkara atau sengketa pers adalah perkara atau sengketa yang timbul atau akibat dari pelaksanaan atau aktivitas jurnalistik yang dilakukan pers (wartawan, redaksi, perusahaan pers). Di luar itu (seperti penipuan, pemerasan oleh wartawan) bukan perkara atau sengketa pers.
Khusus mengenai kedudukan atau tempat hukum (Undang-Undang Pers) sering ada perbedaan mengenai kedudukan hukum pers sebagai lex specialis berhadapan dengan hukum lain sebagai lex generalis. Untuk menetapkan suatu hukum sebagai lex specialis atau lex generalis, ditentukan oleh beberapa prinsip berikut: Pertama; hukum-hukum yang bersangkutan harus berada dalam satu rezim hukum yang sama (seperti sama-sama sebagai rezim hukum keperdataan, misalnya antara hukum perdata umum dan hukum dagang, antara hukum pidana umum dengan hukum pidana militer tertentu). Kedua; tingkat peraturan yang sama (seperti antara undang-undang dengan undang-undang, antara PP dengan PP). Ketiga; mengatur hal yang sama (seperti hukum perjanjian dengan hukum perjanjian).
Hukum pers atau hukum media berlintas rezim yang sekaligus memuat dimensi hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum keperdataan, hukum pidana, dan bukan hanya terbatas pada hukum materiil tetapi juga hukum acara (seperti pengaturan hak jawab, mediasi atau arbitrase). Karena sifatnya yang khas tersebut, di berbagai pendidikan tinggi hukum (terutama di luar negeri) hukum pers merupakan mata kuliah (course) yang berdiri sendiri dan dalam perkembangan dipandang atau menuju disiplin hukum yang berdiri sendiri.
Dengan demikian, sebagai rezim hukum yang berdiri sendiri, untuk pers, sudah semestinya hukum pers yang pertama berlaku bagi pelaksanaan tugas-tugas jurnalistik pers (sama halnya hukum pidana militer didahulukan bagi perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas sebagai militer), tanpa harus (lagi) memperdebatkan antara lex specialis dan lex generalis. Mengingat kedudukan pers (memiliki berbagai dimensi) dan hukum pers sebagai rezim hukum mandiri, perlu ada kehati-hatian lain dalam memeriksa perkara pers. Sebelum menentukan (secara apriori) hukum yang akan diterapkan, hendaknya para penegak hukum wajib terlebih dahulu memeriksa sifat perbuatan pers yang bersangkutan. Apakah perbuatan dilakukan sebagai tugas jurnalstik atau di luar tugas jurnalistik. (Bagir Manan, Ibid)