Saturday, February 23, 2019

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA



Asas-asas hukum acara perdata ialah sebagai berikut:

1. Hakim Bersifat Menunggu  

Asas dari hukum acara perdata pada umumnya, termasuk hukum acara perdata, ialah bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi, apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, tidak ada hakim, demikianlah bunyi pameo yang tidak asing lagi (wo kein Klager ist,  ist kein Richter; nemo judex sine actore).
Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya: index ne procedant ex officio (lihat pasal 118 HIR, 142 Rbg.). Hanya saja yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009). Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya (ius curia novit). Kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009). Hal ini mempunyai dasar pada Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009, yang menentukan bahwa hakim harus mengadili menurut hukum, sedangkan Pasal 20 AB menentukan bahwa hakim harus mengadili menurut undang-undang, sehingga Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 itu lebih luas daripada Pasal 20 AB. Dalam wewenangnya yang lebih luas itu dituntut keterampilan dan intelektualitas dari hakim. Sebaliknya apakah hal ini tidak membuka kemungkinan bagi hakim untuk dengan mudah meninggalkan undang-undang?
Sekalipun asas yang berlaku adalah “lex posteriori derogat legi priori”, sebagaimana asas mengenal penyimpangan atau pengecualian, kiranya di sini pun penyimpangan itu berlaku juga, sehingga Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 tidak membatalkan Pasal 20 AB, tetapi kedua pasal itu saling mengisi.
Dalam kenyataannya, tidak dapat diharapkan bahwa seorang hakim mengetahui segala peraturan hukum, Telah diketengahkan di muka bahwa pada hakikatnya seorang hakim hanya diharapkan atau diminta mempertimbangkan benar tidaknya suatu peristiwa atau salah tidaknya seseorang dan memberi putusannya. Oleh karena hanya mempertimbangkan benar tidaknya suatu peristiwa, pada hakikatnya hakim tidak perlu tahu akan hukumnya. Hukum atau peraturannya dapat ia tanyakan kepada ahlinya. Seorang hakim dari Jawa Tengah misalnya, yang dipindahkan ke Pengadilan Negeri di Biak dan harus mengadili suatu perkara adat, tidak dapat menolak untuk mengadili perkara tersebut dengan alasan tidak tahu hukumnya. Untuk itu ia dapat memanggil seorang kepala adat atau kepala suku yang mengetahui tentang hukurn adat setempat. Dan berdasarkan keterangan ahli adat tersebut ia dapat menjatuhkan putusannya. Akan tetapi, berhubung dengan perkembangan dalam ilmu pengetahuan hukum, pesatnya lalu lintas hukum dan mengingat pula kedudukan hakim atau pcngadilan yang merupakan tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan, hakirn dianggap tahu akan hukum.” (Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Peradilan: 7)

2. Hakim Pasif

Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakirn. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan (Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009).
Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap tut wuri. Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secundum allegata indicare).
Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan, scdang hakim tidak dapat menghalang-halanginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan
(Pasal 130 HIR, 154 Rbg.).
Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, 189 ayat 2 dan 3 Rbg).
Apakah yang bersangkutan akan mengajukan banding atau tidak, itupun bukan kepentingan dari hakim (Pasal 6 UU 20/1947, 199 Rbg).
Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim. Asas ini disebut Verhandlungsmaxime.
Jadi, pengertian pasif di sini hanyalah berarti bahwa hakim tidak menentukan luas dari pokok sengketa. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya. Akan tetapi, itu semuanya tidak berarti bahwa hakim sama sekali tidak aktif. Selaku pimpinan sidang, hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekadar alat dari para pihak, dan harus berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapajnya peradilan. Hakim berhak untuk memberi nasihat kepada kedua belah pihak serta menunjukkan upaya hukum dan memberi keterangan kepada mereka (Pasal 132 HIR, 156 Rbg). Karenanya dikatakan bahwa sistem HIR adalah aktif, berbeda dengan sistim Rv yang pada pokoknya mengandung prinsip “hakim pasif”.(Supomo, Hakim dan Peradilan: 21)
Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam soal bagi rakyat. Dari padanya diharapkan pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa. Diharapkan dari hakim sebagai orang yang bijaksana dan aktif dalam pemecahan masalah. Kiranya asas hakim aktif menurut HIR itu sesuai dengan aliran pikiran tradisional Indonesia.(Supomo, Hakim dan Peradilan: 23) Pasal 19 UU No. 48 tahun 2009 mengharuskan pula hakim aktif, karena yang dituju dengan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 UUD 45 adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terlaksananya Negara Hukum Republik Indonesia.

3. Sifat Terbukanya Persidangan

Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini tidak lain untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak, serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini kita jumpai dalam Pasal 13 ayat (1) dan 2 UU No. 48 tahun 2009.
Apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. Di dalam praktik, meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, kalau di dalam berita acara dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, putusan yang telah dijatuhkan tetap sah. Secara formal, asas ini membuka kesempatan untuk “social control’. Asas terbukanya persidangan tidak mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertulis.
Kecuali apabila ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuat di dalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dilakukan dengan pintu tertutup (Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009). Dalam pemeriksaan perkara perceraian atau perzinahan sering diadakan dengan pintu tertutup. Setiap persidangan harus dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu sebelum dinyatakan tertutup.

4. Mendengar Kedua Belah Pihak

Di dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009, mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya. Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas “audi et  alteram partem” atau “Eines Mannes Rade, ist keines mannes rede, man soll sie boren alle beide”. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti juga bahwa pengakuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 132a, 121 ayat 2 HIR, 145 ayat 2, 157 Rbg. 47 Rv).

5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan

Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 50 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009, Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah, putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya.(Scolten, Algemen Deel: 114)
Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan M.A. yang menetapkan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.
Untuk lebih dapat mempertanggungjawabkan putusan scring juga dicari dukungan pada yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.
Mencari dukungan pada yurisprudensi tidak berarti bahwa hakim terikat pada atau harus mengikuti putusan mengenai perkara yang sejenis yang pernah dijatuhkan oleh MA, PT atau yang sudah pernah memutuskannya sendiri saja. Walaupun kita pada dasarnya tidak menganut asas “the binding force of precedent,  memang janggal kiranya kalau hakim memutuskan bertentangan dengan putusannya sendiri atau dengan putusan pengadilan atasannya mengenai perkara yang sejenis, karena lalu menunjukkan tidak adanya kepastian hukum. Tetapi sebaliknya, hukum harus mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ia harus berani pada suatu ketika meninggalkan yurisprudensi yang ada, kalau sekiranya sudah usang dan tidak lagi sesuai dengan jaman atau keadaan masyarakat. Sebagai contoh klasik dapat disebutkan putusan HR tanggal 31 Januari 1919 tentang perbuatan melawan hukum, yang meninggalkan pendapat HR sebelumnya. Dapat ditambahkan di sini putusan MA, 13 April 1960 No. 100 K/Sip/1960, yang menetapkan janda sebagai ahli waris, berlainan dengan yurisprudensi sebelumnya, yang berpendapat bahwa janda hanyalah “erfgerechtigde" saja. Dalam putusannya tanggal 23 November 1961 No. 179/K/Sip/ 1961, MA menetapkan kedudukan anak perempuan sama dengan anak laki-laki dalam mewaris.
Sekalipun kita tidak menganut the binding force of precedent, kenyataannya sekarang tidak sedikit hakim yang “terikat” atau berkiblat pada putusan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung mengenai perkara yang sejenis. Ini bukan karena kita mengikuti asas “the binding force 0f precedent" seperti yang dianut di Inggris, melainkan terikatnya atau berkiblatnya hakim itu karena yakin bahwa putusan yang diikutinya mengenai perkara yang sejenis itu meyakinkannya bahwa putusan itu tepat “the persuasiv eforce of precedent”.
Ilmu pengetahuan hukum merupakan sumber pula untuk mendapatkan bahan guna mempertanggungjawabkan putusan hakim di dalam pertimbangannya. Kewibawaan ilmu pengetahuan karena didukung oleh
para pengikutnya serta sifat objektif dari ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim bernilai objektif pula. Betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi hakim dikatakan oleh Scholten, bahwa “Hanya dengan mengikuti ilmu pengetahuan ini, hakim dapat memberikan tempat bagi putusannya di dalam sistem hukum yang diperlukan. Tanpa itu putusan akan mengambang, terlalu objektif dan tidak meyakinkan; meskipun dapat dilaksanakan. Ilmu pengetahuan itu merupakan sumber pula dari hukum acara perdata.

6. Beracara Dikenakan Biaya.

Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 2 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009, 121 ayat 4, 182 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg.). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Di samping itu, apabila diminta bantuan seorang pengacara, harus pula dikeluarkan biaya. Pengadilan Negeri Baturaja dengan putusannya tanggal 6 Juni 1971 No. 6/1971 /Pdt menggugurkan gugatan penggugat karena penggugat tidak menambah persekot biaya perkaranya, sehingga penggugat dianggap tidak lagi meneruskan gugatannya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk membebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR, 273 Rbg). Di dalam praktik, surat keterangan itu cukup  dibuat oleh camat yang membawahi daerah tempat yang berkepentingan tinggal.
Permohonan perkara sccara pro deo akan ditolak oleh Pengadilan apabila penggugat ternyata bukan orang yang tidak mampu.

7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan. Akan tetapi, para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 Rbg.). Dengan demikian, hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa.
Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung, hakim akan dapat mengetahui lebih jelas persoalannya, karena para pihak yang berkepentinganlah yang mengetahui seluk beluk peristiwanya. Kalau para pihak menguasakan kepada seorang kuasa, tidak jarang kuasa ini kurang mendalami peristiwa yang menjadi sengketa secara terperinci, sehingga ia sering hanya siap dengan surat jawabannya saja, tetapi kalau ada pertanyaan dari hakim yang memeriksanya, ia masih harus berkonsultasi lagi dengan pihak yang diwakilinya. Lagi pula berperkara di pengadilan secara langsung tanpa perantara seorang kuasa akan jauh lebih ringan biayanya daripada kalau menggunakan seorang kuasa, karena masih harus mengeluarkan honorarium untuknya.
Sebaliknya, adanya seorang wakil mempunyai manfaat juga. Orang yang belum pernah berhubungan dengan pengadilan dan harus berperkara, biasanya gugup menghadapi hakim, maka seorang pembantu atau wakil sangat bermanfaat. Terutama seorang wakil yang tahu akan hukumnya dan mempunyai itikad baik, merupakan bantuan yang tidak kecil bagi hakim dalam memeriksa suatu perkara, karena memberi sumbangan pikiran dalam memecahkan persoalan-persoalan hukum. Karena tahu akan hukumnya, wakil ini hanya akan mengemukakan peristiwa-peristiwa yang relevan saja bagi hukum, hal ini memperlancar jalannya peradilan. Para pihak yang buta hukum sama sekali bisa menjadi sasaran penipuan atau perlakuan yang sewenang-wenang atau tidak layak. Seorang wakil yang tahu hukum dapat mencegah perlakuan yang tidak fair tersebut.
Walaupun HIR menentukan bahwa para pihak dapat dibantu atau diwakili, tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau wakil harus seorang ahli atau sarjana hukum. Dapatlah digambarkan bahwa jalannya peradilan tidak akan selancar bila diwakili oleh seorang kuasa yang sarjana hukum. Di dalam praktik, sebagian besar dari kuasa yang mewakili para pihak adalah sarjana hukum.
Rv mewajibkan para pihak mewakilkan kepada orang lain (procureur) dalam beracara di muka pengadilan. Perwakilan ini merupakan suatu keharusan, dengan akibat batalnya tuntutan hak (Pasal 106 ayat 1 Rv) atau putusannya di luar hadir tergugat (Pasal 109 Rv) apabila para pihak ternyata tidak diwakili.
Menurut RO ada persyaratan untuk bertindak sebagai procureur, antara lain ia harus sarjana hukum (Pasal 186).
Pada hakikatnya, tujuan dari perwakilan wajib oleh sarjana hukum (verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan yang objektif, melancarkan jalannya peradilan, dan memperoleh putusan yang adil. (Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia: 18)

0 komentar:

Post a Comment