ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
1. Hakim Bersifat Menunggu
Asas dari hukum acara perdata pada umumnya, termasuk hukum
acara perdata, ialah bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan
tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. Jadi, apakah
akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan
diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan.
Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, tidak ada hakim, demikianlah
bunyi pameo yang tidak asing lagi (wo kein Klager ist, ist kein Richter; nemo judex sine actore).
Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang
berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan
kepadanya: index ne procedant ex officio (lihat pasal 118 HIR, 142 Rbg.). Hanya
saja yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi sekali perkara
diajukan kepadanya, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya,
sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 10 ayat (1)
UU No. 48 tahun 2009). Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan
anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya (ius curia novit). Kalau sekiranya ia
tidak dapat menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU No.
48 tahun 2009). Hal ini mempunyai dasar pada Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 tahun
2009, yang menentukan bahwa hakim harus mengadili menurut hukum, sedangkan
Pasal 20 AB menentukan bahwa hakim harus mengadili menurut undang-undang,
sehingga Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 itu lebih luas daripada Pasal 20
AB. Dalam wewenangnya yang lebih luas itu dituntut keterampilan dan
intelektualitas dari hakim. Sebaliknya apakah hal ini tidak membuka kemungkinan
bagi hakim untuk dengan mudah meninggalkan undang-undang?
Sekalipun asas yang berlaku adalah “lex posteriori derogat
legi priori”, sebagaimana asas mengenal penyimpangan atau pengecualian, kiranya
di sini pun penyimpangan itu berlaku juga, sehingga Pasal 4 ayat (1) UU No. 48
tahun 2009 tidak membatalkan Pasal 20 AB, tetapi kedua pasal itu saling
mengisi.
Dalam kenyataannya, tidak dapat diharapkan bahwa seorang
hakim mengetahui segala peraturan hukum, Telah diketengahkan di muka bahwa pada
hakikatnya seorang hakim hanya diharapkan atau diminta mempertimbangkan benar
tidaknya suatu peristiwa atau salah tidaknya seseorang dan memberi putusannya.
Oleh karena hanya mempertimbangkan benar tidaknya suatu peristiwa, pada
hakikatnya hakim tidak perlu tahu akan hukumnya. Hukum atau peraturannya dapat
ia tanyakan kepada ahlinya. Seorang hakim dari Jawa Tengah misalnya, yang
dipindahkan ke Pengadilan Negeri di Biak dan harus mengadili suatu perkara
adat, tidak dapat menolak untuk mengadili perkara tersebut dengan alasan tidak
tahu hukumnya. Untuk itu ia dapat memanggil seorang kepala adat atau kepala
suku yang mengetahui tentang hukurn adat setempat. Dan berdasarkan keterangan
ahli adat tersebut ia dapat menjatuhkan putusannya. Akan tetapi, berhubung
dengan perkembangan dalam ilmu pengetahuan hukum, pesatnya lalu lintas hukum
dan mengingat pula kedudukan hakim atau pcngadilan yang merupakan tempat
pelarian terakhir bagi para pencari keadilan, hakirn dianggap tahu akan hukum.”
(Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Peradilan: 7)
2. Hakim Pasif
Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif
dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan
kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang
berperkara dan bukan oleh hakirn. Hakim hanya membantu para pencari keadilan
dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan (Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009).
Hakim harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalannya
persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi dalam
memeriksa perkara perdata hakim harus bersikap tut wuri. Hakim terikat pada
peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secundum allegata indicare).
Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa
yang telah diajukannya ke muka pengadilan, scdang hakim tidak dapat menghalang-halanginya.
Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan
(Pasal 130 HIR, 154 Rbg.).
Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang
menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih
daripada yang dituntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, 189 ayat 2 dan 3 Rbg).
Apakah yang bersangkutan akan mengajukan banding atau tidak,
itupun bukan kepentingan dari hakim (Pasal 6 UU 20/1947, 199 Rbg).
Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus
dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan
oleh para pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan
hakim. Asas ini disebut Verhandlungsmaxime.
Jadi, pengertian pasif di sini hanyalah berarti bahwa hakim
tidak menentukan luas dari pokok sengketa. Hakim tidak boleh menambah atau
menguranginya. Akan tetapi, itu semuanya tidak berarti bahwa hakim sama sekali
tidak aktif. Selaku pimpinan sidang, hakim harus aktif memimpin pemeriksaan
perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekadar alat dari para pihak, dan
harus berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapajnya peradilan. Hakim berhak untuk memberi nasihat kepada kedua
belah pihak serta menunjukkan upaya hukum dan memberi keterangan kepada mereka (Pasal
132 HIR, 156 Rbg). Karenanya dikatakan bahwa sistem HIR adalah aktif, berbeda
dengan sistim Rv yang pada pokoknya mengandung prinsip “hakim pasif”.(Supomo,
Hakim dan Peradilan: 21)
Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari
keadilan dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya
segala macam soal bagi rakyat. Dari padanya diharapkan pertimbangan sebagai
orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa. Diharapkan dari
hakim sebagai orang yang bijaksana dan aktif dalam pemecahan masalah. Kiranya
asas hakim aktif menurut HIR itu sesuai dengan aliran pikiran tradisional
Indonesia.(Supomo, Hakim dan Peradilan: 23) Pasal 19 UU No. 48 tahun 2009
mengharuskan pula hakim aktif, karena yang dituju dengan kekuasaan kehakiman
dalam Pasal 24 UUD 45 adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terlaksananya Negara Hukum Republik Indonesia.
3. Sifat Terbukanya Persidangan
Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka
untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan
pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini tidak lain untuk memberi
perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih
menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang
fair, tidak memihak, serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini kita
jumpai dalam Pasal 13 ayat (1) dan 2 UU No. 48 tahun 2009.
Apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan
terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. Di dalam praktik,
meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, kalau di dalam
berita acara dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, putusan
yang telah dijatuhkan tetap sah. Secara formal, asas ini membuka kesempatan
untuk “social control’. Asas terbukanya persidangan tidak mempunyai arti bagi
acara yang berlangsung secara tertulis.
Kecuali apabila ditentukan lain oleh undang-undang atau
apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuat di dalam berita
acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dilakukan dengan pintu tertutup
(Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009). Dalam pemeriksaan perkara perceraian
atau perzinahan sering diadakan dengan pintu tertutup. Setiap persidangan harus
dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu sebelum dinyatakan
tertutup.
4. Mendengar Kedua Belah Pihak
Di dalam hukum acara perdata, kedua belah pihak haruslah
diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat
dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009, mengandung arti bahwa di dalam
hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas
perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk
memberi pendapatnya. Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal
dengan asas “audi et alteram partem”
atau “Eines Mannes Rade, ist keines mannes rede, man soll sie boren alle
beide”. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah
satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi
kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti juga bahwa pengakuan
alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak
(Pasal 132a, 121 ayat 2 HIR, 145 ayat 2, 157 Rbg. 47 Rv).
5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan
yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 50 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009,
Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu
dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim pada putusannya terhadap
masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum, sehingga
oleh karenanya mempunyai nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah,
putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang
menjatuhkannya.(Scolten, Algemen Deel: 114)
Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat
kita lihat dari beberapa putusan M.A. yang menetapkan bahwa putusan yang tidak
lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd) merupakan
alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.
Untuk lebih dapat mempertanggungjawabkan putusan scring juga
dicari dukungan pada yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.
Mencari dukungan pada yurisprudensi tidak berarti bahwa
hakim terikat pada atau harus mengikuti putusan mengenai perkara yang sejenis yang
pernah dijatuhkan oleh MA, PT atau yang sudah pernah memutuskannya sendiri
saja. Walaupun kita pada dasarnya tidak menganut asas “the binding force of
precedent, memang janggal kiranya kalau
hakim memutuskan bertentangan dengan putusannya sendiri atau dengan putusan
pengadilan atasannya mengenai perkara yang sejenis, karena lalu menunjukkan
tidak adanya kepastian hukum. Tetapi sebaliknya, hukum harus mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ia harus berani pada
suatu ketika meninggalkan yurisprudensi yang ada, kalau sekiranya sudah usang
dan tidak lagi sesuai dengan jaman atau keadaan masyarakat. Sebagai contoh
klasik dapat disebutkan putusan HR tanggal 31 Januari 1919 tentang perbuatan
melawan hukum, yang meninggalkan pendapat HR sebelumnya. Dapat ditambahkan di
sini putusan MA, 13 April 1960 No. 100 K/Sip/1960, yang menetapkan janda
sebagai ahli waris, berlainan dengan yurisprudensi sebelumnya, yang berpendapat
bahwa janda hanyalah “erfgerechtigde" saja. Dalam putusannya tanggal 23
November 1961 No. 179/K/Sip/ 1961, MA menetapkan kedudukan anak perempuan sama
dengan anak laki-laki dalam mewaris.
Sekalipun kita tidak menganut the binding force of
precedent, kenyataannya sekarang tidak sedikit hakim yang “terikat” atau
berkiblat pada putusan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung mengenai perkara
yang sejenis. Ini bukan karena kita mengikuti asas “the binding force 0f
precedent" seperti yang dianut di Inggris, melainkan terikatnya atau
berkiblatnya hakim itu karena yakin bahwa putusan yang diikutinya mengenai
perkara yang sejenis itu meyakinkannya bahwa putusan itu tepat “the persuasiv
eforce of precedent”.
Ilmu pengetahuan hukum merupakan sumber pula untuk
mendapatkan bahan guna mempertanggungjawabkan putusan hakim di dalam pertimbangannya.
Kewibawaan ilmu pengetahuan karena didukung oleh
para pengikutnya serta sifat objektif dari ilmu pengetahuan
itu sendiri menyebabkan putusan hakim bernilai objektif pula. Betapa pentingnya
ilmu pengetahuan bagi hakim dikatakan oleh Scholten, bahwa “Hanya dengan
mengikuti ilmu pengetahuan ini, hakim dapat memberikan tempat bagi putusannya
di dalam sistem hukum yang diperlukan. Tanpa itu putusan akan mengambang,
terlalu objektif dan tidak meyakinkan; meskipun dapat dilaksanakan. Ilmu
pengetahuan itu merupakan sumber pula dari hukum acara perdata.
6. Beracara Dikenakan Biaya.
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 2 ayat
(2) UU No. 48 tahun 2009, 121 ayat 4, 182 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg.). Biaya
perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan,
pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Di samping itu, apabila diminta
bantuan seorang pengacara, harus pula dikeluarkan biaya. Pengadilan Negeri
Baturaja dengan putusannya tanggal 6 Juni 1971 No. 6/1971 /Pdt menggugurkan
gugatan penggugat karena penggugat tidak menambah persekot biaya perkaranya,
sehingga penggugat dianggap tidak lagi meneruskan gugatannya.
Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara
dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin
untuk membebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat
keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR, 273 Rbg).
Di dalam praktik, surat keterangan itu cukup
dibuat oleh camat yang membawahi daerah tempat yang berkepentingan
tinggal.
Permohonan perkara sccara pro deo akan ditolak oleh
Pengadilan apabila penggugat ternyata bukan orang yang tidak mampu.
7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada
orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung
terhadap para pihak yang berkepentingan. Akan tetapi, para pihak dapat dibantu
atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (Pasal 123 HIR, 147 Rbg.).
Dengan demikian, hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya,
meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk
mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa.
Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara
langsung, hakim akan dapat mengetahui lebih jelas persoalannya, karena para
pihak yang berkepentinganlah yang mengetahui seluk beluk peristiwanya. Kalau
para pihak menguasakan kepada seorang kuasa, tidak jarang kuasa ini kurang
mendalami peristiwa yang menjadi sengketa secara terperinci, sehingga ia sering
hanya siap dengan surat jawabannya saja, tetapi kalau ada pertanyaan dari hakim
yang memeriksanya, ia masih harus berkonsultasi lagi dengan pihak yang
diwakilinya. Lagi pula berperkara di pengadilan secara langsung tanpa perantara
seorang kuasa akan jauh lebih ringan biayanya daripada kalau menggunakan
seorang kuasa, karena masih harus mengeluarkan honorarium untuknya.
Sebaliknya, adanya seorang wakil mempunyai manfaat juga.
Orang yang belum pernah berhubungan dengan pengadilan dan harus berperkara,
biasanya gugup menghadapi hakim, maka seorang pembantu atau wakil sangat
bermanfaat. Terutama seorang wakil yang tahu akan hukumnya dan mempunyai itikad
baik, merupakan bantuan yang tidak kecil bagi hakim dalam memeriksa suatu
perkara, karena memberi sumbangan pikiran dalam memecahkan persoalan-persoalan
hukum. Karena tahu akan hukumnya, wakil ini hanya akan mengemukakan
peristiwa-peristiwa yang relevan saja bagi hukum, hal ini memperlancar jalannya
peradilan. Para pihak yang buta hukum sama sekali bisa menjadi sasaran penipuan
atau perlakuan yang sewenang-wenang atau tidak layak. Seorang wakil yang tahu
hukum dapat mencegah perlakuan yang tidak fair tersebut.
Walaupun HIR menentukan bahwa para pihak dapat dibantu atau
diwakili, tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau wakil harus seorang
ahli atau sarjana hukum. Dapatlah digambarkan bahwa jalannya peradilan tidak
akan selancar bila diwakili oleh seorang kuasa yang sarjana hukum. Di dalam
praktik, sebagian besar dari kuasa yang mewakili para pihak adalah sarjana
hukum.
Rv mewajibkan para pihak mewakilkan kepada orang lain
(procureur) dalam beracara di muka pengadilan. Perwakilan ini merupakan suatu
keharusan, dengan akibat batalnya tuntutan hak (Pasal 106 ayat 1 Rv) atau
putusannya di luar hadir tergugat (Pasal 109 Rv) apabila para pihak ternyata
tidak diwakili.
Menurut RO ada persyaratan untuk bertindak sebagai
procureur, antara lain ia harus sarjana hukum (Pasal 186).
Pada hakikatnya, tujuan dari perwakilan wajib oleh sarjana
hukum (verplichte procureurstelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin
pemeriksaan yang objektif, melancarkan jalannya peradilan, dan memperoleh
putusan yang adil. (Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia: 18)
0 komentar:
Post a Comment