Showing posts with label HUKUM ISLAM. Show all posts
Showing posts with label HUKUM ISLAM. Show all posts

Friday, May 29, 2020

PENGERTIAN KAIDAH FIKIH


Dalam memahami suatu konsep atau ilmu, para ulama merumuskan sepuluh hal yang penting, agar kita memahami secara komprehensif. 
kesepuluh hal tersebut disimpulkan di dalam bemtuk syair:
أن مبادى كل فن عشرة: الحد و الموضوع ثم الثمرة و الفضله و نسبة والواضع والأسم الإستمداد وحكم الشارع ومسائل البعض بالبعض. ومن درى الجميع حاز الشرفا
Prinsip-prinsip ilmu itu ada sepuluh macam: 1. batasannya, definisinya, ta'rifnya, 2. objeknya, 3. buahnya, hasilnya, manfaatnya, 4. keutamaan dan kelebihannya dari ilmu yang lalu, 5. relevansinya dengan ilmu yang lain, 6. pengembangan, penggalinya, penemunya, 7. nama ilmunya, 8. sandaran ilmu tersebut, 9. hukum mempelajarinya, 10. contoh-contoh masalah di dalamnya. barang siapa yang mengetahui kesepuluh hal tersebut akan memiliki kehormatan.[1]
Baca Juga Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fikih
Baca Juga Macam-Macam Kaidah Fikih
Al-Qawa'id bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Dalam arti bahasa, kaidah bermakna asas, dasar atau pondasi, baik dalam arti yang konkrit maupun yang abstrak, seperti kata qawa'id al-bait, yang arti ya pondasi rumah, qawa'id al-din, artinya dasar-dasar agama, qawa'id al-ilmi, artinya kaidah-kaidah ilmu. arti ini digunakan  di dalam al-Qur'an surat al-baqarah ayat 127 dan surat al-Nahl ayat 20:
وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ......
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail Mengetahui
...فَاَتَى اللّٰهُ بُنْيَانَهُمْ مِّنَ الْقَوَاعِدِ 
Terjemahnya:
Allah menghancurkan bangunan mereka dari pondasi-pondasinya.
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau pondasi, tempat yang di atasnya berdiri bangunan.[2]
pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam nahwu bahasa Arab, seperti maf'ul itu manshub, fan fa'il itu marfu'. Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya. dengan demikian, Maka al-qawa'id al-fiqhiyah secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.[3]
Para ulama memang berbeda-beda mendefinisikan kaidah fikih secara istilah. ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitnya. Akan tetapi, substansinya tetap sama. Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan:
مجموعة الأحكام المتشابهات التى ترجع ألى قياس واحد يجمعها
Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya.[4]
Sedangkan al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan:
قضية كلية منطبقة على جميع جزئياتها
Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.[5]
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan: 
الأمر الكلى الذى ينطبق عليه جزئيات كثيرة يفهم أحكامها منها
Kaidah adalah sesuatu yang  bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi.[6]
Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252) dalam muqaddimahnya dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-Asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah:
معرفة القواعد التى ترد اليها وفرعوا الأحكام عليها
Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum yang dirinci dari padanya hukum.[7]
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazhair, mendefinisikan kaidah dengan:
حكم كلى الذى ينطبق علي جزئياته
Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagian-nya.[8]
dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu  bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz'iyyat-nya (bagian-bagiannya).
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu: pertama, kaidah-kaidah ushul fikih, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fikih, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya, al-Qur'an dan Hadis. Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan  secara general dari materi fikih  dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukum dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum Islam. Hanya saja kaidah-kaidah ushul sering  digunakan dalam takhrijul ahkam, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, yaitu al-Qur'an dan hadis. Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering dugunakan  di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum  atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia. Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhalifaan Turki Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang yang disebut Majallah al-Ahkam al-Adliyah yang merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah fikih di bidang muamalah, dengan 1851 pasal.[9]

Daftar Literasi
------------------
1. Al-Syaikh Abdullah bin Sa'id Muhammad 'Ibadi al-Hadrami, Isdhah al-Qawa'id al-Fiqhiyah, (tt: Haramain, tt), h. 9.
2. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Qalam, 2000), h. 107.
3. Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 1.
4. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt: Beirut: dar al-Fikri al-Arabi, tt), h. 10
5. Al-Jurjani, Kitab al-Ta'rifat, (tt.  Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), h. 171.
6. Al-Imam Tajuddin Abd al-Wahhab bin Ali bin Abd al-Kahf al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhair juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tt), h. 11.
7. Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair cet. 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1983), h. 10.
8. Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, Al-Asu=ybah wa al-Nazhair fi Qawa'id wa Furu' al-Fiqh al-Syafi'i, cet. 1 (Beiru: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979), h. 5.
9. Ali Haidar, Durar al-Ahkam, Syarah Majallah al-Ahkam cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991)

Thursday, May 28, 2020

PERBEDAAN KAIDAH USHUL DAN KAIDAH FIKIH



Di antara para peneliti di bidang kaidah ushul fiqh dan kaidah fikih menyatakaa bahwa yang pertama kali membedakan antara kaidah ushul dan kaidah fikih adalah al-Qurafi (w. 684 H), yang menyatakan bahwa “syariah itu ada dua hal, yaitu ushul dan furu’, sedangkan ushul terbagi dua, yaitu ushul fiqh dan kaidah-kaidah kuliyah fiqhiyah'
Baca Juga Pengertian Kaidah Fikih
Lebih jauh Iagi Ali Ahmad al-Nadwi memerinci perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah-kaidah fikih.
  1. Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath al-ahkam secara benar. Dengan ushul fiqh digali hukum-hukum dari dalil-dalilnya, seperti hukum asal dari kata perintah (al-amr) adalah wajib, kata-kata larangan menunjukkan haram.
  2. Kaidah ushul fiqh meliputi semua bagian, sedang kaidah fikih hanya bersifat aglabiyah (pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya. Dalam hal ini komentar Jaill Mubarok, kira-kira ada benarnya, yang menyatakan bahwa dalam kaidah ushul pun ada pengecualiannya.[1]
  3. Kaidah ushul fiqh adalah cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis, sedangkan kaidah fikih adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama. Jadi dapat dipahami, bahwa kaidah-kaidah fikih pun bisa menjadi cara untuk menetapkan hukum syara’ yang praktis. Sehingga sering terjadi, di samping menggunakan kaidah-kaidah ushul fikih juga menggunakan kaidah-kaidah fikih dalam menentukan hukum terutama dalam penerapan hukum (tathbiq al-ahkam).
  4. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’. Sedangkan kaidah fikih muncul setelah furu’. Hal inilah yang penulis coba gambarkan di dalam proses pembentukan kaidah-kaidah fikih.
  5. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandang di dalam berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fikih menjelaskan masalah fikih yang terhimpun di dalam kaidah tadi.[2]
Baca Juga Kaidah-Kaidah Fikih
Baca Juga Asas-asas Hukum Acara Perdata
Seperti dijelaskan oleh Abu Zahrah bahwa kaidah-kaidah ushul adalah metode yang digunakan oleh ahli hukum Islam agar dia tidak salah dalam menentukan hukum. Dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul dia bisa menghasilkan hukum-hukum fikih yang sangat rinci atau disebut furu.[3] Di sinilah ada perbedaan antara yang umum (kaidah-kaidah ushul) dengan furu’ atau fikih sebagai hasil dari penggunaan kaidah-kaidah ushul tadi. Inilah yang dimaksud dengam penggunaan pemikiran secara deduktif, sedangkan kaidah-kaidah fikih muncul dengan cara meneliti/istiqra terhadap fikih yang rinci tadi, dengan mencari persamaan-persamaannya hasilnya memunculkan kaidah-kaidah fikih. Inilah yang dimaksud bahwa di dalam menentukan kaidah-kaidah fikih digunakam pola pikir induktif, karena itu tidak muncul kaidah-kaidah fikih kecuali setelah adanya fikih, meskipun kemudian kaidah fikih sebagai “teori umum di dalam fikih Islam,[4] bisa digunakan untuk memecahkan masalah-masalah baru yang muncul dengan meng-qiyas-kannya kepada masalah-masalah lain yang ada di bawah ruang lingkup kaidah fikih tadi.
Selain itu kaidah-kaidah ushul adalah hasil penelitian ahli ushul fikih dan terdapat di dalam kitab-kitab ushul fikih. Sedangkan kaidah-kaidah fikih adalah hasil penelitian fuqaha (ahli fikih) dan terdapat di dalam kitab-kitab kaidah fikih dan/atau kitab-kitab fikih.
Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kebahasaan termasuk kaidah ushul dan kaidah yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya juga termasuk kaidah ushul, misalnya kaidah-kaidah yang berhubungan dengan qiyas, istishab.
Memang ada jaga beberapa kaidah ushul fikih yang dimasukkan oleh para ulama dalam kaidah-kaidah fikih.[5] Hal semacam ini bisa terjadi karena,[6] Pertama, di dalam proses pengujian kaidah-kaidah f'ikih oIeh al-Qur’an dan hadis nabi, bisa bertemu dengan beberapa kaidah yang telah dikumpulkan oleh ahli ushul fikih, sehingga digunakanlah sebagai kaidah fikih, bukan sebagai kaidah ushul fikih seperti halnya ada kaidah-kaidah fikih yang sama dengan hadis nabi. Maka para ahli fikih mengganakannya bakan sebagai hadis tapi sebagai kaidah fikih.
Akan tetapi proses pembentukan kedua kaidah itu tetap berbeda. Jadi dua proses yang berbeda atau dua metode yang berbeda bisa menghasilkan kaidah yang sama, hal tersebut malah bisa menunjukkan kadar kebenarannya lebih tinggi.
Kedua, apabila kaidah yang sama tadi digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis yang rinci, maka itu jelas kaidah ushul. Tetapi apabila kaidah tadi digunakan untuk memberikan hukum dalam perbuatan makallaf, maka kaidah tadi disebut kaidah fikih. Dengan kata lain apabila kaidah digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya, itu adalah kaidah ushul. Sedangkan apabila kaidah tadi digunakan untuk menerapkan hukum (tathbiq al-ahkam) itu adalah kaidah fikih.
Ketiga, dalam sistem hukum Islam, meskipun ada perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fikih, para alama selalu mempertimbangkan keduanya agar meraih maslahat dan menolak mafsadah, serta hukum yang dihasilkan benar, baik, dan indah.

Daftar Literasi
------------------

1. Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, cet. 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 19
2. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, cet. 5 (Beirut; Dar al-Qalam, 2000), h. 68-69.
3. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt: Dar al-Fikr al-Arabi, tt), h. 11
4. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, h. 62
5. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, h. 439-459 dan Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh, h. 21
6. H.A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, cet. 8 (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), h.24-25.

Wednesday, May 27, 2020

MONOGAMI, POLIGAMI, DAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM



Asas monogami telah diletakkan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam Islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Islam memandang poligami lebih banyak membawa risiko/ mudarat daripada manfaatnya. Karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antaIa istri beserta anak-anaknya masing-masing. 
Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat/watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.
Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah dengan adanya keturunannya yang saleh yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami bukan mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.[1]
Marilah kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an ‘yang berkenaan dengan masalah monogami dan poligami dalam Surat al-Nisa ayat 2-3:

وَاٰتُوا الْيَتٰمٰىٓ اَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَهُمْ اِلٰٓى اَمْوَالِكُمْ ۗ اِنَّهٗ كَانَ حُوْبًا كَبِيْرً وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ 

Terjemahnya:

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

Ayat 2 dan 3 Surat al-Nisa di atas berkaitan (ada relevansinya) , sebab ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah; sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil serta fair, yakni si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ra waktu ditanya oleh Urwah bin Al-Zubair ra mengenai maksud ayat 3 Surat al-Nisa tersebut.[2]
Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu; tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Dan jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka ia hanya boleh beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat zalim terhadap istri yang seorang
itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap istrinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.[3]
Menurut Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surat ini Surat al-Nisa, maka masalah pokoknya ialah mengingatkan kepada orang yang berpoligami agar berbuat adil terhadap istri-istrinya dan berusaha memperkecil jumlah istrinya agar ia tidak berbuat zalim terhadap keluarganya. Sedangkan menurut Aisyah ra yang didukung oleh Muhammad Abduh, bahwa masalah pokoknya ialah masalah poligami, sebab masalah poligami dibicarakan dalam ayat ini adalah dalam kaitannya dengan masalah anak wanita yatim yang mau dikawini oleh walinya sendiri secara tidak adil atau tidak manusiawi. Kemudian ada pendapat lain lagi, ialah Al-Razi, bahwa yang dimaksud dengan ayat ini ialah larangan berpoligami yang mendorong orang yang bersangkutan memakai harta anak yatim guna mencukupi kebutuhan istri-istrinya.
Menurut Rasyid Ridha, pendapat Al-Razi tersebut lemah, tetapi ia menganggap benar, jika yang dimaksud dengan ayat 3 Surat Al-Nisa itu mencakup tiga masalah pokok yang masing-masing dikemukakan oleh Ibnu Jarir, Muhammad Abduh, dan Al-Razi. Artinya, dengan menggabungkan tiga pendapat tersebut di atas, maka maksud ayat tersebut ialah untuk memberantas/ melarang tradisi zaman Jahiliyah yang tidak manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah, serta ia menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak tersebut. Demikian pula tradisi zaman Jahiliyah yang mengawini istri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam berdasarkan ayat ini.[4]
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil antara lain ialah sebagai berikut:
  1. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul;
  2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya. Data-data statistik menunjukkan bahwa di beberapa negara Barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya prostitusi dan free sex (kumpul kebo) yang berakibat pula anak-anak zina lahir mencapai jumlah yang cukup tinggi. Misalnya di Francis 30%, Austria 50%, dan Belgia 60%. [5]
  4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama seperti perang antara Iran dan Irak yang terjadi antara tahun 1980-1988.[6]
Mengenai hikmah Nabi Muhammad diizinkan beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya ialah sebagai berikut:
  1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. istri nabi sebanyak (sembilan) orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan/kerumahtanggaan;
  2. Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri Al-Harits Kepala suku Banil Musthaliq. Demikian pula perkawinan Nabi dengan Shafiyah, seorang tokoh dari suku Bani Quraidzah dan Banin Nadhir.[7]
  3. Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan Islam yang telah lanjut usianya seperti Saudah binti Zum’ah (suami meninggal sebelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan agamanya, dan penanggung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.[8]
Jelaslah, bahwa perkawinan Nabi dengan sembilan istrinya itu tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks dan kenikmatan seks. Sebab kalau motifnya demikian, tentunya Nabi mengawini gadis-gadis dari kalangan bangsawan dan dari berbagai suku pada masa Nabi masih berusia muda. Tetapi kenyataannya adalah Nabi pada usia 25 tahun kawin dengan Khadijah seorang janda umur 40 tahun dan pasangan suami istri ini selama lebih kurang 25 tahun berumah tangga benar-benar sejahtera dan bahagia dan mendapatkan keturunan: dua anak lelaki, tetapi meninggal masih kecil, dan 4 anak wanita.
Setelah Khadijah wafat tahun ke 10 sejak Muhammad diangkat sebagai nabi pada usia lebih kurang 65 tahun, barulah kemudian Nabi memikirkan kawin lagi. Mula-mula kawin dengan Saudah binti Zum’ah, seorang janda, dan sebulan kemudian Nabi kawin dengan Aisyah, dan kemudian disusul dengan istri-istrinya yang lain. Tetapi tidak ada seorang istrinya pun yang dikawini dengan motif untuk pemuasan nafsu seks atau karena harta kekayaannya, melainkan karena motif agama, politik, sosial dan kemanusiaan.[9]
Mengenai perceraian, Islam memandangnya sebagai perbuatan halal yang paling dibenci agama, sebagaimana Hadis Nabi riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Ibnu Umar.[10]
أبغض الحلال إلى الله الطلاق
ِArtinya:
Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.
Hal ini disebabkan karena perceraian itu bertentangan dengan tujuan perkawinan, ialah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia untuk selamanya. Dan lagi perceraian itu mempunyai dampak yang negatif terhadap bekas suami-istri dan anak-anak.
Karena itu, perceraian seperti halnya poligami hanya diizinkan kalau dalam keadaan terpaksa (darurat), yakni sudah terjadi syiaq atau kemelut rumah tangga yang sudah sangat gawat keadaannya dan sudah diusahakan dengan itikad baik dan serius untuk adanya islah atau rekonsiliasi antara suami istri, namun tidak berhasil, termasuk pula usaha dua hakam dari pengadilan, tetap tidak berhasil. Maka dalam keadaan rumah tangga seperti itu, Islam memberi jalan keluar, yakni ”perceraian” yang masih bersifat talaq raj‘i, artinya masih memungkinkan suami merujuk istri dalam masa idah. Karena itu, masa idah istri itu dimaksudkan sebagai cooling period atau masa pengendapan untuk merenungkan dengan tenang tentang baik buruknya perceraian bagi keluarga, dan menelusuri apakah penyebab yang sebenarnya sampai terjadi syiqaq itu dari suami atau dari istri atau dari pihak ketiga? Dengan introspeksi dan retrospeksi, mungkin timbul penyesalan pada suami istri, kemudian berhasrat islah dan niat masing-masing suami istri untuk membina rumah tangga lagi.[11] (Perhatikan al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 228 dan al-Nisa ayat 34).
Mengingat madarat yang timbul akibat dari perceraian dan poligami itu sangat besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan berkeluarga dan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, maka Pemerintah RI berhak dan bahkan berkewajiban untuk memperketat dan mempersulit izin perceraian dan poligami, sebagaimana tersebut dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang telah diubah menjadi UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan demi menjaga kemaslahatan keluarga dan masyarakat. Dan bagi umat Islam Indonesia wajib mentaati peraturan perundang-undangan tersebut, karena tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalam al-Qur’an dan Sunah, dan juga mengingat al-Qur’ an Surat al-Nisa ayat 59:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ 
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Daftar Literasi
-----------------

1. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. IV (Mesir: Darul Manar, 1347 H), h. 364-370.
2. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 344-345.
3. Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (Lahore: The Ahmadiyah Anjuman Isya'at Islam, 1950), h. 662-663.
4.  Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 347-348.
5. Ali Ahmad al-Jurjani, Hikamh al-Tasyri' wa Falsafatuh, vol.II (Cairo: Al-Mathba'ah al-Yusufiah, 1931), h. 11-13.
6. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 357-358.
7. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 371.
8. Abbas Mahmud al-Aqqad, Haqaiqul Islam wa Abathilu Khushumih, (Cairo: Darul Qalam, 1957), h. 181-182.
9. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 370-374.
10. Al-Suyuti, Al-Jami' al-Shagir, vol. 1 (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halabi wa Auladuh, 1954), h. 5.
11. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1996). h. 18.




Tuesday, May 26, 2020

PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM MONOPOLI DAN OLIGOPOLI


Monopoli dan oligopoli merupakan praktik kegiatan yang banyak dijumpai pada era globalisasi ini. keduanya memiliki ciri yang sama, yaitu bentuk penguasaan terhadap penawaran dan harga. apabila penguasaan itu dilaksanakan oleh sebuah perusahaan maka hal itu disebut monopoli, sedangkan apabila penguasaan itu dilaksanakan oleh sekelompok perusahaan tertentu disebut sebagai oligopoli. Pada intinya, yang dimaksud dengan monopoli adalah menahan barang untuk tidak beredar di pasar supaya naik harganya. semakin besar dosa orang yang melakukannya jika praktik monopoli tersebut dilakukan secara kolektif, di mana para pedagang barang-barang jenis tertentu dari barang dagangan untuk keuntungan mereka sendiri dan menguasai pasar sekehendaknya.[1] Monopoli sempurna terlihat bila sebuah perusahaan tunggal memproduksi suatu komoditi yang tidak dikeluarkan oleh perusahaan lain. Dengan demikian, elastisitas permintaan silang sebuah perusahaan monopoli adalah kecil. Perbedaan antara monopoli dengan bentuk persaingan usaha lain adalah bahwa monopoli  dapat menentukan harga pasar untuk hasil produksinya, karena ia merupakan produsen tunggal untuk jenis barang tersebut. karena muncul motif untuk memaksimumkan keuntungan, dia akan menetapkan harga barang menurut kehendaknya dan menentukan agar penjualan suatu barang dengan harga tertentu. dalam hal ini dapat mengakibatkan timbulnya suatu pasar yang tidak sempurna.[2]
Apabila suatu perusahaan bergerak dengan dipengaruhi oleh ekonomi Islam, maka ia tidak akan mencari peluang untuk melakukan eksploitasi. Sebagaimana diketahui bahwa sebenarnya tidak terdapat satu pun unsur yang dapat memaksa sebuah perusahaan untuk melakukan eksploitasi. Bahkan jika perusahaan ini tidak menjalankan dasar eksploitasi, ia tetap akan mendapatkan keuntungan normal, sama halnya dengan apa yang didapat dalam pasar persaingan yang sehat. Walaupun pengaruh pasar mungkin saja memberi pengaruh yang besar maupun kecil terhadap pengusaha dalam mengeksploitasi konsumen guna mendapatkan keuntungan maksimum, tetapi apabila diterapkan sistem ekonomi Islam, maka akan ada suatu kontrol terhadap pengusaha untuk melakukan tindakan manipulasi yang mengarah pada eksploitasi ini.[3]
Permasalahan terhadap sistem monopoli dalam bisnis menurut Hukum Islam dikarenakan sistem monopoli ini bertentangan dengan prinsip kasih sayang menurut Islam. Agama Islam mempunyai banyak nilai-nilai yang patut diikuti oleh umat manusia.
Di antara nilai-nilai yang penting itu adalah sifat ”kasih sayang” yang telah dijadikan Allah sebagai risalah kepada Nabi Muhammad saw. Dalam QS. al-Anbiya/21: 107, Allah berfirman: ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Demikian pula Nabi Muhammad saw menyebutkan sifat dirinya sendiri dengan sifat ini sebagaimana sabdanya: ”Orang-orang yang belas kasih akan dirahmati (dikasihi) oleh Ar-Rahrnan (Tuhan Yang Maha Pengasih), kasihilah orang yang di muka bumi niscaya yang berada di langit akan mengasihimu." (HR. Abu Dawud (4941) dan at-Tarrnidzi, ia mengatakan: hasan shahih (1925) dari Abdullah bin ’Amr).
Dari ayat al-Qur'an dan Hadis Nabi saw. di atas Islam mewajibkan sikap kasih sayang kepada setiap makhluk. Karena itu seorang pedagang tidak boleh menjadikan obsesi terbesarnya dan tujuan usahanya adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, demi memenuhi laci atau saldonya di bank, meskipun di atas jerih payah orang lain, khususnya orang-orang lemah di antara mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk bersaing dengan pihak yang kuat dan mampu. 
Pedagang tidak boleh menaikkan atau menentukan harga yang tinggi dengan semena-mena sehingga masyarakat sulit untuk membelinya. Pada dasarnya pemberian harga dalam Islam harus adil. Dengan kata lain bukan hanya mendapatkan keuntungan semata, tetapi harus berdasarkan untuk menolong. Selain itu ketika memerhatikan pesaing bukan bertujuan untuk memonopoli, tetapi terjadi persaingan yang sehat.[4]
Islam melarang monopoli juga dikarenakan akibat yang ditimbulkan oleh monopoli tersebut. Akibat dari praktik monopoli yang ada dalam masyarakat antara lain adalah:

  1. Pasar monopoli adalah industri satu perusahaan. Barang dan jasa yang dihasilkan tidak dapat dibeli dari tempat lain. Para pembeli tidak mempunyai pilihan lain, kalau mereka menginginkan barang tersebut. Syarat-syarat penjualan sepenuhnya ditentukan oleh monopoli itu, dan para pembeli tidak dapat berbuat apa pun di dalam menentukannya syarat jual beli.
  2. Barang yang dihasilkan di pasar monopoli tidak dapat digantikan oleh barang lain yang ada di dalam pasat. Barang tersebut merupakan satu-satunya jenis barang dan tidak terdapat barang mirip yang dapat menggantikan barang tersebut
  3. Tidak terdapat kemungkinan perusahaan lain untuk masuk ke dalam industri monopoli. Sifat ini merupakan sebab utama yang menimbulkan sebuah perusahaan mempunyai kekuasaan monopoli. Tanpa sifat ini perusahaan monopoli tidak akan terwujud, karena pada akhimya akan terdapat beberapa perusahaan di dalam satu industri.
  4. Perusahaan monopoli akan menentukan harga. Karena perusahaan monopoli merupakan satu-satunya penjual di dalam pasar, maka penentuan harga dapat dikuasainya melalui pengendalian terhadap lajunya produksi dan jumlah barang yang ditawarkan, sehingga dapat menentukan harga pada tingkat yang dikehendakinya.

Dari uraian di atas jelas, bahwa Islam telah mengharamkan ”monopoli”, yang merupakan salah satu  dari dua unsur penopang kapitalisme yang rakus dan otoriter.[5] Unsur penopang kapitalisme yang lairmya adalah riba. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad saw. bersabda: ”Barangsiapa memonopoli maka ia berdosa." (HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tarmidzi, ia menyahihkannya, dan Ibnu Majah, al-Muntaqa: 999). Dalam Hadits lain disebutkan: ”Barangsiapa memonopoli bahan makanan selama empat puluh hari, maka sesungguhnya ia telah terlepas diri dari Allah dan Allah pun berlepas darinya.” (HR. Ahmad dalam Musnad Ibnu Umar, disahihkan Ahmad Syakir (No. 448), dan al’Iraqi dalam Takhrij al-ihya’(II/72).
Yusuf al-Qardhawi menggambarkan hal ini sebagai berikut: Sesungguhnya Islam ingin mendirikan di bawah naungan sejumlah nilai luhur suatu pasar yang manusiawi, di mana orang-orang yang besar mengasihi orang yang kecil, orang yang kuat membimbing yang lemah, orang yang bodoh belajar dari yang pintar, dan orang-orang yang bebas menegur orang yang nakal dan zalim. Sedangkan pasar yang berada di bawah naungan peradaban materialisme dan filosofi kapitalisne tidak lain adalah miniatur hutan rimba, di mana orang yang kuat memangsa yang lemah. orang yang besar menginjak-injak yang kecil. Orang yang bisa bertahan dan menang hanyalah orang yang paling kuat dan kejam, bukan orang yang paling baik dan ideal.[6]

Daftar Literasi
--------------------
[1]Ahmad Muhammad Al-'Assal dan  Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1980), h. 330.
[2]Muhammad Najetullah Siddiqie, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, cet. 1, (Jakarta: Bmi Aksara, 1996), h. 127.
[3]Muhammad Najetullah Siddiqie, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam,  h. 136.
[4]Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cet. 3 (Jakarta: Kencana, 2007), h. 218.
[5]Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, cet. 1, (Jakarta: Robbani Press. 2001), h. 321.
[6]Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,  h. 321.

Friday, April 24, 2020

JENIS-JENIS LAPANGAN HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA



Di dalam UUDS 1950 pernah disebutkan beberapa lapangan hukum yaitu dalam pasal 102 dan 108. Yakni sebagai berikut:
Dalam pasal 102 UUDS disebut:
  • Hukum Perdata dan Hukum Dagang.
  • Hukum Pidana Sipil dan Hukum Pidana Militer.
  • Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana.

Pasal 108 UUDS menyebut pula Hukum Tata Usaha. Kedua pasal ini tidaklah memuat pembagian lapangan hukum Indonesia, sehingga tidak menyebut lengkap semua lapangan hukum.
Pasal 102 UUDS ini hanya menyebut lapangan lapangan hukum yang harus “diatur dengan dalam undang-undang dalam kitab-kitab hukum. ”Dengan kata lain, pasal 102 UUDS hanya menyebut lapangan lapangan hukum yang harus “dikodifikasikan.”
Sedangkan pasal 108 UUDS hanya menetukan siapa yang harus memutuskan sengketa-sengketa yang mengenai hukum tata usaha (Hukum Administrasi). Pada pokoknya jenis-jenis lapangan hukum dapat disebutkan sebagai berikut :
  • Hukum Tata Negara.
  • Hukum Administrasi Negara.
  • Hukum Perdata.
  • Hukum Dagang.
  • Hukum Pidana.
  • Hukum Acara Perdata dan Pidana.

1. Hukum Tata Negara
Prof. Kusmadi Pudjosewojo, SH. memberikan batasan tentang pengertian hukum tata negara sebagai hukum yang mengatur bentuk negara, bentuk pemerintahan, menunjukkan masyarakat atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut tingkatannya, menegaskan wilayah, lingkungan dan rakyat masing-masing masyarakat hukum; menunjukkan alat-alat perlengkapan negara yang berkuasa dalam masing-masing masyarakat hukum dan susunannya, wewenang serta imbangan dari alat-alat perlengkapan tersebut.
Bertolak dari pengertian tersebut kita dapat mengetahui materi apa yang diatur oleh hukum tata negara. Hukum tata negara menurut pengertian di atas mengatur tentang bentuk negara apakah suatu Negara berbentuk Negara kesatuan atau negara federal, kemudian menentukan apakah bentuk pemerintahannya berbentuk kerajaan atau republik. Ia juga mengatur mengenai masyarakat hukum mana yang atasan dan mana yang bawahan, menentukan alat-alat perlengkapan negara mana yang memegang kekuasaan dalam masing masing masyarakat hukum lersebut, sejauh mana luas lingkungannya, siapa yang menjadi rakyat nya lalu apa tugas masing masing alat perlengkapan Negara tersebut, bagaimana susunan alat-alat perlengkapan negara masing masing masyarakat hukum tersebut dan bagaimana imbangannya. Jadi hukum tata negara meliputi kaidah kaidah hukum yang menetapkan struktur dan system organisasi negara. Pada prinsipnya hukum tata negara mengatur negara dalam keadaan diam, karena hukum tata negara tidak mengatur bagimana cara bekerja alat-alat perlengkapan negara itu dalam menjelaskan tugasnya.

2. Hukum Administrasi Negara
Hukum administrasi Negara adalah aturan aturan hukum yang mengatur bagaimana cara alat-alat perlengkapan negara harus berbuat sesuatu dalam melaksanakan tugasnya. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa hukum administrasi mengatur alat-alat perlengkapan negara dalam kegiatannya melaksanakan tugas. Menurut istilah yang lazim, hukum administrasi Negara mengatur negara dalam keadaan bergerak. Dari pengertian dan penjelasan singkat tersebut tampak jelas perbedaan antara hukum tata negara dengan hukum administrasi negara yaitu hukum tata negara mengatur negara dalam keadaan diam sedangkan hukum administrasi negara mengatur negara dalam keadaan bergerak.

3. Hukum Perdata
Hukum perdata ialah aturan aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat, maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua yaitu hukum perdata materiil dan hukum perdata fomal. Hukum perdata materiil mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaiman Cara seseorang menentukan haknya apabila dirugikan oleh orang lain. Hukum perdata formal mempertahankan hukum perdata materiil, karena hukum perdata formal berfungsi menerapkan hukum perdata materiil apabila ada yang melanggarnya.
Menurut ilmu pengetahuan, hukum perdata dibagi menjadi:
  • Hukum pcrorangan (personenrecht)
  • Hukum keluarga (familierecht)
  • Hukum harta kekayaan (vermogensrecht)
  • Hukum waris (erfrecht)

Menurut KUH Perdata (BW) hukum perdata dibagi menjadi 4 yaitu:
  • Hukum tentang orang (buku ke l)
  • Hukum tentang benda (buku ke II)
  • Hukum tentang perikatan (buku ke III)
  • Hukum tentang pembuktian dan kadaluwarsa (buku ke IV)

4. Hukum Dagang
Hukum dagang menurut pendapat yang Iazim adalah merupakan bagian dari hukum perdata umum dan ia menjadi satu dengannya. Masalahnya adalah bagian yang manakah dari hukum perdata umum tersebut yang merupakan hukum dagang? Bagian yang merupakan hukum dagang dari hukum perdata umum adalah bagian yang mengatur tentang beberapa perjanjian (overeenkomst) dan perikatan perikatan (verbintenissen) yang sebagian sudah dikodiflkasi dalam buku ke III Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Buku ke II KUH Perdata itu berjudul “tentang perikatan-perikatan” baik mengenai asas-asas umum hukum perjanjian maupun beberapa perjanjian khusus misalnya pengertian tentang pemberian ganti rugi, risiko, pertanggung jawaban sepenuhnya oleh seseorang, keadaan memaksa, perjanjian jual beli, pemberian kuasa perburuhan, dan pemborongan. Dalam perkembangannya pemberian kuasa perburuhan dan pemborongan cenderung beralih menjadi hukum publik karena Pemerintah turut campur tangan.
Di samping bagian itu ada bagian lain yang erat hubungannya dengan perkembangan perniagaan misalnya tentang pengangkutan di darat, laut, di perairan pedalaman dan di udara, untuk pengangkutan barang maupun orang. Di luar masalah pengangkutan barang dan orang masih ada lagi yang diurus oleh hukum dagang yaitu tentang penanggungan kerugian jiwa ataupun barang, dan aneka peraturan misalnya makelar, komisioner serta aneka perjanjian tentang kehendak untuk mendirikan usaha perniagaan misalnya firma, perseroan terbatas dan persekutuan komanditer.
Sebaigian besar dari hal-hal tersebut sudah dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Dari uraian di atas kita ketahui hal-hal apa saja yang diatur oleh hukum dagang dan bagaimana pengertian hukum dagang itu sebenamya serta bagaimana kedudukan hukum dagang terhadap hukum perdata umum. Secara singkat dapat dikemukakan bahwa hukum dagang ialah aturan-aruran hukum yang mengatur hubungan orang yang satu dengan lainnya khususnya dalam hal perniagaan. Hukum dagang adalah merupakan hukum perdata khusus.

5. Hukum Pidana
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan pelanggaran dan kejahatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan atau siksaan bagi yang bersangkutan. Dari rumusan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukuman pidana bukan suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, tetapi hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum. Kepentingan umum yang dimaksud adalah:
1) Badan peraturan perundangan negara seperti negara, lembaga negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya.
2) Kepentingan hukum setiap manusia misalnya jiwa, tubuh, kemerdekaan, kehormatan dan harta benda.
Pelanggaran adalah tindak pidana ringan yang diancam dengan hukuman denda. Pelanggaran dapat dilakukan terhadap keamanan umum bagi manusia, barang, kesehatan umum, dan terhadap ketertiban umum, penguasa umum, dan lain lain. Kejahatan adalah tindak pidana berat yang diancam dengan hukuman denda, kurungan, penjara dan hukuman mati. Hukum pidana Indonesia mengatur pelanggaran dalam buku ketiga KUHP dan mengatur tentang kejahatan dalam buku kedua KUHP. KUHP yang berlaku di Indonesia adalah KUHP yang dikodiflkasikan tahun 1918 yang telah diubah dan ditambah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang telah semakin maju dan berkembang.
Pembagian Hukum Pidana 
Hukum pidana dibedakan menjadi dua:
1) Hukum pidana objektif ialah peraturan yang memuat perintah dan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman bagi setiap pelanggarnya. Hukum pidana objektif dibagi dua menjadi:
a. Hukum pidana materiil yaitu semua peraturan yang merumuskan tentang perbuatan perbuatan apa yang dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan hukum apa yang dapat diterapkan. Dengan kata lain hukum pidana materiil adalah peraturan yang merumuskan tentang pelanggaran dan kejahatan, syarat-syarat apa yang harus dipenuhi seseorang dapat dihukum serta hukuman apa yang dapat diterapkan kepada pelaku kejahatan atau pelanggaran itu.
Hukum pidana materiil dibedakan lagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang berlaku bagi siapa saja, sedangkan hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang berlakunya bagi orang orang tertentu atau hukum pidana mengenai hal tenentu. Contoh hukum pidana umum yang berlaku di Indonesia adalah hukum pidana yang berlaku bagi penduduk Indonesia kecuali anggota ABRI atau yang dipersamakan dengan mereka. Hukum pidana khusus yang berlaku di Indonesia misalnya:
  • Hukum pidana militer
  • Hukum pidana fiscal
  • Hukum pidana ekonomi

b. Hukum pidana formil ialah peraturan hukum pidana yang mengatur bagaimana cara mempertahankan berlakunya hukum pidana materiil. Hukum pidana formil memproses bagaimana menghukum atau tidak menghukum seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana, oleh karenanya dinamakan hukum acara pidana.
2) Hukum pidana subjektif ialah hak negara untuk menghukum seseorang berdasarkan setiap orang bertindak sendiri, menghukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana.

6. Hukum Perburuhan
Hukum perburuhan adalah himpunan peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan. Buruh bekerja pada dan di bawah majikan dengan mendapat upah sebagai balas jasanya. Dari rumusan tersebut dapat dltarik kesimpulan bahwa hukum perburuhan mengandung unsur-unsur tertentu yaitu :
  • Peraturan tertulis dan tidak tertulis yang berperan mengatur hubungan buruh dan majikan.
  • Peraturan tersebut mengenai kejadian dalam hubungan perburuhan.
  • Ada orang yang bekerja pada orang lain dan dibawah pimpinan tersebut.
  • Ada balas jasa yang diterima buruh scbagai upah. Jadi kalau ditegaskan unsur penting dalam hukum perburuhan itu adalah majikan, buruh dan upah. Majikan adalah pemberi pekerjaan. buruh adalah orang yang bekerja atas perintah dari pimpinan majikan. upah adalah balas jasa yang diterima buruh dari majikan.

7. Hukum Agraria
Hukum agraria adalah keseluruhan peraturan tertulis maupun tidak tertulis. Pengertian agraria adalah meliputi seluruh bumi. air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan kesatuan wilayah Republik Indonesia yang berasal dari karunia Tuhan Yang maha Esa, yang menjadi kekayaan nasional bangsa Indonesia (ps. I UUPA).
Jika diamati tentang rumusan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum agraria mengatur tentang bagaimana bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam dimanfaatkan sebaik baiknya bagi bangsa Indonesia, karena pada dasarnya kesemuanya itu adalah karunia Tuhan bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Jika tidak diatur oleh hukum agraria tersebut niscaya bangsa Indonesia akan berbuat menurut kehendak mereka sendiri, sehingga dapat merugikan sesama bangsa Indonesia atau kekayaan bangsa tidak dapat dinikmati secara maksimal.

8. Hukum Pajak
Hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Rumusan pengertian tersebut mengandung arti bahwa pada dasamya pemerintah mempunyai wewenang untuk mengambil sebagian dari kekayaan seseorang yang berada di bawah naungan pemerintah, dengan kewajiban menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui kas negara sebagai kontra prestasinya. Pengambilan kekayaan orang oleh pemerintah tidak semata mata menurut kehendak pemerintah tetapi berdasarkan ketentuan dalam peraturan pajak dan pengembaliannya tidak secara langsung kepada orang yang kebetulan diambil sebagian kekayaannya sebagai pajak, tetapi semua orang dapat menikmati kontra prestasi yang diserahkan pemerintah melalui kas negara tadi. Wujud pengambilan itu dapat berupa pendidikan, pembangunan jalan, jembatan, dan lain-lain yang prinsipnya semua orang dapat menikmatinya.

9. Hukum Antar Golongan
Hukum antar golongan (H.A.G) adalah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan hukum apa dan hukum mana yang berlaku, apabila dalam satu peristiwa hukum, ada dua hukum atau lebih yang berlainan satu sama lain karena berlainan golongan penghuni dalam suatu negara.
Rumusan pengertian tersebut di atas menunjukkan kepada kita bahwa hukum antar golongan akan mengatur bagaimana jika terjadi peristiwa hukum di mana masing masing orang tunduk pada hukum yang berbeda, karena golongan penduduknya berbeda walaupun mereka berada dalam wilayah negara yang sama. Sebagai contoh misalnya peristiwa perkawinan antara orang pribumi Indonesia dengan golongan Eropa yang tinggal di Indonesia. Jelas hal tersebut memerlukan penyelesaian atau penetapan hukum mana yang akan dipakai, karena masing masing menganut hukum perkawinan yang berbeda. Orang pribumi menganut hukum adat sedangkan golongan Eropa tunduk pada KUH Perdata.

10. Hukum Perdata Internasional
Sebagaimana telah diketengahkan dimuka, pengertian hukum perdata internasionaladalah hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas-batas negara. Dengan kata lain hukum perdata internasional mengatur hubungan perdata antara para pelaku hukum perdata yang masing masing tunduk pada hukum perdata nasional yang berbeda, sehingga unsur asing menjadi penting di dalam hukum perdata internasional.
Hubungan yang diatur adalah hubungan internasional mengenai masalah keperdataan. Jelas disini sebagai subjek hukumnya adalah idnividu atau badan hukum perdata. Jika terjadi peristiwa hukum yang melibatkan dua orang atau lebih yang masing masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda, hukum perdata internasional menentukan hukum mana yang akan berlaku.

11. Hukum Internasional
Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara yang bukan bersifat perdata. Secara singkat hukum internasional adalah kaidah kaidah dan asas asas hukum yang mengatur hubungan internasional dan bukuan hubungan perdata. Dari rumusan di atas yang dimaksud dengan hukum internasional adalah hukum internasional publik.
Hukum lain yang mengatur hubungan internasional adalah hukum perdata internasional yaitu hukum yang mengatur hubungan perdata antara pelaku hukum perdata nasional yang satu dengan yang lain yang berbeda. Persamaan antara kedua hukum internasional tersebut ialah bahwa keduanya mengatur hubungan hukum yang melintasi batas negara.
Perbedaannya adalah sebagai berikut:
  • Hukum internasional subjeknya negara atau badan hukum publik, sedangkan hukum perdata internasional adalah perorangan atau badan hukum perdata.
  • Hukum internasional mengatur hubungan antar negara, hukum perdata internasional mengatur hubungan antar warga negara.

12. Hukum Acara
Hukum acara adalah aturan-aturan hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan hukum materiil melalui beracara di pengadilan. Berdasarkan tujuan hukum, hukum materiil adalah mengatur hubungan antara anggota masyarakat agar keseimbangan kepentingan mereka terjamin sesuai dengan hak-hak asasinya. Karena hukum acara mengatur bagaimana mempertahankan hukum materiil, maka fungsi dari hukum acara secara tidak langsung adalah sebagai sarana untuk melindungi hak asasi manusia. Hukum acara dibedakan menjadi dua yaitu hukum acara pidana yang mengatur bagaimana mempertahankan hukum pidana materiil, dan hukum acara perdata yang mengatur bagaimana mempertahankan hukum perdata materiil.

13. Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumeber dari wahyu Tuhan, sunnah Rasul dan Ijtihad. Jika diperhatikan dari sumbernya dapat dipahami bahwa hukum Islam adalah hukum yang lebih tinggi dari hukum positif lainnya, karena sumber hukum positif yang lain adalah dari akal budi manusia.
Tujuan diantara kedua hukum positif diatas pun juga berbeda. Hukum Islam tujuannya adalah menghendaki manusia baik secara menyeleuruh yaitu tingkah lakunya baik di dalam masyarakat maupun secara pribadi. Sehingga faktor faktor individu, masyarakat maupun kemanusiaan diperhatikannya. Dengan demikian jika manusia pribadinya baik umumnya sikap dan tindakannya baik pula. Apabila semua anggota masyarakat berprilaku demikian, maka masyarakat akan aman tentram dan damai. Begitupula denga hal hal yang bersifat kebendaan atau materiil, yang mendapat perhatian di dalam hukum Islam tersebut.
Hukum Islam berbeda dengan hukum postif lainnya. Untuk mengetahui perbedaan itu dapat dilihat dari ciri-ciiri yang ada pada hukum Islam. Ciri-Ciri hukum Islam ialah:
  • Sumbernya adalah wahyu dari Tuhan (al-Qur’an), Sunnah Rasu! dan ljtihad.
  • Ketentuan ketentuan hukum Islam didasarkan pada akhlak dan agama.
  • Sanksi terhadap pelanggarannya adalah rangkap yaitu sanksi di dunia dan di akhirat.
  • Hukum islam bersifat collectivisme.

Perbedaan antara hukum Islam dengan hukum positif lainnya dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:
  • Dari segi dasar atau sumbemya ialah bahwa hukum Islam bersumber pada wahyu Tuhan, sedangkan hukum positif lainnya bersumber dari akal budi manusia karena hukum positif dibuat oleh manusia.
  • Dari segi sanksinya adalah bahwa hukum Islam ada dua sanksi yaitu sangsi di dunia dan sanksi di akhirat, sedangkan hukum positif lainnya sanksinya adalah di dunia saja.
  • Dari segi tujuannya ialah bahwa hukum Islam bertujuan agar masyarakat tentram baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan hukum Islam tidak hanya tebatas pada lapangan kebendaan saja, sedangkan hukum positif lainnya terbatas tujuannya pada lapangan materiil atau kebendaan saja.

Yang dimaksud hukum positif lainnya dalam konteks ini adalah hukum perdata, hukum pidana, hukum pajak dan lain sebagainya.

14. Hukum Adat
Hukum adat menurut pendapal beberapa sarjana hukum adalah sebagai berikut:
  • Menurut Snouck Hurgronye, hukum adat adalah adat yang mempunyai akibat hukum.
  • Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah aturan-aturan kelakuan yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang orang timur asing, yang disatu pihak mempunyai sanksi, dipihak lain tidak dikodifikasi.
  • Menurut B. Ter Hear BZN. hukum adat adalah peraturan yang menjelma pada keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa serta pengaruh yang dalam dan pelaksanaannya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati.
  • Menurut Prof. Mr. Dr. Soekanto, hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan, bersifat memaksa dan mempunyai sanksi, maka mempunyai akibat hukum.

Jika diperhatikan dari ke empat pengertian hukum adat yang diketengahkan oleh empat orang ahli hukum adat di atas dapat diketahui beberapa unsur yang terkandung di dalamnya:
  • Peraturan peraturan yang umumnya tidak dikitabkan dan tidak dikodifikasi.
  • Peraturan peraturan yang tertulis
  • Bersumber pada adat istiadat bangsa Indonesia
  • Berlaku bagi orang Indonesia asli dan orang timur asing
  • Berlaku secara spontan (serta-merta), memaksa, mempunyai akibat hukum jika dilanggar.

Dari unsur terakhir ini dapat dipahami bahwa adat itu secara riil selalu diindahkan dan secara psikologis diyakini oleh rakyat bahwa adat mempunyai kekuatan hukum.
Meskipun hukun adat bersumber dari adat istiadat bangsa Indonesia, tetapi tidak semua adat istiadat menjadi sumber hukum adat. Hanya adat istiadat yang mempunyai akibat hukum atau bersanksi saja yang menjadi hukum adat, sedangkan adat istiadat yang tidak mempunyai akibat hukum bukan merupakan hukum adat. Adat istiadat yang dimaksud terakhir misalnya tradisi bangsa Indonesia yang bersifat religius (selamatan, memuja pada roh nenek moyang, memuja benda-benda yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan sebagainya),
Hukum adat tumbuh bcrkembang (tidak statis) dan meliputi bidang-bidang hukum tertentu yaitu: 1. Hukum tata negara adat, 2. Hukum kekeluargaan adat (hukum kekerabatan), 3. Hukum perkawinan adat, 4. Hukum perjanjian adat, 5.Hukum waris adat, 6. Hukum pidana adat, dan 7. Hukum tanah adat.