Wednesday, May 27, 2020

MONOGAMI, POLIGAMI, DAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM



Asas monogami telah diletakkan oleh Islam sejak 15 abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam Islam yang bertujuan untuk landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Islam memandang poligami lebih banyak membawa risiko/ mudarat daripada manfaatnya. Karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antaIa istri beserta anak-anaknya masing-masing. 
Karena itu, hukum asal dalam perkawinan menurut Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisasi sifat/watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat pula membahayakan keutuhan keluarga.
Karena itu, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam, anak itu merupakan salah satu dari tiga human investment yang sangat berguna bagi manusia setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah dengan adanya keturunannya yang saleh yang selalu berdoa untuknya. Maka dalam keadaan istri mandul dan suami bukan mandul berdasarkan keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia benar-benar mampu mencukupi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.[1]
Marilah kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an ‘yang berkenaan dengan masalah monogami dan poligami dalam Surat al-Nisa ayat 2-3:

وَاٰتُوا الْيَتٰمٰىٓ اَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَهُمْ اِلٰٓى اَمْوَالِكُمْ ۗ اِنَّهٗ كَانَ حُوْبًا كَبِيْرً وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ 

Terjemahnya:

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.

Ayat 2 dan 3 Surat al-Nisa di atas berkaitan (ada relevansinya) , sebab ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah; sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil serta fair, yakni si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ra waktu ditanya oleh Urwah bin Al-Zubair ra mengenai maksud ayat 3 Surat al-Nisa tersebut.[2]
Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu; tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang istri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap istri-istrinya. Dan jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya, maka ia hanya boleh beristri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat zalim terhadap istri yang seorang
itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap istrinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.[3]
Menurut Ibnu Jarir, bahwa sesuai dengan nama surat ini Surat al-Nisa, maka masalah pokoknya ialah mengingatkan kepada orang yang berpoligami agar berbuat adil terhadap istri-istrinya dan berusaha memperkecil jumlah istrinya agar ia tidak berbuat zalim terhadap keluarganya. Sedangkan menurut Aisyah ra yang didukung oleh Muhammad Abduh, bahwa masalah pokoknya ialah masalah poligami, sebab masalah poligami dibicarakan dalam ayat ini adalah dalam kaitannya dengan masalah anak wanita yatim yang mau dikawini oleh walinya sendiri secara tidak adil atau tidak manusiawi. Kemudian ada pendapat lain lagi, ialah Al-Razi, bahwa yang dimaksud dengan ayat ini ialah larangan berpoligami yang mendorong orang yang bersangkutan memakai harta anak yatim guna mencukupi kebutuhan istri-istrinya.
Menurut Rasyid Ridha, pendapat Al-Razi tersebut lemah, tetapi ia menganggap benar, jika yang dimaksud dengan ayat 3 Surat Al-Nisa itu mencakup tiga masalah pokok yang masing-masing dikemukakan oleh Ibnu Jarir, Muhammad Abduh, dan Al-Razi. Artinya, dengan menggabungkan tiga pendapat tersebut di atas, maka maksud ayat tersebut ialah untuk memberantas/ melarang tradisi zaman Jahiliyah yang tidak manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak yatimnya tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah, serta ia menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak tersebut. Demikian pula tradisi zaman Jahiliyah yang mengawini istri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam berdasarkan ayat ini.[4]
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil antara lain ialah sebagai berikut:
  1. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri mandul;
  2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri sekalipun istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  3. Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya. Data-data statistik menunjukkan bahwa di beberapa negara Barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya prostitusi dan free sex (kumpul kebo) yang berakibat pula anak-anak zina lahir mencapai jumlah yang cukup tinggi. Misalnya di Francis 30%, Austria 50%, dan Belgia 60%. [5]
  4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak yang tinggal di negara/masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya, misalnya akibat peperangan yang cukup lama seperti perang antara Iran dan Irak yang terjadi antara tahun 1980-1988.[6]
Mengenai hikmah Nabi Muhammad diizinkan beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya ialah sebagai berikut:
  1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. istri nabi sebanyak (sembilan) orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan Nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah kewanitaan/kerumahtanggaan;
  2. Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri Al-Harits Kepala suku Banil Musthaliq. Demikian pula perkawinan Nabi dengan Shafiyah, seorang tokoh dari suku Bani Quraidzah dan Banin Nadhir.[7]
  3. Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan Nabi dengan beberapa janda pahlawan Islam yang telah lanjut usianya seperti Saudah binti Zum’ah (suami meninggal sebelah kembali dari hijrah Abessinia), Hafshah binti Umar (suami gugur di Badar), Zainab binti Khuzaimah (suami gugur di Uhud), dan Hindun Ummu Salamah (suami gugur di Uhud). Mereka memerlukan pelindung untuk melindungi jiwa dan agamanya, dan penanggung untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.[8]
Jelaslah, bahwa perkawinan Nabi dengan sembilan istrinya itu tidaklah terdorong oleh motif memuaskan nafsu seks dan kenikmatan seks. Sebab kalau motifnya demikian, tentunya Nabi mengawini gadis-gadis dari kalangan bangsawan dan dari berbagai suku pada masa Nabi masih berusia muda. Tetapi kenyataannya adalah Nabi pada usia 25 tahun kawin dengan Khadijah seorang janda umur 40 tahun dan pasangan suami istri ini selama lebih kurang 25 tahun berumah tangga benar-benar sejahtera dan bahagia dan mendapatkan keturunan: dua anak lelaki, tetapi meninggal masih kecil, dan 4 anak wanita.
Setelah Khadijah wafat tahun ke 10 sejak Muhammad diangkat sebagai nabi pada usia lebih kurang 65 tahun, barulah kemudian Nabi memikirkan kawin lagi. Mula-mula kawin dengan Saudah binti Zum’ah, seorang janda, dan sebulan kemudian Nabi kawin dengan Aisyah, dan kemudian disusul dengan istri-istrinya yang lain. Tetapi tidak ada seorang istrinya pun yang dikawini dengan motif untuk pemuasan nafsu seks atau karena harta kekayaannya, melainkan karena motif agama, politik, sosial dan kemanusiaan.[9]
Mengenai perceraian, Islam memandangnya sebagai perbuatan halal yang paling dibenci agama, sebagaimana Hadis Nabi riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Ibnu Umar.[10]
أبغض الحلال إلى الله الطلاق
ِArtinya:
Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian.
Hal ini disebabkan karena perceraian itu bertentangan dengan tujuan perkawinan, ialah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia untuk selamanya. Dan lagi perceraian itu mempunyai dampak yang negatif terhadap bekas suami-istri dan anak-anak.
Karena itu, perceraian seperti halnya poligami hanya diizinkan kalau dalam keadaan terpaksa (darurat), yakni sudah terjadi syiaq atau kemelut rumah tangga yang sudah sangat gawat keadaannya dan sudah diusahakan dengan itikad baik dan serius untuk adanya islah atau rekonsiliasi antara suami istri, namun tidak berhasil, termasuk pula usaha dua hakam dari pengadilan, tetap tidak berhasil. Maka dalam keadaan rumah tangga seperti itu, Islam memberi jalan keluar, yakni ”perceraian” yang masih bersifat talaq raj‘i, artinya masih memungkinkan suami merujuk istri dalam masa idah. Karena itu, masa idah istri itu dimaksudkan sebagai cooling period atau masa pengendapan untuk merenungkan dengan tenang tentang baik buruknya perceraian bagi keluarga, dan menelusuri apakah penyebab yang sebenarnya sampai terjadi syiqaq itu dari suami atau dari istri atau dari pihak ketiga? Dengan introspeksi dan retrospeksi, mungkin timbul penyesalan pada suami istri, kemudian berhasrat islah dan niat masing-masing suami istri untuk membina rumah tangga lagi.[11] (Perhatikan al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 228 dan al-Nisa ayat 34).
Mengingat madarat yang timbul akibat dari perceraian dan poligami itu sangat besar sekali pengaruhnya terhadap kehidupan berkeluarga dan kehidupan bermasyarakat di Indonesia, maka Pemerintah RI berhak dan bahkan berkewajiban untuk memperketat dan mempersulit izin perceraian dan poligami, sebagaimana tersebut dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang telah diubah menjadi UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan demi menjaga kemaslahatan keluarga dan masyarakat. Dan bagi umat Islam Indonesia wajib mentaati peraturan perundang-undangan tersebut, karena tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalam al-Qur’an dan Sunah, dan juga mengingat al-Qur’ an Surat al-Nisa ayat 59:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ 
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Daftar Literasi
-----------------

1. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, vol. IV (Mesir: Darul Manar, 1347 H), h. 364-370.
2. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 344-345.
3. Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (Lahore: The Ahmadiyah Anjuman Isya'at Islam, 1950), h. 662-663.
4.  Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 347-348.
5. Ali Ahmad al-Jurjani, Hikamh al-Tasyri' wa Falsafatuh, vol.II (Cairo: Al-Mathba'ah al-Yusufiah, 1931), h. 11-13.
6. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 357-358.
7. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 371.
8. Abbas Mahmud al-Aqqad, Haqaiqul Islam wa Abathilu Khushumih, (Cairo: Darul Qalam, 1957), h. 181-182.
9. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,, h. 370-374.
10. Al-Suyuti, Al-Jami' al-Shagir, vol. 1 (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halabi wa Auladuh, 1954), h. 5.
11. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1996). h. 18.




0 komentar:

Post a Comment