Monday, November 8, 2021

STUDI KEBUDAYAAN DALAM ISLAM


A. PENGERTIAN KEBUDAYAAN 
Manusia adalah makhluk Allah, yang diciptakan di dunia sebagai khalifah, manusia lahir, hidup dan berkembang di dunia, sehingga disebut juga makhluk duniawi. Sebagai makhluk duniawi sudah barang tentu bergumul dan bergulat dengan dunia, terhadap segala segi, masalah dan tantangannya, dengan menggunakan budi dan dayanya serta menggunakan segala kemampuannya baik yang bersifat cipta, rasa maupun karsa. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan dunia itu tidaklah selalu diwujudkan dalam sikap pasif, pasrah, dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungannya. Tetapi justru harus diwujudkan dalam sifat aktif, memanfaatkan lingkungannya untuk kepentingan hidup dan kehidupannya. Dari hubungan yang bersifat aktif itu tumbuhlah kebudayaan. 
Apa arti dan ulasan makna yang terkandung dalam istilah kebudayaan banyak dikaji oleh para ahli. Berikut ini hendak dikemukakan beberapa pendapat para ahli sehubungan dengan masalah tersebut. 
St. Taqdir Ali Sjahbana berpendapat bahwa kebudayaan adalah “manifestasi dari cara berpikir. 
Pengertian ini amat luas, karena semua tingkah laku dan perbuatan manusia dapat dikategorikan hasil cara berpikir, bahwa perasaan pun, menurut beliau, termasuk pikiran juga. Pengertian yang lebih luas lagi dikemukakan oleh Sarmidi Mangunkaro, seorang politikus yang aktif dalam kebudayaan menyatakan, bahwa kebudayaan adalah segala yang merupakan (bersifat) hasil kerja jiwa manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Dikatakan lebih luas, karena hasil kerja jiwa manusia mencakup kerja periksa (pikiran, cipta), rasa (perasaan), karsa (kemauan), intuisi, imajinasi, dan bidang-bidang rohani manusia lainnya. Hanya saja dalam definisi tersebut lebih ditekankan pada hasil kerja jiwa manusia, dan belum ditegaskan fungsi raga (jasmani) manusia dalam rangka menciptakan kebudayaan tersebut. 
Pada totalitas manusia adalah mencakup jasmani dan rohani (jiwa), atau material substance dan spiritual substance secara seimbang, dan masing-masing mempunyai peranan dalam menciptakan kebudayaan. 
Definisi yang lainnya dikemukakan oleh Koentjoroningrat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, Koentjoroningrat juga mengemukakan adanya 3 wujud dari kebudayaan, yaitu: 
  1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dan sebagainya, 
  2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan 
  3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. 
Dalam praktiknya, wujud kebudayaan tersebut tidak terpisah satu dengan yang lain. Wujud dan isi kebudayaan yang dimiliki oleh manusia pada gilirannya akan mewarnai konsep tentang manusia itu. Mengenai isi atau ruang lingkup kebudayaan itu adalah luas sekali, mencakup segala aspek kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) manusia. Hanya saja ada sementara ahli yang memasukkan agama sebagai salah satu isi kebudayaan. Hal ini tentu merupakan persoalan tersendiri yang perlu didudukkan secara proporsional. 
Agama yang ada di dunia ini pada intinya dapat dikelompokkan ke dalam (2) dua macam, yaitu agama samawi/wahyu (revealed religion) jenis agama bukan wahyu/agama budaya (non-revealed religion). Jenis agama yang pertama bukanlah produk manusia tidak berasal dari manusia, tetapi dari Tuhan. Karena itu tidak bisa dimasukkan dalam bagian kebudayaan. Sedangkan jenis agama yang kedua, karena merupakan produk manusia dan berasal dari manusia, maka dapat dikategorikan ke dalam bagian kebudayaan. Definisi-definisi yang telah dikemukakan terdahulu tampaknya belum menyinggung tujuan dari kebudayaan itu sendiri, sehingga kebudayaan bisa jadi menimbulkan kesejahteraan manusia, atau sebaliknya malahan menimbulkan malapetaka bagi kehidupan dan penghidupan manusia, baik individu maupun masyarakat, ataupun individu dan masyarakat sekaligus. Karena itu di sini perlu dikemukakan definisi kebudayaan yang lebih lengkap. 
Endang Saifuddin Anshari, setelah mempelajari beberapa pandangan para ahli tentang pengertian kebudayaan, kemudian dia sampai pada rumusannya sendiri tentang kebudayaan, yaitu bahwa kebudayaan (kultur) adalah hasil karya cipta (pengolahan, pengarahan, dan pengarahan terhadap alam oleh manusia) dengan kekuatan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi, imajinasi dan bidang-bidang rohaniah lainnya) dan raganya, yang menyatakan diri dalam berbagai kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) manusia, sebagai jawaban atas segala tantangan, tuntutan dan dorongan dari intra diri manusia dan ekstra diri manusia, menuju ke arah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan (spiritual dan materiil) manusia, baik individu maupun masyarakat ataupun individu dan masyarakat. 
Ada beberapa hal yang patut digarisbawahi dari definisi tersebut, yaitu bahwa: 
  1. Kebudayaan adalah man-made atau karya/ciptaan manusia, 
  2. Yang menjadi bahan kebudayaan adalah alam, baik bahan alam yang ada pada diri manusia maupun bahan alam yang terdapat di luar diri manusia, 
  3. Yang dijadikan alat penciptaan kebudayaan adalah jiwa dan raga (jasmani) manusia. Termasuk ke dalam jiwa adalah: periksa (pikiran, cipta), rasa (perasaan), karsa (kemauan), intuisi, imajinasi, dan bagian-bagian rohani manusia lainnya, 
  4. Ruang lingkup kebudayaan meliputi segala aspek kehidupan (hidup rohaniah) dan penghidupan (hidup jasmaniah) manusia, 
  5. Pada garis besarnya kebudayaan dapat dibedakan atas kebudayaan immateri dan kebudayaan materi, 
  6. Tujuan kebudayaan adalah untuk kesempurnaan dan kesejahteraan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat, atau individu dan masyarakat sekaligus: 
  7. Kebudayaan merupakan jawaban atas tantangan, tuntutan, dan dorongan intra diri manusia dan dari ekstra diri manusia: dan 
  8. Kebudayaan itu dapat diwariskan dan diwarisi melalui proses pendidikan dan kebudayaan. 
B. KEBUDAYAAN ISLAM DAN CIRI-CIRINYA 
Pada uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa agama samawi (revealed religion atau agama wahyu) bukanlah wahyu yang termasuk kebudayaan, karena ia bukan produk manusia, tetapi dari Tuhan Yang Maha Esa (Allah) yang telah menurunkan wahyu pada utusannya, untuk disebarkan pada manusia. Agama Islam termasuk agama samawi (agama wahyu), sehingga tidak ter-masuk kebudayaan namun demikian, agama Islam telah mendorong para pemeluknya untuk menciptakan kebudayaan dengan berbagai seginya. Dorongan tersebut dapat dikaji dari ajaran dasarnya sebagai berikut: 
  1. Islam menghormati akal manusia, meletakkan akal manusia pada tempat yang terhormat dan menyuruh manusia mempergunakan akalnya untuk memeriksa dan memikirkan keadaan alam, di samping dzikir kepada Allah penciptanya. Hal ini dapat dipahami dari firman-Nya dalam OS. Ali Imran: 190-191. 
  2. Agama Islam mewajibkan kepada tiap-tiap pemeluknya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mencari dan menuntut ilmu, sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah OS. al-Mujadilah: 11 dan Hadis Nabi SAW. “Menuntut ilmu wajib bagi setiap orang Islam," serta maqallah “Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”. 
  3. Agama Islam melarang orang bertaklid buta, menerima sesuatu tanpa diperiksa lebih dahulu, walau dari ibu bapak dan nenek moyang sekalipun. Sebagaimana firman Allah dalam OS. Al-Isra': 36. 
  4. Agama Islam juga mendorong dan menggalakkan para pemeluknya agar selalu menggali hal-hal yang baru atau mengadakan barang yang belum ada, merintis jalan yang belum ditempuh serta membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat pada masyarakat. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah OS. al-Insyirah: 7-8, dan Hadits Nabi SAW. “Barang siapa yang berinisiatif atau memulai suatu cara keduniaan yang baik, maka baginya pahala sebanyak pahala untuk orang yang langsung melaksanakannya sampai hari kiamat". 
  5. Agama Islam juga menyuruh para pemeluknya untuk mencari keridhoan Allah dalam semua nikmat yang telah diterimanya dan menyuruh mempergunakan hak-haknya atas keduniaan dalam pimpinan dan aturan agama. Sebagaimana firman Allah dalam OS. al-Gashash: 77. 
  6. Agama Islam juga menganjurkan para pemeluknya agar pergi meninggalkan kampung halamannya, berjalan ke daerah/negeri untuk menjalin silaturahmi atau komunikasi dengan bangsa atau golongan lain, serta saling bertukar pikiran, pengetahuan, dan pandangan. Sebagaimana dapat dipahami dari firman Allah dalam OS. al-Hajj: 46 dan sebagainya, serta Hadits SAW. “Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam (ciptakan stabilitas keamanan dan perdamaian), hubungkan silaturahmi (persaudaraan, komunikasi, dan konsultasi), berilah makan (tingkatkan taraf ekonomi fakir miskin yang lemah ekonominya) dan shalatlah di tengah-tengah malam sementara manusia sedang asyik tidur nyenyak, pasti engkau akan masuk surga (mencapai kebahagiaan hidup) dengan selamat dan sejahtera” (HR. al-Tirmidzi). 
  7. Agama Islam juga menyuruh para pemeluknya untuk memeriksa dan menerima kebenaran dari mana dan siapa pun datangnya, dengan catatan harus melalui proses seleksi, sehingga dapat menemukan ide, gagasan, teori, atau pandangan yang sesuai dengan petunjuk-Nya. Sebagaimana dapat dipahami dari firman-Nya dalam OS. al-Zumar ayat 17-18. 
Sebenarnya masih banyak ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya yang membicarakan masalah tersebut, tetapi dari ketujuh point tersebut sudah dapat dipahami bahwa ajaran agama Islam memang benar-benar mendorong para pemeluknya dan atau menyuruh mereka untuk menciptakan kebudayaan dalam berbagai seginya. Dengan adanya isyarat tersebut berarti bahwa kebudayaan Islam atau lebih tepatnya disebut kebudayaan muslim, mesti adanya. Karena itu sebelum melacak lebih jauh perlu dikaji lebih dahulu apa sebenarnya kebudayaan Islam (muslim) itu sendiri. Sidi Gazalba menyatakan, bahwa kebudayaan Islam dalam “cara berpikir dan cara merasa takwa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekumpulan manusia yang membentuk masyarakat,” atau dapat disarikan sebagai “cara hidup yang bertakwa.” 
Menurut Sidi Gazalba, bahwa cara hidup takwa menempuh jalan syariat, menjalankan perintah, serta manjauhi larangan. Syariat mengikatkan/mempertalikan muslim pada prinsip-prinsip tertentu yang digariskan oleh Al-Qur'an dan al-Sunnah (naqal). Karena itu, akal dalam kegiatannya mengatur kehidupan merujuk pada naqal, dengan kata lain gerak atau kegiatan kebudayaan itu memang dari akal, tetapi asas gerak itu atau prinsip yang dipegangi akal dalam kegiatannya adalah dari naqal. Dari asas yang telah ditentukan dan digariskan oleh naqal itu kemudian adalah menentukan cara pelaksanaannya. Karena itu, yang merupakan karya manusia dalam kebudayaan Islam ialah cara pelaksanaan yang bersifat dinamik, sedangkan prinsip-prinsipnya berasal dari Allah dan bersifat tetap. Nilai asas (root values) prinsip-prinsip itu digariskan oleh syariat, ada nilai yang harus dikerjakan (wajib), nilai yang dianjurkan (sunnat): nilai netral, yakni baik tidak dan buruk pun tidak (jaiz/mubah): ada nilai yang dibenci (makruh): dan ada pula nilai buruk (haram). Cara pelaksanaan prinsip-prinsip itu dipikirkan oleh ijtihad (instrumental values-nya) dan dikerjakan oleh tangan, sedangkan kemauan untuk mengerjakan itu dipancarkan oleh takwa. Namun demikian kita harus mampu mendudukkan secara proporsional, mana yang termasuk nilai asas (root values) dan mana pula yang termasuk cara pelaksanaan (instrumental values). Sebab kadang kala ada sesuatu yang tampaknya merupakan cara pelaksanaan, tetapi yang sebenarnya adalah nilai asas (root values). Sebagai contoh: cara pelaksanaan shalat, puasa, dan sebagainya, sebagaimana yang terulang pada nash yang jelas dan syariat, harus didudukkan sebagai root values, bukan instrumental values, itu bukan merupakan kebudayaan. Di lain pihak Endang Saifuddin Anshari mempertanyakan “adakah kebudayaan Islam itu?” Menurut pendapatnya, bahwa karena kebudayaan itu man-made (karya budaya manusia), maka yang jelas-jelas ada ialah kebudayaan muslim itu dapat dikategorikan ke dalam dua bagian, yaitu: 
  1. Kebudayaan muslim yang islami, yakni kebudayaan karya budaya muslim yang committed pada al-Islam, dan 
  2. Kebudayaan muslim yang tidak islami, yakni kebudayaan muslim yang tidak committed pada al-Islam. Muslim yang committed pada al-Islami ialah muslim yang mengimani (menghayati), mengilmui, mengamalkan, dan mendakwahkan Islam, serta sabar dalam ber-Islam. 
Namun demikian, Endang Saifuddin Anshari juga mempermasalahkan tentang “apakah mungkin tercipta kebudayaan yang seratus persen islami di dunia ini?” Dalam hal ini dia telah menjelaskan bahwa kebudayaan itu karya manusia, sedangkan di dunia tidak seorang pun (kecuali Rasul) yang sempuma. Karena itu tidak mungkin mengharapkan sesuatu kesempurnaan dari sesuatu yang tidak seratus persen sempurna. Tercapainya kesempumaan adalah tujuan ideal manusia, namun bukan tugas manusia. Tugas manusia bukan sampai pada kesempurnaan, melainkan bergerak, berupaya, dan berusaha sekuat tenaga untuk mencapainya. Karena itu kebudayaan muslim nilainya tidak mutlak, terikat oleh ruang dan waktu, terbuka untuk revisi, koreksi dan reevaluasi. Setiap muslim berhak untuk berimprovisasi (melakukan sesuatu) dalam mengulturkan natur dan dalam mengislamkan kultur sesuai dengan tuntutan alam/tempat dan zamannya, yang masing-masing bisa berbeda dengan lainnya. Apabila kebudayaan muslim sudah dimutlakkan, yang nilai kemutlakannya disamakan dengan al-Islaim, maka akan timbul kemandekan kebudayaan yang pada giliran selanjutnya akan menjadi barang antik yang tidak berguna lagi, serta daya kreativitasnya akan terhenti. Dengan memerhatikan pendapat Endang Saifuddin Anshari tersebut, yakni bahwa ada kebudayaan muslim islami (committed pada al-Islam), dan ada kebudayaan muslim yang tidak islami (tidak committed pada al-Islam), berakibat memaksa kita untuk menyeleksi kembali hasil karya (budaya) muslim pada masa keemasan/kejayaannya. Jika buah/hasil karya itu berasal dari muslim yang tidak committed pada al-Islam, maka haruslah dikeluarkan dari kebudayaan dan peradaban Islam. Berbeda dengan pendapat Kuntowijoyo yang menyatakan bahwa kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang muncul, memancar dari agama Islam, atau semua budaya (karya manusia) yang terpengaruh oleh karena ada agama Islam. Kebudayaan Islam itu mempunyai tiga (3) komponen, yaitu: sistem nilainya, sistem pengetahuan, dan sistem simbol. Dan kita tidak perlu membicarakan apakah budaya Islam itu islami atau tidak islami, sebab hal ini tidak lagi menanyakan masalah kebudayaan. Dalam arti bahasa kebudayaan itu islami atau tidak, adalah di luar wewenang atau di luar budaya itu sendiri, karena hal itu berarti kita kembali ke normatif. Sedangkan Nourouzzaman Shiddiq tidak memberikan definisi tentang kebudayaan Islam (muslim), tetapi dia mengemukakan ciri-cirinya yaitu: 
  1. Bernafaskan Tauhid, karena tauhidlah yang menjadi pokok ajaran Islam, 
  2. Hasil buah pikir dan pengolahannya adalah dimasukkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan membahagiakan umat manusia. 
Sebab Islam diturunkan dari Nabi saw. Diutus adalah membawa rahmat bagi semesta alam. Di samping itu manusia dijadikan sebagai khalifah Allah di bumi dengan dibebani tugas untuk menjaga keindahan ciptaan Allah ini. Sebagaimana firman-Nya dalam OS. al-A'raf: 56, yang maksudnya “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya”, dan firman Allah dalam OS. al-Oashash ayat 77, yang maksudnya “Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." Karena itulah produk budaya yang membawa malapetaka dan kehancuran, jelas tidak termasuk kebudayaan yang bercirikan Islam. Setelah dikemukakan beberapa pandangan para ahli ataupun ciri-ciri kebudayaan Islam (muslim) tersebut, maka ada satu hal yang disepakati oleh mereka, yaitu bahwa berkembangnya kebudayaan menurut padangan Islam bukanlah value free (bebas nilai), tetapi justru value bound (terikat oleh nilai). 
Keterikatan terhadap nilai tersebut bukan hanya terbatas pada wilayah nilai insani, tetapi juga menembus pada nilai Ilahi sebagai pusat nilai, yakni keimanan pada Allah, dan iman ini akan mewarnai semua aspek kehidupan atau memengaruhi nilai-nilai lain. Untuk memperjelas statemen tersebut, barang kali perlu dijelaskan hierarki tata nilai itu sendiri serta hubungan antara satu dengan lainnya. Menurut Noeng Muhadjir bahwa secara hierarkis nilai dapat dikelompokkan ke dalam dua macam, yaitu (1) nilai-nilai ilahiah, yang terdiri dari nilai ubudiah dan nilai muamalah, (2) nilai etika insani, yang terdiri dari: nilai rasional: nilai sosial: nilai individual: nilai biofisik: nilai ekonomis: nilai politik, dan nilai estetika. Dari paradigma tersebut dapat dipahami bahwa nilai Ilahi (nilai hidup etik religius) memiliki kedudukan vertikal lebih tinggi pada nilai hidup lainnya. Di samping itu, nilai Ilahi mempunyai konsekuensi pada nilai lainnya, dan sebaliknya nilai lainnya memerlukan konsultasi pada nilai Ilahi, sehingga relasi/hubungannya termasuk vertikal linier. Sedangkan nilai hidup insani (tujuh nilai insani tersebut) mempunyai relasi sederajat dan masing-masing tidak harus berkonsultasi, sehingga hubungannya termasuk horizontal-lateral. 
Mungkin kita bertanya “apakah yang sosial lebih tinggi daripada yang individual?” Filsafat hidup bangsa Indonesia mendudukkan keduanya sederajat, tetapi ada keharusan terapan nilai individual harus mempertimbangkan konsekuensi nilai sosialnya, demikian pula terapan nilai sosial harus mempertimbangkan konsekuensi individualnya, atau menurut istilah lainnya keseimbangan antara kepentingan individual dan sosial. Karena itu realisasinya termasuk lateral-sekuler. Terapan nilai rasional (misalnya mengejar prestasi studi) juga harus diimbangi dengan konsekuensi biofisiknya (seperti: menjaga kesehatan, mengatur makan, dan istirahat). Karena itu hubungan yang biofisik dengan rasional juga lateral-sekuensial. Demikian pula yang biofisik dengan yang aestitis, dan sebagainya. Sedangkan hierarki menurut Sidi Gazalba adalah sebagai berikut: 
  1. Nilai-nilai yang wajib (paling baik): 
  2. Nilai-nilai yang Sunnah (baik): 
  3. Nilai-nilai yang jaiz/mubah (netral): 
  4. Nilai-nilai yang makruh (tak disukai/setengah buruk), dan 
  5. Nilai-nilai yang haram (buruk). 
Nilai-nilai tersebut cakupannya menyangkut seluruh bidang, yaitu menyangkut nilai ilahiyah ubudiah, ilahiah muamalah, dan nilai etik insani yang terdiri dari: nilai sosial, rasional, individual, biofisik, ekonomi, politik, dan estetika. Dan sudah barang tentu nilai-nilai yang jelek tidak dikembangkan/ditinggalkan. Namun demikian sama-sama satu nilai kewajiban masih dapat didudukkan mana kewajiban yang lebih tinggi dibadingkan kewajiban yang lain yang lebih rendah menurut Noeng Muhadjir. Contohnya: kewajiban untuk beribadah haruslah lebih tinggi dibandingkan dengan kewajiban melakukan tugas politik, ekonomi, dan sebagainya. 
Di samping itu, masing-masing bidang nilai masih dapat dirinci mana yang esensial dan mana yang instrumental. Misalnya: pakaian jilbab bagi kaum wanita, ini menyangkut dua nilai tersebut, yaitu nilai esensial, dalam hal ini ibadah menutup aurat, sedangkan nilai insaninya (instrumental) adalah nilai aestetik, sehingga bentuk, model warna, cara memakai, dan sebagainya dapat bervariasi sepanjang dapat menutup aurat.

0 komentar:

Post a Comment