Showing posts with label USHUL FIQH. Show all posts
Showing posts with label USHUL FIQH. Show all posts

Friday, May 29, 2020

PENGERTIAN KAIDAH FIKIH


Dalam memahami suatu konsep atau ilmu, para ulama merumuskan sepuluh hal yang penting, agar kita memahami secara komprehensif. 
kesepuluh hal tersebut disimpulkan di dalam bemtuk syair:
أن مبادى كل فن عشرة: الحد و الموضوع ثم الثمرة و الفضله و نسبة والواضع والأسم الإستمداد وحكم الشارع ومسائل البعض بالبعض. ومن درى الجميع حاز الشرفا
Prinsip-prinsip ilmu itu ada sepuluh macam: 1. batasannya, definisinya, ta'rifnya, 2. objeknya, 3. buahnya, hasilnya, manfaatnya, 4. keutamaan dan kelebihannya dari ilmu yang lalu, 5. relevansinya dengan ilmu yang lain, 6. pengembangan, penggalinya, penemunya, 7. nama ilmunya, 8. sandaran ilmu tersebut, 9. hukum mempelajarinya, 10. contoh-contoh masalah di dalamnya. barang siapa yang mengetahui kesepuluh hal tersebut akan memiliki kehormatan.[1]
Baca Juga Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fikih
Baca Juga Macam-Macam Kaidah Fikih
Al-Qawa'id bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Dalam arti bahasa, kaidah bermakna asas, dasar atau pondasi, baik dalam arti yang konkrit maupun yang abstrak, seperti kata qawa'id al-bait, yang arti ya pondasi rumah, qawa'id al-din, artinya dasar-dasar agama, qawa'id al-ilmi, artinya kaidah-kaidah ilmu. arti ini digunakan  di dalam al-Qur'an surat al-baqarah ayat 127 dan surat al-Nahl ayat 20:
وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ......
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail Mengetahui
...فَاَتَى اللّٰهُ بُنْيَانَهُمْ مِّنَ الْقَوَاعِدِ 
Terjemahnya:
Allah menghancurkan bangunan mereka dari pondasi-pondasinya.
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau pondasi, tempat yang di atasnya berdiri bangunan.[2]
pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam nahwu bahasa Arab, seperti maf'ul itu manshub, fan fa'il itu marfu'. Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya. dengan demikian, Maka al-qawa'id al-fiqhiyah secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.[3]
Para ulama memang berbeda-beda mendefinisikan kaidah fikih secara istilah. ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitnya. Akan tetapi, substansinya tetap sama. Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan:
مجموعة الأحكام المتشابهات التى ترجع ألى قياس واحد يجمعها
Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya.[4]
Sedangkan al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan:
قضية كلية منطبقة على جميع جزئياتها
Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.[5]
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan: 
الأمر الكلى الذى ينطبق عليه جزئيات كثيرة يفهم أحكامها منها
Kaidah adalah sesuatu yang  bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi.[6]
Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252) dalam muqaddimahnya dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-Asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah:
معرفة القواعد التى ترد اليها وفرعوا الأحكام عليها
Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum yang dirinci dari padanya hukum.[7]
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazhair, mendefinisikan kaidah dengan:
حكم كلى الذى ينطبق علي جزئياته
Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagian-nya.[8]
dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu  bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz'iyyat-nya (bagian-bagiannya).
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu: pertama, kaidah-kaidah ushul fikih, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fikih, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya, al-Qur'an dan Hadis. Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan  secara general dari materi fikih  dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukum dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum Islam. Hanya saja kaidah-kaidah ushul sering  digunakan dalam takhrijul ahkam, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, yaitu al-Qur'an dan hadis. Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering dugunakan  di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum  atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia. Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhalifaan Turki Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang yang disebut Majallah al-Ahkam al-Adliyah yang merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah fikih di bidang muamalah, dengan 1851 pasal.[9]

Daftar Literasi
------------------
1. Al-Syaikh Abdullah bin Sa'id Muhammad 'Ibadi al-Hadrami, Isdhah al-Qawa'id al-Fiqhiyah, (tt: Haramain, tt), h. 9.
2. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Qalam, 2000), h. 107.
3. Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 1.
4. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt: Beirut: dar al-Fikri al-Arabi, tt), h. 10
5. Al-Jurjani, Kitab al-Ta'rifat, (tt.  Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), h. 171.
6. Al-Imam Tajuddin Abd al-Wahhab bin Ali bin Abd al-Kahf al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhair juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tt), h. 11.
7. Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair cet. 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1983), h. 10.
8. Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, Al-Asu=ybah wa al-Nazhair fi Qawa'id wa Furu' al-Fiqh al-Syafi'i, cet. 1 (Beiru: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979), h. 5.
9. Ali Haidar, Durar al-Ahkam, Syarah Majallah al-Ahkam cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991)

Thursday, May 28, 2020

PERBEDAAN KAIDAH USHUL DAN KAIDAH FIKIH



Di antara para peneliti di bidang kaidah ushul fiqh dan kaidah fikih menyatakaa bahwa yang pertama kali membedakan antara kaidah ushul dan kaidah fikih adalah al-Qurafi (w. 684 H), yang menyatakan bahwa “syariah itu ada dua hal, yaitu ushul dan furu’, sedangkan ushul terbagi dua, yaitu ushul fiqh dan kaidah-kaidah kuliyah fiqhiyah'
Baca Juga Pengertian Kaidah Fikih
Lebih jauh Iagi Ali Ahmad al-Nadwi memerinci perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah-kaidah fikih.
  1. Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath al-ahkam secara benar. Dengan ushul fiqh digali hukum-hukum dari dalil-dalilnya, seperti hukum asal dari kata perintah (al-amr) adalah wajib, kata-kata larangan menunjukkan haram.
  2. Kaidah ushul fiqh meliputi semua bagian, sedang kaidah fikih hanya bersifat aglabiyah (pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya. Dalam hal ini komentar Jaill Mubarok, kira-kira ada benarnya, yang menyatakan bahwa dalam kaidah ushul pun ada pengecualiannya.[1]
  3. Kaidah ushul fiqh adalah cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis, sedangkan kaidah fikih adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama. Jadi dapat dipahami, bahwa kaidah-kaidah fikih pun bisa menjadi cara untuk menetapkan hukum syara’ yang praktis. Sehingga sering terjadi, di samping menggunakan kaidah-kaidah ushul fikih juga menggunakan kaidah-kaidah fikih dalam menentukan hukum terutama dalam penerapan hukum (tathbiq al-ahkam).
  4. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’. Sedangkan kaidah fikih muncul setelah furu’. Hal inilah yang penulis coba gambarkan di dalam proses pembentukan kaidah-kaidah fikih.
  5. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandang di dalam berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fikih menjelaskan masalah fikih yang terhimpun di dalam kaidah tadi.[2]
Baca Juga Kaidah-Kaidah Fikih
Baca Juga Asas-asas Hukum Acara Perdata
Seperti dijelaskan oleh Abu Zahrah bahwa kaidah-kaidah ushul adalah metode yang digunakan oleh ahli hukum Islam agar dia tidak salah dalam menentukan hukum. Dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul dia bisa menghasilkan hukum-hukum fikih yang sangat rinci atau disebut furu.[3] Di sinilah ada perbedaan antara yang umum (kaidah-kaidah ushul) dengan furu’ atau fikih sebagai hasil dari penggunaan kaidah-kaidah ushul tadi. Inilah yang dimaksud dengam penggunaan pemikiran secara deduktif, sedangkan kaidah-kaidah fikih muncul dengan cara meneliti/istiqra terhadap fikih yang rinci tadi, dengan mencari persamaan-persamaannya hasilnya memunculkan kaidah-kaidah fikih. Inilah yang dimaksud bahwa di dalam menentukan kaidah-kaidah fikih digunakam pola pikir induktif, karena itu tidak muncul kaidah-kaidah fikih kecuali setelah adanya fikih, meskipun kemudian kaidah fikih sebagai “teori umum di dalam fikih Islam,[4] bisa digunakan untuk memecahkan masalah-masalah baru yang muncul dengan meng-qiyas-kannya kepada masalah-masalah lain yang ada di bawah ruang lingkup kaidah fikih tadi.
Selain itu kaidah-kaidah ushul adalah hasil penelitian ahli ushul fikih dan terdapat di dalam kitab-kitab ushul fikih. Sedangkan kaidah-kaidah fikih adalah hasil penelitian fuqaha (ahli fikih) dan terdapat di dalam kitab-kitab kaidah fikih dan/atau kitab-kitab fikih.
Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kebahasaan termasuk kaidah ushul dan kaidah yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya juga termasuk kaidah ushul, misalnya kaidah-kaidah yang berhubungan dengan qiyas, istishab.
Memang ada jaga beberapa kaidah ushul fikih yang dimasukkan oleh para ulama dalam kaidah-kaidah fikih.[5] Hal semacam ini bisa terjadi karena,[6] Pertama, di dalam proses pengujian kaidah-kaidah f'ikih oIeh al-Qur’an dan hadis nabi, bisa bertemu dengan beberapa kaidah yang telah dikumpulkan oleh ahli ushul fikih, sehingga digunakanlah sebagai kaidah fikih, bukan sebagai kaidah ushul fikih seperti halnya ada kaidah-kaidah fikih yang sama dengan hadis nabi. Maka para ahli fikih mengganakannya bakan sebagai hadis tapi sebagai kaidah fikih.
Akan tetapi proses pembentukan kedua kaidah itu tetap berbeda. Jadi dua proses yang berbeda atau dua metode yang berbeda bisa menghasilkan kaidah yang sama, hal tersebut malah bisa menunjukkan kadar kebenarannya lebih tinggi.
Kedua, apabila kaidah yang sama tadi digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis yang rinci, maka itu jelas kaidah ushul. Tetapi apabila kaidah tadi digunakan untuk memberikan hukum dalam perbuatan makallaf, maka kaidah tadi disebut kaidah fikih. Dengan kata lain apabila kaidah digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya, itu adalah kaidah ushul. Sedangkan apabila kaidah tadi digunakan untuk menerapkan hukum (tathbiq al-ahkam) itu adalah kaidah fikih.
Ketiga, dalam sistem hukum Islam, meskipun ada perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fikih, para alama selalu mempertimbangkan keduanya agar meraih maslahat dan menolak mafsadah, serta hukum yang dihasilkan benar, baik, dan indah.

Daftar Literasi
------------------

1. Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, cet. 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 19
2. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, cet. 5 (Beirut; Dar al-Qalam, 2000), h. 68-69.
3. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt: Dar al-Fikr al-Arabi, tt), h. 11
4. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, h. 62
5. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, h. 439-459 dan Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh, h. 21
6. H.A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, cet. 8 (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), h.24-25.

Wednesday, April 8, 2020

NASAKH DALAM HUKUM ISLAM



1.      Biography Imam Abu Al-Husein Al-Bashri
Abu al-Husein al-Bashri merupakan salah seorang tokoh Mu’tazilah. Nama lengkapnya Abu al-Husein Muhammad bin Ali al-Thayyib, tetapi sering dipanggil Abu al-Husein. Beliau lahir di Basrah, kemudian menetap di baghdad. Ia dikenal sebagai orang yang ahli dalam ushul fikih dan ilmu kalam, serta pembela Mu’tazilah yang gigih. Beliau wafat di Baghdad pada Tahun 436 H. Jasadnya disembahyangi oleh antara lain Qadhi Abu Abdillah al-Shaimari, dan kemudian dikubur di Pemakaman Syuniziyah
Karya ilmiahnya cukup banyak dan menjadi rujukan, karena isinya yang padat dan diungkapkan dalam bahasa yang indah. Kitab Al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh adalah karya besarnya dalam bidang Ushul Fikih. Fakhruddin al-Razi, dalam al-Mahshul, banyak mengutip pendapat-pendapatnya. Demikian juga Imam al-Ghazali dalam Al-Mustashfa. Karya lainnya adalah Tashaffuh al-Adillah (terdiri dari 2 jilid besar), Gharz al-Adillah, Syarh Ushul al-Khamsah, dan Kitab fi al-Imamah wa Ushuluddin.[1]
Abul Husain mendapat binaan intelektual dari Hilal ibn Muhammad, seorang putera dari saudara laki-laki pemikir legendaries Bashrah yang masyhur dengan julukan "Hilal al-Ra'yi", dan ia juga sempat berguru kepada Abdullah ibn 'Adiy al-Jurjani. Kematangan intelektual Abul Husain tertata di bawah bimbingan al-Qadhi Abdul Jabbar al-Hamdani yang merupakan tokoh pertama Mu’tazila yang menulis kitab Ushul fikih yang kemudian direvisi oleh muridnya sendiri yakni, Abu al-Husein al-Bashri dalam kitabnya al-Mu’tamad fi Ushul Fiqh.
Menurut Abu al-Husein, dalam pembukaan bukunya Beliau merasa terpanggil untuk menulis kitab Ushul Fiqih ini setelah melihat dan meneliti tentang pembahasan Kitab al-‘Ahd yang menurutnya tidak layak dikategorikan sebagai kitab Ushul fikih jika dilihat dari segi kecermatan bahasanya, dan susunan bab-babya. Bahkan di dalam buku tersebut memuat hal-hal yang berkaitan tentang materi ketauhidan dan keadilan yang menurutnya tidak masuk dalam kajian ushul fikih[2]
2.      Corak Pemikiran dan Metodologi Istimbat Hukum Abu al-Husein al-Bashri
Buah karya Abul Husain yang bertajuk "al-Mu'tamad fi Ushul Fikih" merupakan buah karya yang menyuguhkan teori panduan dalam mengeluarkan hukum-hukum aplikatif atau yang disebut "fikih". Embrio teori ini diambil dari seorang hakim besar yang bermadzhab Mu'tazilah pada kekaisaran dinasti Abbasyiyah; al-Qadhi Abdul Jabbar al-Hamdani dalam kitabnya yang berjudul "al-'Ahd’.
Karya monumental ini pada mulanya hilang bersamaan dengan lenyapnya jutaan manuskrip umat Islam pasca Perang Salib. Upaya pencarian manuskrip dan telaah oleh tiga orang akademisi Timur Tengah, yaitu; Muhammad Hamidullah, Muhammad Bakar dan Hasan Hanafi, program dari Institut Akademi Filologi Prancis di Damaskus akhirnya berhasil menerbitkan kitab ini di pasaran untuk pertama kalinya pada tahun 1964. Pada cetakan pertama Muhammad Hamidullah memberikan catatan pinggir berbahasa Prancis yang juga mengisahkan usaha penelitian mereka. Yaitu tercantum pada bagian akhir jilid kedua beserta bibliografi ayat-ayat al-Quran, riwayat-riwayat hadis, nama-nama tokoh dan wilayah.[3]
Adapun cara penyusunan ilmu ushul fikih jika ditinjau berdasarkan tokoh terbagi menjadi tiga, yakni: a. Metode Syafi’iyyah, b. Metode Hanfiyyah atau Metode Fuqaha, dan yang terkahir, c. Metode Muta’akhirin. Adapun beberapa Imam yang mengikuti metode penulisan ilmu ushul fikih dengan Metode Syafi’iyyah ini antara lain Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani Al-Maliki, Al-Qadhi Abdul Jabbar Al-Hamdani Al-Mu’tazili, dan Abu Al-Husein Muhammad bin Ali Al-Thayyib Al-Mu’tazili yang mensyarah karya-karya Abdul Jabbar dalam kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Mu’tamad fi Uahul fiqh.[4]
Jika dicermati, secara garis besar karakteristik dalam penulisan kitab Al-Mu'tamad tersebut dapat kita rangkum pada poin-poin berikut ini:[5]
a.       Mengikutkan metode kritik ilmiah pada tiap alur pembahasan yang ada.
b.      Ada upaya untuk selalu mengkaitkan setiap topik dengan metode madzhabnya, terutama dominasi rasio yang bertolak dari masalah hasan (baik) dan qabih (buruk), serta terma kemaslahatan.
c.       Banyak menyuguhkan ide-ide dan pernyataan-pernyataan yang cukup logis, terutama dengan menukil pernyataan-pernyataan al-Qadli Abdul Jabbar.
d.      Seringkali menuliskan topik-topiknya dengan redaksi tanya-jawab, sebagaimana gaya redaksi yang sering dipergunakan oleh para teolog.
e.       Selalu mengikut-sertakan dalil-dalil wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) pada setiap pernyataan yang ada, baik yang pro maupun yang kontra secara seimbang, dengan kemandirian ijtihadnya walaupun seringkali bertentangan dengan paham Mu'tazilah sendiri.    
Dari buah karya Abul Husain ini banyak memberi pengaruh besar terhadap perkembangan dunia pemikiran Islam, baik di kalangan ahli fikih maupun para teolog. Bahkan beberapa ulama Sunni mengikuti jejak intelektual Abul Husain dalam menyuguhkan teori-teori ushul fikihnya, baik pada segi redaksionis maupun tematis. Di ataranya; seorang ushuliy dari madzhab Hambali yang bernama Abul Khuthab al-Kaludzani (514 H). Seorang ahli ushul Hanafi ini banyak menerapkan metode yang diusung Abul Husain terutama masalah-masalah yang terkait dengan teori semantik, dan bukan pada bidang teologi.[6] Sedangkan dari madzhab Syafi'i, kehadiran Fakhruddin al-Razi dengan kitab "al-Mahshul" merupakan hasil kolaborasi dua kitab ushul, yaitu; kitab al-Mustashfa karya Abu Hamid al-Ghazali (505 H), dan kitab al-Mu'tamad karya Abul Husain al-Bashri ini.[7]
3.      Nasakh (nasikh-mansukh)
a.      Pengertian Nasakh (nasikh-mansukh)
Kata nasakh berasal dari bahasa Arab dengan akar kata نسخ – ينسخ  yang bentuk isim failnya  ناسخ(nasikh) dan isim maf’ulnya  منسوخ (mansukh), mempunyai arti yang beragam, antara lain : menghilangkan, menghapuskan, membatalkan,[8] yang dalam bahasa Arab-nya dikenal dengan istilah ازالة. Di samping itu nasakh  juga berarti memindah dari satu wadah ke wadah yang lain, atau juga berarti penukilan dan penyalinan,[9] yang dalam bahasa Arab-nya disebut dengan istilah النقل. Adapun contoh penggunaan kata nasakh yang bermakna al-izalah yakni:
نسخت الشمس الظل او نسخت الريح اثارهم[10]

Artinya:

Matahari menghapus kegelapan  atau angin menghapus jejak mereka

Sedangkan contoh penggunaan kata nasakh yang bermakna al-naql yakni:
نسحت الكتاب, اى نقلت ما فيه الى كتاب اخر[11]

Artinya:

Saya telah menyalin sebuah buku, yang bermakna saya telah menyalin/memindahkan isinya ke buku yang lain
Jadi nasikh adalah sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan mengubah, sedang mansukh adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dirubah dan lain sebagainya.[12]
Dari beberapa definisi tentang nasakh yang telah dipaparkan, nampak bahwa nasakh memiliki makna yang berbeda-beda, bisa berarti membatalkan, menghilangkan, menghapus, menggalihkan dan sebagainya, yang di hapus disebut mansukh dan yang menghapus disebut nasikh, namun dari sekian banyak definisi itu, menurut Rosihon Anwar, pengertian nasikh yang mendekati kebenaran adalah nasakh dalam pengertian al-Izalah, yakni: (berarti mengangkat sesuatu dan menetapkan selainnya pada tempatnya).[13]
Sebagaimana dalam pengertian etimologi, nasakh dalam terminologi pun memiliki pengertian yang berbeda-beda, sebagaimana pendapat yang mengatakan bahwa nasakh adalah mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) yang lain.[14]Sementara al-Zarqoni mengatakan bahwa definisi nasakh menurut istilah adalah mengangkat hukum syar’i dengan dalil syara’ yang lain, ini dapat dipandang sebagai definisi yang cermat.[15] Dan menurut Abu Zahroh mendifinisikan nasakh dengan penghapusan hukum syar’i oleh syar’i (Allah) dengan dalil yang datang kemudian.[16]
Sejalan dengan bahasa Arab yang mengartikan kata “nasakh” sama dengan “meniadakan” dan “mencabut” beberapa ketentuan hukum syari’at yang oleh asy- Syāri’ (Allah dan Rasul-Nya) dipandang tidak perlu dipertahankan, dicabut dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas serta berdasarkan pada kenyataan yang dapat dimengerti, untuk kepentingan suatu hikmah dan hanya diketahui oleh orang-orang memilki ilmu sangat dalam.[17] Ada juga yang berpendapat bahwa nasikh adalah mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian dengan menghilangkan amal pada hukum-hukumnya atau menetapkannya.[18]
Dalam terminologi hukum Islam (fiqih) hukum yang dibatalkan namanya mansukh, sedangkan hukum yang datang kemudian (menghapus) disebut nasikh. Perlu diketahui di sini bahwa yang dibatalkan adalah hukum syara’ bukan hukum akal dan pembatalan itu karena adanya tuntutan kemaslahatan.[19]
Bahkan ada pendapat yang kontra di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah disaat muslim lemah, itu dianggap telah dinasakh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah. Sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian nasakh.[20]
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (mutaakhirin). Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.[21]
Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kata mansukh adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, diubah dan lain sebagainya, yang di hapus disebut mansukh dan yang menghapus disebut nasikh. Dan nasakh berbeda dengan takhshis, karena nasakh menghapus hukum dari seluruh satuan yang tercakup dari dalil mansukh dan hanya terjadi dengan dalil yang datang kemudian, sedangkan takhshis merupakan hukum dari sebagian satuan yang tercakup dalam dalil umum dan takhshis juga dapat terjadi baik dengan dalil kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.[22]
b.      Dalil-dalil Nasakh (nasikh-masnsukh)
Argumentasi keberadaan nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an Banyak dalil yang diketengahkan oleh kelompok yang berpendapat adanya nasakh antara ayat al-Qur’an, baik dalil yang bersifat ‘aqli maupun naqli, di antaranya sebagai berikut:
Dalil naqli.
Kelompok yang berpendapat bahwa ada nasakh dalam al-Qur’an selalu mengutip Q.S. al-Baqarah ayat 106 sebagai argumen utama:
ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير

Terjemahnya:

Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan manusia lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu[23]
Asbab nuzul al-Baqarah 106, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, dia berkata, “terkadang turun wahyu kepada Nabi saw pada malam hari namun siang tiba beliau lupa. Maka Allah menurunkan ayat ini”.[24]
Menurut ahli tafsir terkemuka dari kalangan yang pro terhadap pendapat adanya nasakh dalam al-Qur’an, yaitu Ibnu Kathsir, kata nasakh yang termaktub dalam Q.S. al-Baqarah ayat 106 bermakna tabdil (mengubah) dan (menghapus).
Dalam konteks ini, yang diubah adalah ketentuan hukum yang terkandung dalam ayat. Sehingga yang semula boleh bisa menjadi tidak boleh, dan yang tidak boleh bisa menjadi boleh. Perubahan hukum ini menurut Ibnu Katsir terjadi dalam al-Qur’an jika ada ayat yang ketentuan hukumnya, diubah dengan ayat lain yang datang setelahnya.[25]
Selain itu, ayat yang selalu yang menjadi argumentasi pihak yang pro terhadap nasikh mansukh dalam al-Qur’an adalah Q.S an-Nahl ayat 101:
....وإذا بدلنا آية مكان آية والله أعلم بما ينزل...

Terjemahnya:

Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya....[26]
Al-Qurtubi dalam tafsirnya menyatakan bahwa makna tabdil (mengganti) di dalam ayat adalah penggantian hukum. Selain itu beliau juga mengutip pendapat dari Mujahid yang menyatakan bahwa Allah mengangkat keberadaan suatu ayat tertentu, lalu mengisi tempatnya dengan ayat yang lain.[27] Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan, ayat ini adalah dalil yang menyatakan terjadinya nasikh mansukh dalam al-Qur’an. Bahkan, beliau mengklaim bahwa pendapat yang terkuat dan merupakan pendapat mayoritas ulama dalam masalah perdebatan ada tidaknya nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an.[28]
Dalil ‘aqli
Nasakh itu secara rasional dapat dibenarkan oleh akal manusia. Nasakh itu tidak terlarang, akal tidak menganggap mustahil adanya nasakh. Bisa terjadi menurut akal sebab, nasakh itu didasarkan dari kebijaksanaan Allah swt yang mengetahui kemaslahatan hambanya sehingga Allah menyuruh manusia melakukan sesuatu pada waktu tertentu, kemudian melarang melakukan perbuatan tersebut di waktu lain karena ada mudharatnya.
Contohnya dalam al-Qur’an sendiri, adalah pengharaman minuman keras yang ayatnya turun secara bertahap. Pada mulanya, di Q.S. An-Nahl ayat 67 Allah dengan halus menyatakan bahwa dari buah kurma dan anggur, bisa dibuat berbagai macam minuman; baik yang sehat maupun yang memabukkan:
ومن ثمرت النخيل والاعنب تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا أن الله فى ذلك لاية لقوم يعقلون

Terjemahnya:

Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezki yang baik.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.[29]
Dan dari buah kurma dan anggur terdapat jenis buah-buahan (yang kalian dapat membuat minuman yang memabukan dari padanya) dalam artian khamr yang dapat memabukan dan kata maskaran pada ayat tersebut memakai kata masdar yaitu sakaran. Hal tersebut diturunkan sebelum adanya pengharaman khamr. Ayat tersebut menunjukan antara minuman yang memabukan baik yang dibuat dari kurma maupun anggur, demikian juga hukum seluruh minuman yang dibuat dari biji gandum, jagung dan madu sebagaimana sunah nabawi datang dengan menjelaskan hal tersebut. Ibn Abbas berpendapat tentang kata “sakaran wa rizqan hasanan” pada ayat di atas, bahwa Al-Sukr adalah apa yang diharamkan dari kedua buah tersebut. Rizqi yang baik adalah yang dihalalkan dari kedua buah tersebut.[30]
Al-Qurtubi dalam tafsirnya menuliskan bahwa di antara kebaikan Allah kepada umat Islam, Allah tidak menjadikan syariat Islam turun secara sekaligus, khawatir akan sangat memberatkan, akan tetapi Allah menurunkan hukum secara bertahap. Dan di antara hukum yang diterapkan secara bertahap adalah perihal hukum pelarangan minuman keras.[31]
Pendapat al-Qurtubi di atas, tentu sangat selaras dengan pernyataan Abdul Jalal bahwa nasakh dalam al-Qur’an itu didasarkan kebijaksanaan Allah dan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui kemaslahatan hambanya di setiap perubahan waktu, Allah membolehkan manusia melakukan sesuatu pada waktu tertentu, kemudian melarang melakukan perbuatan tersebut di waktu lain. Karena itu, secara akal rasional, penggantian hukum ayat bukanlah sesuatu yang mustahil dan terjadi di dalam al-Qur’an.
c.       Syarat-syarat Nasakh
Berdasarkan pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa terjadinya nasakh harus memenuhi beberapa syarat, menurut Abu Husain al-Bashri ada dua syaratnya, yakni: 1) Adanya al-Nasikh (yang menghapus) dan al-mansukh (yang dihapus), 2) Kedua-duanya adalah hukum syar’i, kemudian Beliau menambahkan bahwa dari persyaratan tersebut al-Nasikh harus terpisah dengan al-mansukh baik dalam kalimat maupun dalam perincian.[32] Sedangkan menurut Manna’ Khalil Qaththan syarat nasakh terbagi menjadi tiga, yakni:
- Hukum yang di-nasakh harus bersifat hukum syar’i
- Dalil yang berfungsi menghapus hukum berupa khitab syar’i (wahyu ilahi) yang muncul lebih akhir dari pada khitab yang di-nasakh hukumnya.
- Khitab yang dihapus hukumnya tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Apabila dibatasi waktu maka hukum tersebut terhapus dengan habis masa waktunya dan tidak dianggap sebagai nasakh.[33]
Sebagian ulama ada yang memperluas syarat-syarat terjadinya nasakh menjadi beberapa poin yaitu:
 - Hukum yang terkandung pada nasikh bertentangan dengan hukum pada mansukh.
- Yang mansukh harus lebih awal dari Nasikh.
- Hukum yang di-nasakh mesti hal-hal yang menyangkut dengan perintah, larangan, dan hukuman.
-  Hukum yang di-nasakh tidak terbatas waktu tertentu, mesti berlaku sepanjang waktu.
- Hukum yang terkandung dalam mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nasikh.
- Status nash nasikh mesti sama dengan nash mansukh. Maka nash yang zhanni tidak bisa menasakh yang qath’i.[34]Tentu tidak sah pula dalil yang besifat ahad untuk menasakh dalil yang mutawatir.
Dari situ diketahui bahwa hanya terjadi pada Amr (perintah) dan Nahyi (larangan), baik secara shorih (jelas) dalam perintah ataupun dengan lafadz khabar (berita) yang mengandung makna perintah dan larangan dengan syarat tidak berhubungan dengan urusan akidah yang merujuk kepada dzat dan sifat Allah Swt, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, atau kepada etika berakhlak dan prinsip-prinsip dasar ibadah dan mu’amalah. Karena keseluruhan syari’at tidak bisa terlepas dari prinsip dasar tersebut dan itu merupakan hal yang sudah disepakati (muttafaq ‘alaih).[35]
Menurut al-Zarqani, nasakh hanya terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan dengan furu’ ibadah dan muamalat menurut orang-orang yang mengakui nasakh. Adapun yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan muamalat, dan berita-berita mahdhah, maka menurut jumhur ulama tidak terjadi nasakh padanya”.[36]
d.      Macam-macam Nasakh (nasikh-mansukh)
Macam-macam nasikh mansukh berdasarkan penasakhan hukum dan tilawah-nya yaitu:
      Nasakh hukum tanpa tilawah
Nasakh hukum tanpa tilawah adalah penghapusan hukum sedangkan tilawah-nya masih tetap sebagaimana Allah telah menasakh hukum tanpa menasakh tilawah QS al-Baqarah/2 ayat 240.[37]
....متاعا الى الحول غير اخراج....

Terjemahnya:

.....(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (rumahnya)....
Dengan  QS al-Baqarah/2 ayat 234.
....يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا....



Terjemahnya:

....menangguhkan dirinya  selama empat bulan sepuluh hari....

Yang berarti hukum iddah yang sebelumnya harus dijalani selama satu tahun sudah dinasakh dengan ketentuan baru yaitu selama empat bulan sepuluh hari, akan tetapi tilawah atau bacaannya masih ada di dalam al-Qur’an. Adapun Nasakh macam ini sedikit ditemukan dalam al-Qur’an, namun ada juga orang yang berlebihan dalam menetapkan nasakh seperti ini.
Nasakh macam ini setidaknya mempunyai dua hikmah:
a)      Karena al-Qur’an firman Allah, dan membacanya mendapat pahala, maka ditetapkan tilawahnya.
b)      Agar mengingat tentang ringan atau beratnya hukum yang dihapus.[38]
     Nasakh tilawah tanpa hukum
Nasakh tilawah tanpa hukum yaitu penghapusan tilawah atau bacaannya sedangkan hukumnya masih tetap. Seperti ayat rajam yang mula-mulanya ada bacaannya kemudian dinyatakan telah dinasakh tilawahnya sedangkan hukumnya tetap berlaku. Ayat rajam itu berbunyi :[39]
والشيخ والشيخة اذا زنيا فرجموها البتة نكالا من الله

Artinya :

Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti. Ini termasuk ke dalam surat al Baqarah.
      Nasakh tilawah dan hukumnya secara bersamaan:[40]
Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa: ketika Allah menurunkan ayat
عَشْرُ رَضَعَاتٍ يُحَرِّمْنَ
Artinya:

Sepuluh kali susuan yang diyakini, menjadikan adanya hubungan mahram
Aisyah berkata: “Pada mulanya ayat ini dicantumkan di dalam mushaf al-Qur’an dan hukumnya juga berlaku. Kemudian ayat ini dihapus, baik tulisan maupun hukumnya”.
Ayat tersebut di-nasakh oleh ayat lain yang berbunyi:
خَمْسُ رَضَعَاتٍ يُحَرِّمْنَ

Artinya:

Lima kali susuan yang di yakini, menjadikan adanya hubungan mahram
Sebagian ulama ada yang tidak mengakui nasakh semacam ini, karena khabar-nya bersifat ahad. Menurut mereka khabar ahad yang diriwayatkan periwayat yang tsiqqah tidak dapat diterima dalam hal nasakh. Namun ada pula yang memudahkan persoalan nasakh, sehingga merasa cukup dengan pendapat mufassir atau mujtahid. Adapun yang benar adalah kebalikan dari kedua pendapat itu.[41]
Nasakh terbagi kepada tiga bagian yang lain yaitu:
      Nasakh al-Qur’an dangan al-Qur’an dan Nasakh al-Sunnah dengan al-Sunnah
a)      Nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an
Para ulama yang mengakui adanya nasakh, telah sepakat adanya nasakh al-Qur’an dengan al-Qur’an, dan itu-pun telah terjadi menurut mereka. Salah satu contohnya ayat ‘iddah satu tahun di-nasakh dengan ayat ‘iddah empat bulan sepuluh hari.[42]
Dalam beberapa contoh yang lain Allah swt. Menasakh QS al-Mujadilah/58 ayat 12.
ياايهاللذين امنوا اذا نجيتم الرسول فقدمو بين يدى نجواكم صدقة,           ذلك خير لكم و اطهر, فان لم تجدوا فان الله غفور الرحيم

Terjemahnhya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dengan QS /58 ayat 13:
ءاشفقتم ان تقدموا بين يدى نجوىكم صدقت, فان لم تفعلوا وتاب الله عليكم فاقيموا الصلاة واتوا الزكوة واطيعوا الله ورسوله, والله خبير بما تعملون

Terjemahnya:

Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberi sedekah sebelum mengadakan pembiacaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah menerima taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Allah juga telah menasakh QS al-Baqarah ayat 240 dengan QS al-Baqarah ayat 234 tentang masa iddah dari setahun menjadi empat bulan sepuluh hari. Sebagaimana Allah juga telah menasakh QS al-Anfal ayat 65.
يايها النبى حرض المؤمنين على القتال ان يكون منكم عشرين صبرون يغلبوا مائتين وان يكن منكم مائة يغلبوا الفا من الذين كفروا بانهم فوم لايفقهون

Terjemahnya:

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti
dengan QS al-Anfal ayat 66.
الئن خفف الله عنكم وعلم ان فيكم ضعفا فان يكن منكم  مائة صابرة يغلبوا مائتين, وان يكن منكم الف يغلبوا الفين باذن الله, والله مع الصابرين

Terjemahnya:

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar
Tentang satu orang berbanding sepuluh menjadi satu orang berbanding dua orang saja dengan pertimbangan kondisi ummat Islam yang kala itu sedang lemah.
b)      Nasakh sunnah dengan sunnah
Dalam Nasakh al-Sunnah bi al-Sunnah ini terbagi pada empat macam, yaitu:[43]
·         Nasakh sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir,
·         Nasakh sunnah ahad dengan sunnah ahad,
·         Nasakh sunnah ahad dengan sunnah mutawatir, dan
·         Nasakh sunnah mutawatir dengan sunnah ahad.
Tiga bentuk nasakh yang pertama di atas dihukumi boleh. Adapun bentuk yang keempat para ulama berbeda pendapat seperti dalam permasalahan nasakh al-Quran dengan sunnah ahad, dimana Jumhur ulama tidak memperbolehkannya. Sedangkan Abu al-Husein al-Bashri memperbolehkannya berdasarkan akal, Beliau berkata:
فاما نسخ الخبر المتواترباخبار الاحاد فجائز فى العقل. والشرع قد منع منه[44]
Adapun contoh dalam nasakh ini seperti yang diriwayatkan dari Nabi bahwa Ia dahulu melarang orang-orang untuk ziarah kubur, kemudian Ia berkata:[45]
كنت نهيتكم عن زيارة القبور الا فزوروها

Artinya:

Dulu Aku (Nabi) melarang kalian untuk berziarah kubur sekarang ber-ziarah kuburlah kamu.

      Nasakh al-Qur’an dengan Sunah
Sunnah terbagi menjadi dua, mutawatir dan ahad. Adapun yang mutawatir, Imam Syafi’i dan golongan yang lain menolak adanya nasakh al-Qur’an berdasarkan akal. Sedangkan para mutakallimin dan pengikut Abu Hanifah membolehkannya berdasarkan logika akal dan mereka juga saling berbeda pendapat. Ada yang mengatakan hal itu telah terjadi dan sebagian yang lain mengatakan belum terjadi, tetapi tidak mengarah kepada pelarangan.[46] Adapun dalam hal nasakh al-Qur’an dengan sunnah ahad Jumhur ulama berpendapat tidak boleh, karena al-Qur’an adalah nash yang mutawatir, menunjukkan keyakinan tanpa ada praduga atau dugaan padanya, sedangkan sunnah ahad adalah nash yang bersifat zhanni, karena ada kemungkinan salah dan jumlah perawinya di bawah hadis mutawatir. Dan tidak sah pula menghapus suatu yang sudah diketahui dengan suatu yang sifatnya dugaan atau diduga.[47]
Adapun mereka yang membolehkan  nasakh al-Qur’an dengan sunnah mutawatir berhujjah menggunakan firman Allah dalam QS. Al-Najm 3-4.
وما ينطق عن الهوى. ان هو الا وحي يوحى
Terjemahnya:

Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.[48]
Adapun contoh dalam nasakh ini ialah sebagai berikut:
QS aI-Baqarah ayat 180.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Terjemahnya:

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu, bapak, dan kerabatnya secara baik, (ini adalah kewajiban orang yang bertaqwa.”
Ayat tersebut menjadi mansukh oleh hadis Nabi saw.
إن الله أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث

Artinya:

Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang memiliki hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi seorag waris.” (HR. Abu Dawud)
      Nasakh Sunah dengan al-Qur’an
Jumhur ulama membolehkan nasakh seperti ini. Adapun dalil tentang penghapusan sunnah oleh al-Qur’an adalah ketika diwajibkannya menghadap ke Bait al-Maqdis di awal permulaan Islam berdasarkan sunnah, karena Nabi saw. mengikuti syari’at yang sudah ada sebelumnya. Kemudian dinasakh dengan firman Allah dalam QS al-Baqarah ayat 144 dan 150 menjadi ke arah Masjid al-Haram (Ka’bah),[49] sedangkan Imam Syafi’i menolak hal tersebut[50], karna menurutnya antara al-Qur’an dan sunnah saling mendukung.[51] Mereka yang menolak nasakh seperti ini berhujjah dengan QS al-Nahl ayat 44.
.....وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم ولعلهم يتفكرون

Terjemahnya:

.....dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Yang menjadi petunjuk bahwa Nabi tidak berkata-kata kecuali dengan bayan (menerangkan al-Qur’an). Dan jika Allah menghapus perkataan Nabi-Nya, untuk menolak bahwa (perkataan itu) berasal dari-Nya akan menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah tidak ridha terhadap apa yang menjadi sunnah nabi-Nya.[52]
Adapun nasakh yang dikaitkan dengan ijma’ dan qiyas. Dalam hal ini Manna’ Khalil al-Qaththan menjelaskan bahwa nasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, menurut pendapat yang sahih tidak dibolehkannya.[53] Adapun jika terjadi kesepakatan di dalamnya, maka dibolehkan akan tetapi tidak dikatakan sebagai nasakh.[54]
Selanjutanya apabila dilihat dari segi keluasan jangkauan nasakh terhadap hukum yang dikandung dalam suatu ayat, maka nasakh terbagi pada dua macam, yakni: Nasakh kulli, yaitu nasakh yang mencakup seluruh hukum yang terkandung dalam suatu ayat, misalkan; penghapusan iddah wafat selama satu tahun yang diganti 4 bulan 10 hari. Dan nasakh juz’i, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlak dengan yang bersifat muqayyad.[55]
Di sisi lain ada juga yang membagi Nasakh berdasarkan adanya badal (pengganti) dan ghairu badal (tidak disertai dengan pengganti). Nasakh dengan pengganti terkadang penggantinya lebih ringan, sebanding dan terkadang lebih berat.[56]
      Al-Nasakh ilaa ghairi badal yaitu nasakh tanpa pengganti. Contohnya seperti penghapusan keharusan bersedekah sebelum menghadap Rasulullah sebagaimana yang terdapat dalam QS al Mujadilah ayat 13 yang menasakh QS Al Mujadalah ayat 12.
      Al-Nasakh  ila badal  al-akhaff, yaitu nasakh dengan pengganti yang lebih ringan. Contohnya seperti pengurangan masa iddah seorang wanita yang awalnya satu tahun menjadi empat bulan sepuluh hari yang terdapat dalam QS al Baqarah ayat 240 yang menasakh QS al Baqarah ayat 234.
   Al-Nasakh ila badal mumatsil, yaitu nasakh dengan pengganti yang sepadan. Contohnya seperti menasakh menghadap ke Bait al-Maqdis dengan menghadap Ka’abah dalam QS al-Baqarah ayat 144.
.... فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ .....

Terjemahnya:

....Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram....
      Al-Nasakh ila badalin atsqal, yaitu nasakh dengan ganti yang lebih berat. Contohnya seperti QS al-Nisa ayat 15.
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا

Terjemahnya :

Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikan). Kemudian apabila mereka telah member kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.
Dinasakh dengan QS al-Nur ayat 2.
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Terjemahnya:

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”.
Dalam hal ini Ibnu Abbas berkata: “seperti itu hukumnya sampai diturunkan Allah surah al-Nur, maka dinasakhlah hukum tersebut menjadi hukuman cambuk, atau rajam. Begitupula diriwayatkan dari Ikrimah, Sa’id ibn Jubair, Hasan, ‘Atha’ al-Khurasani, Abi Salih, Qatadah, Zaid ibn Aslam, dan al-Dhahak: Sesungguhnya hukum tersebut mansukh, dan itu termasuk dalam perkara muttafaqun ‘alaih.[57]
e.       Cara Mengetahui Nasakh (nasikh-mansukh)
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat dipahami bahwa untuk mengetahui ada tidaknya ayat yang nasikh dan mansukh, maka yang pertama kali dilakukan adalah dengan melacak ayat-ayat yang secara zahir nampak kontradiktif satu sama lain. Jika sudah ditemukan, maka langkah selanjutnya adalah meneliti ayat yang datang terlebih dahulu dan ayat yang datang belakangan, dengan cara melihat redaksi yang mengindikasikan datang belakangan atau terlebih dahulu, atau dengan adanya ijmak para ulama, atau dengan adanya keterangan dari sabahat Nabi saw yang menjelaskan salah satu ayat turun terlebih dahulu dan yang lain belakangan. Karena ayat yang datang belakangan berfungsi sebagai nasikh atau penghapus ketentuan lama, dan ayat yang datang dahulu biasanya ketentuan hukumnya dibatalkan oleh ayat yang datang selanjutnya.
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh para ulama memberi pedoman dengan mengidentifikasi beberapa cara berikut:
Ada keterangan tegas atau pentransimisian yang jelas dari Nabi saw. atau sahabat seperti dalam redaksi hadis: (kuntu nahaitukum ‘an ziyaratil qubuur alaa fazuuruuhaa), dan seperti ucapan Anas bin Malik dalam kisah Ashab Bi’r Ma’unah (nazala fiihim qur’an qara’naahu hatta rufi’a).
 Konsensus (ijma’) umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
- Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan histori. Histori ayat dapat diketahui dari keterangan sahabat, yang bukan ijtihad sahabat itu sendiri. Misalkan sahabat itu mengatakan: “Ayat ini turun pada tanggal, bulan atau tahun sekian, sedangkan ayat ini turun pada tanggal, bulan atau tahun sekian, jadi ayat ini lebih kemudian dari ayat itu”.[58]
 -------------------------------
oleh Nursalam Rahmatullah 



[1]Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fikih Sepanjang Masa Terj. K.H. Husein Muhammad, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), h. 233.
[2]Abu al-Husain Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Tayyib al-Bashri al-Mu’tazila, al-Mu’tamad, (Damaskus: t.p, 1964), h. 7.
[3]Abdussalam Balaji, Tathawwur 'Ilm Ushul al-Fikih wa Tajadduduhu, (Dar al-Wafa’: Mansuria, 2007), h. 154.
[4]Abdul Hayy Abdul ‘Ai, Pengantar Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 19-22.
[5]Abu al-Husein, al-Mu’tamad; dan koreksi Syekh Khalil al-Mais, cet-3 (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah, 2005), h. H-l. dalam Fikih, Filsafat, dan Teologi: kajian terhadap Pemikiran Abul Husain Al-Bashri Al-Mu’tazili (https://www.iaid.ac.id diakses pada tanggal 7 April 2020)
[6]Abdussalam Balaji, Tathawwur 'Ilm Ushul al-Fiqh wa Tajadduduhu, (Beirut: Dar ibn Hazm, 2010), h. 96-97
[7]Jamaluddin al-Asnawi, Nihayah al-Suul ma'a Syarah al-Badakhsyi, jilid 1, h. 8-9
[8]Louis Ma’luf, Kamus al-Munjid (Bairut: Darul Masyrik, 2008), h. 805.
[9]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1994), h. 143.
[10]Abu al-Husein al-Bashri, al-Mu’tamad, 394
[11]Abu al-Husein al-Bashri, al-Mu’tamad, 394
[12]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 144.
[13]Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 164-165.
[14]Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Singapura: Haramain, t.t.), h. 232.
[15]Muhammad Abudul Adzim al-Zarqoni, Manahil al-‘Irfan fi Ulumil Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, Tp.t), h. 151.
[16]Muhammad Abu Zahroh, Ushul Fiqh Beirut: Dar al-Fikr, 1958), h. 60.
[17]Subhi Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-„Ilm, 1988), h. 261.
[18]Abd Mun’im an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim ( Beirut: Dar al-Kitab, 1983), h. 183.
[19]Mushthafa Zaid, al-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, Juz I (Beirut, Dar al-Fikr, 1991), h. 67.
[20]Abdul ‘Azim al-Zarqani, Manāhil al-‘Irfān fi al-‘Ulūm al-Qur’an, jilid II (Mesir: Al- Halabiy, 1980), h. 254.
[21]Ismail Ibn Kathsīr, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid I (Singapura: Sulaiman Mar’iy, t.t.), h. 151.
[22]Ahmad Izzan, Ulumul al-Qur’an; Tela’ah Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Qur’an (Tp.t, Humaniora, 2011), h. 186.
[23]Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h. 21.
[24]Jalāludin As-Suyūthī, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, (Surabaya: Al-Haromain, Tp.t), h. 77.
[25]Ismaīl Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm (Beirut: Muassasah al-Rayyaān), h. 198-199.
[26]Kementerian  Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h. 378.
[27]Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anṣārī al-Quṭubī, al-Jami’ li Aḥkām al-Qur’ān (Beirut: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabiyy, 2002),
[28]Mannā’ Khalil al-Qaththan, Mabaḥith fi ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 236.
[29]Kementerian  Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h. 372.
[30]Ismail Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim Jilid II, h. 245.
[31]Al-Qurṭubī, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, h. 38.
[32]Abu al-Husein al-Bashri, al-Mu’tamad fi Ushul Fiqh, h. 399.
[33]Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum al Qur’an, h. 224.
[34]Kadar M.Yusuf, Studi al Qur’an (Jakarta: Amzah, 2010), h.117; bandingkan dengan al-Zarqani, Manahili al irfan fi ‘Ulum al Qur’an, h.180.
[35]Manna’ Khalil al Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum al Qur’an, h. 225.
[36]al Zarqani, Manahili al ‘Irfan fi ‘Ulum al Qur’an (al Qahirah, Daar al Kitab al ‘Araby),h. 211.
[37]Abu al-Husein al-Bashri, al-Mu’tamad, h. 418
[38]Manna’ Khalilal Qaththan, Mabahits  fi ‘Ulum al Qur’an, h. 231.
[39]Abu al-Husein al-Bashri, al-Mu’tamad, h. 418. Dapat juga dilihat dalam Jalaluddin al Sayyuthi, al Itqan fi ‘Ulum al Qur’an, Juz II (Beirut : Dār al-Fikr, t.t), h. 25
[40]Abu al-Husein al-Bashri, al-Mu’tamad, h. 418 dapat juga dilihat dalam Al-Sayyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut : Dār al-Fikr, t.t.h), h. 22.
[41]Jalāluddin al-Suyūṭī, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, h.26.
[42]Manna’ Khalil al-Qaththan,Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, 228.
[43]Abdul Rahman Malik, Abrogasi dalam al_Qquran: Studi Nasikh dan Mansukh dalam Jurnal Studi Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani (Vol. 12, No. 1 , Tahun. 2016), h. 107.
[44]Abu al-Husein al-Bashri, al-Mu’tamad fi Ushul Fqih, h. 422.
[45]Abu al-Husein al-Bashri, al-Mu’tamad fi Ushul Fqih, h. 422.
[46]Abu al-Husein al-Bashri, al-Mu’tamad fi Ushul Fqih, h. 424.
[47]Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, h. 237.
[48]Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h. 765.
[49]Abu al-Husein al-Bashri, al-Mu’tamad fi Ushul Fqih, h. 424. Baca juga Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 229.
[50]Abu al-Husein al-Bashri, al-Mu’tamad fi Ushul Fqih, h. 423.
[51]al-Zarqani, Manahili al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 244.
[52]Abu al-Husein al-Bashri, al-mu’tamad fi Ushul Fiqh, h. 423.
[53]Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 229.
[54]Abu al-Husein al-Bashri, al-mu’tamad fi Ushul Fiqh, h. 435.
[55]Kadar M.Yusuf, Studi al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2010), h. 122-123.
[56]Manna’ Khalil al Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al Qur’an, h. 232-234.
[57]Ismail ibn Umar ibn Katsir, Tafsir ibn Katsir (Tafsir Qur’an al-‘Adzim), Juz 2 (Riyadh: Dar Thayibah, 1999) h. 233
[58]Rosihon Anwar, Pengantar Ulum al Qur’an, 168-169. Bandingkan dengan al Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an,h. 226. Bandingkan dengan al Zarqani, Manahili al Irfan fi ‘Ulum al Qur’an, 209. Abu Anwar, Ulum Al Qur’an Sebuah Pengantar (Pekanbaru, tp., 2002), h. 53.