PENGERTIAN KAIDAH FIKIH
Dalam memahami suatu konsep atau ilmu, para ulama merumuskan sepuluh hal yang penting, agar kita memahami secara komprehensif.
kesepuluh hal tersebut disimpulkan di dalam bemtuk syair:
أن مبادى كل فن عشرة: الحد و الموضوع ثم الثمرة و الفضله و نسبة
والواضع والأسم الإستمداد وحكم الشارع ومسائل البعض بالبعض. ومن درى الجميع حاز
الشرفا
Prinsip-prinsip ilmu itu ada sepuluh macam: 1. batasannya, definisinya, ta'rifnya, 2. objeknya, 3. buahnya, hasilnya, manfaatnya, 4. keutamaan dan kelebihannya dari ilmu yang lalu, 5. relevansinya dengan ilmu yang lain, 6. pengembangan, penggalinya, penemunya, 7. nama ilmunya, 8. sandaran ilmu tersebut, 9. hukum mempelajarinya, 10. contoh-contoh masalah di dalamnya. barang siapa yang mengetahui kesepuluh hal tersebut akan memiliki kehormatan.[1]
Baca Juga Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fikih
Baca Juga Macam-Macam Kaidah Fikih
Baca Juga Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fikih
Baca Juga Macam-Macam Kaidah Fikih
Al-Qawa'id bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Dalam arti bahasa, kaidah bermakna asas, dasar atau pondasi, baik dalam arti yang konkrit maupun yang abstrak, seperti kata qawa'id al-bait, yang arti ya pondasi rumah, qawa'id al-din, artinya dasar-dasar agama, qawa'id al-ilmi, artinya kaidah-kaidah ilmu. arti ini digunakan di dalam al-Qur'an surat al-baqarah ayat 127 dan surat al-Nahl ayat 20:
وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ
الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ......
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan
pondasi Baitullah bersama Ismail Mengetahui
...فَاَتَى اللّٰهُ بُنْيَانَهُمْ مِّنَ الْقَوَاعِدِ
Terjemahnya:
Allah menghancurkan bangunan mereka dari pondasi-pondasinya.
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau pondasi, tempat yang di atasnya berdiri bangunan.[2]
pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam nahwu bahasa Arab, seperti maf'ul itu manshub, fan fa'il itu marfu'. Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya. dengan demikian, Maka al-qawa'id al-fiqhiyah secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.[3]
Para ulama memang berbeda-beda mendefinisikan kaidah fikih secara istilah. ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitnya. Akan tetapi, substansinya tetap sama. Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan:
مجموعة الأحكام المتشابهات التى ترجع ألى قياس واحد
يجمعها
Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya.[4]
Sedangkan al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan:
قضية كلية منطبقة على جميع جزئياتها
Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.[5]
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan:
الأمر الكلى الذى ينطبق عليه جزئيات كثيرة يفهم أحكامها منها
Kaidah adalah sesuatu yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi.[6]
Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252) dalam muqaddimahnya dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-Asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah:
معرفة القواعد التى ترد اليها وفرعوا الأحكام عليها
Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum yang dirinci dari padanya hukum.[7]
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazhair, mendefinisikan kaidah dengan:
حكم كلى الذى ينطبق علي جزئياته
Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagian-nya.[8]
dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz'iyyat-nya (bagian-bagiannya).
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu: pertama, kaidah-kaidah ushul fikih, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fikih, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya, al-Qur'an dan Hadis. Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukum dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum Islam. Hanya saja kaidah-kaidah ushul sering digunakan dalam takhrijul ahkam, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, yaitu al-Qur'an dan hadis. Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering dugunakan di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia. Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhalifaan Turki Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang yang disebut Majallah al-Ahkam al-Adliyah yang merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah fikih di bidang muamalah, dengan 1851 pasal.[9]
Daftar Literasi
------------------
1. Al-Syaikh Abdullah bin Sa'id Muhammad 'Ibadi al-Hadrami, Isdhah al-Qawa'id al-Fiqhiyah, (tt: Haramain, tt), h. 9.
2. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Qalam, 2000), h. 107.
3. Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 1.
4. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt: Beirut: dar al-Fikri al-Arabi, tt), h. 10
5. Al-Jurjani, Kitab al-Ta'rifat, (tt. Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), h. 171.
6. Al-Imam Tajuddin Abd al-Wahhab bin Ali bin Abd al-Kahf al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhair juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tt), h. 11.
7. Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair cet. 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1983), h. 10.
8. Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, Al-Asu=ybah wa al-Nazhair fi Qawa'id wa Furu' al-Fiqh al-Syafi'i, cet. 1 (Beiru: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979), h. 5.
9. Ali Haidar, Durar al-Ahkam, Syarah Majallah al-Ahkam cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991)