Showing posts with label FIKIH. Show all posts
Showing posts with label FIKIH. Show all posts

Friday, May 29, 2020

PENGERTIAN KAIDAH FIKIH


Dalam memahami suatu konsep atau ilmu, para ulama merumuskan sepuluh hal yang penting, agar kita memahami secara komprehensif. 
kesepuluh hal tersebut disimpulkan di dalam bemtuk syair:
أن مبادى كل فن عشرة: الحد و الموضوع ثم الثمرة و الفضله و نسبة والواضع والأسم الإستمداد وحكم الشارع ومسائل البعض بالبعض. ومن درى الجميع حاز الشرفا
Prinsip-prinsip ilmu itu ada sepuluh macam: 1. batasannya, definisinya, ta'rifnya, 2. objeknya, 3. buahnya, hasilnya, manfaatnya, 4. keutamaan dan kelebihannya dari ilmu yang lalu, 5. relevansinya dengan ilmu yang lain, 6. pengembangan, penggalinya, penemunya, 7. nama ilmunya, 8. sandaran ilmu tersebut, 9. hukum mempelajarinya, 10. contoh-contoh masalah di dalamnya. barang siapa yang mengetahui kesepuluh hal tersebut akan memiliki kehormatan.[1]
Baca Juga Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fikih
Baca Juga Macam-Macam Kaidah Fikih
Al-Qawa'id bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologis dan terminologis, (lughatan wa istilahan). Dalam arti bahasa, kaidah bermakna asas, dasar atau pondasi, baik dalam arti yang konkrit maupun yang abstrak, seperti kata qawa'id al-bait, yang arti ya pondasi rumah, qawa'id al-din, artinya dasar-dasar agama, qawa'id al-ilmi, artinya kaidah-kaidah ilmu. arti ini digunakan  di dalam al-Qur'an surat al-baqarah ayat 127 dan surat al-Nahl ayat 20:
وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ......
Terjemahnya:
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail Mengetahui
...فَاَتَى اللّٰهُ بُنْيَانَهُمْ مِّنَ الْقَوَاعِدِ 
Terjemahnya:
Allah menghancurkan bangunan mereka dari pondasi-pondasinya.
Dari kedua ayat tersebut bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas atau pondasi, tempat yang di atasnya berdiri bangunan.[2]
pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam nahwu bahasa Arab, seperti maf'ul itu manshub, fan fa'il itu marfu'. Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya. dengan demikian, Maka al-qawa'id al-fiqhiyah secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih.[3]
Para ulama memang berbeda-beda mendefinisikan kaidah fikih secara istilah. ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitnya. Akan tetapi, substansinya tetap sama. Sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan:
مجموعة الأحكام المتشابهات التى ترجع ألى قياس واحد يجمعها
Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya.[4]
Sedangkan al-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan:
قضية كلية منطبقة على جميع جزئياتها
Ketetapan yang kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.[5]
Imam Tajjuddin al-Subki (w.771 H) mendefinisikan kaidah dengan: 
الأمر الكلى الذى ينطبق عليه جزئيات كثيرة يفهم أحكامها منها
Kaidah adalah sesuatu yang  bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagian tersebut dengan kaidah tadi.[6]
Bahkan Ibnu Abidin (w. 1252) dalam muqaddimahnya dan Ibnu Nuzaim (w. 970 H) dalam kitab al-Asybah wa al-nazhair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah:
معرفة القواعد التى ترد اليها وفرعوا الأحكام عليها
Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum yang dirinci dari padanya hukum.[7]
Sedangkan menurut Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-Nazhair, mendefinisikan kaidah dengan:
حكم كلى الذى ينطبق علي جزئياته
Hukum kulli (menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagian-nya.[8]
dari definisi-definisi tersebut di atas, jelas bahwa kaidah itu  bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada juz'iyyat-nya (bagian-bagiannya).
Dengan demikian di dalam hukum Islam ada dua macam kaidah, yaitu: pertama, kaidah-kaidah ushul fikih, yang kita temukan di dalam kitab-kitab ushul fikih, yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya, al-Qur'an dan Hadis. Kedua, kaidah-kaidah fikih, yaitu kaidah-kaidah yang disimpulkan  secara general dari materi fikih  dan kemudian digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukum dalam nash.
Oleh karena itu baik kaidah-kaidah ushul fikih maupun kaidah-kaidah fikih, bisa disebut sebagai metodologi hukum Islam. Hanya saja kaidah-kaidah ushul sering  digunakan dalam takhrijul ahkam, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya, yaitu al-Qur'an dan hadis. Sedangkan kaidah-kaidah fikih sering dugunakan  di dalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum  atas kasus-kasus yang timbul di dalam bidang kehidupan manusia. Dari sisi ini tidaklah heran apabila kekhalifaan Turki Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang yang disebut Majallah al-Ahkam al-Adliyah yang merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah fikih di bidang muamalah, dengan 1851 pasal.[9]

Daftar Literasi
------------------
1. Al-Syaikh Abdullah bin Sa'id Muhammad 'Ibadi al-Hadrami, Isdhah al-Qawa'id al-Fiqhiyah, (tt: Haramain, tt), h. 9.
2. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Qalam, 2000), h. 107.
3. Asymuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 1.
4. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt: Beirut: dar al-Fikri al-Arabi, tt), h. 10
5. Al-Jurjani, Kitab al-Ta'rifat, (tt.  Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1983), h. 171.
6. Al-Imam Tajuddin Abd al-Wahhab bin Ali bin Abd al-Kahf al-Subki, Al-Asybah wa al-Nazhair juz 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, tt), h. 11.
7. Ibnu Nuzaim, Al-Asybah wa al-Nazhair cet. 1 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1983), h. 10.
8. Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, Al-Asu=ybah wa al-Nazhair fi Qawa'id wa Furu' al-Fiqh al-Syafi'i, cet. 1 (Beiru: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1979), h. 5.
9. Ali Haidar, Durar al-Ahkam, Syarah Majallah al-Ahkam cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991)

Thursday, May 28, 2020

PERBEDAAN KAIDAH USHUL DAN KAIDAH FIKIH



Di antara para peneliti di bidang kaidah ushul fiqh dan kaidah fikih menyatakaa bahwa yang pertama kali membedakan antara kaidah ushul dan kaidah fikih adalah al-Qurafi (w. 684 H), yang menyatakan bahwa “syariah itu ada dua hal, yaitu ushul dan furu’, sedangkan ushul terbagi dua, yaitu ushul fiqh dan kaidah-kaidah kuliyah fiqhiyah'
Baca Juga Pengertian Kaidah Fikih
Lebih jauh Iagi Ali Ahmad al-Nadwi memerinci perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah-kaidah fikih.
  1. Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath al-ahkam secara benar. Dengan ushul fiqh digali hukum-hukum dari dalil-dalilnya, seperti hukum asal dari kata perintah (al-amr) adalah wajib, kata-kata larangan menunjukkan haram.
  2. Kaidah ushul fiqh meliputi semua bagian, sedang kaidah fikih hanya bersifat aglabiyah (pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya. Dalam hal ini komentar Jaill Mubarok, kira-kira ada benarnya, yang menyatakan bahwa dalam kaidah ushul pun ada pengecualiannya.[1]
  3. Kaidah ushul fiqh adalah cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis, sedangkan kaidah fikih adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama. Jadi dapat dipahami, bahwa kaidah-kaidah fikih pun bisa menjadi cara untuk menetapkan hukum syara’ yang praktis. Sehingga sering terjadi, di samping menggunakan kaidah-kaidah ushul fikih juga menggunakan kaidah-kaidah fikih dalam menentukan hukum terutama dalam penerapan hukum (tathbiq al-ahkam).
  4. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’. Sedangkan kaidah fikih muncul setelah furu’. Hal inilah yang penulis coba gambarkan di dalam proses pembentukan kaidah-kaidah fikih.
  5. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandang di dalam berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fikih menjelaskan masalah fikih yang terhimpun di dalam kaidah tadi.[2]
Baca Juga Kaidah-Kaidah Fikih
Baca Juga Asas-asas Hukum Acara Perdata
Seperti dijelaskan oleh Abu Zahrah bahwa kaidah-kaidah ushul adalah metode yang digunakan oleh ahli hukum Islam agar dia tidak salah dalam menentukan hukum. Dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul dia bisa menghasilkan hukum-hukum fikih yang sangat rinci atau disebut furu.[3] Di sinilah ada perbedaan antara yang umum (kaidah-kaidah ushul) dengan furu’ atau fikih sebagai hasil dari penggunaan kaidah-kaidah ushul tadi. Inilah yang dimaksud dengam penggunaan pemikiran secara deduktif, sedangkan kaidah-kaidah fikih muncul dengan cara meneliti/istiqra terhadap fikih yang rinci tadi, dengan mencari persamaan-persamaannya hasilnya memunculkan kaidah-kaidah fikih. Inilah yang dimaksud bahwa di dalam menentukan kaidah-kaidah fikih digunakam pola pikir induktif, karena itu tidak muncul kaidah-kaidah fikih kecuali setelah adanya fikih, meskipun kemudian kaidah fikih sebagai “teori umum di dalam fikih Islam,[4] bisa digunakan untuk memecahkan masalah-masalah baru yang muncul dengan meng-qiyas-kannya kepada masalah-masalah lain yang ada di bawah ruang lingkup kaidah fikih tadi.
Selain itu kaidah-kaidah ushul adalah hasil penelitian ahli ushul fikih dan terdapat di dalam kitab-kitab ushul fikih. Sedangkan kaidah-kaidah fikih adalah hasil penelitian fuqaha (ahli fikih) dan terdapat di dalam kitab-kitab kaidah fikih dan/atau kitab-kitab fikih.
Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kebahasaan termasuk kaidah ushul dan kaidah yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya juga termasuk kaidah ushul, misalnya kaidah-kaidah yang berhubungan dengan qiyas, istishab.
Memang ada jaga beberapa kaidah ushul fikih yang dimasukkan oleh para ulama dalam kaidah-kaidah fikih.[5] Hal semacam ini bisa terjadi karena,[6] Pertama, di dalam proses pengujian kaidah-kaidah f'ikih oIeh al-Qur’an dan hadis nabi, bisa bertemu dengan beberapa kaidah yang telah dikumpulkan oleh ahli ushul fikih, sehingga digunakanlah sebagai kaidah fikih, bukan sebagai kaidah ushul fikih seperti halnya ada kaidah-kaidah fikih yang sama dengan hadis nabi. Maka para ahli fikih mengganakannya bakan sebagai hadis tapi sebagai kaidah fikih.
Akan tetapi proses pembentukan kedua kaidah itu tetap berbeda. Jadi dua proses yang berbeda atau dua metode yang berbeda bisa menghasilkan kaidah yang sama, hal tersebut malah bisa menunjukkan kadar kebenarannya lebih tinggi.
Kedua, apabila kaidah yang sama tadi digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis yang rinci, maka itu jelas kaidah ushul. Tetapi apabila kaidah tadi digunakan untuk memberikan hukum dalam perbuatan makallaf, maka kaidah tadi disebut kaidah fikih. Dengan kata lain apabila kaidah digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya, itu adalah kaidah ushul. Sedangkan apabila kaidah tadi digunakan untuk menerapkan hukum (tathbiq al-ahkam) itu adalah kaidah fikih.
Ketiga, dalam sistem hukum Islam, meskipun ada perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fikih, para alama selalu mempertimbangkan keduanya agar meraih maslahat dan menolak mafsadah, serta hukum yang dihasilkan benar, baik, dan indah.

Daftar Literasi
------------------

1. Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, cet. 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 19
2. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, cet. 5 (Beirut; Dar al-Qalam, 2000), h. 68-69.
3. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt: Dar al-Fikr al-Arabi, tt), h. 11
4. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, h. 62
5. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, h. 439-459 dan Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh, h. 21
6. H.A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, cet. 8 (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), h.24-25.