Thursday, May 28, 2020

PERBEDAAN KAIDAH USHUL DAN KAIDAH FIKIH



Di antara para peneliti di bidang kaidah ushul fiqh dan kaidah fikih menyatakaa bahwa yang pertama kali membedakan antara kaidah ushul dan kaidah fikih adalah al-Qurafi (w. 684 H), yang menyatakan bahwa “syariah itu ada dua hal, yaitu ushul dan furu’, sedangkan ushul terbagi dua, yaitu ushul fiqh dan kaidah-kaidah kuliyah fiqhiyah'
Baca Juga Pengertian Kaidah Fikih
Lebih jauh Iagi Ali Ahmad al-Nadwi memerinci perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah-kaidah fikih.
  1. Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath al-ahkam secara benar. Dengan ushul fiqh digali hukum-hukum dari dalil-dalilnya, seperti hukum asal dari kata perintah (al-amr) adalah wajib, kata-kata larangan menunjukkan haram.
  2. Kaidah ushul fiqh meliputi semua bagian, sedang kaidah fikih hanya bersifat aglabiyah (pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya. Dalam hal ini komentar Jaill Mubarok, kira-kira ada benarnya, yang menyatakan bahwa dalam kaidah ushul pun ada pengecualiannya.[1]
  3. Kaidah ushul fiqh adalah cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis, sedangkan kaidah fikih adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hukum yang sama. Jadi dapat dipahami, bahwa kaidah-kaidah fikih pun bisa menjadi cara untuk menetapkan hukum syara’ yang praktis. Sehingga sering terjadi, di samping menggunakan kaidah-kaidah ushul fikih juga menggunakan kaidah-kaidah fikih dalam menentukan hukum terutama dalam penerapan hukum (tathbiq al-ahkam).
  4. Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’. Sedangkan kaidah fikih muncul setelah furu’. Hal inilah yang penulis coba gambarkan di dalam proses pembentukan kaidah-kaidah fikih.
  5. Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandang di dalam berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fikih menjelaskan masalah fikih yang terhimpun di dalam kaidah tadi.[2]
Baca Juga Kaidah-Kaidah Fikih
Baca Juga Asas-asas Hukum Acara Perdata
Seperti dijelaskan oleh Abu Zahrah bahwa kaidah-kaidah ushul adalah metode yang digunakan oleh ahli hukum Islam agar dia tidak salah dalam menentukan hukum. Dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul dia bisa menghasilkan hukum-hukum fikih yang sangat rinci atau disebut furu.[3] Di sinilah ada perbedaan antara yang umum (kaidah-kaidah ushul) dengan furu’ atau fikih sebagai hasil dari penggunaan kaidah-kaidah ushul tadi. Inilah yang dimaksud dengam penggunaan pemikiran secara deduktif, sedangkan kaidah-kaidah fikih muncul dengan cara meneliti/istiqra terhadap fikih yang rinci tadi, dengan mencari persamaan-persamaannya hasilnya memunculkan kaidah-kaidah fikih. Inilah yang dimaksud bahwa di dalam menentukan kaidah-kaidah fikih digunakam pola pikir induktif, karena itu tidak muncul kaidah-kaidah fikih kecuali setelah adanya fikih, meskipun kemudian kaidah fikih sebagai “teori umum di dalam fikih Islam,[4] bisa digunakan untuk memecahkan masalah-masalah baru yang muncul dengan meng-qiyas-kannya kepada masalah-masalah lain yang ada di bawah ruang lingkup kaidah fikih tadi.
Selain itu kaidah-kaidah ushul adalah hasil penelitian ahli ushul fikih dan terdapat di dalam kitab-kitab ushul fikih. Sedangkan kaidah-kaidah fikih adalah hasil penelitian fuqaha (ahli fikih) dan terdapat di dalam kitab-kitab kaidah fikih dan/atau kitab-kitab fikih.
Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kebahasaan termasuk kaidah ushul dan kaidah yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya juga termasuk kaidah ushul, misalnya kaidah-kaidah yang berhubungan dengan qiyas, istishab.
Memang ada jaga beberapa kaidah ushul fikih yang dimasukkan oleh para ulama dalam kaidah-kaidah fikih.[5] Hal semacam ini bisa terjadi karena,[6] Pertama, di dalam proses pengujian kaidah-kaidah f'ikih oIeh al-Qur’an dan hadis nabi, bisa bertemu dengan beberapa kaidah yang telah dikumpulkan oleh ahli ushul fikih, sehingga digunakanlah sebagai kaidah fikih, bukan sebagai kaidah ushul fikih seperti halnya ada kaidah-kaidah fikih yang sama dengan hadis nabi. Maka para ahli fikih mengganakannya bakan sebagai hadis tapi sebagai kaidah fikih.
Akan tetapi proses pembentukan kedua kaidah itu tetap berbeda. Jadi dua proses yang berbeda atau dua metode yang berbeda bisa menghasilkan kaidah yang sama, hal tersebut malah bisa menunjukkan kadar kebenarannya lebih tinggi.
Kedua, apabila kaidah yang sama tadi digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalil al-Qur’an dan Hadis yang rinci, maka itu jelas kaidah ushul. Tetapi apabila kaidah tadi digunakan untuk memberikan hukum dalam perbuatan makallaf, maka kaidah tadi disebut kaidah fikih. Dengan kata lain apabila kaidah digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya, itu adalah kaidah ushul. Sedangkan apabila kaidah tadi digunakan untuk menerapkan hukum (tathbiq al-ahkam) itu adalah kaidah fikih.
Ketiga, dalam sistem hukum Islam, meskipun ada perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fikih, para alama selalu mempertimbangkan keduanya agar meraih maslahat dan menolak mafsadah, serta hukum yang dihasilkan benar, baik, dan indah.

Daftar Literasi
------------------

1. Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh: Sejarah dan Kaidah Asasi, cet. 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 19
2. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, cet. 5 (Beirut; Dar al-Qalam, 2000), h. 68-69.
3. Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (tt: Dar al-Fikr al-Arabi, tt), h. 11
4. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, h. 62
5. Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhiyah, h. 439-459 dan Jaih Mubarak, Kaidah Fiqh, h. 21
6. H.A. Dzajuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, cet. 8 (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), h.24-25.

0 komentar:

Post a Comment