NASAKH DALAM HUKUM ISLAM
1.
Biography
Imam Abu Al-Husein Al-Bashri
Abu
al-Husein al-Bashri merupakan salah seorang tokoh Mu’tazilah. Nama lengkapnya Abu
al-Husein Muhammad bin Ali al-Thayyib, tetapi sering dipanggil Abu al-Husein.
Beliau lahir di Basrah, kemudian menetap di baghdad. Ia dikenal sebagai orang
yang ahli dalam ushul fikih dan ilmu kalam, serta pembela Mu’tazilah yang
gigih. Beliau wafat di Baghdad pada Tahun 436 H. Jasadnya disembahyangi oleh
antara lain Qadhi Abu Abdillah al-Shaimari, dan kemudian dikubur di Pemakaman
Syuniziyah
Karya
ilmiahnya cukup banyak dan menjadi rujukan, karena isinya yang padat dan
diungkapkan dalam bahasa yang indah. Kitab Al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh
adalah karya besarnya dalam bidang Ushul Fikih. Fakhruddin al-Razi, dalam
al-Mahshul, banyak mengutip pendapat-pendapatnya. Demikian juga Imam al-Ghazali
dalam Al-Mustashfa. Karya lainnya adalah Tashaffuh al-Adillah (terdiri dari 2
jilid besar), Gharz al-Adillah, Syarh Ushul al-Khamsah, dan Kitab fi al-Imamah
wa Ushuluddin.[1]
Abul
Husain mendapat binaan intelektual dari Hilal ibn Muhammad, seorang putera dari
saudara laki-laki pemikir legendaries Bashrah yang masyhur dengan julukan
"Hilal al-Ra'yi", dan ia juga sempat berguru kepada Abdullah ibn
'Adiy al-Jurjani. Kematangan intelektual Abul Husain tertata di bawah bimbingan
al-Qadhi Abdul Jabbar al-Hamdani yang merupakan tokoh pertama Mu’tazila yang
menulis kitab Ushul fikih yang kemudian direvisi oleh muridnya sendiri yakni,
Abu al-Husein al-Bashri dalam kitabnya al-Mu’tamad fi Ushul Fiqh.
Menurut
Abu al-Husein, dalam pembukaan bukunya Beliau merasa terpanggil untuk menulis
kitab Ushul Fiqih ini setelah melihat dan meneliti tentang pembahasan Kitab al-‘Ahd
yang menurutnya tidak layak dikategorikan sebagai kitab Ushul fikih jika
dilihat dari segi kecermatan bahasanya, dan susunan bab-babya. Bahkan di dalam
buku tersebut memuat hal-hal yang berkaitan tentang materi ketauhidan dan
keadilan yang menurutnya tidak masuk dalam kajian ushul fikih[2]
2.
Corak
Pemikiran dan Metodologi Istimbat Hukum Abu al-Husein al-Bashri
Buah
karya Abul Husain yang bertajuk "al-Mu'tamad fi Ushul Fikih"
merupakan buah karya yang menyuguhkan teori panduan dalam mengeluarkan
hukum-hukum aplikatif atau yang disebut "fikih". Embrio teori ini
diambil dari seorang hakim besar yang bermadzhab Mu'tazilah pada kekaisaran dinasti
Abbasyiyah; al-Qadhi Abdul Jabbar al-Hamdani dalam kitabnya yang berjudul
"al-'Ahd’.
Karya
monumental ini pada mulanya hilang bersamaan dengan lenyapnya jutaan manuskrip
umat Islam pasca Perang Salib. Upaya pencarian manuskrip dan telaah oleh tiga
orang akademisi Timur Tengah, yaitu; Muhammad Hamidullah, Muhammad Bakar dan
Hasan Hanafi, program dari Institut Akademi Filologi Prancis di Damaskus
akhirnya berhasil menerbitkan kitab ini di pasaran untuk pertama kalinya pada
tahun 1964. Pada cetakan pertama Muhammad Hamidullah memberikan catatan pinggir
berbahasa Prancis yang juga mengisahkan usaha penelitian mereka. Yaitu
tercantum pada bagian akhir jilid kedua beserta bibliografi ayat-ayat al-Quran,
riwayat-riwayat hadis, nama-nama tokoh dan wilayah.[3]
Adapun
cara penyusunan ilmu ushul fikih jika ditinjau berdasarkan tokoh terbagi
menjadi tiga, yakni: a. Metode Syafi’iyyah, b. Metode Hanfiyyah atau Metode
Fuqaha, dan yang terkahir, c. Metode Muta’akhirin. Adapun beberapa Imam yang
mengikuti metode penulisan ilmu ushul fikih dengan Metode Syafi’iyyah ini
antara lain Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani Al-Maliki,
Al-Qadhi Abdul Jabbar Al-Hamdani Al-Mu’tazili, dan Abu Al-Husein Muhammad bin
Ali Al-Thayyib Al-Mu’tazili yang mensyarah karya-karya Abdul Jabbar dalam
kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Mu’tamad fi Uahul fiqh.[4]
Jika
dicermati, secara garis besar karakteristik dalam penulisan kitab Al-Mu'tamad
tersebut dapat kita rangkum pada poin-poin berikut ini:[5]
a. Mengikutkan metode kritik ilmiah pada tiap alur pembahasan yang
ada.
b.
Ada upaya untuk
selalu mengkaitkan setiap topik dengan metode madzhabnya, terutama dominasi
rasio yang bertolak dari masalah hasan (baik) dan qabih (buruk), serta terma kemaslahatan.
c.
Banyak
menyuguhkan ide-ide dan pernyataan-pernyataan yang cukup logis, terutama dengan
menukil pernyataan-pernyataan al-Qadli Abdul Jabbar.
d.
Seringkali
menuliskan topik-topiknya dengan redaksi tanya-jawab, sebagaimana gaya redaksi
yang sering dipergunakan oleh para teolog.
e.
Selalu
mengikut-sertakan dalil-dalil wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) pada setiap
pernyataan yang ada, baik yang pro maupun yang kontra secara seimbang, dengan
kemandirian ijtihadnya walaupun seringkali bertentangan dengan paham Mu'tazilah
sendiri.
Dari
buah karya Abul Husain ini banyak memberi pengaruh besar terhadap perkembangan
dunia pemikiran Islam, baik di kalangan ahli fikih maupun para teolog. Bahkan
beberapa ulama Sunni mengikuti jejak intelektual Abul Husain dalam menyuguhkan
teori-teori ushul fikihnya, baik pada segi redaksionis maupun tematis. Di ataranya;
seorang ushuliy dari madzhab Hambali yang bernama Abul Khuthab al-Kaludzani
(514 H). Seorang ahli ushul Hanafi ini banyak menerapkan metode yang diusung
Abul Husain terutama masalah-masalah yang terkait dengan teori semantik, dan
bukan pada bidang teologi.[6]
Sedangkan dari madzhab Syafi'i, kehadiran Fakhruddin al-Razi dengan kitab
"al-Mahshul" merupakan hasil kolaborasi dua kitab ushul,
yaitu; kitab al-Mustashfa karya Abu Hamid al-Ghazali (505 H), dan kitab al-Mu'tamad
karya Abul Husain al-Bashri ini.[7]
3.
Nasakh
(nasikh-mansukh)
a.
Pengertian
Nasakh (nasikh-mansukh)
Kata
nasakh berasal dari bahasa Arab dengan akar kata نسخ – ينسخ yang bentuk isim failnya ناسخ(nasikh) dan isim maf’ulnya منسوخ
(mansukh), mempunyai arti yang beragam, antara lain : menghilangkan,
menghapuskan, membatalkan,[8]
yang dalam bahasa Arab-nya dikenal dengan istilah ازالة.
Di samping itu nasakh juga
berarti memindah dari satu wadah ke wadah yang lain, atau juga berarti penukilan
dan penyalinan,[9]
yang dalam bahasa Arab-nya disebut dengan istilah النقل.
Adapun contoh penggunaan kata nasakh yang bermakna al-izalah
yakni:
نسخت الشمس الظل
او نسخت الريح اثارهم[10]
Artinya:
Matahari menghapus kegelapan atau angin menghapus jejak mereka
Sedangkan
contoh penggunaan kata nasakh yang bermakna al-naql yakni:
نسحت الكتاب, اى
نقلت ما فيه الى كتاب اخر[11]
Artinya:
Saya telah menyalin sebuah buku, yang bermakna saya telah
menyalin/memindahkan isinya ke buku yang lain
Jadi
nasikh adalah sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan
mengubah, sedang mansukh adalah sesuatu yang dibatalkan, dihapus,
dipindahkan, dirubah dan lain sebagainya.[12]
Dari
beberapa definisi tentang nasakh yang telah dipaparkan, nampak bahwa nasakh
memiliki makna yang berbeda-beda, bisa berarti membatalkan, menghilangkan,
menghapus, menggalihkan dan sebagainya, yang di hapus disebut mansukh
dan yang menghapus disebut nasikh, namun dari sekian banyak definisi
itu, menurut Rosihon Anwar, pengertian nasikh yang mendekati kebenaran
adalah nasakh dalam pengertian al-Izalah, yakni: (berarti
mengangkat sesuatu dan menetapkan selainnya pada tempatnya).[13]
Sebagaimana
dalam pengertian etimologi, nasakh dalam terminologi pun memiliki
pengertian yang berbeda-beda, sebagaimana pendapat yang mengatakan bahwa nasakh
adalah mengangkat atau menghapus hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) yang
lain.[14]Sementara
al-Zarqoni mengatakan bahwa definisi nasakh menurut istilah adalah
mengangkat hukum syar’i dengan dalil syara’ yang lain, ini dapat dipandang
sebagai definisi yang cermat.[15]
Dan menurut Abu Zahroh mendifinisikan nasakh dengan penghapusan hukum syar’i
oleh syar’i (Allah) dengan dalil yang datang kemudian.[16]
Sejalan
dengan bahasa Arab yang mengartikan kata “nasakh” sama dengan
“meniadakan” dan “mencabut” beberapa ketentuan hukum syari’at yang oleh asy-
Syāri’ (Allah dan Rasul-Nya) dipandang tidak perlu dipertahankan, dicabut
dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas serta berdasarkan pada kenyataan yang
dapat dimengerti, untuk kepentingan suatu hikmah dan hanya diketahui oleh
orang-orang memilki ilmu sangat dalam.[17]
Ada juga yang berpendapat bahwa nasikh adalah mengangkat hukum syara’
dengan dalil syara’ yang datang kemudian dengan menghilangkan amal pada
hukum-hukumnya atau menetapkannya.[18]
Dalam
terminologi hukum Islam (fiqih) hukum yang dibatalkan namanya mansukh,
sedangkan hukum yang datang kemudian (menghapus) disebut nasikh. Perlu
diketahui di sini bahwa yang dibatalkan adalah hukum syara’ bukan hukum akal
dan pembatalan itu karena adanya tuntutan kemaslahatan.[19]
Bahkan
ada pendapat yang kontra di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu
ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh
apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti
misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah disaat
muslim lemah, itu dianggap telah dinasakh oleh perintah atau izin
berperang pada periode Madinah. Sebagaimana ada yang beranggapan bahwa
ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam
merupakan bagian dari pengertian nasakh.[20]
Pengertian
yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (mutaakhirin).
Menurut mereka nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang
kemudian, untuk membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah
yang ditetapkan terakhir.[21]
Dari
pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kata mansukh adalah
sesuatu yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, diubah dan lain sebagainya, yang
di hapus disebut mansukh dan yang menghapus disebut nasikh. Dan nasakh
berbeda dengan takhshis, karena nasakh menghapus hukum dari
seluruh satuan yang tercakup dari dalil mansukh dan hanya terjadi dengan
dalil yang datang kemudian, sedangkan takhshis merupakan hukum dari
sebagian satuan yang tercakup dalam dalil umum dan takhshis juga dapat
terjadi baik dengan dalil kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.[22]
b.
Dalil-dalil
Nasakh (nasikh-masnsukh)
Argumentasi
keberadaan nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an Banyak dalil yang
diketengahkan oleh kelompok yang berpendapat adanya nasakh antara ayat
al-Qur’an, baik dalil yang bersifat ‘aqli maupun naqli, di
antaranya sebagai berikut:
Dalil naqli.
Kelompok
yang berpendapat bahwa ada nasakh dalam al-Qur’an selalu mengutip Q.S.
al-Baqarah ayat 106 sebagai argumen utama:
ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن الله على
كل شيء قدير
Terjemahnya:
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan
manusia lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang
sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu[23]
Asbab
nuzul al-Baqarah 106, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas,
dia berkata, “terkadang turun wahyu kepada Nabi saw pada malam hari namun siang
tiba beliau lupa. Maka Allah menurunkan ayat ini”.[24]
Menurut
ahli tafsir terkemuka dari kalangan yang pro terhadap pendapat adanya nasakh
dalam al-Qur’an, yaitu Ibnu Kathsir, kata nasakh yang termaktub dalam
Q.S. al-Baqarah ayat 106 bermakna tabdil (mengubah) dan (menghapus).
Dalam
konteks ini, yang diubah adalah ketentuan hukum yang terkandung dalam ayat.
Sehingga yang semula boleh bisa menjadi tidak boleh, dan yang tidak boleh bisa
menjadi boleh. Perubahan hukum ini menurut Ibnu Katsir terjadi dalam al-Qur’an jika
ada ayat yang ketentuan hukumnya, diubah dengan ayat lain yang datang
setelahnya.[25]
Selain
itu, ayat yang selalu yang menjadi argumentasi pihak yang pro terhadap nasikh
mansukh dalam al-Qur’an adalah Q.S an-Nahl ayat 101:
....وإذا بدلنا آية مكان آية والله أعلم بما ينزل...
Terjemahnya:
Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain
sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya....[26]
Al-Qurtubi
dalam tafsirnya menyatakan bahwa makna tabdil (mengganti) di dalam ayat
adalah penggantian hukum. Selain itu beliau juga mengutip pendapat dari Mujahid
yang menyatakan bahwa Allah mengangkat keberadaan suatu ayat tertentu, lalu
mengisi tempatnya dengan ayat yang lain.[27]
Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan, ayat ini adalah dalil yang menyatakan
terjadinya nasikh mansukh dalam al-Qur’an. Bahkan, beliau
mengklaim bahwa pendapat yang terkuat dan merupakan pendapat mayoritas ulama
dalam masalah perdebatan ada tidaknya nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an.[28]
Dalil ‘aqli
Nasakh itu
secara rasional dapat dibenarkan oleh akal manusia. Nasakh itu tidak
terlarang, akal tidak menganggap mustahil adanya nasakh. Bisa terjadi
menurut akal sebab, nasakh itu didasarkan dari kebijaksanaan Allah swt
yang mengetahui kemaslahatan hambanya sehingga Allah menyuruh manusia melakukan
sesuatu pada waktu tertentu, kemudian melarang melakukan perbuatan tersebut di
waktu lain karena ada mudharatnya.
Contohnya
dalam al-Qur’an sendiri, adalah pengharaman minuman keras yang ayatnya turun secara
bertahap. Pada mulanya, di Q.S. An-Nahl ayat 67 Allah dengan halus menyatakan
bahwa dari buah kurma dan anggur, bisa dibuat berbagai macam minuman; baik yang
sehat maupun yang memabukkan:
ومن ثمرت النخيل
والاعنب تتخذون منه سكرا ورزقا حسنا أن الله فى ذلك لاية لقوم يعقلون
Terjemahnya:
Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan
dan rezki yang baik.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.[29]
Dan
dari buah kurma dan anggur terdapat jenis buah-buahan (yang kalian dapat
membuat minuman yang memabukan dari padanya) dalam artian khamr yang dapat
memabukan dan kata maskaran pada ayat tersebut memakai kata masdar yaitu
sakaran. Hal tersebut diturunkan sebelum adanya pengharaman khamr. Ayat
tersebut menunjukan antara minuman yang memabukan baik yang dibuat dari kurma
maupun anggur, demikian juga hukum seluruh minuman yang dibuat dari biji
gandum, jagung dan madu sebagaimana sunah nabawi datang dengan menjelaskan hal
tersebut. Ibn Abbas berpendapat tentang kata “sakaran wa rizqan hasanan”
pada ayat di atas, bahwa Al-Sukr adalah apa yang diharamkan dari kedua
buah tersebut. Rizqi yang baik adalah yang dihalalkan dari kedua buah tersebut.[30]
Al-Qurtubi
dalam tafsirnya menuliskan bahwa di antara kebaikan Allah kepada umat Islam,
Allah tidak menjadikan syariat Islam turun secara sekaligus, khawatir akan
sangat memberatkan, akan tetapi Allah menurunkan hukum secara bertahap. Dan di
antara hukum yang diterapkan secara bertahap adalah perihal hukum pelarangan
minuman keras.[31]
Pendapat
al-Qurtubi di atas, tentu sangat selaras dengan pernyataan Abdul Jalal bahwa nasakh
dalam al-Qur’an itu didasarkan kebijaksanaan Allah dan ilmu-Nya yang Maha
Mengetahui kemaslahatan hambanya di setiap perubahan waktu, Allah membolehkan
manusia melakukan sesuatu pada waktu tertentu, kemudian melarang melakukan
perbuatan tersebut di waktu lain. Karena itu, secara akal rasional, penggantian
hukum ayat bukanlah sesuatu yang mustahil dan terjadi di dalam al-Qur’an.
c.
Syarat-syarat
Nasakh
Berdasarkan pengertian
tersebut bisa disimpulkan bahwa terjadinya nasakh harus memenuhi
beberapa syarat, menurut Abu Husain al-Bashri ada dua syaratnya, yakni: 1)
Adanya al-Nasikh (yang menghapus) dan al-mansukh (yang dihapus),
2) Kedua-duanya adalah hukum syar’i, kemudian Beliau menambahkan bahwa dari
persyaratan tersebut al-Nasikh harus terpisah dengan al-mansukh
baik dalam kalimat maupun dalam perincian.[32]
Sedangkan menurut Manna’ Khalil Qaththan syarat nasakh terbagi menjadi
tiga, yakni:
- Hukum yang di-nasakh
harus bersifat hukum syar’i
- Dalil yang
berfungsi menghapus hukum berupa khitab syar’i (wahyu ilahi) yang muncul lebih akhir dari pada khitab yang di-nasakh hukumnya.
- Khitab yang
dihapus hukumnya tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Apabila dibatasi waktu
maka hukum tersebut terhapus dengan habis masa waktunya dan tidak dianggap
sebagai nasakh.[33]
Sebagian
ulama ada yang memperluas syarat-syarat terjadinya nasakh menjadi
beberapa poin yaitu:
- Hukum yang
terkandung pada nasikh bertentangan dengan hukum pada mansukh.
- Yang mansukh
harus lebih awal dari Nasikh.
- Hukum yang di-nasakh
mesti hal-hal yang menyangkut dengan perintah, larangan, dan hukuman.
- Hukum yang di-nasakh
tidak terbatas waktu tertentu, mesti berlaku sepanjang waktu.
- Hukum yang
terkandung dalam mansukh telah ditetapkan sebelum munculnya nasikh.
- Status nash
nasikh mesti sama dengan nash mansukh. Maka nash yang zhanni
tidak bisa menasakh yang qath’i.[34]Tentu
tidak sah pula dalil yang besifat ahad untuk menasakh dalil yang
mutawatir.
Dari
situ diketahui bahwa hanya terjadi pada Amr (perintah) dan Nahyi
(larangan), baik secara shorih (jelas) dalam perintah ataupun dengan lafadz
khabar (berita) yang mengandung makna perintah dan larangan dengan syarat tidak
berhubungan dengan urusan akidah yang merujuk kepada dzat dan sifat Allah Swt,
kitab-kitab, para rasul, hari akhir, atau kepada etika berakhlak dan
prinsip-prinsip dasar ibadah dan mu’amalah. Karena keseluruhan syari’at tidak
bisa terlepas dari prinsip dasar tersebut dan itu merupakan hal yang sudah
disepakati (muttafaq ‘alaih).[35]
Menurut
al-Zarqani, nasakh hanya terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan
dengan furu’ ibadah dan muamalat menurut orang-orang yang mengakui nasakh.
Adapun yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar akhlak dan etika, pokok-pokok
ibadah dan muamalat, dan berita-berita mahdhah, maka menurut jumhur ulama tidak
terjadi nasakh padanya”.[36]
d.
Macam-macam
Nasakh (nasikh-mansukh)
Macam-macam
nasikh mansukh berdasarkan penasakhan hukum dan tilawah-nya
yaitu:
Nasakh hukum tanpa tilawah
Nasakh
hukum tanpa tilawah adalah penghapusan hukum sedangkan tilawah-nya
masih tetap sebagaimana Allah telah menasakh hukum tanpa menasakh
tilawah QS al-Baqarah/2 ayat 240.[37]
....متاعا الى الحول غير اخراج....
Terjemahnya:
.....(yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh
pindah (rumahnya)....
Dengan QS al-Baqarah/2 ayat 234.
....يتربصن بانفسهن اربعة اشهر وعشرا....
Terjemahnya:
....menangguhkan dirinya
selama empat bulan sepuluh hari....
Yang
berarti hukum iddah yang sebelumnya harus dijalani selama satu tahun sudah dinasakh
dengan ketentuan baru yaitu selama empat bulan sepuluh hari, akan tetapi tilawah
atau bacaannya masih ada di dalam al-Qur’an. Adapun Nasakh macam ini
sedikit ditemukan dalam al-Qur’an, namun ada juga orang yang berlebihan dalam
menetapkan nasakh seperti ini.
Nasakh
macam ini setidaknya mempunyai dua hikmah:
a)
Karena
al-Qur’an firman Allah, dan membacanya mendapat pahala, maka ditetapkan
tilawahnya.
b)
Agar mengingat
tentang ringan atau beratnya hukum yang dihapus.[38]
Nasakh tilawah tanpa hukum
Nasakh
tilawah tanpa hukum yaitu penghapusan tilawah atau bacaannya
sedangkan hukumnya masih tetap. Seperti ayat rajam yang mula-mulanya ada
bacaannya kemudian dinyatakan telah dinasakh tilawahnya sedangkan
hukumnya tetap berlaku. Ayat rajam itu berbunyi :[39]
والشيخ والشيخة اذا زنيا فرجموها
البتة نكالا من الله
Artinya
:
Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah
keduanya itu dengan pasti. Ini termasuk ke dalam surat al Baqarah.
Diriwayatkan
dari ‘Aisyah bahwa: ketika Allah menurunkan ayat
عَشْرُ رَضَعَاتٍ يُحَرِّمْنَ
Artinya:
Sepuluh kali susuan yang diyakini, menjadikan adanya hubungan
mahram
Aisyah
berkata: “Pada mulanya ayat ini dicantumkan di dalam mushaf al-Qur’an dan
hukumnya juga berlaku. Kemudian ayat ini dihapus, baik tulisan maupun
hukumnya”.
Ayat
tersebut di-nasakh oleh ayat lain yang berbunyi:
خَمْسُ رَضَعَاتٍ يُحَرِّمْنَ
Artinya:
Lima kali susuan yang di yakini, menjadikan adanya hubungan mahram
Sebagian
ulama ada yang tidak mengakui nasakh semacam ini, karena khabar-nya
bersifat ahad. Menurut mereka khabar ahad yang diriwayatkan periwayat
yang tsiqqah tidak dapat diterima dalam hal nasakh. Namun ada
pula yang memudahkan persoalan nasakh, sehingga merasa cukup dengan
pendapat mufassir atau mujtahid. Adapun yang benar adalah kebalikan dari kedua
pendapat itu.[41]
Nasakh
terbagi kepada tiga bagian yang lain yaitu:
Nasakh al-Qur’an
dangan al-Qur’an dan Nasakh al-Sunnah dengan al-Sunnah
a)
Nasakh
al-Qur’an dengan al-Qur’an
Para
ulama yang mengakui adanya nasakh, telah sepakat adanya nasakh
al-Qur’an dengan al-Qur’an, dan itu-pun telah terjadi menurut mereka. Salah
satu contohnya ayat ‘iddah satu tahun di-nasakh dengan ayat ‘iddah empat
bulan sepuluh hari.[42]
Dalam beberapa contoh yang lain Allah swt. Menasakh
QS al-Mujadilah/58 ayat 12.
ياايهاللذين
امنوا اذا نجيتم الرسول فقدمو بين يدى نجواكم صدقة, ذلك خير لكم و اطهر, فان لم تجدوا فان الله غفور الرحيم
Terjemahnhya:
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika
kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dengan QS /58 ayat 13:
ءاشفقتم
ان تقدموا بين يدى نجوىكم صدقت, فان لم تفعلوا وتاب الله عليكم فاقيموا الصلاة
واتوا الزكوة واطيعوا الله ورسوله, والله خبير بما تعملون
Terjemahnya:
Apakah
kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberi sedekah sebelum mengadakan
pembiacaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
menerima taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Allah juga telah menasakh QS al-Baqarah
ayat 240 dengan QS al-Baqarah ayat 234 tentang masa iddah dari setahun menjadi
empat bulan sepuluh hari. Sebagaimana Allah juga telah menasakh QS al-Anfal
ayat 65.
يايها
النبى حرض المؤمنين على القتال ان يكون منكم عشرين صبرون يغلبوا مائتين وان يكن
منكم مائة يغلبوا الفا من الذين كفروا بانهم فوم لايفقهون
Terjemahnya:
Hai
Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh
orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang
kafir itu kaum yang tidak mengerti
dengan QS al-Anfal ayat 66.
الئن
خفف الله عنكم وعلم ان فيكم ضعفا فان يكن منكم
مائة صابرة يغلبوا مائتين, وان يكن منكم الف يغلبوا الفين باذن الله, والله
مع الصابرين
Terjemahnya:
Sekarang
Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada
kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu
orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang,
dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar
Tentang satu orang berbanding sepuluh menjadi satu
orang berbanding dua orang saja dengan pertimbangan kondisi ummat Islam yang
kala itu sedang lemah.
b)
Nasakh sunnah dengan sunnah
Dalam Nasakh al-Sunnah bi al-Sunnah ini terbagi pada empat
macam, yaitu:[43]
·
Nasakh
sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir,
·
Nasakh sunnah
ahad dengan sunnah ahad,
·
Nasakh sunnah
ahad dengan sunnah mutawatir, dan
·
Nasakh
sunnah mutawatir dengan sunnah ahad.
Tiga bentuk nasakh yang pertama di atas dihukumi boleh.
Adapun bentuk yang keempat para ulama berbeda pendapat seperti dalam
permasalahan nasakh al-Quran dengan sunnah ahad, dimana Jumhur ulama
tidak memperbolehkannya. Sedangkan Abu al-Husein al-Bashri memperbolehkannya
berdasarkan akal, Beliau berkata:
Adapun contoh dalam nasakh ini seperti yang diriwayatkan dari Nabi bahwa Ia dahulu melarang orang-orang untuk
ziarah kubur, kemudian Ia berkata:[45]
كنت
نهيتكم عن زيارة القبور الا فزوروها
Artinya:
Dulu Aku
(Nabi) melarang kalian untuk berziarah kubur sekarang ber-ziarah kuburlah kamu.
Nasakh al-Qur’an
dengan Sunah
Sunnah
terbagi menjadi dua, mutawatir dan ahad. Adapun yang mutawatir,
Imam Syafi’i dan golongan yang lain menolak adanya nasakh al-Qur’an
berdasarkan akal. Sedangkan para mutakallimin dan pengikut Abu Hanifah
membolehkannya berdasarkan logika akal dan mereka juga saling berbeda
pendapat. Ada yang mengatakan hal itu telah terjadi dan sebagian yang lain
mengatakan belum terjadi, tetapi tidak mengarah kepada pelarangan.[46]
Adapun dalam hal nasakh al-Qur’an dengan sunnah ahad Jumhur ulama
berpendapat tidak boleh, karena al-Qur’an adalah nash yang mutawatir,
menunjukkan keyakinan tanpa ada praduga atau dugaan padanya, sedangkan sunnah
ahad adalah nash yang bersifat zhanni, karena ada kemungkinan salah dan
jumlah perawinya di bawah hadis mutawatir. Dan tidak
sah pula menghapus suatu yang sudah diketahui dengan suatu yang sifatnya dugaan
atau diduga.[47]
Adapun
mereka yang membolehkan nasakh
al-Qur’an dengan sunnah mutawatir berhujjah menggunakan firman Allah dalam QS.
Al-Najm 3-4.
وما ينطق عن الهوى. ان هو الا وحي
يوحى
Terjemahnya:
Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.[48]
Adapun
contoh dalam nasakh ini ialah sebagai berikut:
QS
aI-Baqarah ayat 180.
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ
خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا
عَلَى الْمُتَّقِينَ
Terjemahnya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan
(tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta banyak, berwasiat untuk ibu,
bapak, dan kerabatnya secara baik, (ini adalah kewajiban orang yang bertaqwa.”
Ayat
tersebut menjadi mansukh oleh hadis Nabi saw.
إن الله أعطى كل ذي حق حقه فلا وصية لوارث
Artinya:
Sesungguhnya
Allah telah memberikan kepada setiap orang yang memiliki hak akan haknya, maka
tidak ada wasiat bagi seorag waris.” (HR. Abu Dawud)
Nasakh Sunah
dengan al-Qur’an
Jumhur
ulama membolehkan nasakh seperti ini. Adapun dalil tentang penghapusan
sunnah oleh al-Qur’an adalah ketika diwajibkannya menghadap ke Bait al-Maqdis
di awal permulaan Islam berdasarkan sunnah, karena Nabi saw. mengikuti syari’at
yang sudah ada sebelumnya. Kemudian dinasakh dengan firman Allah dalam
QS al-Baqarah ayat 144 dan 150 menjadi ke arah Masjid al-Haram (Ka’bah),[49] sedangkan
Imam Syafi’i menolak hal tersebut[50],
karna menurutnya antara al-Qur’an dan sunnah saling mendukung.[51]
Mereka yang menolak nasakh seperti ini berhujjah dengan QS al-Nahl ayat
44.
.....وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم ولعلهم يتفكرون
Terjemahnya:
.....dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.
Yang
menjadi petunjuk bahwa Nabi tidak berkata-kata kecuali dengan bayan
(menerangkan al-Qur’an). Dan jika Allah menghapus perkataan Nabi-Nya, untuk
menolak bahwa (perkataan itu) berasal dari-Nya akan menunjukkan bahwa
sesungguhnya Allah tidak ridha terhadap apa yang menjadi sunnah nabi-Nya.[52]
Adapun
nasakh yang dikaitkan dengan ijma’ dan qiyas. Dalam hal ini Manna’
Khalil al-Qaththan menjelaskan bahwa nasakh ijma’ dengan ijma’ dan qiyas
dengan qiyas atau menasakh dengan keduanya, menurut pendapat yang sahih tidak
dibolehkannya.[53]
Adapun jika terjadi kesepakatan di dalamnya, maka dibolehkan akan tetapi tidak
dikatakan sebagai nasakh.[54]
Selanjutanya
apabila dilihat dari segi keluasan jangkauan nasakh terhadap hukum yang
dikandung dalam suatu ayat, maka nasakh terbagi pada dua macam, yakni: Nasakh
kulli, yaitu nasakh yang mencakup seluruh hukum yang terkandung
dalam suatu ayat, misalkan; penghapusan iddah wafat selama satu tahun yang
diganti 4 bulan 10 hari. Dan nasakh juz’i, yaitu menghapus hukum
umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi
individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlak dengan yang
bersifat muqayyad.[55]
Di sisi lain ada juga yang membagi Nasakh berdasarkan adanya
badal (pengganti) dan ghairu badal (tidak disertai dengan
pengganti). Nasakh dengan pengganti terkadang penggantinya lebih ringan,
sebanding dan terkadang lebih berat.[56]
Al-Nasakh ilaa
ghairi badal yaitu nasakh tanpa pengganti. Contohnya seperti penghapusan
keharusan bersedekah sebelum menghadap Rasulullah sebagaimana yang terdapat
dalam QS al Mujadilah ayat 13 yang menasakh QS Al Mujadalah ayat 12.
Al-Nasakh ila badal al-akhaff, yaitu nasakh
dengan pengganti yang lebih ringan. Contohnya seperti pengurangan masa iddah
seorang wanita yang awalnya satu tahun menjadi empat bulan sepuluh hari yang
terdapat dalam QS al Baqarah ayat 240 yang menasakh QS al Baqarah ayat 234.
Al-Nasakh ila
badal mumatsil, yaitu nasakh dengan pengganti yang sepadan. Contohnya
seperti menasakh menghadap ke Bait al-Maqdis dengan menghadap Ka’abah
dalam QS al-Baqarah ayat 144.
.... فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ ۚ .....
Terjemahnya:
....Palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil Haram....
Al-Nasakh ila badalin atsqal, yaitu nasakh
dengan ganti yang lebih berat. Contohnya seperti QS al-Nisa ayat 15.
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا
عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي
الْبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ
سَبِيلًا
Terjemahnya
:
Dan (terhadap)
para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi
diantara kamu (yang menyaksikan). Kemudian apabila mereka telah member kesaksian,
maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui
ajalnya atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.
Dinasakh dengan QS al-Nur
ayat 2.
ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُوا۟ كُلَّ وَٰحِدٍ مِّنْهُمَا
مِا۟ئَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِينِ ٱللَّهِ إِن
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ
عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Terjemahnya:
Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman”.
Dalam
hal ini Ibnu Abbas berkata: “seperti itu hukumnya sampai diturunkan Allah surah
al-Nur, maka dinasakhlah hukum tersebut menjadi hukuman cambuk, atau
rajam. Begitupula diriwayatkan dari Ikrimah, Sa’id ibn Jubair, Hasan, ‘Atha’
al-Khurasani, Abi Salih, Qatadah, Zaid ibn Aslam, dan al-Dhahak: Sesungguhnya
hukum tersebut mansukh, dan itu termasuk dalam perkara muttafaqun
‘alaih.[57]
e.
Cara
Mengetahui Nasakh (nasikh-mansukh)
Berdasarkan
penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat dipahami bahwa untuk
mengetahui ada tidaknya ayat yang nasikh dan mansukh, maka yang
pertama kali dilakukan adalah dengan melacak ayat-ayat yang secara zahir nampak
kontradiktif satu sama lain. Jika sudah ditemukan, maka langkah selanjutnya
adalah meneliti ayat yang datang terlebih dahulu dan ayat yang datang
belakangan, dengan cara melihat redaksi yang mengindikasikan datang belakangan
atau terlebih dahulu, atau dengan adanya ijmak para ulama, atau dengan adanya
keterangan dari sabahat Nabi saw yang menjelaskan salah satu ayat turun
terlebih dahulu dan yang lain belakangan. Karena ayat yang datang belakangan
berfungsi sebagai nasikh atau penghapus ketentuan lama, dan ayat yang
datang dahulu biasanya ketentuan hukumnya dibatalkan oleh ayat yang datang
selanjutnya.
Untuk
mengetahui nasikh dan mansukh para ulama memberi pedoman dengan mengidentifikasi
beberapa cara berikut:
- Ada keterangan tegas
atau pentransimisian yang jelas dari Nabi saw. atau sahabat seperti dalam
redaksi hadis: (kuntu nahaitukum ‘an ziyaratil qubuur alaa fazuuruuhaa),
dan seperti ucapan Anas bin Malik dalam kisah Ashab Bi’r Ma’unah (nazala
fiihim qur’an qara’naahu hatta rufi’a).
- Konsensus (ijma’)
umat bahwa ayat ini nasikh dan ayat itu mansukh.
- Mengetahui mana
yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan histori. Histori ayat
dapat diketahui dari keterangan sahabat, yang bukan ijtihad sahabat itu
sendiri. Misalkan sahabat itu mengatakan: “Ayat ini turun pada tanggal, bulan
atau tahun sekian, sedangkan ayat ini turun pada tanggal, bulan atau tahun
sekian, jadi ayat ini lebih kemudian dari ayat itu”.[58]
[1]Ensiklopedia
Lengkap Ulama Ushul Fikih Sepanjang Masa Terj. K.H. Husein Muhammad, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2020), h. 233.
[2]Abu al-Husain
Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Tayyib al-Bashri al-Mu’tazila, al-Mu’tamad, (Damaskus:
t.p, 1964), h. 7.
[3]Abdussalam
Balaji, Tathawwur 'Ilm Ushul al-Fikih wa Tajadduduhu, (Dar al-Wafa’:
Mansuria, 2007), h. 154.
[4]Abdul Hayy
Abdul ‘Ai, Pengantar Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006),
h. 19-22.
[5]Abu al-Husein, al-Mu’tamad;
dan koreksi Syekh Khalil al-Mais, cet-3 (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyyah,
2005), h. H-l. dalam Fikih, Filsafat, dan Teologi: kajian terhadap Pemikiran
Abul Husain Al-Bashri Al-Mu’tazili (https://www.iaid.ac.id diakses pada
tanggal 7 April 2020)
[6]Abdussalam
Balaji, Tathawwur 'Ilm Ushul al-Fiqh wa Tajadduduhu, (Beirut: Dar ibn
Hazm, 2010), h. 96-97
[7]Jamaluddin
al-Asnawi, Nihayah al-Suul ma'a Syarah al-Badakhsyi, jilid 1, h. 8-9
[8]Louis
Ma’luf, Kamus al-Munjid (Bairut: Darul Masyrik, 2008), h. 805.
[9]M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1994), h. 143.
[10]Abu al-Husein
al-Bashri, al-Mu’tamad, 394
[11]Abu al-Husein
al-Bashri, al-Mu’tamad, 394
[12]M.
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 144.
[13]Rosihon Anwar, Ulum
al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 164-165.
[14]Manna’
Khalil al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Singapura: Haramain,
t.t.), h. 232.
[15]Muhammad
Abudul Adzim al-Zarqoni, Manahil al-‘Irfan fi Ulumil Qur’an (Beirut: Dar
al-Fikr, Tp.t), h. 151.
[16]Muhammad
Abu Zahroh, Ushul Fiqh Beirut: Dar al-Fikr, 1958), h. 60.
[17]Subhi
Shalih, Mabahis fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-„Ilm, 1988), h. 261.
[18]Abd Mun’im
an-Namr, Ulum al-Qur’an al-Karim ( Beirut: Dar al-Kitab, 1983), h. 183.
[19]Mushthafa
Zaid, al-Naskh fi al-Qur’an al-Karim, Juz I (Beirut, Dar al-Fikr, 1991),
h. 67.
[20]Abdul
‘Azim al-Zarqani, Manāhil al-‘Irfān fi al-‘Ulūm al-Qur’an, jilid II
(Mesir: Al- Halabiy, 1980), h. 254.
[21]Ismail
Ibn Kathsīr, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid I (Singapura: Sulaiman
Mar’iy, t.t.), h. 151.
[22]Ahmad
Izzan, Ulumul al-Qur’an; Tela’ah Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Qur’an (Tp.t,
Humaniora, 2011), h. 186.
[23]Kementerian
Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h. 21.
[24]Jalāludin
As-Suyūthī, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, (Surabaya: Al-Haromain,
Tp.t), h. 77.
[25]Ismaīl
Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm (Beirut: Muassasah al-Rayyaān), h.
198-199.
[26]Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h.
378.
[27]Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anṣārī al-Quṭubī, al-Jami’ li Aḥkām al-Qur’ān
(Beirut: Dār al-Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabiyy, 2002),
[28]Mannā’ Khalil
al-Qaththan, Mabaḥith fi ‘Ulūm al-Qur’ān, h. 236.
[29]Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h.
372.
[30]Ismail
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim Jilid II, h. 245.
[31]Al-Qurṭubī, al-Jami’
li Ahkam al-Qur’an, h. 38.
[32]Abu al-Husein
al-Bashri, al-Mu’tamad fi Ushul Fiqh, h. 399.
[33]Manna’
Khalil al-Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum al Qur’an, h. 224.
[34]Kadar M.Yusuf, Studi
al Qur’an (Jakarta: Amzah, 2010), h.117; bandingkan dengan al-Zarqani, Manahili
al irfan fi ‘Ulum al Qur’an, h.180.
[35]Manna’
Khalil al Qaththan, Mabahis fi ‘Ulum al Qur’an, h. 225.
[36]al Zarqani, Manahili
al ‘Irfan fi ‘Ulum al Qur’an (al Qahirah, Daar al Kitab al
‘Araby),h. 211.
[37]Abu al-Husein
al-Bashri, al-Mu’tamad, h. 418
[38]Manna’ Khalilal
Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al
Qur’an, h. 231.
[39]Abu al-Husein
al-Bashri, al-Mu’tamad, h. 418. Dapat juga dilihat dalam Jalaluddin al
Sayyuthi, al Itqan fi ‘Ulum al Qur’an, Juz II (Beirut : Dār al-Fikr,
t.t), h. 25
[40]Abu al-Husein
al-Bashri, al-Mu’tamad, h. 418 dapat juga dilihat dalam Al-Sayyuthi, al-Itqan
fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut : Dār al-Fikr, t.t.h), h. 22.
[41]Jalāluddin
al-Suyūṭī, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, h.26.
[42]Manna’
Khalil al-Qaththan,Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, 228.
[43]Abdul Rahman
Malik, Abrogasi dalam al_Qquran: Studi Nasikh dan Mansukh dalam Jurnal Studi
Al-Qur’an; Membangun Tradisi Berfikir Qur’ani (Vol. 12, No. 1 , Tahun.
2016), h. 107.
[44]Abu al-Husein
al-Bashri, al-Mu’tamad fi Ushul Fqih, h. 422.
[45]Abu al-Husein
al-Bashri, al-Mu’tamad fi Ushul Fqih, h. 422.
[46]Abu al-Husein
al-Bashri, al-Mu’tamad fi Ushul Fqih, h. 424.
[47]Manna’ Khalil
al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, h. 237.
[48]Kementerian
Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, h. 765.
[49]Abu
al-Husein al-Bashri, al-Mu’tamad fi Ushul Fqih, h. 424. Baca juga Manna’
Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 229.
[50]Abu al-Husein
al-Bashri, al-Mu’tamad fi Ushul Fqih, h. 423.
[51]al-Zarqani,
Manahili al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 244.
[52]Abu al-Husein
al-Bashri, al-mu’tamad fi Ushul Fiqh, h. 423.
[53]Manna’ Khalil al-Qaththan,
Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, h. 229.
[54]Abu al-Husein
al-Bashri, al-mu’tamad fi Ushul Fiqh, h. 435.
[55]Kadar
M.Yusuf, Studi al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2010), h. 122-123.
[56]Manna’ Khalil al
Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al Qur’an, h. 232-234.
[57]Ismail ibn Umar
ibn Katsir, Tafsir ibn Katsir (Tafsir Qur’an al-‘Adzim), Juz 2 (Riyadh:
Dar Thayibah, 1999) h. 233
[58]Rosihon
Anwar, Pengantar ‘Ulum al Qur’an, 168-169. Bandingkan dengan al
Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al Qur’an,h. 226. Bandingkan dengan al
Zarqani, Manahili al Irfan fi ‘Ulum al Qur’an, 209. Abu Anwar, Ulum
Al Qur’an Sebuah Pengantar (Pekanbaru, tp., 2002), h. 53.
0 komentar:
Post a Comment