Wednesday, March 25, 2020

PERMOHONAN DAN GUGATAN PERKARA PERDATA


A. Permohonan Perkara Perdata 
Istilah ”permohonan" merupakan yang lazim digunakan, tetapi sering juga disebut ”gugatan voluntair”. Istilah ”voluntair” dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU N0. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (diubah dengan UU No. 14 Tahun 1985), yang menetapkan bahwa penyelesaian setiap perkara yang diajukan ke badan-badan peradilan mengandung pengertian penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair. Setelah UU No. 14 Tahun 1945 diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, perubahan tersebut tidak diikuti lagi dalam undang-undang berikutnya. Demikian juga ketika UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, telah dicabut dan diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak ada dalam pasal-pasalnya menyebut istilah tersebut.
Terhadap penyebutan istilah di dalam undang-undang, Yahya Harahap (2007:38) berpendapat bahwa ketentuan tersebut merupakan penegasan, di samping kewenangan badan peradilan dalam hal penyelesaian perkara yang bersifat partai (ada pihak penggugat dan tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian masalah atau perkara voluntair, yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat. Istilah ini pun dapat dilihat dalam ”Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan” hlm. 110 angka 15 yang menggunakan istilah permohonan. Namun pada angka 15 huruf (e) digunakan juga istilah voluntair. Berdasarkan permohonan yang diajukan itu, hakim akan memberi suatu penetapan.
Dalam kehidupan sehari-hari istilah ”perkara” diartikan sebagai suatu persoalan atau kasus yang dihadapi pihak-pihak yang meminta hakim untuk menyelesaikannya. Namun, tidak semua persoalan atau tuntutan hak dapat dikatagorikan sebagai perkara. Dalam pengertian perkara tersimpul dua keadaan, pertama, ada perselisihan (konflik); kedua, keadaan tidak ada perselisihan. Ada perselisihan, artinya ada sesuatu yang menjadi pokok perselisihan, yaitu ada yang dipertentangkan atau ada yang disengketakan. Perselisihan atau persengketaan itu tidak diselesaikan oleh pihak-pihak, melainkan penyelesaiannya memerlukan campur tangan pengadilan sebagai instansi yang oleh undang-undang diberi tugas dan wewenang untuk mengadili dan menyelesaikannya. Tidak ada perselisihan, mempunyai arti bahwa dalam perkara itu tidak ada yang dipersoalkan atau tidak ada yang disengketakan/diperkarakan, tetapi diperlukan suatu kepastian hukum yang harus dihormati dan diakui semua orang.
Permohonan atau gugatan voluntair adalah suatu tuntutan hak perdata atau suatu perkara perdata yang tidak mengandung sengketa, atau dengan kata lain, permohonan adalah persoalan perdata yang tidak mengandung sengketa.
Permohonan atau gugatan voluntair memiliki ciri khas, sebagai berikut.
  1. Permasalahan atau tuntutan hak perdata tidak ada sengketa (without disputes).
  2. Tindakan yang dilakukan adalah sepihak, tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan (one party only/ex-party).
  3. Sifat kepentingan dalam permohonan adalah kepentingan sepihak (on behalf of one party). Kepentingan si pemohon, yaitu suatu permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum, misalnya penetapan ahli waris, permintaan izin dari pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu, dll.
Menurut Yahya Harahap (2007: 229), permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada ketua PN. Menurutnya, ciri khas permohonan atau gugatan voluntair sebagai berikut.
  1. Masalah yang diajukan bersifat sepihak semata (for benefit one party only). Dalam ”permohonan” si pemohon benar-benar untuk menyelesaikan kepentingannya mengenai sesuatu permasalahan perdata yang memerlukan kapastian hukum, misalnya permintaan izin dari pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu, dan pada prinsipnya apa yang dipermasalahkan pemohon tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain. 
  2. Permasalahan yang dimohonkan penyelesaiannya kepada PN pada prinsipnya tanpa sengketa atau konflik dengan pihak lain (without disputes or dijferences with another party). 
  3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-party.
Landasan hukum kewenangan pengadilan menerima, memeriksa, dan menyelesaikan permohonan (gugatan voluntair) didasarkan pada Pasal 2 dan Penjelasannya pada ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 tahun 1985). UU tersebut sudah diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan selanjutnya diganti melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Meskipun tidak ada pengaturan dalam undang-undang ini, apa yang digariskan oleh Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dianggap masih relevan sebagai landasan gugatan voluntair (Yahya Harahap, 2005: 30). 
Ketentuan Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU N o. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan sebagai berikut.
  1. Pada prinsipnya penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicial power) melalui badan-badan peradilan bidang perdata tugas pokoknya adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
  2. Secara eksepsional, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 memberi kewenangan atau yuridiksi voluntair kepada pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984, yang mengatakan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970, tugas pokok pengadilan adalah memeriksa dan memutus perkara yang bersifat sengketa atau juridiction. Akan tetapi di samping itu, berwenang juga memeriksa perkara yang termasuk ruang lingkup yuridiksi voluntir yang disebut perkara permohonan. Namun, kewenangan itu terbatas pada hal-hal yang tegas ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, yang menegaskan tentang masalah yang bersangkutan dapat atau boleh diselesaikan secara voluntir melalui bentuk permohonan. Jadi, dari sudut esensi dan eksistensi permohonan, maka permohonan bersifat refleksi, yaitu hanya demi kepentingan pihaknya sendiri tanpa melibatkan pihak lain.
Pihak yang ada dalam perkara hanyalah pemohon sendiri. Permohonan yang diajukan oleh pemohon kepada pengadilan ditujukan untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tanpa menarik pihak lain sebagai lawan. Jadi, tujuan permohonan adalah menyelesaikan kepentingan pemohon sesuai dengan undang-undang.
PN mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan permohonan. Menurut ketentuan hukum bahwa yang memberi kewenangan tersebut dapat merujuk kepada ketentuan Pasal 2 dan penjelasannya ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai mana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada pokoknya, pengaturannya masih sangat terbatas atau sangat eksepsional dalam hal tentu saja dibatasi dengan persyaratan yang menegaskan boleh atau tidaknya diselesaikan melalui bentuk permohonan, yaitu hanya boleh terhadap masalah yang disebut dan ditentukan sendiri oleh undang-undang.
Fundamentum petendi (posita atau dasar permohonan/gugatan) permohonan didasarkan pada ketentuan pasal undang-undang yang menjadi alasan pemohon. Misalnya, Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur permohonan izin poligami. Dalil pemohon berdasarkan ketentuan yang digariskan pada Pasal 4 ayat (1) yang diikuti dengan pemenuhan syarat-syarat perkawinan yang disebut pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.
Sebagaimana sudah dikemukakan, tujuan pengajuan permohonan adalah untuk menyelesaikan kepentingan si pemohon sendiri tanpa melibatkan pihak lawan. Sehubungan dengan itu, petitum permohonan harus mengacu pada penyelesaian kepentingan si pemohonan secara sepihak. Oleh karena itu, petitum tidak boleh melanggar atau melampaui hak orang lain.
Dengan demikian, petitum permohonan harus benar-benar murni dan merupakan permintaan penyelesaian kepentingan pemohon, dengan acuan sebagai berikut.
  1. Isi petitum merupakan permintaan yang bersifat deklaratif, artinya bersifat pernyataan dari pemohon.
  2. Pemohon tidak dapat melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai pemohon.
  3. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat comdemnatoir (mengandung hukum).
  4. Petitum pemohon harus dirinci satu persatu tentang hal-hal yang dikehendaki pemohonan untuk ditetapkan pengadilan kepadanya.
  5. Petitum tidak boleh bersifat compositotur atau ex aequo et bono (Yahya Harahap, 2007: 37-38). 
Kata petitum berasal dari bahasa Latin yang berarti ’permohonan atau tuntutan’. Setiap gugatan dimulai dengan mengutarakan dalil-dalil dan diakhiri atau ditutup dengan mengajukan tuntutan. Petitum adalah mengenai apa saja yang dituntut oleh pihak yang merasa dan dirasa dirugikan haknya Oleh pihak lain untuk diputuskan Oleh hakim.
Dalam petmohonan tidak ada sengketa atau perselisihan. Oleh karena itu, permohonan yang hendak dimintakan Oleh pemohon kepada hakim sebagai keputusan hakim bukan merupakan keputusan hakim, melainkan dalam bentuk suatu penetapan hakim. Penetapan ini bertujuan untuk memberi kepastian hukum terhadap hal yang diminta, yang harus dihormati dan diakui semua orang. Misalnya pemohonan untuk ditetapkan sebagai ahli waris yang sah. anak angkat, pengangkatan kewarganegaraan akta lahir, konsinyasi, ganti nama, dan lain sebagainya. Di sini hakim hanya bertugas sebagai petugas administratif negara yang mengatur sesuatu hal. Tugas hakim tersebut termasuk judirictio voluntaria, yaitu suatu kewenangan memeriksa perkara yang tidak bersifat mengadili, tetapi bersifat administratif (Abdul Kadir Muhammad, 1990: 19). 
Putusan hakim yang berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan, yang dinamakan penetapan atau ketetapan (beschikking; degree). Diktum adalah pernyataan yang merupakan bagian dari suatu putusan sebagai jawaban dari hakim terhadap suatu tuntutan/gugatan. Diktum permohonan bersifat deklaratoir, artinya diktumnya hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta.
Atas suatu permohonan tertentu, PN harus menjatuhkan putusan, misalnya dalam hal permohonan pengangkatan WNA terhadap anak WNI atau seorang anak WNI terhadap WNA (SEMA No. 6 Tahun 1983) dan juga sehubungan dengan permohonan untuk menyatakan pailit. 
Bagaimana pengajuan permohonan dilakukan? Pada prinsipnya permohonan diajukan kepada ketua PN sesuai dengan tempat tinggal pemohon. Di dalam permohonan itu harus berisi tentang identitas pemohon, fundamentum petendi (posita), petitum, bermaterai, dan ditandatangani pemohon atau kuasanya.
Perlu juga diketahui bahwa tidak semua permohonan yang diajukan oleh pemohon dapat diajukan kepada PN. Sesuai dengan kewenangannya, PN hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undangan. Permohonan yang diajukan yang disebutkan dalam undang-undang, adalah sebagai berikut. 
  1. Permohonan pengangkatan wali bagi anak belum dcwasa. 
  2. Permohonan pengangkatan pengampuan bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun.
  3. Permohonan dispensasi nikah bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun, yang dapat diajukan kepada pcngadilan agama atau pengadilan negeri (Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974).
  4. Permohonan ijin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun, yang dapat diajukan kepada Pengadilan Agama atau pengadilan ncgeri (Pasal 6 ayat (5) UU No. 1 Tahun 1974). 
  5. Permohonan pembatalan perkawinan (fasak nikah) (Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 UU No. 1 Tahun 1974).
  6. Permohonan pengangkatan wali bagi mereka yang beragama Islam atau pengangkatan wali adhol (Pasa123 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam Jo. Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987). 
  7. Permohonan pengangkatan anak (untuk ini harus diperhatikan SEMA No. 6/1963).
  8. Permohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan sipil, misalnya apabila nama anak secara salah disebutkan dalam akta tersebut (Pasal 49 dan Pasal 50 Ordonansi Penduduk Jawa dan Madura).
  9. Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit.
  10. Permohonan untuk menetapkan bahwa sebidang tanah adalah milik pemohon tidak dibenarkan untuk dikabulkan oleh PN. Hak milik atas sebidang tanah harus dibuktikan dengan sertifikat tanah atau apabila dipermasalahkan dalam suatu gugatan, dibuktikan dengan alat bukti lain di persidangan.
  11. Permohonan untuk menetapkan seseorang atau beberapa orang adalah ahli waris almarhum, tidak dapat diajukan. Penetapan ahli waris almarhum dapat dikabulkan dalam suatu gugatan mengenai warisan almarhum.
  12. Untuk mengalihkan hak atas tanah, menghibahkan, mewakafkan, menjual, atau membalikkan nama sebidang tanah/tanah dan rumah, yang semula tercatat atas nama almarhum atau almarhumah, cukup dilakukan sebagai berikut.
  • Bagi mereka yang berlaku hukum waris BW, cukup dengan surat keterangan hak waris yang dibuat oleh notaris.
  • Bagi mereka yang berlaku hukum waris adat, cukup dengan surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh ahli waris yang bersangkutan sendiri dan disaksikan oleh lurah dan diketahui camat dari desa dan kecamatan tempat tinggal almarhum.
  • Bagi mereka yang berlaku hukum waris lainnya, misalnya WNI keturunan Hindia, cukup dengan surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (perhatikan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, Direktur Jenderal Agraria, Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah, u.b. Kepala Pembinaan Hukum, R. Saoepandi, tertanggal 20 Desember 1969, No. Drt/l112/63/12/69, yang terdapat dalam buku Tuntunan bagi Pembuat Akta Tanah, Dep. Dalam Negeri, Dirjen Agraria, hlm. 85 (Pedoman Pelalsanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, hlm. 112-113).
Di samping yang dikemukakan di atas, suatu permohonan tidak dapat dibenarkan untuk mengabulkan permohonan dan menetapkan seseorang atau beberapa orang sebagai pemilik atau mempunyai hak atas suatu barang/binatang. Demikian juga tidak dapat dikeluarkan penetapan atas surat permohonan untuk menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah.
Permohonan harus diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua PN di tempat tinggal tergugat (Pasal 118 ayat (1) HIRI Pasal 142 ayat (1) RBg). Permohonan disampaikan kepada PN setelah pemohon membayar persekot biaya perkara yang besarnya sudah ditentukan oleh PN, kemudian permohonan itu didaftarkan dalam buku register dan diberi nomor urut.
Pemohon yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diajukan permohonannya secara prodeo, dimana ketidakmampuannya itu harus dibuktikan dengan surat keterangan dari kepala desa yang bersangkutan.
Permohonan dapat diajukan oleh pemohon secara tertulis atau secara lisan. Apabila permohonan itu dilakukan secara tertulis maka pemohon mengajukannya ke hadapan ketua PN dan ketua PN yang akan menyuruh mencatat permohonan tersebut (Pasal 120 HIR/144 RBg).
Pemeriksaan permohonan hanya dilakukan secara sepihak, yaitu hanya mendengar keterangan pemohon atau kuasanya, dan untuk memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan oleh pemohon. Dalam pemeriksaan tidak berlangsung contradictoir, maksudnya tidak ada bantahan dari pihak lain. Setelah hakim melakukan pemeriksaan terhadap permohonan, kemudian hakim memberikan putusan. Putusan hakim berisi pertimbangan dan diktum penyelsaian permohonan yang dituangkan dalam bentuk penetapan. Diktum hanya bersifat menegaskan pernyataan atau deklarasi hukum yang diminta dan kekuatan pembuktiannya hanya mengikat pada diri si pemohon.
Apabila permohonan ditolak oleh hakim, sesuai dengan doktrin dan praktik peradilan yang berlaku, dalam perkara voluntir merupakan putusan yang bersifat tingkat pertama dan terakhir, artinya tidak dapat diajukan banding. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Jo. Penjelasannya, maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah kasasi. Itu pun dalam hal terjadi pengajuan permohonan yang keliru.
Pengajuan upaya hukum kasasi terhadap penetapan atas permohonan secara analogi merujuk kepada ketentuan pada Penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Pembahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Ketentuan Pasal 43 ayat (1) Pasal 43 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan tidak ikut diubah oleh kedua UU tersebut.
Pasal 43 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengatakan bahwa permohoan kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan terhadap perkara telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dalam penjelasannya mengatakan bahwa pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan pengadilan tingkat pertama yang oleh undang-undang tidak dapat dimohonkan banding.
Dapat juga dilakukan upaya hukum peninjauan pembali (PK). Upaya hukum ini ditempuh untuk mengoreksi dan meluruskan kekeliruan atas permohonan. Mengenai hal ini terdapat yurisprudensi yang dapat digunakan sebagai pedoman yang sudah merupakan preseden, yaitu PK No. 1 PK/Ag/1990 tanggal 22 Januari 1991. Dalam kasus ini, Pengadilan Agama (PA) Pandeglang telah mengabulkan status ahli waris dan pembagian harta warisan melalui permohonan sepihak. Terhadap penetapan tersebut, pihak yang dirugikan mengajukan PK ke MA, yang ternyata MA mengabulkan PK dan bersamaan dengan itu MA membatalkan Penetapan PA Pandeglang (Yahaya Harahap, 2007; 45). 
Apabila orang yang merasa dirugikan atas penetapan perkara voluntair, menurut Yahya Harahap (2007: 44-45), cara yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut.
a. Dapat mengajukan perlawanan terhadap permohonan selama proses berlangsung. Landasan hukumnya berpedoman secara analogis kepada Pasal 378 Rv. atau Pasal 195 ayat (6) HIR. Perlawanan itu sangat bermanfaat untuk menghindari terbitnya penetapan yang keliru dan memberi hak kepada orang yang merasa dirugikan kepentingannya untuk
  1. menjukan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) yang bersifat semu atau kuasi derden verzet selama proses berlangsung; 
  2. pihak yang merasa dirugikan tersebut bertindak sebagai pelawan, sedangkan pemohon ditarik sebagai terlawan; 
  3. dasar perIawanan, ditujukan kepada pengaju permohonan gugatan voluntair tersebut; 
  4. pelawan meminta agar permohonan ditolak serta perkaranya diselesaikan secara kontradiktoir.
b. Mengajukan gugatan perdata. Pihak yang merasa dirugikan bertindak sebagai penggugat dan pemohon sebagai tergugat. Dalil gugatan bertitik tolak dari hubungan hukum yang terjalin antara penggugat dengan permasalahan yang diajukan pemohon dalam permohonan.
c. Mengajukan permintaan pembatalan kepada MA atas penetapan, yang berpedoman kepada Penetapan MA No. 5 Pen/Sep/1975 sebagai preseden.
d. Mengajukan upaya peninjauan kembali (PK).

B Gugatan Perkara Perdata 
1. Istilah dan Pengertian Gugatan 
Dalam perundang-undangan istilah yang digunakan adalah ”gugatan perdata" sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 118 ayat (1) HIR yang menggunakan istilah ”gugatan perdata”. Namun di dalam pasal-pasal selanjutnya menggunakan istilah ”gugatan” atau ”gugat” saja, seperti dapat dilihat pada Pasal 119 dan Pasal 120 HIR. Rv menggunakan istilah ”gugatan” sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Rv. Meskipun tidak jelas, tetapi istilah ”gugatan” yang dimaksud adalah gugatan perdata. Dalam kehidupan sehari-hari, secara umum istilah ”gugatan" sudah lazim digunakan dan berterima baik dalam praktik peradilan maupun di kalangan para sarjana. Menurut doktrin, surat gugatan berarti ”tuntutan”, ”dakwaan”, atau ”eis” (J.T.C. Simorangkir, 1980: 64). Beberapa pakar hukum, antara lain Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah gugatan berupa ”tuntutan perdata” (burgelijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa (tuntutan hak). R. Soebekti menggunakan istilah ”gugatan”. Penggunaan istilah tersebut merupakan suatu penggunaan istilah untuk membedakan dengan permohonan yang bersifat voluntair atau gugatan voluntair.
Setiap tindakan dapat menjadi kasus perdata apabila tindakan tersebut menimbulkan kerugian pada pihak lain dan bersifat hubungan perdata. Tindakan yang bersifat perdata yang dapat merugikan pihak lain berupa tindakan melanggar hukum orang, melanggar hukum benda, dan melanggar hukum perikatan.
Tindakan melanggar hukum orang, contohnya seperti tindakan orang yang belum dewasa adalah tanggung jawab orang tua atau walinya, tindakan istri menggugat suaminya dan sebaliknya, masalah warisan. Tindakan melanggar hukum benda, contohnya seperti tindakan menjual tanah milik orang lain, penyitaan bank karena wanprestasi membayar kredit rumah, dan tindakan menjaminkan sertifikat tanah tanpa persetujuan pemilik sertifikat. Adapun tindakan melanggar hukum perikatan dapat berupa tindakan melawan hukum dan tindakan melanggar kontrak (wanprestasi).
Tindakan melawan hukum dapat dikatagorikan apabila memenuhi unsur-unsur berikut ini.
  1. Adanya kesalahan yang disengaja atau kelalaian.
  2. Ada kerugian materiil dan immateriil.
  3. Adanya hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian. 
  4. Pergantian kerugian.
Tindakan yang tergolong wanprestasi adalah tindakan yang tidak memenuhi prestasi, Yang dimaksud dengan prestasi adalah kewajiban debitur yang dapat berupa memberi, berbuat, dan tidak berbuat sesuatu. Suatu prestasi harus memenuhi syarat, yaitu harus diperkenankan, mungkin dilaksanakan, dan tertentu atau ditentukan. Seseorang yang tidak memenuhi prestasi disebut wanprestasi. Wanprestasi terdiri atas 4 bentuk, yaitu sama sekali tidak memenuhi prestasi, melakukan tetapi tidak sepenuhnya (tidak tunai), terlambat memenuhi prestasi, dan keliru memenuhi prestasi.
Gugatan pada dasarnya berisi tuntutan yang diajukan oleh seseorang, beberapa orang, atau sekelompok orang (penggugat) kepada (tergugat). Gugatan tersebut ditujukan kepada pihak lain (tergugat) melalui pengadilan (PN) berhubung adanya perselisihan, konflik, atau permasalahan hukum. Pihak lain (tergugat) tersebut dapat berupa seseorang, beberapa orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam suatu badan hukum maupun bukan badan hukum.
Adanya perselisihan sebagaimana disebutkan adalah merupakan syarat materiil untuk dapat menggugat ke pengadilan dan syarat adanya perselisihan/konflik itu bersifat mutlak.
Gugatan itu harus sejelas mungkin, tidak boleh kabur atau samar-samar, baik subjek hukumnya, objek sengketanya, maupun tentang apa yang dituntut oleh Penggugat.
Setiap proses perkara di muka Pengadilan dimulai dengan pengajuan gugatan oleh penggugat/kuasanya. Pasal 2 ayat (l) UU No. 14 Tahun 1970, yang kemudian diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menetapkan bahwa wewenang tengadilan di bidang perdata adalah mcnerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang beperkara. Di dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 yang menyebutkannya tidak sejelas UU sebelumnya, yang mengatakan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk mcmeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Kewenangan tersebut adalah wewenang pengadilan untuk menyelesaikan perkara di antara para pihak yang beperkara. Hal ini disebut yurisdiksi kontentiosa dan gugatannya berbentuk gugatan kontentiosa atau yang disebut contentious.
Perkataan kontentiosa atau contentious berasal dari bahasa Latin yang berarti ’penuh semangat bertanding' atau ’berpolemik’. Dengan pengertian itulah sebabnya mengapa penyelesaian perkara yang mengandung sengketa disebut yurisdiksi kontentiosa atau contentious jurisdiction. Yang dimaksud dengan yurisdiksi kontentiosa adalah kewenangan peradilan memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa. Dalam praktik, gugatan kontentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan perdata. Penggunaan gugatan kontentiosa lebih bercorak pengkajian teoritis untuk membedakannya dengan gugatan voluntair.
Yurisdiksi gugatan kontentiosa berbeda dengan jurisdiksi gugatan voluntair. Gugatan voluntair bersifat sepihak, yaitu persoalan atau permasalahan yang diajukan tidak melibatkan pihak lain untuk diselesaikan oleh pengadilan bukan karena ada sengketa, tetapi semata-mata untuk kepentingan pemohon. Adapun pada gugatan kontentiosa, gugatannya mengandung dua pihak atau lebih dan permasalahan yang diminta adalah penyelesaian sengketa sebagaimana dimohonkan dalam gugatan kepada pengadilan, yang merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between contending parties).
Gugatan perdata adalah suatu gugatan atau tuntutan hak yang diajukan oleh seseorang atau beberapa orang atau sekelompok orang, baik yang terikat dalam suatu badan hukum atau bukan badan hukum, yang ditujukan kepada pihak lain melalui pengadilan untuk memeriksa dan menyelesaikannya, yang mengandung sengketa. Secara singkat, gugatan perdata adalah gugatan/tuntutan hak yang diajukan pihak penggugat kepada pihak tergugat melalui pengadilan.
Dengan demikian ciri khas yang melekat pada gugatan perdata adalah berikut ini. 
  1. Perkara yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa atau perselisihan (disputes, differences).
  2. Sengketa atau perselisihan yang terjadi di antara pihak yang sekurang-kurangnya dua pihak. Pihak yang mengajukan penyelesaian sengketa atau gugatan disebut penggugat atau pihak penggugat (eiser, plaintiff), dan pihak yang ditarik sebagai lawan disebut tergugat (gedaagde, defendant).
  3. Gugatan perdata bersifat partai (party), pihak yang satu bertindak sebagai penggugat dan pihak lain sebagai tergugat.
Pihak, dalam arti penggugat dan tergugat, dapat berupa seseorang atau beberapa orang, sekelompok orang, baik yang terikat dalam suatu badan hukum maupun bukan badan hukum. Gugatan dapat berbentuk tertulis yang dinamai surat gugatan dan dapat juga diajukan secara lisan. Suatu gugatan diajukan secara lisan apabila penggugatnya buta huruf sebagaimana diatur menurut ketentuan Pasal 120 HIR/144 RBg. Gugatan lisan itu akan dicatat oleh ketua PN dan menjadi sebuah catatan tertulis tentang gugatan atau tuntutan hak (menjadi gugatan tertulis).
Pasal 120 HIR/144 RBg berbunyi:
Bila penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.
Saat ini, semua gugatan yang masuk ke pengadilan pada umumnya dapat dipastikan sudah tertulis, yang disusun oleh yang bersangkutan (penggugat/ kuasanya). Jadi, bentuk gugatan tertulis itu sangat diutamakan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 118 HIR/142 Rbg, yang menetapkan bahwa gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat/kuasanya. Apalagi, saat ini sudah banyak jasa-jasa hukum, seperti advokat. Dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, ditentukan bahwa hanya advokat yang telah mendapat izin dari organisasi profesi advokat yang dapat memberi jasa hukum di dalam dan di luar pengadilan. Apabila ada pemberi jasa hukum yang tidak menjadi aggota organisasi advokat dan terbukti memberi jasa atau menjalankan profesi advokat dapat dipidana maksimal selama 5 tahun.
Mahkamah Agung dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, hlm. 117, menyatakan bahwa untuk bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat / tergugat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Mempunyai surat kuasa khusus yang harus diserahkan di persidangan atau pemberian surat kuasa disebutkan dalam surat gugatan/permohonan, atau kuasa/wakil ditunjuk oleh pihak yang beperkara/pemohon di dalam persidangan secara lisan.
  2. Memenuhi syarat yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1985 Jo. Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 7 Oktober 1965 No. J.P. 14-2-11.
  3. Telah terdaftar sebagai advokad/pengacara praktik di kantor pengadilan tinggi/pengadilan negeri setempat dan secara khusus telah diizinkan untuk bersidang mewakili penggugat/ tergugat dalam perkara tertentu.
  4. Permohonan banding atau kasasi yang diajukan oleh kuasa/wakil dari pihak yang bersangkutan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut atau surat kuasa yang dipergunakan di PN telah menyebutkan pemberian kuasa pula untuk mengajukan permohonan banding atau kasasi.
  5. Kuasa/wakil negara/pemerintah dalam suatu perkara berdasarkan Stb. 1922 No. 522 dan Pasal 123 ayat (2) HIR/ Pasal 147 ayat (2) RBg adalah sebagai berikut.
  • Pengacara negara yang diangkat oleh pemerintah.
  • Jaksa.
  • Orang tertentu atau pejabat yang diangkat/ditunjuk oleh instansi-instansi yang bersangkutan. Jaksa tidak perlu menyerahkan surat kuasa khusus. Pejabat atau orang yang diangkat/ditunjuk oleh instansi yang bersangkutan, cukup hanya menyerahkan salinan surat pengangkatan/ penunjukan yang tidak bermaterai.
Mengenai perlunya kejelasan dan keseragaman tentang surat kuasa, MA telah menerbitkan beberapa surat edaran, yaitu Surat Edaran No. 2 Tahun 1959 tentang Surat Kuasa Khusus, SEMA No. 01 Tahun 1971 tentang Surat Kuasa Khusus, dan SEMA No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus.
Untuk menciptakan keseragaman dalam pemahaman terhadap surat kuasa khusus yang diajukan oleh para pihak yang berpekara, SEMA No. 6 Tahun 1994 memberikan petunjuk:
  1. Surat kuasa khusus harus bersifat khusus dan menurut undang-undang dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya digunakan untuk keperluan tertentu. Dalam perkara perdata harus jelas disebut antara A sebagai penggugat dan B sebagai tergugat, misalnya dalam perkara waris atau utang piutang tertentu dan sebagainya. Dalam perkara pidana harus dengan jelas menyebut pasal-pasal KUHAP yang didakwakan kepada terdakwa yang ditunjuk dengan lengkap.
  2. Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, surat kuasa khusus tetap sah berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi tanpa diperlukan surat khusus yang baru.
Memang, menurut HIR/RBg, tidak ada keharusan/kewajiban bagi penggugat untuk menguasakannya kepada advokat. HIR/ RBg tidak menganut sistem verplichte procureur stelling, yang mewajibkan penggugat harus memberi kuasa kepada pengacara atau advokat sebagaimana juga dianut oleh Rv. Pasal 118 ayat (1) HlR/142 ayat (1) RBg menetapkan bahwa tidak ada keharusan atau kewajiban bagi penggugat untuk menguasakan atau memberi kuasa dalam pembuatan, penandatanganan, serta pengajuan gugatan kepada seseorang yang berpredikat pengacara atau advokat, tetapi juga hal itu tidak mengurangi haknya untuk menunjuk seseorang atau beberapa orang kuasa yang bertindak mengurus kepentingannya dalam pembuatan dan pengajuan gugatan.
Berdasarkan Pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142, baik penggugat atau kuasanya, diberi hak dan kewenangan untuk membuat, menandatangani, dan mengajukan/menyampaikan gugatan ke PN.
Surat kuasa yang dibuat para pihak harus bersifat khusus yang dicantumkan dengan jelas dalam gugatan, yang menerangkan surat kuasa itu diberikan kepada kuasanya yang digunakan untuk keperluan tertentu saja.
Di dalam praktik terdapat keanegaraman dari bentuk surat kuasa khusus. Untuk keseragaman surat kuasa khusus pada perkara perdata di dalam praktik, MA telah memberikan petunjuk dengan menerbitkan SEMA No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus:
"Untuk menciptakan keseragaman dalam pemahaman terhadap surat kuasa khusus yang diajukan oleh para pihak beperkara kepada badan-badan peradilan, diberikan petunjuk bahwa surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut undang-undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai penggugat dan B sebagai tergugat. Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah dan berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi, tanpa diperlukan surat kuasa khusus yang baru.”
Adapun perbedaan gugatan dan permohonan adalah sebagai berikut:
  1. Dalam gugatan terdapat dua pihak yang beperkara, sedangkan dalam permohonan hanya satu pihak.
  2. Dalam gugatan mengandung sengketa/perselisihan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa atau perselisihan (konflik).
  3. Dalam gugatan, aktivitas hakim terbatas pada apa yang dikemukakan dan diminta pihak, sedangkan dalam permohonan, aktivitas hakim dapat melebihi apa yang dimohonkan (tugas hakim bersifat administratif saja).
  4. Dalam gugatan, hakim hanya memperhatikan dan menetapkan apa yang ditetapkan oleh undang-undang dan bebas, yakni tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun. Adapun dalam permohonan, hakim apabila diperlukan dapat menggunakan kebebasannya untuk mengatur sesuatu hal. 
  5. Dalam gugatan keputusan hakim hanya mengikat bagi pihak-pihak yang bersangkutan dan bagi orang yang telah didengar kesaksiannya. sedangkan dalam permohonan keputusan hakim mempunyai kekuatan mengikat terhadap semua orang.
2. Pihak-Pihak dalam Gugatan Perdata
Pihak-pihak yang tercantum dalam gugatan dinamakan subjek gugatan, yaitu pihak penggugat atau para penggugat, pihak tergugat atau para tergugat, dan turut tergugat atau para turut tergugat. Objek gugatan adalah sesuatu hal yang menjadi pokok perkara, dapat berbentuk barang bergerak maupun tidak bergerak dan dapat berupa barang yang masih akan didapat atau belum dipegang tangan.
Dalam gugatan keputusan hakim hanya mengikat bagi pihak-pihak yang bersangkutan dan bagi orang yang telah didengar kesaksiannya. Sedangkan dalam permohonan keputusan hakim mempunyai kekuatan mengikat terhadap semua orang. 
Dalam gugatan perdata sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak yang dinamakan penggugat (eiser, plaintiff) dan Tergugat (gedaagde, defendant). Penggugat adalah seseorang atau beberapa orang/sekelompok orang, baik yang terikat dalam suatu badan hukum maupun bukan badan hukum, yang merasa atau dirasa haknya dilanggar atau mereka yang merasa atau dirasa haknya dirugikan. Adapun tergugat adalah pihak yang ditarik ke muka pengadilan karena dianggap melanggar hak orang lain atau mengakibatkan rugi orang lain. perkataan ”merasa dan dirasa” mempunyai arti bahwa pihak penggugat maupun pihak tergugat yang diajukan ke muka persidangn belum tentu benar dan salah. Oleh karena itu, harus dibuktikan di persidangan.
Pihak penggugat dapat dikualifikasikan sebagai berikut.
  1. Penggugat orang pribadi (naturlijk person)
  2. Pengugat yang belum dewasa, misalnya karena kedudukannya sebagai ahli waris harus diwakili oleh orang tua atau wakilnya.
  3. Penggugat yang berada di bawah pengampuan (curatele), seperti karena gila, pemboros, atau sakit ingatan; terhadap mereka ini perlu ada penetapan pengadilan.
  4. Penggugat badan hukum (rechtsperson), misalnya PT, Yayasan, koperasi, BHMN, BHP, dan partai politik.
  5. Penggugat yang mewakili badan usaha atau persekutuan yang bukan badan hukum, misalnya CV, Firma (Fa), Usaha dagang, dan kongsi.
Adapun pihak tergugat dapat dikualifikasikan sebagai berikut.
  1. Tergugat orang pribadi (naturlijk person).
  2. Tergugat yang belum dewasa, misalnya karena kedudukannya sebagai ahli waris diwakili oleh orang tua atau wali.
  3. Tergugat yang berada di bawah pengampuan (curatele), karena gila, pemboros, atau sakit ingatan, terhadap mereka ini perlu ada penetapan pengadilan.
  4. Tergugat badan hukum (rechtsperson), misalnya PT, Yayasan, koperasi, BHMN, BHP, dan partai politik.
  5. Tergugat yang mewakili badan usaha atau persekutuan yang bukan badan hukum, misalnya CV, Firma (Fa), Usaha dagang, dan kongsi.
Keberadaan gugatan adalah karena ada pihak tergugat yang disangka dan cukup beralasan dirasa telah merugikan atau mengakibatkan rugi pihak penggugat. Maka sangatlah penting bagaimana menentukan tergugat karena salah menentukan tergugat dalam gugatan akan ditolak, tidak dapat diterima. Hal ini pun di dalam praktik sering terjadi kesulitan untuk menentukan tergugat. Bagaimana menentukan tergugat dapat berpedoman (Acmad Fauzan, 2007: 42) sebagai berikut.
  1. Ikatan hukum, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang;
  2. Ikatan hukum karena kronologi peristiwa hukum, misalnya orang yang bertindak sebagai otak/provokator (intelectual dader) terjadinya peristiwa hukum, tetapi sulit dibuktikan formalitasnya.
  3. Namanya disebut-sebut dalam keterangan calon saksi.
  4. Namanya tertera dalam dokumen tertulis, baik dalam notulen, sertifikat, petok, atau dokumen lainnya (Yurisprudensi MARI No. 480 K/Sip/1973, tanggal 2 Juli 1974).
  5. Menggunakan prinsip lebih baik pihaknya banyak dari pada kurang, yang dapat menjadikan gugatan kurang baik (plurium litis consortium).
  6. Penggugat maupun Tergugat disebut sebagai pihak materiil dan formil.
Pihak materiil adalah pihak-pihak yang mempunyai kepentingan langsung. Adapun pihak formil adalah pihak-pihak yang beracara di pengadilan. Jadi penggugat dan tergugat merupakan pihak yang berkepentingan langsung dan juga pihak-pihak yang beracara di pengadilan. Penggugat dan tergugat bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri.
Pengajuan suatu gugatan ke pengadilan berkaitan dengan suatu perselisihan (konflik), yaitu ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Perkataan ”merasa” dan ”dirasa” mempunyai arti bahwa belum tentu yang bersangkutan sunguh-sungguh melanggar hak penggugat (Retnowulan Sutantio dan Iskandar, 1989: 1). Oleh karena itu, masih perlu dibuktikan hak perdatanya melanggar atau tidak.
Akan tetapi, ada orang yang bertindak sebagai penggugat atau pun tergugat tanpa mempunyai kepentingan secara langsung dalam perkara yang bersangkutan. Seorang wali atau pengampu bertindak sebagai pihak atas namanya sendiri untuk kepentingan orang lain, maka yang mempunyai kepentingan adalah pihak yang diwakilinya (Pasal 383, Pasal 446, Pasal 452, Pasal 403, dan Pasal 405 KUH Pdt). Mereka ini yang mewakili pihak atas namanya termasuk pihak formil. Advokat atau pengacara bukan pihak materiil meskipun bertindak atas nama dan kepentingan kliennya.
Kemungkinan terjadi banyak penggugat dan juga banyak tergugat, maka dapat disusun dengan urutan Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III, dan seterusnya. Demikian juga tergugat dapat disusun dengan urutan Tergugat I, II, III, dan seterusnya. Turut tergugat adalah pihak pihak yang ditarik ke dalam perkara. Di dalam HIR/RIB tidak ada dijumpai istilah ”turut tergugat”, tetapi dalam praktik sudah sering digunakan.
Turut tergugat digunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Keikutsertaan turut tergugat itu ditujukan untuk demi lengkapnya suatu gugatan. Mereka ini dalam petitum hanya dimohon agar tunduk dan taat terhadap putusan hakim (Putusan MA tanggal 6 Agustus 1973 No. 663 K/Sip/1971 dan tanggal 1 Agustus 1973 No. 1030 K/Sip/1972). Turut penggugat tidak dikenal dalam hukum acara. Dalam praktik, walaupun dicantumkan dalam gugatan, Pengadilan menggapnya sebagai penggugat (Putusan MA, tanggal 28 Januari 1976 N0. 201 K/ Sip/1974). Selain itu, dalam praktik di pengadilan pernah digunakan turut penggugat, yaitu dalam Yurisprudensi No. 2001 K/Sip/1974 tanggal 28 Januari 1976, ditentukan bahwa turut penggugat dianggap sebagai penggugat. Oleh karena itu sebaiknya tidak perlu dibuat turut penggugat.
Di dalam praktik dikenal suatu gugatan yang dinamakan ”gugatan insidentil”, yaitu campur tangan pihak ketiga dalam proses perkara, yang dinamakan ”intervensi” (campur tangan). Pengaturan intervensi dijumpai dalam ketentuan Pasal 279-282 Rv. Yang dimaksud dengan intervensi adalah masuknya atau ikut sertanya pihak ketiga (intervenient) atas kehendak sendiri dalam sengketa yang berlangsung antara penggugat dan tergugat. Bentuk interversi ini hanya dikenal dalam Rv. Meskipun Rv sudah dicabut, tetapi dalam praktik masih dibutuhkan (Putusan MA tanggal 14 Oktober 1975 No. 1060 K/Sip/1992).
Bentuk-bentuk lembaga intervensi yang dikenal terdiri atas: voeging ’menyertai', tussenkomst ’menengahi’, dan vrijwaring ’penjaminan’. Yang dimaksud dengan voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam perkara yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan sikap memihak kepada salah satu pihak. Tussenkonst adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam sutu perkara yang sedang berlangsung dengan sikap membela kepentingan sendiri. Vrijwaring adalah ikut sertanya pihak ketiga karena ditarik oleh salah satu pihak yang beperkara dan bertujuan untuk membebaskan pihak yang menarik dari kemungkinan tuntutan yang dapat merugikan penariknya.
Dengan demikian, pada asasnya setiap orang boleh beperkara di pengadilan, kecuali orang yang belum dewasa atau orang yang sakit ingatan. Orang tidak cakap hukum (belum dewasa) diwakili oleh orang tua/walinya dan orang yang sakit ingatan diwakili oleh pengampunya. Pihak-pihak yang berperkara di pengadilan dikualifikasi sebagai subjek hukum. Sebagai subjek hukum, badan hukum (BH), baik bersifat publik dan privat dapat sebagai pihak yang beperkara, BH yang bersifat publik: Negara, provinsi, kabupaten, instansi pemerintah, dan lain-lain. BH yang bersifat privat: perseroan terbatas (PT), koperasi, perkapalan, perusahaan asuransi, yayasan dan lain-lain. Yang bertindak untuk dan atas nama BH adalah direkturnya.
Apabila negara yang digugat, gugatan diajukan kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini yang mewakili pemerintah Republik Indonesia, atau yang bertempat tinggal pada departemen tertentu. Misalnya, Departemen Luar Negeri. Dalam hal ini biasanya yang bertindak di muka pengadilan untuk mewakili negara adalah kepala bagian hukum dari departemen yang bersangkutan dengan membawa surat kuasa khusus dari menteri (Retnowulan Sutantio dan Iskandar, 1989: 14). 
Mengenai kriteria dari orang dewasa, menurut peraturan yang berlaku di Indonesia, belum ada satu patokan. Masih terdapat banyak peraturan tentang kedewasaan, misalnya antara usia 15-21 tahun. Berpedoman kepada Pasal 330 KUH Perdata kedewasaan adalah 21 tahun. Selain itu, seseorang yang belum dewasa tetapi sudah kawin dapat bertindak dalam hukum.
Terhadap orang yang meninggal dunia dapat dilakukan gugatan. Gugatan ditujukan kepada ahli waris (MA tanggal 18 Oktober 1967 No. 53 K/Sip/1967 dan tanggal 10 Juli 1971 No. 429 K/Sip/1971. Seorang wakil yang mewakili salah satu pihak yang beperkara haruslah wakil yang sah dan mempunyai surat kuasa khusus.

3. Membuat Gugatan: Elemen dan Syarat-Syarat Gugatan 
Barang siapa hak pribadinya dilanggar orang lain atau barang siapa merasa dirugikan haknya, maka berdasarkan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg, mengajukan gugatan dengan permohonan kepada pengadilan negeri sesuai dengan kewenangan relatif, untuk memanggil pihak-pihak dan dan diperiksa atas dasar gugatan tersebut.
HIR atau pun RBg tidak mengatur tentang elemen dan syarat-syarat gugatan, dan juga tidak mengatur bagaimana bentuk, cara, dan substansi dari gugatan. HIR/RBg hanya mengatur bagaimana suatu gugatan harus diajukan. Akan tetapi elemen dan syarat-syarat gugatan, secara teoretis dapat berpedoman pada ketentuan Pasal 8 ayat (3) Rv (St. 18472:52), dan juga berpedoman pada apa yang berlaku dalam praktik peradilan dewasa ini di Indonesia (Lilik Mulyadi, 1999: 42). Pasal 119 HIR/143 RBg mewajibkan hakim supaya memberi nasihat dan bantuan kepada penggugat pada waktu mengajukan gugatannya.
Isi gugatan dapat berpedoman pada Pasal 8 ayat (3) RV yang mengatakan bahwa apa yang dituntut kepada tergugat, dasardasar tuntutan dan tuntutan tersebut harus jelas dan tertentu. Perkataan jelas dan tertentu yang dimaksud dalam pasal ini ialah menyangkut identitas para pihak, Posita (dasar gugatan) atau fundamentum petendi, maupun petitum, yaitu apa yang dituntut (pokok tuntutan).
Di dalam praktik pun dalam merumuskan suatu gugatan tidak ada suatu patokan yang baku, sehingga orang bebas merumuskan gugatan. Namun demikian, gugatan itu harus memberikan gambaran yang jelas tentang kejadian materiil yang menjadi dasar tuntutan atau gugatan.
Di sini hakim dapat memberi petunjuk atau nasihat kepada penggugat apabila gugatan kurang jelas atau kurang sempurna, sehingga dapat dicegah pengajuan gugatan yang kurang jelas atau kurang sempurna. Putusan MA tgl. 15 Maret 1972 No. 547 K/Sip/1972 menyatakan bahwa karena HIR dan RBg tidak ada ketentuan mengenai isi surat gugatan, maka orang bebas menyusun dan merumuskan gugatan tersebut asal cukup memberi gambaran tentang kejadian yang menjadi dasar tuntutan. Putusan MA tgl. 21 Nopember 1970 No. 492 K/Sip/1970 menyatakan bahwa gugatan yang tidak sempurna karena tidak menyebutkan dengan jelas apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Dengan demikian, gugatan harus dibuat dengan jelas, tidak boleh kabur atau samar-samar karena ketidakjelasan subjek hukumnya, objek sengketanya maupun apa yang dituntut oleh Penggugat. Sekalipun demikian, masih diperbolehkan mohon tuntutan subsidair, yaitu mohon putusan yang seadil-adilnya (ex Aequo et Bono). Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip beracara yang sederhana menurut sistem HIR/RBg dan peranan aktif dari hakim.
Dalam hal ini hakim diperkenankan memberi petunjuk dan nasihat untuk memperbaiki dan mengisi kekurangan dari hal-hal yang belum dituntut atau memperbaiki kesalahan dari hal-hal yang diminta (petitum), asalkan sesuai dan tidak menyimpang atau mengubah dari materi pokok perkara. Keaktifan hakim dalam memberikan nasihat hukum dapat dilakukan pada waktu memasukkan gugatan atau dalam proses persidangan sampai eksekusi perkara tersebut selesai.
Bagaimana membuat/menyusun gugatan atau seberapa jauh harus diberikan rincian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa yang menjadi dasar gugatan? Menurut doktrin membuat/ menyusun gugatan didasarkan atas dua teori, yaitu substantiseringstheorie dan individualiseringstheory.
1) Substantiseringstheorie 
Suatu teori yang membahas bagaimana cara membuat gugatan. Menurut teori ini, bahwa membuat suatu gugatan hendaknya harus dirinci secara detail, yang dimulai dari ada hubungan hukum sebagai dasar gugatan (rechts gronden, legal grounds), dasar dan sejarah gugatan, sampai kepada kejadian formal maupun materiil dari suatu gugatan. Jadi, menurut teori ini, dalam suatu gugatan harus menggambarkan tentang uraian rentetan kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, yang menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. Misalnya, penggugat tidak cukup menyatakan dalam gugatannya ia sebagai pemilik (eigenaar) dari sebidang tanah dengan luas dan batas-batas tertentu sesuai dengan sertifikatnya, melakukan harus diuraikan secara detail dan terinci dalam gugatan dengan menyebutkan data dan hubungan hukum sehingga konklusinya bahwa penggugat memang sebagai pemilik, misalnya melalui perbuatan jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, dan lain-lain perbuatan yang menjadi dasar dari gugatan.
2) Individualiseringstheory 
Teori ini membahas penyusunan gugatan dibuat secara garis besarnya saja tentang dasar hubungan hukum dalam gugatan atau kejadian materiil. Jadi, terhadap ketentuan kaidah/pasal tersebut dirumuskan secara umum kemudian diindividualisasikan pada gugatan dan terhadap hal lainnya, seperti dasar pokok sejarah gugatan, sedangkan yang lainnya dapat dijelaskan dalam sidang berikutnya pada tahap replik, duplik, mapun pembuktian.
Jadi, menurut individualiseringstheory, kejadian-kejadian yang diuraikan dalam gugatan cukup menunjukkan adanya hubungan hukum tanpa menyebutkan dasar terjadinya atau sejarahnya; hanya garis-garis besar tentang dasar hubungan hukum atau kejadian materiilnya. Hal ini karena hal tersebut dapat dikemukakan pada persidangan nantinya.
Dalam praktik peradilan dewasa ini lebih cenderung menggunakan individualiseringstheory. Menurut yurisprudensi MA, perumusan kejadian materiil secara singkat telah memenuhi syarat dan gugatan tidak ”obscuur libel” atau ”obscure libelli", sebagaimana dalam putusannya tgl. 13 Desember 1958 No. 4 K/Sip/1958 dan Putusan MA N0. 547K/Sip/1971 (Lily Mulyadi, 1999: 43). Sebenarnya teori mana yang paling banyak dipakai tidak terlepas dari sejarah berlakunya hukum acara pada zaman penjajahan dahulu, di mana menurut sistem Rv, surat gugatan harus lengkap, sistematis, dan yuridis.
Adapun menurut sistem HIR dan RBg. beracara dalam sidang tidak harus tertulis dan tidak ada keharusan mewakilkan képada seorang kuasa. Sebenarnya, dalam merumuskan gugatan harus bebas dan mencakup seluruh hal-hal yang berhubungan dengan kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya. Apabila gugatan kurang jelas, ketua pengadilan dapat memberi petunjuk guna perbaikan gugatan (Pasal 111 HIR/Pasal 143 RBg). MA dalam putusannya tanggal 15 Maret 1972 N0. 547 K/Sip.1972 mengatakan, oleh karena HIR/RBg tidak menentukan syarat-syarat gugatan, para pihak bebas menyusun gugatan tersebut asalkan cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya. Gugatan yang tidak sempuma karena tidak menyebut dengan jelas apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima (Putusan MA tanggal 21 Nopember 1970 No. 492 K/Sip/1970).
Gugatan/tuntutan hak merupakan syarat materiil adanya gugatan perdata. Adanya gugatan tersebut karena ada perselisihan atau sengketa. Oleh karena itu, sebelum menyusun gugatan terlebih dahulu harus memperhatikan langkah-langkah awal dalam menyusun gugatan, yaitu berikut ini.
  1. Pengumpulan bahan-bahan, baik berupa barang bukti tertulis, seperti akta autentik atau akta di bawah tangan atau pun tidak tertulis, seperti keterangan saksi, baik karena pengetahuan maupun karena pengalaman atau keahliannya.
  2. Pengetahuan hukum yang memadai tentang permasalahan yang dihadapi yang akan diwujudkan dalam gugatan.
  3. Melakukan identifikasi terhadap orang atau lembaga yang terlibat dalam perkara, yang kemungkinan bisa ditarik sebagai pihak dalam perkara: sebagai penggugat, tergugat, atau saksi. Identifikasi ini dapat meliputi nama, gelar, umur, tempat tinggal atau alamat, pekerjaan, dan lain-lain. Identifikasi juga dapat dilakukan terhadap objek yang diperebutkan, misalnya perkara tanah. Oleh karena itu, yang harus dilengkapi adalah informasi letak, luas, batas, sertifikat, petok, SPPT, PBB, siapa yang menguasai, hasilnya, nilainya, dan kemungkinan alas haknya.
  4. Melakukan analisis hukum yang akan menghasilkan suatu kesimpulan, yaitu bahwa penyelesaikan yang paling efektif adalah menggunakan dasar, misalnya perbuatan melawan hukum, ingkar janji (wanprestasi), atau alasan lain, dan menentukan subjeknya, baik sebagai penggugat, tergugat, dan saksinya.
Setelah gugatan dianggap sudah lengkap atau sudah maksimal, bahan-bahan itu perlu dianalisis secara hukum, dengan cara memilah-milah sejauh mana ada nilai keterkaitannya dengan kepentingan hukum untuk menyelesaikan perkara yang dihadapi. Mengadakan analisis hukum mempunyai arti menilai dengan menghubungkan bahan-bahan yang ada dengan berbagai peraturan hukum yang mengatur permasalahan. Agar analisis lebih tajam dan akurat, perlu menggunakan literatur, pendapat para pakar, dan sebagainya. Jadi, menyusun gugatan tidaklah mudah. Dengan kelemahan formal dari gugatan, sudah pasti ada eksepsi dari pihak lawan. Kalau ini terjadi sudah tentu akan menimbulkan kerugian. Selain harus menguasai materi yang menjadi pokok permasalahan, harus juga menguasai peraturan-peraturan hukum, putusan-putusan hukum (yurisprudensi), serta pengalaman praktik.
Pengajuan gugatan dilandasi oleh akal sehat atau kepatutan berdasarkan kerugian yang diderita penggugat yang terbukti sebagai kerugian yang disebabkan oleh perbuatan tergugat.
Syarat formal wujud gugatan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut.
  1. Diajukan secara tertulis dalam bentuk suatu surat gugat.
  2. Ditujukan kepada ketua PN berwenang (kompetensi relatif).
  3. Membuat indentifikasi tentang penggugat maupun tergugat.
  4. Memuat dasar/alasan tuntutan (fundamentum petendi) yang kuat dan memenuhi persyaratan, yaitu maksudnya jelas dan terang, masuk akal, disertai dengan fakta-fakta/bukti yang asli, dilandasi dengan kejadian materiil lengkap dan inheren, dilandasi dengan dasar-dasar yang rasional dan berisi tuntutan yang wajar/layak berdasarkan bukti-bukti, serta tidak memuat unsur-unsur pemalsuan atau penipuan.
  5. Bermaterai.
  6. Ditandatangani oleh penggugat/kuasanya.
Syarat materill isi gugatan yang harus dipenuhi secara memadai adalah sebagai berikut.
  1. Uraian gugatan berdasarkan alasan-alasan dan fakta-fakta yang sebenarnya.
  2. Menggambarkan uraian yang benar mengenai fakta kejadian materiil yang sebenarnya sejak awal sampai kesimpulan.
Syarat formal gugatan adalah suatu gugatan yang telah memenuhi ketentuan syarat formil menurut ketentuan dan peraturan hukum yang berlaku. Syarat formil gugatan tersebut merupakan suatu formulasi gugatan, yaitu perumusan (formulation) gugatan yang dianggap memenuhi syarat formiil menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Anatorni suatu gugatan terdiri dari kepala gugatan, isi gugatan, dan penutup gugatan. Kepala gugatan berisi tanggal gugatan, nama pengadilan yang ditujukan, judul gugatan, keterangan para pihak atau identitas para pihak, serta dasar gugatan diajukan. Isi gugatan berisi keterangan para pihak, latar belakang mengajukan gugatan (fundamentum petendi/posita), dan apa yang dituntut (petitum). Penutup gugatan berupa tanda tangan penggugat/kuasa hukum penggugat dan materai. 

1) Identitas Para Pihak yang Berperkara 
Yang dimaksud dengan identitas para pihak adalah keterangan lengkap dari pihak-pihak yang beperkara menyangkut nama, umur, tempat tinggal (alamat), pekerjaan, dan status (kawin atau tidak kawin). Identitas para pihak ini harus jelas dan lengkap. Apabila identitas para pihak yang berpekara tidak lengkap gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Dengan demikian gugatan akan ditolak/tidak dapat diterima. Jadi, identitas para pihak dalam gugatan merupakan syarat formil terhadap keabsahan gugatan.
Bagaimanakah penyebutan identitas para pihak dalam gugatan? Penyebutan identitas dalam gugatan tidak seluas atau tidak selengkap yang disyaratkan dalam perkara pidana yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP. Dalam perkara perdata, penyebutan identitas para pihak sangat sederhana. Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus dicantumkan ”cukup memadai” sebagai dasar untuk menyampaikan panggilan atau untuk menyampaikan pemberitahuan. Namun untuk 'menghindari kekeliruan sebaiknya penyebutan identitas pihak-pihak yang beperkara sejelas mungkin.
Kelengkapan identitas atau identitas yang wajib disebutkan dalam gugatan adalah identitas yang dianggap cukup, yaitu meliputi berikut ini.
  • Nama lengkap, termasuk gelar atau alias. Hal itu dimaksudkan untuk membedakan orang tersebut dengan orang lain yang kebetulan mempunyai nama yang sama. Kekeliruan penyebutan nama dianggap melanggar syarat formil yang berakibat gugatan menjadi cacat formil. Oleh karena itu, gugatan dapat dikatakan error in persona atau obscuur libel, artinya orang yang digugat tidak jelas. Kedudukan orang haruslah ditempatkan sesuai dengan kapasitasnya menurut hukum. Cacat formil yang timbul atas kekeliruan atau kesalahan yang bertindak sebagai penggugat maupun yang ditarik sebagai Tergugat, dikualifikasi mengandung error in persona.Error in persona yang timbul atas kesalahan dan kekeliruan dikualifikasi sebagai in persona, salah sasaran pihak yang digugat, gugatan kurang pihak (plurium litis consortium). Plurium litis consortium adalah pihak yang bertindak sebagai penggugat atau tergugat tidak lengkap atau gugatan yang diajukan kurang pihaknya. Gugatan yang kurang lengkap atau kurang pihaknya mengandung error in persona dalam bentuk plurium litis consortium. Diskualifikasi in persona, terjadi apabila bertindak sebagai penggugat tidak memenuhi syarat (diskualifikasi) dan tidak cakap melakukan tindakan hukum. Tidak memenuhi syarat (diskualifikasi) dapat terjadi karena disebabkan tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan atau juga anggaran Dasar (AD) perkumpulan atau perseroan menegaskan yang bertindak untuk dan atas nama perkumpulan itu adalah pengurus secara kolektif. Tidak cakap melakukan tindakan hukum adalah seperti orang di bawah umur atau perwalian Oleh karena itu, orang-orang tersebut tidak dapat sebagai penggugat, kecuali harus dengan bantuan orang tua (wali), dan akan berakibat gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Demikian juga apabila yang digugat adalah perusahaan, penulisan korporasi atau badan hukum (legal entity) harus jelas dan sesuai dengan nama yang sesungguhnya, yakni nama yang disebut dalam anggaran dasar (AD) atau nama yang tertulis pada surat-surat resmi perusahaan. Salah sasaran dapat menimbulkan error in persona, yakni terjadi karena orang yang ditarik sebagai tergugat keliru. Misalnya, yang digugat di bawah umur tanpa mengikutsertakan orang tua atau walinya. Kemungkinan salah sasaran apabila orang yang ditarik sebagai tergugat tidak mempunyai status legal persona standi in judictio ’yang sah mempunyai wewenang bertindak di pengadilan’. Jadi, kekeliruan para pihak dapat mengakibatkan gugatan menjadi error in persona (kekeliruan mengenai orang). Cacat yang ditimbulkannya dapat berbentuk diskualifikasi (salah orang yang bertindak sebagai penggugat) dan juga berbentuk kesalahan pihak yang ditarik sebagai tergugat (gemis aanhoendarmigheid) atau berbentuk plurium litis consortium (kurang pihak dalam gugatan). Akibatnya, gugatan tidak memenuhi syarat formil dan menyebabkan gugatan tidak dapat diterima. 
    Error in persona digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu berikut ini.
    1. Orang yang menggugat tidak memenuhi syarat karena tidak mempunyai hak untuk menggugat sengketa dan tidak cakap melakukan tindakan hukum, yaitu bagi orang yang berada di bawah umur atau perwalian, pemboros, orang gila, maupun orang yang berada di bawah pengampuan.
    2. Salah sasaran menggugat.
    3. Gugatan kurang pihak, atau masih ada pihak lain yang dapat ditarik menjadi Tergugat (Badriyah Harum, 2010: 20).  
      
  • Alamat atau tempat tinggal. Yang dimaksud dengan alamat meliputi alamat kediaman pokok, kediaman tambahan, atau tempat tinggal riil. Sumber dokumen yang dapat digunakan untuk mengetahui keabsahan alamat dapat diperoleh dari KTP, NPWP, KK bagi perorangan, serta NPWP, AD, izin usaha atau papan nama bagi korporasi. Kemungkinan adanya perubahan alamat setelah diajukan gugatan, keabsahan gugatan tidak ada pengaruhnya dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar bantahan atau eksepsi sebagai alasan untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari Penggugat. Apabila tidak diketahui amat tempat tinggal Tergugat, maka menurut Pasal 390 ayat (3) HIR dapat dilakukan dengan pemanggilan umum oleh walikota/ Bupati. Apabila dihadapkan pada permasalahan seperti itu, dapat ditempuh cara perumusan identitas alamat, yakni dengan mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir atau dengan tegas mengatakan tidak diketahui alamat atau tempat tinggalnya (Yahya Harahap, 2007: 56).
     
  • Pekerjaan. Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah kegiatan atau aktivitas seseorang sebagai sumber nafkah bagi penghidupannya dan keluarganya, seperti pegawai negeri, pegawai swasta, petani, TNI, Polisi, pedagang, nelayan, dan sebaginya.
2) Fundamentum Petendi atau Posita (Dasar Gugatan) 
Yang dimaksud dengan fundamentum petendi adalah dasar gugatan atau dasar tuntutan (grandslag van delis) yang memuat tentang adanya hubungan hukum di antara pihak-pihak yang beperkara dan sebagai landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara. Dengan kata lain, posita adalah suatu uraian jelas mengenai hal-hal yang menjadi dasar atau alasan hukum dari pengajuan gugatan atau latar belakang (dasar fakta) diajukannya gugatan. Istilah lain yang sering digunakan dalam praktik disebut positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan dan dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan.
Dalam merumuskan fundamentum petendi atau posita dapat didasarkan pada sustantieseringstheori dan individualiseringtheori. Substantiseringtheori, menjelaskan bahwa gugatan selain menguraikan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menguraikan kejadian-kejadian nyata. Adapun individualiseringtheori menyelesaikan bahwa dalam gugatan itu cukup diuraikan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya fakta nyata yang menyebabkan timbulnya peristiwa atau kejadian-kejadian tersebut. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman praktik peradilan, kedua teori itu digabung untuk menghindari terjadinya perumusan gugatan yang kabur/gugatan gelap atau obscuur libel (Yahya Harahap, 2007: 58). 
Fundamentum petendi memuat 2 (dua) unsur berikut ini.
  • Dasar fakta (feitelijk grand), yaitu uraian tentang kejadian-kejadian materiil peristiwa hukum sebagai penjelasan duduk perkaranya (alasan-alasan berdasarkan keadaan). Penegasan atau penjelasan yang dimaksud adalah pernyataan mengenai fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan materi atau objek perkara maupun pihak tergugat atau penjelasan fakta yang langsung berkaitan dengan hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat.
  • Dasar hukum (rechtelijk grand, legal grand), yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis gugatan (alasan-alasan berdasarkan hukum). Hubungan hukum yang dimaksud adalah hubungan hukum antara penggugat dengan materi atau objek yang disengketakan dan hubungan antara penggugat dengan tergugat mengenai materi atau objek perkara.
Secara faktual dan praktik peradilan fundamentum petendi (posita) memuat hal-hal sebagai berikut.
  • Objek perkara/gugatan, yaitu berupa uraian mengenai hal yang menjadi pokok sengketa sebagai dasar atau alasan hukum diajukannya kepada ketua PN yang berwenang, misalnya dalam sengketa perkawinan, hak cipta, jual beli, sewa beli, perjanjian, wanprestasi, dan lain-lain. Bila objek perkara menyangkut benda tetap, gugatan yang diajukan harus terinci baik cara memperolehnya, luasnya, dan batas-batasnya secara tegas dan tepat serta hubungan benda tersebut dengan penggugat. Apabila objeknya benda tidak tetap harus diuraikan ciri-ciri, nomor, jenis, cara memperolehnya, dan lain-lain. Perincian tersebut dalam gugatan sangat penting dan sangat diperlukan. Tanpa objek perkara yang menjadi sengketa, maka perkara tidak dapat diadili. Apabila perinciannya tidak jelas dan terang, berakibat gugatan tidak dapat diterima. Objek perkara banyak macamnya, dapat berupa barang bergerak, tidak bergerak, dan dapat juga berupa barang bergerak yang masih akan didapat atau belum dipegang tangan. Untuk objek perkara/gugatan barang bergerak, misalnya tanah dan bangunan, maka untuk mengajukan gugatan harus menguraikan secara lengkap tentang letak objek secara lengkap dan tegas, batas-batas tanah dan bangunannya, termasuk luasnya, serta surat bukti dan nama pemegang hak. Batas-batas tanah yang disebutkan dalam gugatan harus sama dengan kenyataan di lapangan. Orang yang secara nyata menguasai dan menghaki tanah dan bangunan harus ditarik sebagai pihak penggugat. Jenis bangunan harus disebutkan, misalnya bertingkat dua, berlantai keramik, beratap genting, bahannya terbuat dari kayu apa, dan sebagainya. Hasil tanaman dari tanah dan bangunan harus dibuat secara rinci. Apabila gugatannya menuntut ganti rugi dapat menghasilkan nilai sebesar tertentu. Kalau objek perkara menyangkut barang bergerak, dalam jenis apa pun pada prinsipnya harus disebukan secara lengkap dan terinci, sehingga dapat terhindar dari adanya kemungkinan mengenai salah objek.
  • Fakta-fakta hukum, yakni meliputi penguraian terhadap asal muasal penyebab sengketa, seperti adanya perbuatan melawan hukum atau perbuatan melawan hukum oleh penguasa, cidera janji yang timbul antara penggugat dengan tergugat, utang piutang, warisan, dan lain-lain. 
  • Kualifikasi perbuatan tergugat/para tergugat atau turut tergugat baik yang bersifat formal atau materiil. Kualifikasi perbuatan tersebut adalah melanggar undang-undang, perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya, wanprestasi, dan lain-lain atau hal yang bertentangan dengan kebiasaan, adat-istiadat, kesusilaan, dan lain-lain.
  • Penguraian dan penjabaran anasir kerugian dan permintaan lain sebagai akibat tindakan tergugat/para tergugat. Hal ini dapat dirinci berupa kalkulasi kerugian yang diderita, baik kerugian materiil maupun non materiil, adanya permintaan dwangson, bunga moratoir, permintaan sita jaminan, dan sebagainya.
Dengan demikian, dalam fundamentum petendi (posita) ada dua unsur yang sangat penting, yaitu dasar hukum dan dasar fakta. Dasar hukum maksudnya adalah hubungan antara penggugat dengan objek sengketa dan hubungan tergugat dengan objek sengketa. Adapun dasar fakta maksudnya adalah uraian tentang fakta yang terjadi dalam hubungan penggugat, tergugat, dan objek sengketa.
Fundamentum petendi (posita) harus disusun secara sistematik dan sedemikian rupa sesuai dengan kronologis perkara dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
  • Etika, artinya menggunakan gaya bahasa yang sopan; tidak menyerang kehormatan atau merendahkan pihak lain, khususnya tergugat (lawan).
  • Estetika, artinya menggunakan gaya bahasa yang indah, sehingga enak dibaca dan mudah dipahami, serta tidak monoton.
  • Bahasa baku, artinya tidak menggunakan kalimat yang berbelit-belit dan/atau panjang, tetapi cukup sederhana, singkat, jelas, dan tegas.
  • Memilih kata-kata yang tidak bermakna ganda sehingga dapat dihindari perbedaan penafsiran antara penggugat, tergugat, dan hakim.
  • Konsisten dalam menggunakan istilah, artinya tidak menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk hal tertentu, misalnya tim 9 dan panitia IX, ketua, pimpinan, dan pemimpin, tanah sengketa, objek perkara, dan tanah terperkara, dan lan-lain.
  • Sinkron, artinya tidak kontradiktif di antara bagian-bagian posita maupun dengan petitum.
  • Menggunakan kalimat yang bermakna hubungan sebab-akibat (kausal), artinya fakta-fakta hukum yang ditampilkan dalam kalimat awal akan membawa akibat hukum yang diuraikan dalam kalimat berikutnya, misalnya ”Oleh karena Tergugat menguasai tanah sengketa tanpa alas hak yang sah, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum”.
  • Menyusun fundamentum petendi (posita) dengan menggunakan kronologi peristiwa hukum untuk memudahkan pemahaman yang runtut guna menyakinkan hakim akan alas hak yang sah bagi penggugat dengan memberi nomor urut masing-masing alinea dan memberi nomor halaman untuk setiap lembar kertas yang digunakan (Achmad Fauzan, 2007: 60-61). 
3) Petitum 
Yang dimaksud dengan petitum adalah uraian tentang hal-hal yang diinginkan atau dimohonkan atau yang dituntut supaya diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, petitum memuat tuntutan atau isi pokok gugatan atau permohonan penggugat kepada pengadilan untuk dinyatakan atau ditetapkan sebagai hak atau hukuman kepada penggugat atau perumusan tentang tuntutan penggugat/para penggugat kepada tergugat/para tergugat atau turut tergugat. Istilah yang sama dengan petitum dinamakan conclusum (pokok tuntutan), berarti apa yang dituntut; onderwerp der eis (pokok tuntutan). Selain itu, disebut juga dengan istilah petition atau duidelijke en bepaalde conclusie.
Karena petitum merupakan isi dari gugatan, maka petitum merupakan bagian penting dalam suatu gugatan, karena itu, harus diperhatikan kesinkronan petitum dengan fundamentum petendi (posita) dan petitum harus jelas dan dirinci satu per satu yang dibuat di akhir gugatan. Apabila tidak sinkron, tergugat dapat mengajukan eksepsi atau tangkisan kepada penggugat dengan alasan ketidakjelasan atau obcuur libel. Iadi, tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna bisa berakibat tidak diterimanya gugatan karena obscuur libel dan tidak sempurna. Oleh karena itu, hakim wajib terikat pada petitum.
Menurut Pasal 178 HIR, hakim wajib mengadili semua bagian dari petitum dan dilarang untuk lebih dari apa yang diminta. Apabila putusan hakim melebihi dari yang dituntut, putusan hakim tersebut dapat dibatalkan pada tingkat kasasi.
Petitum dapat dirinci menjadi dua macam, sebagai berikut:
  • Tuntutan primair (petitum primair), merupakan tuntutan pokok (principal), misalnya tuntutan kepada tergugat menyerahkan barang yang dibeli, tuntuan meminta kepada hakim sebagai pemilik yang sah, tuntutan agar tergugat membayar ongkos perkara, atau tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu.
  • Tuntutan subsidair (petitum subsidair), merupakan tuntutan pengganti apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim. Lazimnya dirumuskan, ”Mohon keadilan yang seadil-adilnya (ex aeque et bono)".
Baik petitum primair maupun petitum subsidair samasama dirinci. Dalam penerapannya kedua-duanya tidak sama. Petitum primair mutlak diterapkan oleh hakim secara alternatif. Oleh karena itu, hakim dalam mengambil dan menjatuhkan putusannya memilih apakah petitum primair atau subsidair; tidak boleh mencampur-adukkannya, misalnya mengambil sebagian dari petitum primair dan sebagian dari petitum subsidair. Petitum subsidair bersifat alternatif atau tidak mutlak. Hakim bebas mengambil seluruh atau semua petitum primair dan mengesampingkan petitum subsidair. Dalam praktik peradilan aneka ragam tuntutan atau pctitum dikatagorikan sebagai petitum ”primair” dan ”subsidnir” atau dengan formulasi ”dalam provisi”, dalam pokok perkara/ primair dan subsidair, atau hanya terdiri dari tuntutan primair tanpa tuntutan subsidair.
Di lihat dari tingkatannya, menurut A. Ridwan Halim (2005: 43), petitum dapat dibedakan sebagai berikut.
  • Tuntutan menurut tingkatannya: primair dan subsidair.
  • Tuntutan menurut proses dan kualitas: tuntutan provisional dan tuntutan induk yang terdiri atas tuntutan pokok dan tuntutan tambahan. Tuntutan primair adalah tuntutan yang merupakan tuntutan pokok awal yang diajukan. Tuntutan subsidair adalah tuntutan pokok yang diajukan di samping tuntutan primair yang pada dasarnya lebih berfungsi sebagai tuntutan "cadangan”  yang diusahakan agar dapat dikabulkan bila tuntutan primair ditolak.
  • Tuntutan menurut proses dan kualitasnya: Tuntutan provisional dan tuntutan induk yang terdiri atas tuntutan pokok dan tambahan.
  • Tuntutan provisional, yaitu tuntutan agar dilakukan tindakan-tindakan tertentu secara lebih dulu, sementara tuntutan induk sedang dalam proses pemeriksaan dan pertimbangan. Tuntutan induk, yaitu tuntutan keseluruhan yang sebenarnya menjadi pokok masalah dalam perkara yang bersangkutan, yang pada dasarnya terdiri atas tuntutan pokok, yaitu hal atau inti yang menjadi isi dari tuntutan tersebut. Tuntutan tambahan, yaitu tuntutan lainnya yang merupakan penyerta atau tambahan yang masih erat hubungannya dengan tuntutan pokok.
  • Tuntutan menurut maksudnya:
  1. supaya pihak lawan melakukan sesuatu, 
  2. supaya pihak lawan tidak melakukan sesuatu, dan 
  3. campuran antara a dan b.
  • Menurut wujud/maknanya: tuntutan materiil, tuntutan immateriil, dan campuran a dan b. Tuntutan materiil, yaitu tuntutan yang berupa penyerahan kebendaan atau tuntutan yang tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat bendawi atau sesuatu yang harganya dapat diukur/ditukar dengan uang. Tuntutan immateriil, yaitu tuntutan yang tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang tidak bersifat bendawi atau sesuatu yang nilainya tidak dapat diukur dengan uang.
  • Tuntutan menurut sumber timbulnya: tuntutan praktis dan tuntutan pengandaian. Tuntutan praktis, yaitu tuntutan yang secara langsung didasarkan atas fakta keadaan yang sudah dihadapi. Tuntutan pengandaian, yaitu tuntutan yang timbulnya tergantung pada terpenuhi atau tidaknya persyaratan yang diandaikan sebagai sumber timbulnya tuntutan itu.
  • Tuntutan menurut urutan timbulnya: tuntutan awal (dalam konvensi) dan tuntutan balasan (dalam rekonvensi). Tuntutan awal, yaitu tuntutan yang timbul pertama kali sebagai awal proses pemeriksaan dan pengadilan perkara yang bersangkutan di pengadilan. Tuntutan balasan, yaitu tuntutan yang timbul kemudian dari pihak tergugat dalam konvensi sebagai tuntutan balasan terhadap tuntutan awal tersebut di atas. Tuntutan menurut sasarannya: tuntutan terhadap tergugat tunggal, tuntutan terhadap secara masing-masing dan secara tangung renteng, dan tuntutan terhadap beberapa tergugat.
  • Tuntutan menurut sifat hubungan antar tuntutan: tuntutan alternatif dan tuntutan kumulatif. Tuntutan alternatif, yaitu tuntutan yang jumlahnya lebih dari satu dan pemenuhannya berupa suatu pihak salah satu atau beberapa saja di antaranya. Tuntutan kumulatif, yaitu tuntutan yang jumlahnya lebih dari satu dan semuanya dipenuhi sebagai suatu penjumlahan.
Di lihat dari isinya, petitum gugatan dapat dikelompokkan sebagai berikut.
  • Petitum declaratoir, artinya petitium yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan keabsahan. Misalnya, menyatakan perjanjian yang dibuat antara penggugat dan tergugat adalah sah.
  • Petitum konstitutif, artinya petitum yang isinya bersifat untuk menciptakan atau meniadakan suatu keadaan hukum. Misalnya menyatakan penggugat dan tergugat adalah ahli waris sah dari almarhum (menciptakan); menyatakan bahwa hubungan ikatan perkawinan antara penggugat dengan tergugat putus karena perceraian. 
  • Petitum comdemnatoir, artinya petitum yang isinya bersifat hukuman yang dapat dipaksakan dengan cara eksekusi.
  • Petitum provisionil, artinya petitum yang isinya bersifat permintaan kepada hakim agar diadakan tindakan pendahuluan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung, misalnya penangguhan pembangunan rumah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
  • Petitum alternatif, artinya petitum yang isinya bersifat pilihan dengan memberi kesempatan kepada hakim untuk melakukan pilihan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam praktik biasanya ada dua pilihan dan kadang-kadang tiga pilihan dengan model primair dan subsidair atau ex aequo et bono.
Di dalam membuat petitum, menurut Achmad Fauzan (2007: 65-66), yang penting dan harus menjadi perhatian adalah hal-hal berikut.
  • Kesesuaian/sinkroninisasi dengan posita, intinya alasan-alasan yang diuraikan dalam posita-lah yang harus digunakan sebagai dasar untuk mengajukan permintaan. Misalnya, uraian dalam posita sudah berdasar hukum sehingga petitum pertama yang diminta adalah mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya; uraian membuktikan bahwa tergugat telah menguasai tanah sengketa tanpa alas hak yang sah, sehingga petitum yang diminta menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
  • Tidak kontradiksi, artinya petitum tidak boleh kontradiksi dengan posita maupun dengan bagian petitum lainnya. Misalnya, di dalam posita diuraikan tentang tergugat telah menguasai tanah sengketa tanpa alasan hak yang sah, sehingga merupakan perbuatan yang melawan hukum. Akan tetapi di dalam petitum lupa tidak disebutkan adanya perbuatan melawan hukum tergugat, misalnya dengan formulasi kalimat, ”Menyatakan bahwa tanah sengketa milik sah Penggugat. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa kepada Penggugat”.
  • Orang yang ditetapkan dalam petitum harus sebagai pihak dalam perkara. Misalnya, menyatakan bahwa pcnggugat dan tergugat yang bernama Amin adalah ahli waris yang sah dari suami-istri almarhum dan almarhumah Jalil dan Romlah yang berhak atas harta peninggalannya, yaitu barang sengekata, padahal Amin tidak mcmihak dalam perkara.
  • Petitum harus jelas dan tegas, artinya apa yang diminta harus jelas sehingga tidak membingunkan. Misalnya, menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, padahal seharusnya disebutkan beberapa yang diminta penggugat, misalnya menetapkan hak Penggugat atas tanah sengketa adalah setengah bagian.
  • Petitum tidak boleh bersifat negatif, artinya berisi perintah untuk tidak berbuat. Misalnya, menghukum tergugat untuk tidak berbuat tindakan-tindakan yang bersifat merusak agunan sengketa.
  • Petitum harus runtut dan disusun sesuai dengan poin-poin posita serta diberi nomor urut.
Hal yang perlu diperhatikan adalah antarafundamentum petendi (posita) dan petitum harus ada hubungannya, artinya uraian dalam petitum harus didukung oleh posita. Apabila petitum tidak didukung oleh posita, gugatan menjadi kabur dan akan berakibat gugatan ditolak/tidak diterima. 
4) Nama Pengadilan Harus Jelas (Kewenangan Relatif Pengadilan) 
Gugatan secara formil harus ditujukan kepada pengadilan sesuai dengan kompetensi relatif/kewenangan relatif. Gugatan harus memuat dengan jelas dan tegas mengenai alamat dan kompetensi PN. Kalau tidak, maka gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) dengan alasan hakim tidak berwenang mengadili.
Gugatan harus diajukan kepada ketua pengadilan negeri tertentu, misalnya Ketua PN Medan, Ketua PN Tarutung, dsb. Mengenai kejelasan dan ketegasan alamat PN yang dituju dan juga yang sesuai dengan kompetensi relatif diatur dalam Pasal 118 HIR/142 RBg, yang menetapkan berikut ini. 
  • Pengajuan gugatan itu diajukan kepada ketua PN yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat.
  • Jika terdapat lebih dari seorang tergugat yang tidak bertempat tinggal dalam daerah hukum yang sama, gugatan diajukan kepada ketua PN yang daerah hukumnya meliputi salah satu tergugat menurut pilihannya.
  • Jika beberapa orang tergugat hubungannya satu dengan yang lain sebagai orang yang berutang pertama dan penanggung, diajukan ke pengadilan di tempat tinggal orang yang berhutang pertama.
  • Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal (tetap) atau tempat tinggal kediaman (sementara), gugatan diajukan kepada PN di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.
  • Jika yang digugat itu barang tetap, gugatan diajukan kepada PN di tempat barang tetap terletak.
  • Jika kedua belah pihak memilih tempat tinggal dengan suatu akta, penggugat dapat mengajukan gugatannya ke PN yang daerah hukumnya bertempat tinggal yang dipilih tersebut.
Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg yang mengatur kompetensi relatif PN menegaskan bahwa permohonan gugatan itu diajukan kepada PN yang benar-benar sesuai dengan kewenangannya (kekuasaannya), yakni berikut ini.
  • Di mana tergugat bertempat tinggal.
  • Di mana tergugat berada (jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya).
  • Di mana salah satu tergugat bertempat tinggal, jika ada banyak Tergugat yang tinggalnya tidak dalam satu daerah hukum pengadilan negeri.
  • Di mana tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan antara tergugat-tergugat adalah sebagai yang berutang dan penjaminnya.
  • Di mana penggugat atau salah satu dari penggugat bertempat tinggal dalam hal berikut ini.
  1. Tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak diketahui di mana ia berada.
  2. Tergugat tidak dikenal. Dalam hal ini yang menjadi objek gugatan adalah benda tidak bergerak (tanah), di mana benda tidak bergerak terletak. Hal ini berbeda dengan RBg, yang menurut Pasal 142 RBg, apabila objek gugatan adalah tanah, maka gugatan selalu dapat diajukan kepada PN di mana tanah itu terletak.
  • Dalam hal pilihan domisili secara tertulis dalam akta, jika penggugat menghendaki, di tempat domisili yang dipilih itu.
Apabila tergugat pada hari sidang pertama tidak mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang wewenang relatif ini, PN tidak boleh menyatakan dirinya tidak berwenang. Pengadilan wajib mengadili perkara tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 133 HIR/Pasal 159 RBg, yang menyatakan bahwa eksepsi mengenai kewenangan relatif harus diajukan pada permulaan sidang apabila diajukan secara terlambat, hakim dilarang untuk memperhatikan eksepsi tersebut.
5)Tempat, Tanggal, dan Penandatanganan Gugatan 
Tempat menunjukkan di mana gugatan itu dibuat. Meskipun tidak mutlak adanya, tetapi apabila tempat disusunnya surat gugatan itu terasa janggal, misalnya gugatan itu dibuat di luar negeri, bisa saja dipermasalahkan keasliannya. Yang dimaksud dengan tanggal gugatan adalah tanggal gugatan yang tertera dalam gugatan. Tanggal surat gugatan menunjukkan waktu dibuatnya gugatan. Ketiadaan tanggal akan dapat berakibat hukum yang fatal, misalnya gugatan tidak dapat diterima, gugatan menjadi prematur atau kedaluwarsa, atau gugatan tidak sah. Memang, undang-undang tidak pernah menyebutkan bahwa gugatan harus mencantumkan tanggal suatu gugatan. Pemberian tanggal gugatan bukanlah merupakan syarat formil gugatan atau tidak mutlak. Oleh karena itu, gugatan yang tidak mencantumkan tanggal tidak akan berakibat gugatan mengandung cacat formil. Namun demikian, pencantuman tanggal gugatan dilaksanakan demi kepastian hukum atau pembuatan dan penandatangan gugatan, sehingga apabila timbul masalah penandatanganan berhadapan dengan tanggal pembuatan, dapat diselesaikan berdasarkan register di kepaniteraan (M. Yahya Harahap, 2007: 52). 
Di dalam praktik peradilan, pencantuman tanggal gugatan sangat penting, karena tanggal sebagai dasar yang menunjukkan tentang waktu disusunnya surat gugatan. Oleh karena itu, pencantuman tanggal gugatan adalah keharusan dalam suatu gugatan. Apabila tanggal gugatan tidak dicantumkan dapat berakibat hukum yang fatal, yaitu tidak dapat diterimanya gugatan tersebut (niet onvankelijk verklaard).
Pencantuman tanggal surat gugatan dapat diletakkan pada bagian atas dari lembar awal gugatan atau pada bagian bawah dari lembar terakhir gugatan. Suatu gugatan yang tidak diberi tanggal dapat berakibat berikut ini.
  • Bersifat fatal, misalnya gugatan menjadi prematur dalam hal gugatan berkaitan dengan tanggal jatuh tempo suatu tagihan.
  • Gugatan menjadi kedaluwarsa (verjaard) dalam hal gugatan berkaitan dengan tenggang waktu tuntutan hak yang disediakan oleh undang-undang.
  • Gugatan menjadi tidak sah, dalam hal tanggal tertera dalam surat gugatan lebih awal dari tanggal surat kuasa, apabila gugatan diajukan menggunakan jasa advokat (Ahmad Fauzan dan Suhartanto, 2007: 17). 
Pengajuan gugatan dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan atau kuasanya dengan surat kuasa khusus. Apabila diberikan kepada seorang kuasa surat kuasa tersebut haruslah dengan surat kuasa khusus. Surat kuasa adalah surat yang menerangkan terjadinya pemberian kuasa dari seseorang atau satu pihak kepada orang atau pihak lain untuk bertindak sebagai wakil dalam mengurusi kepentingan pemberian kuasa. Menurut Soebekti, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian atau persetujuan di mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Pada umumnya, di lihat dari isinya, surat kuasa ada dua macam, yaitu surat kuasa umum dan surat kuasa khusus. Surat kuasa umum adalah surat kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa tersebut berlaku umum atau meliputi berbagai macam hal. Surat kuasa khusus adalah surat kuasa yang secara tegas menerangkan bahwa pemberian kuasa itu hanya berlaku khusus untuk hal-hal tertentu saja, misalnya khusus mengenai penjualan tanah dan bagunan, pengurusan surat tanah, pengurusaan surat kendaraan, atau pengambilan gaji si pemberi kuasa.
Kehadiran wakil atau pengacara tergantung dari kebutuhan pihak. Menguasakan kepada wakil atau pengacara untuk mengurus kepentingannya harus dengan surat kuasa khusus yang mengatur secara khusus penguasaan yang dilimpahkan secara mengganti dan ditandatangani. Pengaturan secara khusus penguasaan kepentingan berupa aturan pemberian hak dan kewenangan kepada wakil atau pengacara yang bertindak atas namanya dihadapan pengadilan atau instansi sesuai dengan keperluan dan kepentingannya terhadap sengketa. Biasanya dalam surat kuasa khusus tersebut dicantumkan juga hak substitusi, yakni yang membolehkan penguasaan itu dapat ditarik dari wakil atau pengacara oleh pemberi kuasa.
6) Gugatan Bermaterai 
Dalam praktik peradilan dewasa ini gugatan harus bermaterai (Rp 6.000,00). Gugatan yang tidak bermaterai akan dikembalikan. Pada materai itu diberi tanggal, bulan, tahun, dan berisikan tanda tangan penggugat/kuasanya.
7) Judul Gugatan 
Memang, tidak ada keharusan untuk mencantumkan judul gugatan. Namun pembaca, panitera, hakim, atau tergugat akan lebih mudah memahami isi gugatan jika tercantum judul gugatan. Dengan kata lain, pencantuman tersebut dapat membantu panitera untuk meregister/mendaftar gugatan. Lazimnya, judul gugatan dicantumkan pada bagian sebelah kiri lembar gugatan; ditulis di bawah tanggal gugatan, kalau tanggal gugatan dicantumkan paling atas. Kata-katanya pendek, misalnya, Perihal/Hal: Gugatan dan Permohonan Sita Jaminan, Gugatan Wanprestasi, Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan Ganti Rugi disertai Permohonan Sita Jaminan. Perlu diperhatikan bahwa harus ada kesesuaian antara judul gugatan dengan isi gugatan, karena gugatan dapat menjadi obscuur libel atau kabur.
Sebelum menyusun gugatan, sebaiknya harus terlebih dahulu memperhatikan langkah-langkah awal dalam menyusun gugatan, yaitu berikut ini.
  • Pengumpulan bahan-bahan baik berupa barang bukti tertulis (akta autentik atau akta di bawah tangan) atau pun tidak tertulis (keterangan saksi, baik karena pengetahuan maupun karena pengalaman atau keahliannya.
  • Pengetahuan hukum yang memadai tentang permasalahan yang dihadapi yang akan diwujudkan dalam gugatan.
  • Melakukan identifikasi terhadap orang atau lembaga yang terlibat dalam perkara, yang kemungkinan bisa ditarik sebagai pihak dalam perkara, sebagai penggugat, tergugat, atau saksi. Identifikasi ini dapat meliputi nama, gelar, umur, tempat tinggal atau alamat, pekerjaan, dan lain-lain. Idenfikasi juga terhadap objek yang diperebutkan, misalnya perkara tanah, yang harus dilengkapi adalah informasi letak, luas, batas, sertifikat, petok, SPPT PBB, siapa yang menguasai, hasilnya, nilainya, dan kemungkinan alas haknya.
  • Melakukan analisis hukum yang akan menghasilkan suatu kesimpulan, yaitu bahwa penyelesaikan yang paling efektif adalah menggunakan dasar, misalnya perbuatan melawan hukum, ingkar janji (wanprestasi) atau alasan lain dan menentukan subjeknya, baik sebagai penggugat, tergugat, dan saksinya.
Setelah gugatan dianggap sudah lengkap atau sudah maksimal, bahan-bahan itu perlu dianalisis secara hukum. Analisis secara hukum itu dilakukan untuk memilah-milah sejauh mana ada nilai keterkaitannya dengan kepentingan hukum untuk menyelesaikan perkara yang dihadapi. Mengadakan analisis hukum artinya menilai dengan mengaitkan bahan-bahan yang ada dengan berbagai peraturan hukum yang mengatur permasalahan yang dihadapi. Agar analisis lebih tajam dan akurat perlu mengunakan literatur, pendapat para pakar, dan sebagainya. Jadi, menyusun gugatan tidaklah mudah. Dengan kelemahan formal dari gugatan, yang pasti ada eksepsi (tangkisan) dari pihak lawan. Kalau ini terjadi sudah tentu akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, selain harus menguasai materi yang menjadi pokok permasalahan harus juga menguasai peraturan-peraturan hukum, putusan-putusan hukum (yurisprudensi), serta pengalaman praktik yang sudah tentu sangat efektif untuk membantu dalam penyusunan suatu gugatan.
8) Penandatanganan Gugatan 
Gugatan harus ditandatangani oleh penggugat atau wakil/kuasa. Yang dimaksud dengan wakil/kuasa adalah seorang kuasa, yakni seorang yang sengaja dikuasakan berdasarkan suarat kuasa khusus untuk membuat dan menandatangani gugatan. Membuat tanda tangan dalam gugatan merupakan syarat formil.
Syarat formil dapat dilihat dalam Pasal 118 ayat (1) HIR/ Pasal 142 ayat (1) RBg yang menyatakan bahwa gugatan dimasukkan ke PN sesuai dengan kompetensi relatif dan di buat dalam bentuk surat permohonan/permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya (kuasanya). Demikian juga tanggal gugatan harus lebih muda dari tanggal surat kuasa khusus atau sekurang-kurang sama.
Menurut Pasal 118 HIR, gugatan dapat ditanda tangani:
  • penggugat atau para penggugat,
  • kuasa/wakilnya, dan
  • hakim, apabila penggugat /para penggugat tidak dapat menulis.
Yang dimaksud dengan tanda tangan (handtekening, signature) pada umumnya merupakan tanda atau inisial nama yang dituliskan dengan tangan sendiri oleh penanda tangan (Yahya Harahap, 2007: 53). Apabila penggugat tidak dapat menulis, ia dapat membubuhkannya dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan.
Cap jempol merupakan cap ibu jari tangan yang disamakan dengan tanda tangan. Di dalam praktik peradilan, penerapan cap jempol harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. hal ini merupakan syarat imperatif. Namun, tidak mengakibatkan gugatan batal demi hukum, tetapi dapat diperbaiki dengan memerintahkan penggugat untuk melegalisasi.

4. Bentuk Gugatan 
Gugatan dapat diajukan secara tertulis atau secara lisan apabila penggugat tidak dapat membaca dan menulis. Menurut undang-undang, bentuk gugatan yang diperkenankan dapat berbentuk lisan dan tertulis. Bentuk gugatan secara lisan berpedoman pada Pasal 120 HIR/144 RBg yang menegaskan bahwa bilamana penggugat buta huruf, surat gugatannya dapat dimasukkan dengan bentuk lisan kepada ketua PN, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.
Gugatan lisan dapat diajukan dengan mengajukan secara lisan kepada ketua PN dengan menguraikan/menjelaskan isi maksud gugatan. Ketua PN akan mencatat atau menyuruh mencacat gugatan tersebut yang disampaikan penggugat dan merumuskan sebaik mungkin gugatan dalam bentuk tertulis sesuai dengan yang diterangkan oleh penggugat.
Mengenai gugatan secara lisan penyampaiannya ke PN, penggugat harus menyampaikan sendiri dan tidak boleh diwakilkan. Dalam salah satu putusan MA No. 69 K/Sip/1973, tanggal 4 Desember 1975, menegaskan bahwa orang yang diberi kuasa tidak berhak mengajukan gugatan secara lisan.
Bentuk tertulis dari gugatan paling diutamakan. Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR/142 RBg, gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat/kuasanya. Jadi, sebelum dimasukkan ke PN, penggugat/kuasa hukumnya harus terlebih dahulu menandatangani gugatan. Namun, mengenai syarat suatu gugatan, Pasal 118 HIR/142 RBg hanya mengatur bagaimana gugatan diajukan, tidak ada pengaturan mengenai syarat dari suatu gugatan. Mengenai sebagaimana sudah dikemukakan bahwa pengajuan gugatan ke pengadilan harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil.

5. Kumulasi, Mengubah dan/atau Menambah, dan Mencabut Gugatan 
1) Kumulasi Gugatan Perdata 
HIR/RBg tidak mengatur tentang penggabungan (kumulasi, samenvoging van verordering, objective cumulatie, atau samenloop rechts-verordering: consursus). Namun demikian, di dalam praktik, kumulasi (penggabungan) diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana dapat dipahami menurut ketentuan Pasal 393 HIR, yang menegaskan bahwa apabila dirasakan perlu dalam perkara perdata untuk mengisi kekosongan hukum, dapat digunakan lembaga yang terdapat dalam Reglement op de Rechtsverodering (Rv).
Di dalam Rv, mengenai tersebut tidak secara tegas diatur dan juga tidak dilarang. Kumulasi diatur dalam Pasal 102-105 Rv. Namun, secaraa contrario, dapat disimpulkan bahwa membolehkan penggabungan gugatan. Yang dilarang kumulasi menurut Pasal 103 Rv hanya terbatas pada penggabungan atau tuntutan hak menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik.
Dalam praktik acara perdata, kumulasi gugatan tidak dilarang; kumulasi gugatan dibolehkan apabila menguntungkan proses, yaitu apabila antara gugatan yang digabung itu ada hubungan koneksitas dan penggabungan gugatan akan memudahkan pemeriksaan serta dengan penggabungan gugatan akan dapat mencegah kemungkinan adanya putusan yang saling bertentangan (Soeparmono, 2005: 2106)
Secara teknis, menurut Yahaya Harahap (2007: 102), penggabungan gugatan mengandung arti penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan. Menurut Soepomo, penggabungan disebut juga kumulasi atau samenvoegeing van vordering, yakni penggabungan lebih dari satu tuntutan hukum ke dalam satu gugatan. Dengan demikian, kumulasi (penggabungan) merupakan penggabugan dari beberapa gugatan yang digabung menjadi satu gugatan. Jadi, yang sebelumnya gugatan itu terdiri dan/atau dapat dibuat dalam beberapa gugatan, maka setelah dilakukan penggabungan menjadi satu gugatan.
Kumulasi gugatan itu diperbolehkan apabila ada hubungan yang erat dan mendasar di antara gugatan-gugatan yang digabung. Pembenaran penerapan kumulasi itu disayaratkan sebagai berikut.
  1. Gugatan yang digabung adalah sejenis.
  2. Yang dituntut oleh para Penggugat sama.
  3. Terdapat hubungan yang sama antara Penggugat dan Tergugat.
  4. Penggabungan gugatan akan mempermudah pembuktian.
  5. Penggabungan tidak bertentangan dengan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan murah.
Pada prinsipnya, setiap gugatan berdiri sendiri, tetapi dalam hal-hal dan dalam batas-batas tertentu diperbolehkan melakukan kumulasi dalam satu gugatan dengan ketentuan asalkan terdapat hubungan yang erat dan mendasar sifatnya atau ada koneksitas (innerlijke samenhangen). Hubungan yang erat tersebut harus dapat dibuktikan dengan fakta-fakta, misalnya beberapa orang debitur berutang, kemudian digugat oleh satu orang kreditur, di mana peristiwa itu mencerminkan adanya hubungan yang erat dan mendasar antara dua gugatan yang bersifat kenyataan (Lilik Mulyadi, 1999: 86)
Kumulasi gugatan adalah penggabungan beberapa tuntutan hak/gugatan ke dalam satu gugatan atau penggabungan beberapa gugatan yang digabung menjadi satu yang mempunyai hubungan yang erat (koneksitas) yang berdasarkan fakta.
Unsur-unsur penggabungan gugatan adalah berikut ini
  1. Beberapa gugatan digabung menjadi satu. 
  2. Gugatan-gugatan yang digabung itu terdapat hubungan yang erat atau ada koneksitas.
  3. Hubungan yang erat itu harus dibuktikan berdasarkan fakta.
Dibenarkannya kumulasi gugatan didasarkan pada pemikiran untuk menghindarkan terjadi kemungkinan adanya keputusan yang berlawanan atau bertentangan terhadap perkara yang sama-sama diperiksa oleh hakim yang sama dan benar-benar memberikan kemudahan atau menyederhanakan proses pemeriksaan.
Berdasarkan alasan tersebut, syarat pokok kumulasi adalah berikut ini.
  1. Terdapat hubungan yang erat, artinya antara gugatangugatan yang digabung itu harus ada hubungan batin (innerlijke samenhang).
  2. Terdapat hubungan hukum antara penggugat atau antara tergugat; kalau tidak ada hubungan hukum, gugatan wajib diajukan secara terpisah.
  3. penggabungan itu memudahkan atau menguntungkan proses.
  4. Dalam teori dan praktik hukum acara perdata dikenal dua bentuk penggabungan (kumulasi). 
  • Kumulasi Subjektif (Subjective Cumulatie) 
    Kumulasi subjektif adalah beberapa subjek hukum yang menjadi satu dalam gugatan atau dengan kata lain, dalam satu gugatan terdapat berapa orang tergugat. 
    Kumulasi subjektif terdapat beberapa bentuk. 
    • Kumulasi subjektif penggugat, yaitu beberapa orang penggugat berhadapan dengan satu orang tergugat. Misalnya, beberapa orang penggugat (A, B, C) mengajukan gugatan terhadap seorang tergugat (D) yang melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).   
    • Kumulasi subjektif tergugat, yaitu seorang penggugat berhadapan dengan beberapa orang. Misalnya, seorang kreditur (A) menggugat beberapa orang debitur (B, C, D, E, F) yang berutang secara tanggung-renteng.  
    • Kumulasi subektif penggugat dan tergugat, yaitu penggugat yang terdiri atas beberapa orang berhadapan dengan berberapa orang Tergugat. Misalnya, beberapa orang ahli waris (A, B, C) berhadapan dengan ahli waris yang, lain (D, E, F). 
  • Kumulasi Objektif (Objective Cumulatie) Kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa gugatan dalam satu gugatan, atau seorang Penggugat mengajukan beberapa gugatan yang melawan seorang tergugat. Syarat materiil kumulasi objektif adalah terdapat hubungan yang erat antara gugatan yang satu dengan gugatan yang lain. Kumulasi objektif tidak diatur dalam undang-undang, tetapi diperkenankan karena dapat memudahkan proses dan menghindarkan keputusan yang saling bertentangan.
Menurut Soeparmono (2005: 107), penggabungan merupakan suatu masalah yang berkaitan dengan ketertiban umum, dalam hal ini ketertiban beracara. Hakim kasasi juga berwenang menilai penggabungan gugatan-gugatan kalau nampak jelas adanya pelanggaran terhadap ketertiban umum/ketertiban beracara tersebut. Pada asasnya kumulasi gugatan telah dianggap sebagai penilaian mengenai fakta, tetapi apabila terjadi pelanggaran terhadap ketertiban umum/ketertiban beracara dengan adanya kumulasi gugatan-gugatan, hal ini dapat dipandang sebagai kesalahan menerapkan hukum yang ditentukan secara kasus demi kasus.
Undang-undang tidak melarang penggugat mengajukan kumulasi gugatan terhadap beberapa orang tergugat sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 127 HIR/151 RBg; Pasal 1283 dan 1284 KUHP dt; Pasal 18 KUHD. Yang harus diperhatikan adalah bahwa untuk mengadakan kumulasi subjektif disyaratkan harus ada hubungan yang erat satu sama lain (koneksitas). Putusan MA No. 415 K/Sip/1975, 20 Iuni 1975, telah menyatakan bahwa gugatan yang ditujukan kepada lebih dari seorang tergugat, yang antara tergugat-tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya, tidak dapat diadakan dalam satu gugatan, tetapi masing-masing tergugat harus digugat sendiri atau terpisah satu dengan yang lain.
Kumulasi objektif tidak ada pengaturannya dalam undang-undang, tetapi ada diperkenankan dengan alasan bahwa kumulasi itu dapat memudahkan proses dan dapat menghindarkan keputusan yang saling bertentangan.
Terhadap kumulasi objektif tidak disyaratkan sebagaimana pada kumulasi subjektif bahwa gugatan itu harus ada hubungan yang erat satu sama lain. Namun dalam hal tertentu, kumulasi objektif tidak dapat diperkenankan untuk hal berikut ini.
  1. Penggabungan antara gugatan yang diperiksa dengan acara khusus, misalnya perceraian, dan gugatan lain yang harus diperiksa dengan acara biasa misalnya mengenai pelaksanaan perjanjian.
  2. Penggabungan dua atau lebih tuntutan, di mana salah satu di antaranya hakim tidak berwenang secara relatif untuk memeriksanya.
  3. Penggabungan antara tuntutan mengenai bezit dan tuntutan mengenai eigendom (Riduan Syahrani, 2007: 37).
Kumulasi gugatan cerai dengan pembagian harta bersama atau harta gono gini. Di sini ada gugatan, yaitu gugatan cerai dan gugatan pembagian harta bersama. Kedua gugatan tersebut berbeda dan masing-masing berdiri sendiri. Gugatan perceraian berada di depan dan pembagian harta bersama berada di belakang. Gugatan harta bersama dapat muncul setelah gugatan perceraian memperoleh putusan yang berkekuatan tetap. Namun demikian, penggabungan terhadap kedua gugatan menjadi satu gugatan diperbolehkan berdasarkan Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang menentukan bahwa gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau pun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Untuk dapat melakukan kumulasi, dapat mempedomani ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 102-105 Rv, tetapi di dalam praktik terdapat kumulasi yang tidak dibenarkan, yaitu berikut ini.
  1. Pemilik objek gugatan berbeda. Gugatan kumulasi yang dilakukan terhadap beberapa objek, yang masing-masing objek gugatan dimiliki oleh pernilik yang berbeda atau berlainan, tidak dapat dilakukan kumulasi, baik secara objektif maupun subjektif.
  2. Gugatan yang digabung tunduk pada hukum acara yang berbeda. Kumulasi gugatan yang tunduk pada hukum acara yang berbeda tidak dibenarkan meskipun terdapat hubungan yang erat. Prinsip kumulasi gugatan adalah bahwa perkara yang dapat digabung tunduk pada hukum acara yang sama. Pasal 57 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan bahwa gugatan pembatalan merek menjadi yuridiksi absolut pengadilan niaga, sedangkan sengketa perbuatan melawan hukum menjadi kewenangan PN.
  3. Gugatan tunduk pada kompetensi absolut yang berbeda. Gugatan yang diajukan harus tunduk kepada kewenangan absolut dan karena itu kumulasi tidak dapat dibenarkan. Misalnya, gugatan perdata TUN dengan gugatan perdata sengketa hak milik atau perbuatan melawan hukum. Menurut Pasal 2 Jo. Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 1986 tentang TUN, gugatan perdata TUN secara absolut menjadi kewenangan TUN, sedangkan sengketa hak milik dan perbuatan melawan hukum menjadi kewenangan absolut PN. Sehubungan dengan pembagian fungsi dan kewenangan absolut tersebut, tidak dibenarkan melakukan gugatan yang berbeda yuridiksi untuk mengadilinya. 
  4. Gugatan rekonvensi tidak ada hubungan dengan gugatan konvensi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 132 a ayat (1) HIR, tergugat berhak mengajukan gugatan rekonvensi, sehingga terjadi penggabungan antara konvensi dan rekonvensi. Namun, tetap berpatokan pada syarat bahwa terdapat hubungan yang erat antara keduanya (Yahya Harahap, 2007: 108-109). 
2) Mengubah dan/atau Menambah Gugatan
Perubahan gugatan dapat terjadi dengan mengubah atau menambah gugatan. Mengubah atau menambah gugatan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan hasil yang sempurna. Hal ini karena kurang cermat atau kurang teliti, atau karena kelupaan sehingga perlu melakukan pengubahan dan/atau menambah gugatan.
Pada satu sisi, melakukan pengubahan dan/atau menambah gugatan adalah hak penggugat. Meskipun demikian, dalam melakukan pengubahan dan/atau menambah gugatan dilakukan dengan tidak merugikan pihak lain. Dikatakan merupakan hak penggugat mempunyai pengertian bahwa hakim dan tergugat tidak boleh menghalangi atau melarang Pengguggat untuk menggunakan haknya, asalkan dalam kerangka hukum yang diperkenankan. Yang diperbolehkan adalah hak penggugat sebagaimana dikemukakan itu terbatas hanya terhadap pembolehan melakukan pengubahan atau menambah, termasuk mengurangi gugatan. Jadi, melakukan pengubahan dan/atau menambah gugatan tidak merugikan pihak tergugat.
Mengubah gugatan adalah pengubahan terhadap isi atau substansi gugatan sehingga berbeda dari isi atau substansi gugatan sebelumnya. Apakah isi atau substansi gugatan dapat diubah? HIR/RBg tidak mengatur tentang mengubah atau menambah gugatan. Menurut Pasal 127 Rv, pengubahan gugatan sepanjang pemeriksaan dibolehkan, asal tidak mengubah atau manambah petitum gugatan/tuntutan pokok (onderwerp van den eis). Pengertian anderwerp van den eis dalam praktik juga meliputi dasar tuntutan (posita, termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan). Misalnya, penggugat semula menuntut tergugat agar membayar utangnya atas dasar perjanjian utang piutang, kemudian diubah atas dasar perjanjian titipan utang penggugat pada tergugat. Perubahan demikian ini tidak diperkenankan.
Jadi, menurut Pasal 127 Rv, mengubah/menambah bahkan mengurangi gugatan merupakan hak penggugat sampai perkaranya diputus dengan persyaratan bahwa mengubah atau menambah gugatan itu tidak mengubah atau menambah tuntutan pokok (petitum) gugatannya. Oleh karena itu, dalam hal demikian persetujuan dari tergugat sangat penting.
Meskipun HIR/RBg tidak mengatur tentang perubahan gugatan, hakim dapat leluasa untuk menentukan sampai di mana perubahan gugatan diperkenankan. Sebagai patokannya adalah pengubahan atau penambahan gugatan diperkenankan dengan ketentuan bahwa kepentingan-kepentingan kedua belah pihak, baik kepentingan penggugat, dan terutama tergugat sebagai orang yang diserang, jangan sampai dirugikan. Atau secara leterlijk, pengubahan gugatan dapat berarti bahwa pengubahan terhadap posita atau petitum-nya sehingga mengurangi bagian posita atau petitum, menambah posita atau pilihan retitum serta dapat pula memperbaiki hal-hal tertentu yang bersifat teknis dalam gugatan (Lilik Mulyadi, 1999: 83). 
Dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, hlm. 123, dikatakan bahwa pengubahan dan/atau penambahan gugatan diperkenankan asal diajukan pada sidang pertama di mana para pihak hadir, tetapi hal tersebut harus ditanyakan kepada pihak lawannya guna pembelaan kepentingannya pengubahan dan/atau penambahan gugat tidak boleh sedemikian rupa sehingga dasar pokok gugatan menjadi lain dari materi yang menjadi sebab perkara antara kedua belah pihak tersebut. Dalam hal demikian maka surat-surat harus dicabut.
Menurut Pasal 127 RV dikatakan bahwa tidak dibenarkan mengubah gugatan kalau pengubahan itu mengubah atau menambah pokok gugatan. Jadi, apakah gugatan itu boleh diubah atau tidak, maka hal itu merupakan batasan pokok pengubahan. Yang dimaksud dengan pokok gugatan adalah kejadian materiil gugatan (Soebekti), hal-hal yang menjadi dasar tuntutan (Soepomo), dasar tuntutan, termasuk peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan (Sudikno Mertokusumo), dan juga diartikan sebagai posita atau petitum gugatan (materi pokok gugatan). Secara umum pengertian pokok gugatan adalah materi pokok gugatan atau materi pokok tuntutan atau kejadian materiil pokok gugatan (Yahaya Harahap. 2007: 98).
Mengenai pengubahan gugatan, MA berpendapat bahwa pengubahan atau penambahan gugatan diperkenankan asal tidak mengubah dasar gugatan (posita) dan tidak merugikan kepentingan tergugat (Putusan MA tgl. 11 maret 1970 No. 454 K/Sip/1970). Kemudian, Putusan MA tgl. 6 Maret 1971 No. 209 K/Sip/1971 memutuskan bahwa penambahan gugatan tidak bertentangan dengan asas hukum acara perdata, asalkan tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair: untuk peradilan yang adil. Putusan MA No. 9343 K/Pdt/1984 tgl 19 September 1985 menyatakan bahwa sesuai jurisprudensi, perubahan tuntutan selama persidangan diperbolehkan.
Perubahan gugatan dilarang jika atas keadaan yang sama dimohon pelaksanaan suatu hak yang lain atau apabila penggugat mengemukakan keadaan yang baru sehingga terdapat petitum yang berbeda dari sebelumnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa melakukan pengubahan atau menambah suatu gugatan perdata diperbolehkan dengan ketentuan bahwa pengubahan itu tidak menyimpang dari kejadian materiil yang menjadi dasar gugatan/tuntutan dan tidak merugikan hak dari pihak lawan atau tergugat.
Sehubungan dengan hak tersebut, pertanyaannya adalah kapan hak tersebut dilaksanakan? Berdasarkan ketentuan Pasal 127 Rv dan dalam praktik peradilan, perubahan gugatan kemungkinan dapat dilakukan dengan batas waktu sebagai berikut.
  • Perubahan gugatan sebelum dikirimkan kepada pihak lawan. Dalam hal demikian, si penggugat dapat menghubungi petugas pengadian untuk mengganti gugatan dengan gugatan yang sudah diperbaiki.
  • Perubahan gugatan sesudah dikirimkan kepada pihak lawan. Kalau gugatan sudah terlanjur dikirim kepada pihak lawan, ada dua hal yang harus dipertimbangkan oleh Si penggugat; 
  1. Apabila perubahan bersifat fatal, dalam arti mengubah posita atau petitum yang sangat prinsip, surat gugatan harus dicabut terlebih dahulu. Meskipun kehilangan biaya pendaftaran dan nomor perkara, gugatan itu harus dicabut terlebih dahulu, karena kalau perkara sudah disidangkan, kecil kemungkinan disetujui hakim atau pihak lawan (tergugat). 
  2. Apabila perubahan tidak prinsip, perubahan dapat dilakukan pada sidang pertama atau tahap perdamaian/mediasi atau pada saat si tergugat belum meyampaikan jawaban. Dalam hal ini tidak diperlukan izin si tergugat dan bahkan pada tahap ini si penggugat mempunyai hak penuh untuk mencabut gugatannya.
  • Perubahan gugatan dalam tingkat persidangan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 127 Rv penggugat pada prinsipnya dapat melakukan pengubahan gugatan saat perkaranya belum diputus. Hal ini berarti selama persidangan berlangsung penggugat berhak untuk mengajukan perubahan gugatan. Untuk itu perlu diperhatikan hal berikut.
  1. Jika perubahan gugatan sebelum si tergugat menyampaikan jawaban, si penggugat dapat menyampaikan kepada hakim tanpa perlu persetujuan dari si tergugat.
  2. Jika perubahan gugatan dilakukan setelah tergugat menyampaikan jawaban, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari si tergugat. 
  3. Jika perubahan gugatan dilakukan pada tingkat pemeriksaan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari si tergugat (Achmad Fauzan, 2007: 7476).
Menurut Lilik Mulyadi (1999: 84), batas waktu melakukan perubahan gugatan pada prinsipnya dibagi dua tahap, yaitu berikut ini
  • Tahap sebelum tergugat mengajukan jawaban, maka perubahan itu tanpa izin tergugat.
  • Tahap sesudah tergugat mengajukan jawaban, maka perubahan itu hanya dapat dilakukan dengan seizin tergugat dengan mempertimbangkan hal sebagai berikut.
  1. Perubahan gugatan tidak menyebabkan kepentingan kedua belah pihak dirugikan, terutama terhadap kepentingan tergugat.
  2. Perubahan tidak menyinggung kejadian materiil sebagai penyebab timbulnya perkara. 
  3. Perubahan itu tidak boleh menimbulkan keadaan baru dalam positanya.
Batas waktu pengajuan perubahan gugatan, menurut Yahya Harahap (2007: 94), dapat tetjadi pada saat berikut
  • Sampai saat perkara diputus. Tenggang batas waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv, yakni penggugat berhak mengajukan atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus.
  • Sampai pada hari sidang pertama. Mengenai hal ini ditegaskan dalam Buku Pedoman, yakni perubahan gugatan hanya boleh dilakukan pada sidang pertama dan disyaratkan para pihak harus hadir. Perubahan dalam tahap ini dianggap tidak realistis dan membatasi waktunya (reskriktif). 
  • Sampai tahap replik-duplik. Batas waktu ini dianggap lebih layak dan memadai menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak. Dalam pratik peradilan cenderung menerapkannya, misalnya dalam putusan MA No. 546 K/Sip/1970, menggariskan perubahan gugatan tidak dapat dibenarkan apabila tahap pemeriksaan sudah selesai, konklusinya sudah dikemukakan, dan kedua belah pihak telah memohon putusan.
Dengan demikian, pengajuan perubahan gugatan harus melihat dari segi keseimbangan kepentingan dan keadilan. Perubahan gugatan tidak dibenarkan lagi apabila tahap pemeriksaan sudah selesai dan konklusi sudah diajukan pihak-pihak. Dalam hal demikian harus diperhatikan apakah pengajuan perubahan gugatan itu sebelum atau selama persidangan. Sebelum persidangan, apalagi belum sampai ke tangan tergugat, tidak perlu persetujuan tergugat. Namun apabila sudah sampai ke tangan si tergugat, bahkan persidangan sudah berjalan, perlu adanya persetujan dari tergugat.
Dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dinyatakan bahwa perubahan gugatan dapat dilakukan pada pengadilan tingkat pertama (PN) dan tingkat banding, asal pihak Tergugat diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan membela diri (Putusan MA No. 943 K/Sip/1984 tanggal 19 Setember 1985).
Pasal 127 Rv tidak mengajukan syarat formil pengajuan perubahan dan/atau penambahan gugatan, tetapi dalam praktek peradilan, syarat formil tersebut sebagai berikut:
  • Perubahan dan/atau menambah gugatan diperkenankan asalkan diajukan pada sidang pertama, di mana pihak tergugat juga hadir.
  • Ditanyakan dahulu kepada pihak lawannya guna pembelaan kepentingannya.
  • Perubahan dan/atau menambah gugatan tidak boleh mengubah dasar pokok gugatan. Kalau hal ini terjadi, gugatan harus dicabut terlebih dahulu.
  • Perubahan dan/atau menambah gugatan tidak menghambat acara pemeriksaan.
  • Perubahan dan/atau menambah gugatan diperkenankan sepenuhnya kepada wewenang hakim untuk mempertimbangkannya. 
3) Pencabutan Gugatan
Pencabutan gugatan merupakan hak penggugat yang diberikan oleh hukum apabila hak dan kepentingannya dianggap tidak dirugikan. Bahkan, hak mencabut ini bersifat mutlak dari penggugat.
Namun, perlu diperhatikan keseimbangan kepentingan dalam pencabutan gugatan, terutama dalam pemberian perlindungan hukum kepada tergugat. HIR/RBg tidak mengatur tentang pencabutan gugatan, tetapi sistem HIR/ RBg memungkinkan hakim mempunyai peranan aktif dalam memberi saran kepada pihak penggugat untuk meneruskan perkaranya dan diusahakan dapat diselesaikan dengan perdamaian.
Pencabutan gugatan berpedoman pada Pasal 271-272 Rv yang berdasarkan prinsip Prosess Doelmatitigheit (kepentingan beracara) atau prosess orde (ketertiban beracara). Penggunaan Pasal 271 dan 272 Rv sebagai pedoman dikemukakan juga dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan serta dapat juga menggunakan yurisprudensi sebagai pedoman.
Pencabutan gugatan dapat dilakukan sebagai berikut.
  1. Pencabutan sebelum gugatan diperiksa. Kalau pencabutan dilakukan sebelum gugatan diperiksa atau sebelum tergugat memberi jawaban, secara resmi tergugat belum tahu akan adanya gugatan itu. Hal ini berarti secara resmi Tergugat belum terserang kepentingannya. Oleh karena itu, tidak perlu ada persetujuan dari pihak Tergugat. Hak mutlak si Penggugat seperti ini apabila proses yang terjadi baru pada tahap pendaftaran dan pendistribusian kepada majelis serta belum diproses pada tahap pemanggilan.
  2. Pencabutan gugatan selama pemeriksaan. Hal ini merupakan hak mutlak penggugat. Dalam penerapannya berpedoman kepada Pasal 271 Rv, yang menegaskan bahwa penggugat dapat mencabut perkaranya dengan syarat asalkan hal itu dilakukan sebelum tergugat menyampaikan jawaban. Selain itu, dapat juga berpedoman pada putusan MA yang menegaskan selama proses pemeriksaan perkara di persidangan belum berlangsung, Penggugat berhak mencabut gugatan tanpa persetujuan tergugat. Setelah proses memeriksaan berlangsung maka pencabutan masih boleh dilakukan dengan syarat harus ada persetujuan dari pihak tergugat.
Tujuan adanya ketentuan bahwa setelah ada jawaban maka pencabutan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan pihak tergugat adalah untuk melindungi kepentingan tergugat dari kemungkinan kesewenang-wenangan Penggugat. Hal itu dapat juga dilihat dalam Putusan MA No. 1841 K/Pdt/1984, bahwa selain melakukan pertimbangan tentang kemungkinan dapat atau tidak mengadakan pencabutan gugatan sebelum perkara diperiksa, sekaligus juga berisi penegasan pencabutan gugatan setelah pemeriksaan berlangsung itu harus ada persetujuan tergugat.
Dengan demikian, sesuai dengan ketentuan Pasal 271 dan 272 Rv, gugatan dapat dicabut secara sepihak oleh penggugat apabila perkara itu belum diperiksa. Namun apabila perkara sudah diperiksa dan tergugat juga sudah memberikan jawabannya, pencabutan perkara harus melalui persetujuan dari tergugat.
Bagaimanakah cara pencabutan gugatan dilakukan? Cara pencabutan berpedoman kepada ketentuan Pasal 272 Rv, yang menjelaskan antara lain berikut ini.
  1. Yang berhak mengajukan pencabutan. Menurut Pasal 272 Rv, yang berhak mengajukan gugatan adalah penggugat sendiri secara pribadi atau kuasa yang ditunjuk si penggugat. Menurut hukum penggugat adalah pihak yang paling berhak melakukan pencabutan. Alasan hukumnya adalah karena penggugat yang paling mengetahui hak dan kepentingannya. Pencabutan juga dapat dilakukan oleh kuasa yang ditunjuk penggugat berdasarkan surat kuasa khusus yang digariskan oleh Pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 Tahun 1971, yang di dalamnya dengan tegas diberi penugasan untuk mencabut. Selain itu, dapat dituangkan dalam surat kuasa tersendiri yang secara khusus memberi penegasan untuk melakukan pencabutan gugatan.
  2. Pencabutan gugatan yang belum diperiksa. Pencabutan gugatan yang belum diperiksa di sidang pengadilan dapat dilakukan penggugat melalui pencabutan dengan surat. Pencabutan yang dilakukan dalam bentuk surat atau akta dimaksudkan adalah untuk kepastian hukum dan adanya pembenaran bukti tentang kebenaran pencabutan gugatan.
  3. Pencabutan gugatan yang sudah diperiksa. Cara pencabutan gugatan yang sudah diperiksa sekurang-kurangnya jika tergugat sudah memberikan jawaban, dan pencabutan disampaikan pada sidang yang dihadiri tergugat.
Dengan pencabutan gugatan, sesuai dengan Pasal 272 Rv, akibat hukumnya adalah sebagai berikut.
  1. Perkara berakhir.
  2. Tertutupnya segala hukum bagi para pihak. 
  3. Para pihak kembali kepada keadaan semula. 
  4. Biaya perkara dibebankan kepada penggugat.
Pencabutan gugatan yang telah mendapat persetujuan dari tergugat bersifat final dan analog dengan putusan perdamaian (130 HIR). Oleh karena itu, konsekuensi hukumnya adalah putusan pencabutan gugatan itu mengikat (banding) sebagai layaknya putusan yang telah berkuatan hukum tetap. Dengan demikian, tertutuplah hak para pihak untuk mengajukan segala bentuk upaya hukum (upaya perlawanan, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali).
Dengan demikian, segala sesuatu di antara kedua belah pihak kembali kepada keadaan semula atau restitution in integrum, yang berarti bahwa apabila terjadi pencabutan, secara hukum para pihak kembali kepada keadaan semula seolah-olah di antara mereka tidak pernah terjadi sengketa.
Pencabutan gugatan yang dilakukan dalam sidang dituangkan dalam bentuk putusan. Kemudian, atas pencabutan yang dilakukan oleh penggugat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 272 Rv, pihak yang mencabut gugatan berkewajiban untuk membayar biaya perkara.
Dalam praktik peradilan sering terjadi pencabutan gugatan sebelum tergugat memberikan jawaban. Hal ini dilakukan atas saran dari ketua PN, karena ada kekeliruan dalam menyusun gugatan. Adapun pencabutan gugatan sesudah tergugat memberikan jawaban sering terjadi karena tuntutan penggugat telah dipenuhi tergugat secara sukarela. Akan tetapi, apabila hakim berhasil mendamaikan kedua belah pihak yang berkepentingan, artinya tergugat menerima uluran tangan dari pihak penggugat untuk tidak meneruskan perkara itu. Setelah ada persetujuan untuk mencabut gugatan atau terjadi perdamaian di antara kedua pihak, penggugat harus memberitahukan kepada pengadilan sehingga perkara tidak berlanjut lagi. Penggugat yang mencabut gugatannya sebelum tergugat memberikan jawaban dapat mengajukan gugatan kembali. Pasal 124 HIR masih memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan gugatan kembali sebagai perkara baru. Oleh karena itu, penggugat wajib mendaftarkan gugatan itu ke pengadilan. Adapun gugatan yang dicabut penggugat sesudah tergugat memberikan jawaban tidak dapat lagi mengajukan gugatan, karena dengan pencabutan gugatan yang dilakukan Oleh penggugat, dianggap penggugat telah melepaskan haknya.
Pada tahap penentuan, selama pemeriksaan perkara belum dijatuhkan putusan oleh hakim, menambah, mengubah, dan mengadakan kumulasi gugatan masih dimungkinkan atau dapat terjadi. Pada intinya masih diperkenankan asal tidak merugikan pihak-pihak yang beperkara.
Pengubahan dan/atau penambahan gugatan diperkenankan, tetapi harus ditanyakan kepada pihak lawannya. Pengubahan dan/atau penambahan tidak boleh sedemikian rupa sehingga dasar gugatan menjadi lain dari materi yang menjadi sebab perkara antara kedua belah pihak. Demikian juga, pencabutan dianggap hak dari penggugat. Perkara dapat dicabut secara sepihak jika perkara belum diperiksa, tetapi jika perkara sudah diperiksa dan tergugat telah memberikan jawabannya, pencabutan perkara harus mendapat persetujuan dari pihak tergugat.

0 komentar:

Post a Comment