PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP SISTEM MONOPOLI DAN OLIGOPOLI
Monopoli dan oligopoli merupakan praktik kegiatan yang banyak dijumpai pada era globalisasi ini. keduanya memiliki ciri yang sama, yaitu bentuk penguasaan terhadap penawaran dan harga. apabila penguasaan itu dilaksanakan oleh sebuah perusahaan maka hal itu disebut monopoli, sedangkan apabila penguasaan itu dilaksanakan oleh sekelompok perusahaan tertentu disebut sebagai oligopoli. Pada intinya, yang dimaksud dengan monopoli adalah menahan barang untuk tidak beredar di pasar supaya naik harganya. semakin besar dosa orang yang melakukannya jika praktik monopoli tersebut dilakukan secara kolektif, di mana para pedagang barang-barang jenis tertentu dari barang dagangan untuk keuntungan mereka sendiri dan menguasai pasar sekehendaknya.[1] Monopoli sempurna terlihat bila sebuah perusahaan tunggal memproduksi suatu komoditi yang tidak dikeluarkan oleh perusahaan lain. Dengan demikian, elastisitas permintaan silang sebuah perusahaan monopoli adalah kecil. Perbedaan antara monopoli dengan bentuk persaingan usaha lain adalah bahwa monopoli dapat menentukan harga pasar untuk hasil produksinya, karena ia merupakan produsen tunggal untuk jenis barang tersebut. karena muncul motif untuk memaksimumkan keuntungan, dia akan menetapkan harga barang menurut kehendaknya dan menentukan agar penjualan suatu barang dengan harga tertentu. dalam hal ini dapat mengakibatkan timbulnya suatu pasar yang tidak sempurna.[2]
Apabila suatu perusahaan bergerak dengan dipengaruhi oleh ekonomi Islam, maka ia tidak akan mencari peluang untuk melakukan eksploitasi. Sebagaimana diketahui bahwa sebenarnya tidak terdapat satu pun unsur yang dapat memaksa sebuah perusahaan untuk melakukan eksploitasi. Bahkan jika perusahaan ini tidak menjalankan dasar eksploitasi, ia tetap akan mendapatkan keuntungan normal, sama halnya dengan apa yang didapat dalam pasar persaingan yang sehat. Walaupun pengaruh pasar mungkin saja memberi pengaruh yang besar maupun kecil terhadap pengusaha dalam mengeksploitasi konsumen guna mendapatkan keuntungan maksimum, tetapi apabila diterapkan sistem ekonomi Islam, maka akan ada suatu kontrol terhadap pengusaha untuk melakukan tindakan manipulasi yang mengarah pada eksploitasi ini.[3]
Permasalahan terhadap sistem monopoli dalam bisnis menurut Hukum Islam dikarenakan sistem monopoli ini bertentangan dengan prinsip kasih sayang menurut Islam. Agama Islam mempunyai banyak nilai-nilai yang patut diikuti oleh umat manusia.
Di antara nilai-nilai yang penting itu adalah sifat ”kasih sayang” yang telah dijadikan Allah sebagai risalah kepada Nabi Muhammad saw. Dalam QS. al-Anbiya/21: 107, Allah berfirman: ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” Demikian pula Nabi Muhammad saw menyebutkan sifat dirinya sendiri dengan sifat ini sebagaimana sabdanya: ”Orang-orang yang belas kasih akan dirahmati (dikasihi) oleh Ar-Rahrnan (Tuhan Yang Maha Pengasih), kasihilah orang yang di muka bumi niscaya yang berada di langit akan mengasihimu." (HR. Abu Dawud (4941) dan at-Tarrnidzi, ia mengatakan: hasan shahih (1925) dari Abdullah bin ’Amr).
Dari ayat al-Qur'an dan Hadis Nabi saw. di atas Islam mewajibkan sikap kasih sayang kepada setiap makhluk. Karena itu seorang pedagang tidak boleh menjadikan obsesi terbesarnya dan tujuan usahanya adalah mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, demi memenuhi laci atau saldonya di bank, meskipun di atas jerih payah orang lain, khususnya orang-orang lemah di antara mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk bersaing dengan pihak yang kuat dan mampu.
Pedagang tidak boleh menaikkan atau menentukan harga yang tinggi dengan semena-mena sehingga masyarakat sulit untuk membelinya. Pada dasarnya pemberian harga dalam Islam harus adil. Dengan kata lain bukan hanya mendapatkan keuntungan semata, tetapi harus berdasarkan untuk menolong. Selain itu ketika memerhatikan pesaing bukan bertujuan untuk memonopoli, tetapi terjadi persaingan yang sehat.[4]
Islam melarang monopoli juga dikarenakan akibat yang ditimbulkan oleh monopoli tersebut. Akibat dari praktik monopoli yang ada dalam masyarakat antara lain adalah:
- Pasar monopoli adalah industri satu perusahaan. Barang dan jasa yang dihasilkan tidak dapat dibeli dari tempat lain. Para pembeli tidak mempunyai pilihan lain, kalau mereka menginginkan barang tersebut. Syarat-syarat penjualan sepenuhnya ditentukan oleh monopoli itu, dan para pembeli tidak dapat berbuat apa pun di dalam menentukannya syarat jual beli.
- Barang yang dihasilkan di pasar monopoli tidak dapat digantikan oleh barang lain yang ada di dalam pasat. Barang tersebut merupakan satu-satunya jenis barang dan tidak terdapat barang mirip yang dapat menggantikan barang tersebut
- Tidak terdapat kemungkinan perusahaan lain untuk masuk ke dalam industri monopoli. Sifat ini merupakan sebab utama yang menimbulkan sebuah perusahaan mempunyai kekuasaan monopoli. Tanpa sifat ini perusahaan monopoli tidak akan terwujud, karena pada akhimya akan terdapat beberapa perusahaan di dalam satu industri.
- Perusahaan monopoli akan menentukan harga. Karena perusahaan monopoli merupakan satu-satunya penjual di dalam pasar, maka penentuan harga dapat dikuasainya melalui pengendalian terhadap lajunya produksi dan jumlah barang yang ditawarkan, sehingga dapat menentukan harga pada tingkat yang dikehendakinya.
Dari uraian di atas jelas, bahwa Islam telah mengharamkan ”monopoli”, yang merupakan salah satu dari dua unsur penopang kapitalisme yang rakus dan otoriter.[5] Unsur penopang kapitalisme yang lairmya adalah riba. Mengenai hal ini, Nabi Muhammad saw. bersabda: ”Barangsiapa memonopoli maka ia berdosa." (HR. Muslim, Abu Dawud, At-Tarmidzi, ia menyahihkannya, dan Ibnu Majah, al-Muntaqa: 999). Dalam Hadits lain disebutkan: ”Barangsiapa memonopoli bahan makanan selama empat puluh hari, maka sesungguhnya ia telah terlepas diri dari Allah dan Allah pun berlepas darinya.” (HR. Ahmad dalam Musnad Ibnu Umar, disahihkan Ahmad Syakir (No. 448), dan al’Iraqi dalam Takhrij al-ihya’(II/72).
Yusuf al-Qardhawi menggambarkan hal ini sebagai berikut: Sesungguhnya Islam ingin mendirikan di bawah naungan sejumlah nilai luhur suatu pasar yang manusiawi, di mana orang-orang yang besar mengasihi orang yang kecil, orang yang kuat membimbing yang lemah, orang yang bodoh belajar dari yang pintar, dan orang-orang yang bebas menegur orang yang nakal dan zalim. Sedangkan pasar yang berada di bawah naungan peradaban materialisme dan filosofi kapitalisne tidak lain adalah miniatur hutan rimba, di mana orang yang kuat memangsa yang lemah. orang yang besar menginjak-injak yang kecil. Orang yang bisa bertahan dan menang hanyalah orang yang paling kuat dan kejam, bukan orang yang paling baik dan ideal.[6]
Daftar Literasi
--------------------
[1]Ahmad Muhammad Al-'Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1980), h. 330.
[2]Muhammad Najetullah Siddiqie, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, cet. 1, (Jakarta: Bmi Aksara, 1996), h. 127.
[3]Muhammad Najetullah Siddiqie, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, h. 136.
[4]Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cet. 3 (Jakarta: Kencana, 2007), h. 218.
[5]Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, cet. 1, (Jakarta: Robbani Press. 2001), h. 321.
[6]Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, h. 321.
0 komentar:
Post a Comment