KEPADA SIAPA HAKIM MEMBEBANKAN PEMBUKTIAN
Seperti yang telah diuraikan pada atikel sebelumnya,
pembuktian dilakukan oleh para pihak dan bukan oleh hakim. Hakimlah yang
memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Hakimlah
yang membebani para pihak dengan pembuktian (bewijslast, burden of proof)
Kepada siapakah hakim membebankan pembuktian itu, atau
siapakah antara kedua belah pihak yang diharuskan membuktikan? Dengan perkataan
lain, bagaimanakah hakim membagi beban pembuktian antara para pihak. Penggugat
atau tergugatkah yang harus membuktikan?
Atas pembagian beban pembuktian tercantum dalam Pasal 163
HIR (Pasal 283 Rbg, 1865 BW), yang berbunyi: “Barang siapa yang mengaku
mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan
haknya itu atau untuk menyangkut hak orang lain, harus membuktikan adanya hak
atau peristiwa itu.”(Paton George Whitecross, A Textbook of Jurisprudensi:
1951/483), Ini berarti bahwa kedua belah pihak, balk penggugat maupun tergugat
dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib membuktikan
peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan
bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran bantahan
tergugat. Demikian pula sebaliknya, tergugat tidak diwajibkan untuk
membuktikan kebenaran peristiwa yang
diajukan oleh penggugat. Kalau penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang
diajukannya, ia harus dikalahkan. Sedang kalau tergugat tidak dapat membuktikan
bantahannya, ia hatus pula dikalahkan. Jadi kalau salah satu pihak dibebani
dengan pembuktiah dan ia tidak dapat membuktikan, ia akan dikalahkan (risiko
pembuktian). Pada hakikatnya, hal ini tidak lain untuk memenuhi syarat keadilan
agar risiko dalam beban pembuktian itu tidak berat sebelah. Oleh karena itu,
pembagian beban pembuktian itu sangat menentukan jalannya peradilan. Hakim
harus sangat berhati-hati dalam melakukan pembagian beban pembuktian.
Membuktikan itu tidak selalu mudah. Kita tidak selalu dapat
membuktikan kebenaran suatu peristiwa. Terutama untuk membuktikan suatu hal
yang negatif karena pada umumnya tidak mungkin (negative non :unt probanda),
seperti: membuktikan bahwa tidak berutang, tidak menerima uang. Pada pokoknya,
membuktikan yang serba tidak itu biasanya tidak mungkin atau sukar. Oleh karena
itu, pembuktian suatu negatif “should not be forced on a person without very
strong reasons”, kata Paton. (Paton, A Textbook of Jurisprudensi: 1951/383) ”Dalam hubungan ini, Mahkamah Agung dalam
putusannya tanggal 15 Maret 1972 No. 547 K/ Sip/ 1971 memutuskan bahwa
pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu yang
negatif adalah lebih berat daripada beban pembuktian pihak yang harus
membuktikan sesuatu yang positif, yang tersebut terakhir ini termasuk pihak
yang lebih mampu untuk membuktikan. (Yurisprudensi Jawa Barat 1969 – 1972/109)
Dalam hal perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup,
karena timbul tanggung jawab secara mutlak (strict liability) pada perusak atau
pencemar lingkungan, bukan penggugat yang dibebani pembuktian tergugat,
melainkan pencemar. Jadi tanggung jawab mutlak berarti bahwa unsur kesalahan
dari pihak tergugat (pelaku pencemaran) tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi oleh tergugat sehingga
tergugatlah yang dibebani dengan pembuktian. Di sini terjadi apa yang dinamakan
pembalikan pembuktian (omkering van bewijslastn, shifting of burden proof Pasal
87 ayat (1) dan (2), Undang-undang No. 23 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tentang tata cara pengaduannya telah diterbitkan
Surat Edaran Menteri Negara KLH No. 03/ SE/ MENKLH/ 6/ 1987.
Pembuktian terbalik dijumpai pula dalam Undang-Undang No. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang yang
dihasilkan atau diperdagangkan, kecuali pelaku usaha dapat membuktikan bahwa
kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen
(Pasal 19 ayat (1), (2), dan (5),
Di samping asas beban pembuktian yang tercantm dalam pasal
163 HIR (Pasal 283 Rbg. 1865 BW), ada beberapa ketentuan khusus yang lebih
tegas daripada Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg. 1865 BW) tersebut. Antara lain
dapat disebutkan pada pasal-pasal berikut ini.
0 komentar:
Post a Comment