Sunday, February 24, 2019

KEPADA SIAPA HAKIM MEMBEBANKAN PEMBUKTIAN


Seperti yang telah diuraikan pada atikel sebelumnya, pembuktian dilakukan oleh para pihak dan bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Hakimlah yang membebani para pihak dengan pembuktian (bewijslast, burden of proof)
Kepada siapakah hakim membebankan pembuktian itu, atau siapakah antara kedua belah pihak yang diharuskan membuktikan? Dengan perkataan lain, bagaimanakah hakim membagi beban pembuktian antara para pihak. Penggugat atau tergugatkah yang harus membuktikan?
Atas pembagian beban pembuktian tercantum dalam Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg, 1865 BW), yang berbunyi: “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkut hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”(Paton George Whitecross, A Textbook of Jurisprudensi: 1951/483), Ini berarti bahwa kedua belah pihak, balk penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran bantahan tergugat. Demikian pula sebaliknya, tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan  kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat. Kalau penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukannya, ia harus dikalahkan. Sedang kalau tergugat tidak dapat membuktikan bantahannya, ia hatus pula dikalahkan. Jadi kalau salah satu pihak dibebani dengan pembuktiah dan ia tidak dapat membuktikan, ia akan dikalahkan (risiko pembuktian). Pada hakikatnya, hal ini tidak lain untuk memenuhi syarat keadilan agar risiko dalam beban pembuktian itu tidak berat sebelah. Oleh karena itu, pembagian beban pembuktian itu sangat menentukan jalannya peradilan. Hakim harus sangat berhati-hati dalam melakukan pembagian beban pembuktian.
Membuktikan itu tidak selalu mudah. Kita tidak selalu dapat membuktikan kebenaran suatu peristiwa. Terutama untuk membuktikan suatu hal yang negatif karena pada umumnya tidak mungkin (negative non :unt probanda), seperti: membuktikan bahwa tidak berutang, tidak menerima uang. Pada pokoknya, membuktikan yang serba tidak itu biasanya tidak mungkin atau sukar. Oleh karena itu, pembuktian suatu negatif “should not be forced on a person without very strong reasons”, kata Paton. (Paton, A Textbook of Jurisprudensi: 1951/383)  ”Dalam hubungan ini, Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 15 Maret 1972 No. 547 K/ Sip/ 1971 memutuskan bahwa pembuktian yang diletakkan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatif adalah lebih berat daripada beban pembuktian pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif, yang tersebut terakhir ini termasuk pihak yang lebih mampu untuk membuktikan. (Yurisprudensi Jawa Barat 1969 – 1972/109)
Dalam hal perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup, karena timbul tanggung jawab secara mutlak (strict liability) pada perusak atau pencemar lingkungan, bukan penggugat yang dibebani pembuktian tergugat, melainkan pencemar. Jadi tanggung jawab mutlak berarti bahwa unsur kesalahan dari pihak tergugat (pelaku pencemaran) tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi oleh tergugat sehingga tergugatlah yang dibebani dengan pembuktian. Di sini terjadi apa yang dinamakan pembalikan pembuktian (omkering van bewijslastn, shifting of burden proof Pasal 87 ayat (1) dan (2), Undang-undang No. 23 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tentang tata cara pengaduannya telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Negara KLH No. 03/ SE/ MENKLH/ 6/ 1987.
Pembuktian terbalik dijumpai pula dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang yang dihasilkan atau diperdagangkan, kecuali pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen  (Pasal 19 ayat (1), (2), dan (5),
Di samping asas beban pembuktian yang tercantm dalam pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg. 1865 BW), ada beberapa ketentuan khusus yang lebih tegas daripada Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg. 1865 BW) tersebut. Antara lain dapat disebutkan pada pasal-pasal berikut ini.

0 komentar:

Post a Comment