Sunday, February 24, 2019

SYARAT-SYARAT SAH PELAKSANAAN EKSEKUSI



Istilah pelaksanaan putusan hakim/putusan pengadilan berasal dari istilah ”eksekusi”, yang diambil alih ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah ”pelaksanaan putusan”. Dalam HIR/RBg pengertian eksekusi sama dengan pengertian menjalankan putusan (tenuitvoer legging van vonnissen). Istilah menjalankan putusan mempunyai arti melaksanakan isi putusan pengadilan. Sekarang ini istilah ”pelaksanaan putusan” sepertinya sudah merupakan istilah umum, dan hampir semua pengguna menggunakan istilah ”pelaksanaan putusan”. Hal tersebut dapat disimpulkan dari pemakain istilah tersebut oleh para pakar, seperti Subekti dan Retno Wulan Sutantio yang mengambil alih istilah ”pelaksanaan putusan" (Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata/2011:325)
sebagai pengganti istilah ”eksekusi”. Istilah pelaksanaan putusan hakim sudah dianggap sebagai istilah baku sebagai pengganti eksekusi. Menurut (Yahya Harahap/1991:5) bahwa pembakuan istilah pelaksanaan putusan sudah tepat. Sebab jika bertitik tolak dari Ketentuan Bagian Kelima HIR atau Bagian Keempat RBg, pengertian eksekusi sama dengan pengertian ”menjalankan putusan ” (tenuitvoer legging van vonnisen). 
Pelaksanaan putusan (eksekusi) adalah suatu tindakan paksa dengan kekuatan umum yang dilakukan oleh Pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengadilan/Hakim tidak cukup hanya menyelesaikan perkara dengan menjatuhkan putusan, melainkan juga putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan, sehingga terealisasilah prestasi sebagai kewajiban pihak yang tercantum dalam putusan. 
Putusan hakim tidak mempunyai arti apabila tidak dilaksanakan. (Yahya Harahap/1991:1) menulis bahwa eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi adalah tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara pedata. (Sudikno Mertokusumo/1999:209) mengatakan pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut. 
Tujuan akhir dari acara persidangan yang digelar oleh pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang merasa dirugikan haknya pulih kembali melalui putusan. Dikatakan ”tujuan akhir”, karena pihak yang berkepentingan merasa Pengadilan sebagai satu-satunya cara terakhir untuk memulihkan haknya atau mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. Hal ini sesuai dengan pendapat Lilik Mulyadi (1999:276) mengatakan bahwa esensi terpenting serta aktual dan merupakan puncak dari perkara perdata adalah putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dapat dilaksanakan. 
Jadi, putusan pengadilan tidak akan mempunyai arti apa-apa apabila tidak dapat dilaksanakan. Pemulihan hak diperoleh dengan melalui penetapan putusan hakim yang dapat dilaksanakan. Akan tetapi, tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan (eksekusi). Tidak jarang di dalam praktiknya sering teljadi, bahwa pihak-pihak yang oleh putusan hakim tidak mau secara sukarela memenuhi isi putusan, sehingga terhadap mereka ini harus dilakukan tindakan paksa yaitu eksekusi. 
Pengadilan/Hakim dalam menyelesaikan perkara yang dihadapkan kepadanya, tidaklah cukup hanya dengan menjatuhkan putusan hakim, melainkan putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan. Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), yaitu putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi. Putusan yang dapat dieksekusi itu bersifat comdemnatoir. Putusan deklaratoir (declaratoir vonnis) merupakan lawan dari putusan comdemnatoir. Biasanya putusan declaratoir terdapat pada putusan voluntair (permohonan), tetapi dapat juga dalam perkara contentiosa. 
Bagaimana dapat diketahui putusan hakim itu mengandung putusan kondemnatoir? Untuk mengetahui putusan yang bersifat comdemnatoir dapat diketahui dari cirinya, yang dapat di lihat dalam amar atau diktum putusan, di sana terdapat perintah menghukum pihak yang kalah, misalnya dalam kalimat: menghukum atau memerintahkan: menyerahkan suatu barang, mengosongkan sebidang tanah/rumah, melakukan suatu perbuatan, mengentikan suatu perbuatan tertentu, memerintahkan melakukan pembayaran sejumlah uang. 
Pada dasarnya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap sudah dapat dilaksanakan, tetapi tidak semua putusan itu dapat dilaksanakan (dieksekusi). Pada prinsipnya, hanya putusan yang bersifat comdemnatoir (putusan yang berisi penghukuman) saja yang dapat dieksekusi, misalnya: putusan yang berisi penghukuman menyerahkan sebidang tanah, mengosongkan sebidang tanah, menghentikan sesuatu membayar sejumlah uang tertentu. Sedangkan terhadap putusan-putusan declaratoir dan konstitutif tidak dapat dieksekusi, karena tidak dimuat atau tidak adanya hak atas suatu prestasi atau putusan yang mengandung sifat dan keadaan baru, sehingga tidak memerlukan saran-saran memaksa untuk dijalankan. 
Melaksanakan putusan (eksekusi) terjadi apabila pihak yang dihukum tidak melaksanakan putusan secara sukarela. Melaksanakan putusan dapat dilaksanakan: 
  1. secara sukarela, atau 
  2. secara paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak yang dihukum tidak mau melaksanakan secara sukrela. 
Seharusnya pihak yang kalah harus melaksanakan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (pasti) dengan sukarela. Tetapi, apabila tidak mau melaksanakan putusan pengadilan dengan sukarela, pihak yang dimenangkan dalam putusan dapat meminta bantuan dari pengadilan untuk dapat melaksanakan putusan tersebut secara paksa.
Selain telah mempunyai kekuataan hukum tetap putusan hakim juga mempunyai kekuatan ekskutorial. Putusan yang mempunyai kekuatan Ekskutorial, yaitu putusan hakim yang mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa dengan alat-alat negara. Putusan hakim yang 
mempunyai kekuatan eksekutorial dapat dilihat pada kepala putusan yang berbunyi ”Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa" (Sudikno Mertokusumo, 1999:208). 
Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terdapat alam HlR/RBg. Peraturan sebagai pedoman tata cara melaksanakan putusan hakim/pengadilan diatur dalam HIR/RBg pada Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR /Pasal 206 sampai Pasal 258 RBg, dan Peraturan Lelang No. 189/1098 (Vendu Reglement St.1908/No. 189). Ketentuan yang diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR/Pasal 206 sampai Pasal 258 RBg. Namun, tidak semua ketentuan dalam pasal-pasal itu masih berlaku saat sekarang ini, yaitu ketentuan yang mengatur sandera (gijzeling) Pasal 209 sampai Pasal 223 HIR/Pasal 242 sampai 257 RBg sudah dihapus. Penghapusan gijzeling didasarkan pada suatu pertimbangan, yaitu bahwa tindakan penyanderaan terhadap seorang debitur dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan. Sandera adalah merupakan upaya paksa bagi debitur untuk melaksanakan pembayaran yang sesuai dengan putusan hakim. Dengan larangan tersebut, seorang debitur berdasarkan putusan hakim yang dihukum untuk membayar hutangnya tidak lagi dapat disandera. 
Penghapusan pasal-pasal tersebut dilakukan MA melalui SEMA No. 2 Tahun 1964, tanggal 22 Januari 1964. SEMA tersebut telah menginstruksikan kepada seluruh pengadilan di lingkungan peradilan umum, untuk tidak menggunakan lagi pasal-pasal aturan sandera (gijzeling), yakni Pasal 209-223 HIR/247-257 RBg, karena sandra bertentangan dengan perikemanusiaan. Dengan penghapusan itu, pasal yang efektif berlaku untuk mengatur eksekusi ialah Pasal 195-Pasal 208, Pasal 224 HIR/Pasal 206 Pasal 240, Pasal 258 RBg. 
Namun kemudian disadari, ternyata penghapusan sandera itu tidak realistis, selain menghalalkan segala cara dengan memperalat perikemanusiaan, pengahapusan ini telah mengorbankan keadilan, kebenaran dan kepatutan untuk membela kepentingan orang-orang nakal. Karena itu, dalam perkembangannya, penyanderaan (gijzeling) yang pernah dicabut oleh MA, melalui SEMA No. 1/64 tanggal 22 Januari 1964, maka pada tahun 2000 diberlakukan kembali oleh MA dengan menerbitkan PEMA No. 1 Tahun 2000 Tentang Pasal 209 Pasal 224 HIR/ Pasal 242-258 RBg, yang berlaku bagi debitur, penanggung/penjamin hutang yang tidak beritikat baik tetapi sebenarnya mampu membayar. 
Selain itu, terdapat lagi pasal yang mengatur pelaksanaan putusan (eksekusi), Pasal 225 HIR/259 RBg (mengatur eksekusi yang menghukum tergugat untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum tertentu), dan Pasal 180 HIR/191 RBg (mengatur tentang pelaksanaan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu/putusan serta-merta (Uitvoerbaar bijvoorraad». 
Dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam Pasal 54, dan Pasal 55. Menurut ketentuan Pasal 54 ayat (2), ayat (3) menyebutkan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan. Dalam pelaksaan putusan pengadilan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan. Selanjutnya ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap (Pasal 56). 
Melaksanakan putusan berarti bersedia memenuhi kewajiban untuk berprestasi yang dibebankan oleh hakim lewat putusannya (Abdulkadir Muhammad, 1990:214), atau realisasi dari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi yang tercantum dalam putusan tersebut (Sudikno Mertokusumo). Dengan istilah menjalankan putusan, (Yahya Harahap (1991:5), mengartikan tiada lain daripada melaksanakan isi putusan pengadilan, yaitu melaksanakan secara paksa putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan secara sukarela sebagai pihak yang dikalahkan.
Sebagaimana telah diuraikan, eksekusi dilakukan apabila putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum banding dan kasasi. Asas-asas ini merupakan asas pokok, kecuali putusan provisi. Namun, hal yang penting dalam melakukan eksekusi adalah sejak kapan eksekusi itu dapat dilaksanakan? Jika seandainya tergugat melaksanakan putusan secara sukarela, tergugat tidak perlu membayarbiaya eksekusi. Oleh karena itu, eksekusi merupakan pilihan hukum atau alternatif karena tergugat tidak melaksanakan putusan secara sukarela. Ada beberapa syarat pelaksanaan eksukusi, yaitu syarat sebelum dilakukan eksekusi: peringatan (aanmaning), surat perintah eksekusi, dan berita acara eksekusi. 
1. Peringatan(Aanmaning) 
Peringatan adalah merupakan syarat pokok eksekusi, karena tanpa peringatan eksekusi tidak dapat dijalankan. Peringatan menjadi penting berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi itu sendiri, apakah dapat dilaksanakan atau tidak. Eksekusi baru dapat dilaksanakan (sebagai tindakan nyata) sejak waktu peringatan telah lewat. Peringatan merupakan upaya yang dilakukan oleh Ketua PN berupa teguran kepada Tergugat agar ia melaksanakan putusan secara sukarela. Tenggang waktu peringatan yang diberikan undang-undang adalah secara maksimum, yakni paling lama 8 (delapan) hari (Pasal 196 HIR/ Pasal 207 RBg). Artinya dalam selama depan hari kepada Tergugat diminta untuk menjalankan putusan secara sukarela. 
Cara melakukan peringatan dilakukan, menurut Pasal 196 HIR/207 RBg dilakukan setelah ada permintaan eksekusi dari Penggugat atau kuasanya. Pengajuan atau permohonan eksekusi dari pihak Penggugat/kuasanya merupakan prasyarat peringatan. Apabila permohonan itu dilakukan oleh kuasa, maka permohonan itu harus berdasarkan surat kuasa khusus. Permohonan eksekusi sesuai dengan Pasal 196 HIR/207 RBg dapat dilakukan secara tertulis dan lisan. 
Eksekusi dapat dilakukan setelah lewat 8 hari. Apabila telah melampaui waktu 8 hari maka Ketua PN dapat memerintahkan eksekusi. Batas maksimun tenggang waktu peringan sesuai dengan Pasal 196 HIR/207 RBg kepada pihak tergugat dalam batas waktu peringatan diminta untuk menjalankan putusan secara sukarela, apabila batas maksimum dilampaui, tidak dijalankan Tergugat maka sejak itu putusan sudah dapat dieksekusi secara paksa. 
Untuk keabsahan penetapan eksekusi (tata foral) peringatan harus dilakukan dalam pemeriksaan sidang insidentil yang dihadiri Ketua PN, Panitera, dan pihak Tergugat, acara pemeriksaan sidang insidentil tersebut dibuat dengan berita acara. 
Setelah lewat waktu, tergugat tidak juga melaksanakan isi putusan. Maka sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR/Pasal 208 ayat (1) RBg, surat perintah dapat dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri, tidak perlu menunggu permohonan ulang dari pihak penggugat.
2. Surat Perintah Eksekusi 
Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 ayat (1)/Pasal 208 ayat (1) RBg, surat perintah eksekusi adalah surat penetapan ketua PN yang ditujukan kepada panitera atau juru sita untuk menjalankan eksekusi. Surat perintah ketua PN berbentuk penetapan. Bentuk penetapan ini bersifat imperatif dan tidak boleh dalam bentuk lisan. Pasal 197 ayat (1)/Pasal 208 ayat (1) RBg menjelaskan bahwa secara ex officio ketua PN membuat perintah menjalankan eksekusi dan perintah itu dengan surat. 
Pelaksanaan putusan pengadilan diatur juga dalam Pasal 54 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan kehakiman yang menyebutkan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh kekua pengadilan. Dan karena itu Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap (Pasal 55 ayat (1) ). 
Yang menjalankan eksekusi secara nyata dan fisik adalah panitera dan jurusita, jadi fungsi panitera dan jurusita adalan menjalankan eksekusi secara nyata dan fisik. Sedangkan fungsi Ketua PN adalah memerintahkan ekskusi dan memimpin jalannya ekskusi. Ketua PN membuat ”surat perintah eksekusi secara tertulis. Surat perintah ini lah yang disebut ”penetapan”, yang disebut surat perintah penetapan eksekusi. Tanpa ada surat perintah eksekusi pihak yang kalah dapat menolak eksekusi yang dilakukan oleh panitera atau juru sita.
3. Berita Acara Eksekusi 
Berita acara eksekusi merupakan syarat formal keabsahan pelaksanaan eksekusi. Ketentuan berita acara eksekusi, diatur dalam Pasal 197 ayat (4) HIR/Pasal 209 ayat (4) RBg secara tegas memerintahkan pejabat yang menjalankan eksekusi membuat berita acara ekskusi. Oleh karena itu, tanpa dibuat berita acara eksekusi maka eksekusi dianggap tidak sah. Syarat keabsahan formal eksekusi hanya dapat dibuktikan dengan berita acara. Keabsahan berita acara eksekusi: 
    a. harus ditandatangani; 
    b. pencantuman dua saksi. 
Dalam berita acara harus tercantum yang menjalankan eksekusi dan saksi yang membantu eksekusi (Pasal 197 ayat (6) HIR/Pasal 210 RBg. Menurut ketentuan ini mensyaratkan bahwa pejabat yang menjalankan eksekusi harus dibantu dua orang dan sekaligus berkedudukan sebagai saksi eksekusi. Yang dapat ditunjuk sebagai pembantu atau saksi, menurut Pasal 197 ayat (7) HIR/Pasal 210 RBg adalah: 
    a. Penduduk Indonesia; 
    b. Sudah berumur 21 tahun; 
    c. Orang yang dapat dipercaya.
Ketentuan syarat fomal penandatangan Berita Acara Eksekusi diatur dalam Pasal 197 ayat (6) HIR/Pasal 210 Ayat 1 RBg, yang mengatur siapa yang mesti menandatangani Berita Acara Eksekusi, yaitu pejabat pelaksana eksekusi (panitera atau jurusita dan kedua orang saksi yang ikut membantu jalannya eksekusi. 
Pencantuman saksi dalam berita acara sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (6) HIR/Pasal 209 ayat (6) RBg, mensyaratkan bahwa pejabat yang menjalankan eksekusi dibantu Oleh dua orang saksi, dan kedudukan kedua pembantu pejabat yang menjalankan eksekusi sekaligus menjadi saksi eksekusi.

0 komentar:

Post a Comment