SYARAT-SYARAT SAH PELAKSANAAN EKSEKUSI
Istilah
pelaksanaan putusan hakim/putusan pengadilan berasal dari istilah ”eksekusi”,
yang diambil alih ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah ”pelaksanaan
putusan”. Dalam HIR/RBg pengertian eksekusi sama dengan pengertian menjalankan
putusan (tenuitvoer legging van vonnissen). Istilah menjalankan putusan
mempunyai arti melaksanakan isi putusan pengadilan. Sekarang ini istilah
”pelaksanaan putusan” sepertinya sudah merupakan istilah umum, dan hampir semua
pengguna menggunakan istilah ”pelaksanaan putusan”. Hal tersebut dapat
disimpulkan dari pemakain istilah tersebut oleh para pakar, seperti Subekti dan
Retno Wulan Sutantio yang mengambil alih istilah ”pelaksanaan putusan" (Djamanat
Samosir, Hukum Acara Perdata/2011:325)
sebagai
pengganti istilah ”eksekusi”. Istilah pelaksanaan putusan hakim sudah dianggap
sebagai istilah baku sebagai pengganti eksekusi. Menurut (Yahya
Harahap/1991:5) bahwa pembakuan istilah pelaksanaan putusan sudah tepat.
Sebab jika bertitik tolak dari Ketentuan Bagian Kelima HIR atau Bagian Keempat
RBg, pengertian eksekusi sama dengan pengertian ”menjalankan putusan ”
(tenuitvoer legging van vonnisen).
Pelaksanaan
putusan (eksekusi) adalah suatu tindakan paksa dengan kekuatan umum yang
dilakukan oleh Pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengadilan/Hakim tidak cukup hanya
menyelesaikan perkara dengan menjatuhkan putusan, melainkan juga putusan itu
harus dapat dilaksanakan atau dijalankan, sehingga terealisasilah prestasi
sebagai kewajiban pihak yang tercantum dalam putusan.
Putusan
hakim tidak mempunyai arti apabila tidak dilaksanakan. (Yahya
Harahap/1991:1) menulis bahwa eksekusi sebagai tindakan hukum yang
dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara,
merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh
karena itu, eksekusi adalah tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan
proses hukum acara pedata. (Sudikno Mertokusumo/1999:209) mengatakan
pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah
realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi
yang tercantum dalam putusan tersebut.
Tujuan
akhir dari acara persidangan yang digelar oleh pihak yang berkepentingan, yaitu
pihak yang merasa dirugikan haknya pulih kembali melalui putusan. Dikatakan
”tujuan akhir”, karena pihak yang berkepentingan merasa Pengadilan sebagai
satu-satunya cara terakhir untuk memulihkan haknya atau mendapatkan pemecahan
atau penyelesaian. Hal ini sesuai dengan pendapat Lilik Mulyadi (1999:276) mengatakan
bahwa esensi terpenting serta aktual dan merupakan puncak dari perkara perdata
adalah putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van
gewijsde) dapat dilaksanakan.
Jadi,
putusan pengadilan tidak akan mempunyai arti apa-apa apabila tidak dapat
dilaksanakan. Pemulihan hak diperoleh dengan melalui penetapan putusan hakim
yang dapat dilaksanakan. Akan tetapi, tidak semua putusan hakim dapat
dilaksanakan (eksekusi). Tidak jarang di dalam praktiknya sering teljadi, bahwa
pihak-pihak yang oleh putusan hakim tidak mau secara sukarela memenuhi isi
putusan, sehingga terhadap mereka ini harus dilakukan tindakan paksa yaitu
eksekusi.
Pengadilan/Hakim
dalam menyelesaikan perkara yang dihadapkan kepadanya, tidaklah cukup hanya
dengan menjatuhkan putusan hakim, melainkan putusan itu harus dapat
dilaksanakan atau dijalankan. Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah
putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde),
yaitu putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet,
banding, dan kasasi. Putusan yang dapat dieksekusi itu bersifat comdemnatoir. Putusan
deklaratoir (declaratoir vonnis) merupakan lawan dari putusan comdemnatoir.
Biasanya putusan declaratoir terdapat pada putusan voluntair (permohonan),
tetapi dapat juga dalam perkara contentiosa.
Bagaimana
dapat diketahui putusan hakim itu mengandung putusan kondemnatoir? Untuk
mengetahui putusan yang bersifat comdemnatoir dapat diketahui dari cirinya,
yang dapat di lihat dalam amar atau diktum putusan, di sana terdapat perintah
menghukum pihak yang kalah, misalnya dalam kalimat: menghukum atau memerintahkan:
menyerahkan suatu barang, mengosongkan sebidang tanah/rumah, melakukan suatu
perbuatan, mengentikan suatu perbuatan tertentu, memerintahkan melakukan
pembayaran sejumlah uang.
Pada
dasarnya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap sudah
dapat dilaksanakan, tetapi tidak semua putusan itu dapat dilaksanakan
(dieksekusi). Pada prinsipnya, hanya putusan yang bersifat comdemnatoir
(putusan yang berisi penghukuman) saja yang dapat dieksekusi, misalnya: putusan
yang berisi penghukuman menyerahkan sebidang tanah, mengosongkan sebidang
tanah, menghentikan sesuatu membayar sejumlah uang tertentu. Sedangkan terhadap
putusan-putusan declaratoir dan konstitutif tidak dapat dieksekusi, karena
tidak dimuat atau tidak adanya hak atas suatu prestasi atau putusan yang
mengandung sifat dan keadaan baru, sehingga tidak memerlukan saran-saran
memaksa untuk dijalankan.
Melaksanakan
putusan (eksekusi) terjadi apabila pihak yang dihukum tidak melaksanakan
putusan secara sukarela. Melaksanakan putusan dapat dilaksanakan:
- secara sukarela, atau
- secara paksa dengan menggunakan alat negara, apabila pihak yang dihukum tidak mau melaksanakan secara sukrela.
Seharusnya
pihak yang kalah harus melaksanakan putusan hakim yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap (pasti) dengan sukarela. Tetapi, apabila tidak mau
melaksanakan putusan pengadilan dengan sukarela, pihak yang dimenangkan dalam
putusan dapat meminta bantuan dari pengadilan untuk dapat melaksanakan putusan
tersebut secara paksa.
Selain
telah mempunyai kekuataan hukum tetap putusan hakim juga mempunyai kekuatan
ekskutorial. Putusan yang mempunyai kekuatan Ekskutorial, yaitu putusan hakim
yang mempunyai kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa dengan alat-alat
negara. Putusan hakim yang
mempunyai
kekuatan eksekutorial dapat dilihat pada kepala putusan yang berbunyi ”Demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa" (Sudikno Mertokusumo,
1999:208).
Eksekusi
merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelaksanaan tata tertib
beracara yang terdapat alam HlR/RBg. Peraturan sebagai pedoman tata cara
melaksanakan putusan hakim/pengadilan diatur dalam HIR/RBg pada Pasal 195
sampai Pasal 224 HIR /Pasal 206 sampai Pasal 258 RBg, dan Peraturan Lelang No.
189/1098 (Vendu Reglement St.1908/No. 189). Ketentuan yang diatur dalam Pasal
195 sampai Pasal 224 HIR/Pasal 206 sampai Pasal 258 RBg. Namun, tidak semua
ketentuan dalam pasal-pasal itu masih berlaku saat sekarang ini, yaitu
ketentuan yang mengatur sandera (gijzeling) Pasal 209 sampai Pasal 223
HIR/Pasal 242 sampai 257 RBg sudah dihapus. Penghapusan gijzeling didasarkan
pada suatu pertimbangan, yaitu bahwa tindakan penyanderaan terhadap seorang
debitur dianggap bertentangan dengan perikemanusiaan. Sandera adalah merupakan
upaya paksa bagi debitur untuk melaksanakan pembayaran yang sesuai dengan
putusan hakim. Dengan larangan tersebut, seorang debitur berdasarkan putusan
hakim yang dihukum untuk membayar hutangnya tidak lagi dapat disandera.
Penghapusan
pasal-pasal tersebut dilakukan MA melalui SEMA No. 2 Tahun 1964, tanggal 22
Januari 1964. SEMA tersebut telah menginstruksikan kepada seluruh pengadilan di
lingkungan peradilan umum, untuk tidak menggunakan lagi pasal-pasal aturan
sandera (gijzeling), yakni Pasal 209-223 HIR/247-257 RBg, karena sandra
bertentangan dengan perikemanusiaan. Dengan penghapusan itu, pasal yang efektif
berlaku untuk mengatur eksekusi ialah Pasal 195-Pasal 208, Pasal 224 HIR/Pasal
206 Pasal 240, Pasal 258 RBg.
Namun
kemudian disadari, ternyata penghapusan sandera itu tidak realistis, selain
menghalalkan segala cara dengan memperalat perikemanusiaan, pengahapusan ini
telah mengorbankan keadilan, kebenaran dan kepatutan untuk membela kepentingan
orang-orang nakal. Karena itu, dalam perkembangannya, penyanderaan (gijzeling)
yang pernah dicabut oleh MA, melalui SEMA No. 1/64 tanggal 22 Januari 1964,
maka pada tahun 2000 diberlakukan kembali oleh MA dengan menerbitkan PEMA No. 1
Tahun 2000 Tentang Pasal 209 Pasal 224 HIR/ Pasal 242-258 RBg, yang berlaku
bagi debitur, penanggung/penjamin hutang yang tidak beritikat baik tetapi
sebenarnya mampu membayar.
Selain
itu, terdapat lagi pasal yang mengatur pelaksanaan putusan (eksekusi), Pasal
225 HIR/259 RBg (mengatur eksekusi yang menghukum tergugat untuk melakukan
sesuatu perbuatan hukum tertentu), dan Pasal 180 HIR/191 RBg (mengatur tentang
pelaksanaan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu/putusan serta-merta
(Uitvoerbaar bijvoorraad».
Dalam
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pelaksanaan putusan
pengadilan diatur dalam Pasal 54, dan Pasal 55. Menurut ketentuan Pasal 54 ayat
(2), ayat (3) menyebutkan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara
perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
Dalam pelaksaan putusan pengadilan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan
keadilan. Selanjutnya ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap (Pasal 56).
Melaksanakan
putusan berarti bersedia memenuhi kewajiban untuk berprestasi yang dibebankan
oleh hakim lewat putusannya (Abdulkadir Muhammad, 1990:214), atau
realisasi dari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi yang tercantum
dalam putusan tersebut (Sudikno Mertokusumo). Dengan istilah menjalankan
putusan, (Yahya Harahap (1991:5), mengartikan tiada lain daripada
melaksanakan isi putusan pengadilan, yaitu melaksanakan secara paksa putusan
pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau
menjalankan secara sukarela sebagai pihak yang dikalahkan.
Sebagaimana
telah diuraikan, eksekusi dilakukan apabila putusan telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum banding dan
kasasi. Asas-asas ini merupakan asas pokok, kecuali putusan provisi. Namun, hal
yang penting dalam melakukan eksekusi adalah sejak kapan eksekusi itu dapat
dilaksanakan? Jika seandainya tergugat melaksanakan putusan secara sukarela,
tergugat tidak perlu membayarbiaya eksekusi. Oleh karena itu, eksekusi merupakan
pilihan hukum atau alternatif karena tergugat tidak melaksanakan putusan secara
sukarela. Ada beberapa syarat pelaksanaan eksukusi, yaitu syarat sebelum
dilakukan eksekusi: peringatan (aanmaning), surat perintah eksekusi, dan berita
acara eksekusi.
1.
Peringatan(Aanmaning)
Peringatan
adalah merupakan syarat pokok eksekusi, karena tanpa peringatan eksekusi tidak
dapat dijalankan. Peringatan menjadi penting berkaitan dengan pelaksanaan
eksekusi itu sendiri, apakah dapat dilaksanakan atau tidak. Eksekusi baru dapat
dilaksanakan (sebagai tindakan nyata) sejak waktu peringatan telah lewat.
Peringatan merupakan upaya yang dilakukan oleh Ketua PN berupa teguran kepada
Tergugat agar ia melaksanakan putusan secara sukarela. Tenggang waktu
peringatan yang diberikan undang-undang adalah secara maksimum, yakni paling
lama 8 (delapan) hari (Pasal 196 HIR/ Pasal 207 RBg). Artinya dalam selama
depan hari kepada Tergugat diminta untuk menjalankan putusan secara
sukarela.
Cara
melakukan peringatan dilakukan, menurut Pasal 196 HIR/207 RBg dilakukan setelah
ada permintaan eksekusi dari Penggugat atau kuasanya. Pengajuan atau permohonan
eksekusi dari pihak Penggugat/kuasanya merupakan prasyarat peringatan. Apabila
permohonan itu dilakukan oleh kuasa, maka permohonan itu harus berdasarkan
surat kuasa khusus. Permohonan eksekusi sesuai dengan Pasal 196 HIR/207 RBg
dapat dilakukan secara tertulis dan lisan.
Eksekusi
dapat dilakukan setelah lewat 8 hari. Apabila telah melampaui waktu 8 hari maka
Ketua PN dapat memerintahkan eksekusi. Batas maksimun tenggang waktu peringan
sesuai dengan Pasal 196 HIR/207 RBg kepada pihak tergugat dalam batas waktu
peringatan diminta untuk menjalankan putusan secara sukarela, apabila batas
maksimum dilampaui, tidak dijalankan Tergugat maka sejak itu putusan sudah
dapat dieksekusi secara paksa.
Untuk
keabsahan penetapan eksekusi (tata foral) peringatan harus dilakukan dalam
pemeriksaan sidang insidentil yang dihadiri Ketua PN, Panitera, dan pihak
Tergugat, acara pemeriksaan sidang insidentil tersebut dibuat dengan berita
acara.
Setelah
lewat waktu, tergugat tidak juga melaksanakan isi putusan. Maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 197 ayat (1) HIR/Pasal 208 ayat (1) RBg, surat perintah dapat
dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri, tidak perlu menunggu permohonan ulang dari
pihak penggugat.
2.
Surat Perintah Eksekusi
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 196 ayat (1)/Pasal 208 ayat (1) RBg, surat perintah
eksekusi adalah surat penetapan ketua PN yang ditujukan kepada panitera atau
juru sita untuk menjalankan eksekusi. Surat perintah ketua PN berbentuk
penetapan. Bentuk penetapan ini bersifat imperatif dan tidak boleh dalam bentuk
lisan. Pasal 197 ayat (1)/Pasal 208 ayat (1) RBg menjelaskan bahwa secara ex
officio ketua PN membuat perintah menjalankan eksekusi dan perintah itu dengan
surat.
Pelaksanaan
putusan pengadilan diatur juga dalam Pasal 54 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009
Tentang kekuasaan kehakiman yang menyebutkan pelaksanaan putusan pengadilan
dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh kekua
pengadilan. Dan karena itu Ketua Pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap (Pasal 55 ayat (1) ).
Yang
menjalankan eksekusi secara nyata dan fisik adalah panitera dan jurusita, jadi
fungsi panitera dan jurusita adalan menjalankan eksekusi secara nyata dan
fisik. Sedangkan fungsi Ketua PN adalah memerintahkan ekskusi dan memimpin
jalannya ekskusi. Ketua PN membuat ”surat perintah eksekusi secara tertulis.
Surat perintah ini lah yang disebut ”penetapan”, yang disebut surat perintah
penetapan eksekusi. Tanpa ada surat perintah eksekusi pihak yang kalah dapat
menolak eksekusi yang dilakukan oleh panitera atau juru sita.
3.
Berita Acara Eksekusi
Berita
acara eksekusi merupakan syarat formal keabsahan pelaksanaan eksekusi.
Ketentuan berita acara eksekusi, diatur dalam Pasal 197 ayat (4) HIR/Pasal 209
ayat (4) RBg secara tegas memerintahkan pejabat yang menjalankan eksekusi
membuat berita acara ekskusi. Oleh karena itu, tanpa dibuat berita acara
eksekusi maka eksekusi dianggap tidak sah. Syarat keabsahan formal eksekusi
hanya dapat dibuktikan dengan berita acara. Keabsahan berita acara
eksekusi:
a. harus ditandatangani;
b. pencantuman dua saksi.
Dalam
berita acara harus tercantum yang menjalankan eksekusi dan saksi yang membantu
eksekusi (Pasal 197 ayat (6) HIR/Pasal 210 RBg. Menurut ketentuan ini
mensyaratkan bahwa pejabat yang menjalankan eksekusi harus dibantu dua orang
dan sekaligus berkedudukan sebagai saksi eksekusi. Yang dapat ditunjuk sebagai
pembantu atau saksi, menurut Pasal 197 ayat (7) HIR/Pasal 210 RBg adalah:
a. Penduduk Indonesia;
b. Sudah berumur 21 tahun;
c. Orang yang dapat dipercaya.
Ketentuan
syarat fomal penandatangan Berita Acara Eksekusi diatur dalam Pasal 197 ayat
(6) HIR/Pasal 210 Ayat 1 RBg, yang mengatur siapa yang mesti menandatangani
Berita Acara Eksekusi, yaitu pejabat pelaksana eksekusi (panitera atau jurusita
dan kedua orang saksi yang ikut membantu jalannya eksekusi.
Pencantuman
saksi dalam berita acara sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (6) HIR/Pasal
209 ayat (6) RBg, mensyaratkan bahwa pejabat yang menjalankan eksekusi dibantu
Oleh dua orang saksi, dan kedudukan kedua pembantu pejabat yang menjalankan
eksekusi sekaligus menjadi saksi eksekusi.
0 komentar:
Post a Comment