MACAM-MACAM BENTUK KEADILAN DALAM HUKUM
Menurut pakar hukum, keadilan dibedakan atas enam (6) macam, yaitu: keadilan distributif, komutatif, vidikatif, kreatif, protektif, dan legalis.[1] Adapun penjelasannya ialah sebagai berikut:
a. Keadilan distributif
Keadilan distributif merupakan keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Apabila dalam Pasal 5 Undang-undang Belanda ditetapkan, bahwa "tiap-tiap orang Belanda dapat diangkat untuk tiap-tiap jabatan", maka ini belum berarti bahwa setiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan jabatan-jabatan tersebut harus diberikan kepada mereka, yang berdasarkan jasa-jasanya, patut untuk memperolehnya. Kiranya hal tersebut dapat kita bandingkan dengan pasal yang menetapkan, 'Tiap-tiap warga negam berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".[2]Dengan demikian keadilan distributif adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Atau apabila diterjemahkan lebih lanjut, keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan suatu organisasi atau lembaga untuk memberikan kepada para anggotanya beban sosial, fungsi, imbalan, balas jasa, dan kehormatan secara proposional atau seimbang sesuai dengan kecakapan dan jasanya, bukan berdasarkan asumsi "like or dislike".[3] Sehingga terciptanya keberimbangan antara hak dan kewajiban yang merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
Keadilan distributif merupakan keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan. Apabila dalam Pasal 5 Undang-undang Belanda ditetapkan, bahwa "tiap-tiap orang Belanda dapat diangkat untuk tiap-tiap jabatan", maka ini belum berarti bahwa setiap orang Belanda mempunyai hak yang sama untuk diangkat menjadi menteri, melainkan jabatan-jabatan tersebut harus diberikan kepada mereka, yang berdasarkan jasa-jasanya, patut untuk memperolehnya. Kiranya hal tersebut dapat kita bandingkan dengan pasal yang menetapkan, 'Tiap-tiap warga negam berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".[2]Dengan demikian keadilan distributif adalah asas yang menguasai atau mengatur hubungan antara warga dengan masyarakat sebagai kesatuan (negara). Atau apabila diterjemahkan lebih lanjut, keadilan distributif adalah kewajiban pimpinan suatu organisasi atau lembaga untuk memberikan kepada para anggotanya beban sosial, fungsi, imbalan, balas jasa, dan kehormatan secara proposional atau seimbang sesuai dengan kecakapan dan jasanya, bukan berdasarkan asumsi "like or dislike".[3] Sehingga terciptanya keberimbangan antara hak dan kewajiban yang merupakan dua unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
b. Keadilan komutatif
Keadilan komutatif, merupakan keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan macam ini memegang peranan dalam tukar menukar barang dan jasa, yang sedapat mungkin terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Di sini kita dapat melihat bahwa yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan, dan asas ini melandasi hubungan antar warga masyarakat terutama yang berkecimpung dalam bidang perdagangan. Dengan demikian, ada kesenilaian antara prestasi dengan kontraprestasi.
Keadilan komutatif, merupakan keadilan yang memberikan jatah kepada setiap orang sama banyaknya tanpa harus mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan macam ini memegang peranan dalam tukar menukar barang dan jasa, yang sedapat mungkin terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Di sini kita dapat melihat bahwa yang menjadi asas dalam keadilan komutatif adalah asas persamaan, dan asas ini melandasi hubungan antar warga masyarakat terutama yang berkecimpung dalam bidang perdagangan. Dengan demikian, ada kesenilaian antara prestasi dengan kontraprestasi.
c. Keadilan vindikatif
Keadilan vindikatif merupakan keadilan yang memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian seseorang tidak dapat diberikan sanksi terhadap perbuatan yang tidak ia lakukan begitupun sebaliknya, bahwa seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau kesalahan harus mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.
Keadilan vindikatif merupakan keadilan yang memberikan ganjaran atau hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian seseorang tidak dapat diberikan sanksi terhadap perbuatan yang tidak ia lakukan begitupun sebaliknya, bahwa seseorang yang telah melakukan pelanggaran atau kesalahan harus mendapatkan sanksi atau hukuman sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya.
d. Keadilan kreatif
Keadilan kreatif merupakan keadilan yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya. Misa1nya perlindungan hak cipta terhadap karya-karya yang telah dihasilkan oleh seseorang dari para plagiator.
Keadilan kreatif merupakan keadilan yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang dianggap kreatif dalam menghasilkan karya ciptanya. Misa1nya perlindungan hak cipta terhadap karya-karya yang telah dihasilkan oleh seseorang dari para plagiator.
e. Keadilan protektif
Keadilan protektif merupakan keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang. Misalnya dalam hal ini Undang-undang tentang HAM yang memberikan perlindungan bagi setiap orang agar tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang.
Keadilan protektif merupakan keadilan yang memberikan bantuan dan perlindungan kepada setiap manusia sehingga tidak seorang pun dapat diperlakukan sewenang-wenang. Misalnya dalam hal ini Undang-undang tentang HAM yang memberikan perlindungan bagi setiap orang agar tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang.
e. Keadilan legalis
Keadilan legalis merupakan keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang [4]Misalnya dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya". Begitu pula keadilan legalis ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menetapkann:[5]
Keadilan legalis merupakan keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang [4]Misalnya dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan, "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tiada kecualinya". Begitu pula keadilan legalis ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 yang menetapkann:[5]
"Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung tujuh tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan"..
Referensi
------------
[1] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1987), h.10.
[2] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2), (Jakarta: BP-7 Pusat, 1974)
[3] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 24.
[4] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, h.10.
[5] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah), (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 695.
Referensi
------------
[1] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1987), h.10.
[2] Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (2), (Jakarta: BP-7 Pusat, 1974)
[3] Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa, Cet. 3 (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), h. 24.
[4] R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, h.10.
[5] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan Hukum Tanah), (Jakarta: Djambatan, 1983), h. 695.
0 komentar:
Post a Comment