PACARAN DAN PEMINANGAN DALAM PERKAWINAN
1. Etika Pacaran
Akhir-akhir
ini, proses khithbah (peminangan) biasanya diawali dengan adanya pacaran. Dalam
bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan
mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan dan kekasih. Dalam
praktiknya, istilah pacaran dengan tunangan sering dirangkai menjadi satu.[1]
Muda-mudi yang pacaran, kalau ada kesesuaian lahir batin, dilanjutkan dengan
tunangan. Sebaliknya, mereka yang bertunangan biasanya diikuti dengan pacaran.
Agaknya, pacaran di sini, dimaksudkan sebagai proses mengenal pribadi
masing-masing, yang dalam ajaran Islam disebut dengan ”Ta’aruf” (saling
kenal-mengenal).
Akibat
pergeseran sosial, dewasa ini, kebiasaan pacaran masyarakat kita menjadi
terbuka. Terlebih saat mereka merasa belum ada ikatan resmi, akibatnya bisa
melampaui batas kepatutan. Kadangkala, seorang remaja menganggap perlu pacaran
untuk tidak hanya mengenal pribadi pasangannya, melainkan sebagai pengalaman,
uji coba, maupun bersenang-senang belaka. Itu terlihat dari banyaknya remaja
yang gonta-ganti pacar, ataupun masa pacaran yang relatif pendek. Beberapa
kasus yang diberitakan oleh media massa juga menunjukkan bahwa akibat pergaulan
bebas atau bebas bercinta (free love) tidak jarang menimbulkan hamil pranikah,
aborsi, bahkan akibat rasa malu di hati, bayi yang terlahir dari hubungan
mereka berdua lantas dibuang begitu saja sehingga tewas.[2]
Islam
sebenarnya telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang untuk mendekati zina. Seperti
tersebut dalam surat Al-Isra ayat 32: '
ولا تقربوا الزنا انه كان فاحشة وساء سبيلا
Terjemahnya:
Dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (QS Al-Isra/17: 32)[3]
Dalam
Al-Qur’an, Allah swt. telah memberikan petunjuk, bahwa Allah menciptakan
manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku serta
berbangsa-bangsa adalah agar mereka dapat berinteraksi (berhubungan) dan saling
kenal-mengenal. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
يا ايها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم ان الله عليم خبير
Terjemahnya:
Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang Zakilaki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagiMaha Mengenal. (QS Al-Hujurat/49: 13)[4]
Dengan
demikian, Islam memiliki etika dalam pergaulan dan mengadakan perkenalan antara
pria dan wanita (pacaran), di mana tahapan umumnya dapat dijelaskan sebagai
berikut: Pertama, proses ta’aruf atau perkenalan. Setelah bertemu dan tertarik
satu sama lain, dianjurkan untuk dapat mengenal kepribadian, latar belakang
sosial, budaya, pendidikan, keluarga, maupun agama kedua belah pihak. Dengan
tetap menjaga martabat sebagai manusia yang dimuliakan Allah, artinya tidak terjerumus
pada perilaku tak senonoh, bila di antara mereka berdua terdapat kecocokan,
maka bisa diteruskan dengan saling mengenal kondisi keluarga masing-masing,
misalnya dengan jalan bersilaturrahmi ke orang tua keduanya.
Nabi
saw., memberikan tips bagi seseorang yang hendak memilih pasangannya, yaitu
mendahulukan pertimbangan keberagamaan daripada motif kekayaan, keturunan maupun
kecantikan atau ketampaman.[5]
Kedua,
proses khithbah, yakni melamar atau meminang.
2. Pengertian
Peminangan (Khithbah)
Kata
”peminangan berasal dari kata ”pinang, meminang” (kata kerja). Meminang
sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa Arab disebut ”khithbah”. Menurut
etimologi, meminang atau melamar artinya (antara lain)[6] meminta
wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut
terminologi, peminangan ialah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.[7] Atau,
seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya,
dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.[8]
Peminangan
merupakan pendahuluan perkawinan yang disyariatkan sebelum ada ikatan suami
istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinah didasari kerelaan yang
didapatkan dari penelitian, pengetahuan, serta kesadaran masing-masing pihak:
Adapun
perempuan yang boleh dipinang adalah perempuan yang memehuhi syarat sebagai
berikut:[9]
- Tidak dalam pinangan orang lain;
- Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada penghalang syara’ yang melarang dilangsungkannya pernikahan;
- Perempuan itu tidak dalam masa idah karena talak raj’i; dan
- Apabila perempuan dalam masa idah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan).
3. Melihat
Pinangan
Untuk
kebaikan dalam kehidupan berumah tangga kesejahteraan dan kesenangannya, seyogianya
laki-laki melihat dulu perempuan yang akan dipinangnya sehingga ia dapat
menentukan apakah peminangan itu diteruskan atau dibatalkan.
Dalam
agama Islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama
dalam batas-batas tertentu, berdasarkan sabda Nabi Saw.:
عن المغيرة ابن شعبة انه
خطب امراة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم ا نظرت اليها ؟ قال: لا، قال: انظر اليها فانه ان يؤدم بينكما )رواه النسائي و ابن ماجه والترمذي(
Artinya:
Dari
Mughirah bin Syu’bah, ia meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah saw.
bertanya kepadanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia menjawab: Belum. Sabda Nabi:
Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng.
(HR. Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)
Mengenai
bagian badan wanita yang boleh dilihat ketika dipinang, para fuqaha berbeda
pendapat. Imam Malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan.
Fuqaha yang lain (seperti Abu Daud al-Dhahiry). Membolehkan melihat seluruh
badan, kecuali dua kemaluan sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat
sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki,
muka, dan dua telapak tangan.
Silang
pendapat ini disebabkan karena dalam persoalan ini terdapat suruhan untuk
melihat wanita secara mutlak, terdapat pula larangan secara mutlak, dan ada
pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada muka dan dua telapak tangan,
berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman:
ولا يبدين زينتهن الا ما
ظهر منها
Terjemahnya:
Dan
janganlah (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak
daripadanya (QS Al-Nur/24: 31).[10]
Maksud
”perhiasan yang biasa tampak daripadanya” adalah muka dan dua telapak tangan.
Di samping itu, juga diqiyaskan dengan kebolehan membuka muka dan telapak
tangan pada waktu berhaji, oleh kebanyakan fuqaha. Adapun fuqaha yang melarang
melihat sama sekali, mereka berpegang kepada aturan pokok, yaitu melihat seorang
wanita.[11]
Berdasarkan
salah satu riwayat dari Abu Razaq dan Said bin Manshur, Umar pernah meminang
putri Ali yang bernama Ummu Kulsum. Ketika itu, Ali menjawab bahwa putrinya
masih kecil. Kemudian, Ali berkata lagi: ”Nanti akan saya suruh datang Ummu
Kulsum itu kepadamu, bilamana engkau suka, engkau dapat menjadikannya sebagai
calon istri.” Setelah Ummu Kulsum datang kepada Umar, lalu Umar membuka
pahanya, serentak Ummu Kulsum berkata: “Seandainya Tuan bukan seorang khalifah,
tentu sudah saya colok kedua mata tuan.[12]
Bilamana
seorang laki-laki melihat bahwa pinangannya ternyata tidak menarik, hendaklah
dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya, sebab boleh
jadi perempuan yang tidak disenanginya itu akan disenangi orang lain.
4. Meminang
Pinangan Orang Lain
Meminang
pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menghalangi hak dan
menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan
mengganggu ketenteraman. Hukum tersebut berdasarkan sabda Nabi Saw.:
المؤمن اخو المؤمن فلا يحل
له ان يبتاع على بيع اخيه ولا يخطب على خطبة اخيه حتى يدري رواه احمد ومسلم
Artinya:
Orang
mukmin dengah mukmin adalah bersaudara, maka tidak boleh ia membeli barang yang
sedang dibeli saudaranya, dan jangan meminang pinangan saudaranya hingga ia
meninggalkannya. ” (HR Ahmad dan Muslim) .[13]
Dalam
hadis yang lain Rasulullah bersabda:
لا يبيع الرجل على بيع اخيه
ولا يخطب على خطبة اخيه ولا تسأل المراة طلاق أختها لتكتفي ما في انائها او
ما في صحفتها )رواه
مسلم(
Artinya:
Seorang
laki-laki tidak boleh menawar barang yang sudah ditawar oleh saudaranya, dan
tidak juga ia boleh melamar atas lamaran saudaranya. Dan seorang wanita tidak
boleh meminta perceraian saudara perempuannya supaya ia dapat mendapatkan
bagian yang ada di bejananya atau apa yang terdapat dalam piringnya sendiri”
(HR Muslim).[14]
Meminang
pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu telah menerima
pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan mengizinkanya, bila
izin itu memang diperlukan. Tetapi, kalau pinangan semua ditolak dengan
terang-terangan atau sindiran, atau karena laki-laki yang kedua belum tahu ada
orang lain sudah meminangnya, atau pinangan pertama belum diterima, juga belum
ditolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya,
maka yang demikian itu diperbolehkan.[15]
Tirmidzi
meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang makna hadis tersebut sebagai berikut:
“Bilamana perempuan yang boleh dipinang merasa rida dan senang maka tidak ada
seorang pun meminangnya lagi, tetapi kalau belum diketahui rida dan senangnya,
maka tidaklah berdosa meminangnya.”
Jika
pinangan laki-laki pertama sudah diterima, namun wanita tersebut menerima
pinangan laki-laki kedua kemudian menikah dengannya, maka hukumnya berdosa,
tetapi pernikahannya tetap sah, sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedang
meminang itu bukan merupakan salah satu syarat sah nikah. Karena itu,
pernikahannya tidak boleh dibatalkan walaupun peminangnya itu merupakan
tindakan pelanggaran. Imam Abu Daud berkata, ”Pernikahannya dengan peminang
kedua harus dibatalkan, baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.”[16]
Ibnu
Qasim berpendapat bahwa yang dimaksud larangan tersebut adalah jika seorang
yang baik (saleh) meminang di atas pinangan orang saleh pula. Sedangkan apabila
peminang pertama tidak baik, sedangkan peminang kedua adalah baik, maka
pinangan semacam itu diperbolehkan.[17]
Adapun
mengenai waktu pelaksanaan pernikahan, para fuqaha berpendapat waktunya adalah
ketika masing-masing pihak (peminang yang dipinang) sudah suka antara satu
dengan lainnya, dan bukan pada waktu awal peminangan.[18]
Pendapat ini didasarkan atas hadis Fatimah binti Qais r.a.:
جاءت فاطمة الى النبي صلى
الله عليه وسلم فذكرت له ان ابا جهم ابن حذيفة و معاوية ابن سفيان خطباها، فقل:
اما ابو جهم فرجل لا يرفع وعصاه عن النساء، و اما معاوية فصعلوك لا مال له ولكن
انكحي اسامة
Artinya:
Fatimah
datang kepada Nabi saw., kemudian ia menceritakan kepada beliau bahwa Abu jahm
bin Hudzaifah dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan telah meminangnya. Maka Nabi Saw.
bersabda: Abu jahm adalah orang yang tidak pernah mengangkat tongkatnya kepada
seorang perempuan (suka memukul). Adapun Muawiyah adalah orang miskin, tetapi
nikahlah kamu dengan Usamah.
5. Meminang
Perempuan yang Sedang Dalam Masa Idah
Meminang
mantan istri orang lain yang sedang dalam masa idah, baik karena kematian
suaminya, karena talak raj’i maupun talak ba’in, maka hukumnya haram.
Jika
perempuan yang sedang idah karena talak raj’i, ia haram dipinang, karena masih
ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak merujuknya
kembali sewaktu-waktu ia suka. Jika perempuan yang sedang idah karena talak ba’in
maka ia haram dipinang secara terang-terangan karena mantan suaminya masih
tetap mempunyai hak terhadap dirinya juga masih mempunyai hak untuk menikahinya
dengan akad baru. Jika ada laki-laki lain meminangnya di masa idahnya berarti
ia melanggar hak mantan suaminya.
Dalam
hal boleh atau tidaknya meminang perempuan yang sedang idah secara sindiran,
kalangan ahli flkih berbeda pendapat. Pendapat yang benar menyatakan boleh.
Perempuan yang sedang idah karena kematian suaminya boleh dipinang secara
sindiran selama masa idah, karena hubungan suami istri di sini telah terputus
sehingga hak suami terhadap istrinya hilang sama sekali. Meskipun demikian,
pinangan yang diajukan kepada perempuan tersebut hendaknya tidak mengganggunya,
apalagi sampai mencemarkan namanya di mata tetangga atau kerabatnya. Allah Swt.
berfirman:
ولا جناح عليكم في ما عرضتم
به من خطبة النساء او اكننتم في انفسكم علم الله انكم ستذكرونهن ولكن لا تواعدوهن
سرا الا ان تقولوا قولا معروفا ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب اجله
واعلموا ان الله يعلم مافى انفسكم فاحذروه
Terjemahnya:
Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan, sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf, dan janganlah kamu berazam
(bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ’idahnya. Dan ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maha takutlah kepada-Nya,
......... (QS Al-Baqarah/2: 235)[19]
Maksud
perempuan-perempuan di sini adalah perempuan yang sedang dalam masa idah karena
kematian suaminya, sebab yang dibicarakan dalam ayat di atas adalah soal
kematian. Sedangkan maksud dari kata sindiran adalah seseorang yang mengucapkan
kata-kata tersuratnya berlainan dengan yang tersiratnya. Mislanya: Saya ingin
menikah, atau saya mengharapkan sekali agar Allah memudahkan jalan bagiku untuk
memperoleh istri yang salehah. Termasuk dalam kategori meminang dengan sindiran
adalah memberikan hadiah kepada perempuan yang sedang dalam masa idah, atau
laki-laki itu menguji dirinya dengan menyebutnya jasa baiknya sebagai cara
meminang dengan sindiran. Hal ini pernah dilakukan oleh Abu Ja’far Muhammad bin
Ali bin Husein.[20]
Sukainah
binti Hanzhalah menceritakan, ”Ali bin Muhammad bin Ali pernah meminangku
ketika masa idahku belum selesai (karena suamiku meninggal), Ia berkata Engkau
tentu tahu bahwa aku adalah kerabatnya Rasulullah saw. dan kerabatnya Ali,
serta betapa mulianya kedudukanku di kalangan bangsa Arab. Lalu Aku menjawab:
”Mudah-mudahan Allah mau mengampuni kamu, wahai Abu Ja’far! Engkau adalah
seorang yang menjadi teladan, tetapi engkau meminangku di masa idahku begini?”
Ia menjawab: ”Saya hanya sekadar membaritahukan kepadamu tentang hubungan
kerabatku dengan Rasulullah dap Ali.”
Rasulullah
sendiri pernah masuk ke rumah Ummu Salamah ketika masa idah karena kematian Abu
Salamah. Beliau bersabda kepadanya:
و لقد علمت اني رسول الله و
خيرته و موضعي في قومي رواه الدارقطني
Artinya:
Tentu
engkau sudah tahu bahwa aku ini seorang Rasul dan terbaik, serta betapa mulianya
kedudukan di kalangan bangsaku. (HR Daruquthni)
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum meminang dengan terang-terangan
kepada mantan istri orang lain ketika masa idahnya adalah haram. Kalau meminang
dengan sindiran kepada perempuan yang sedang idah karena talak ba’in atau talak
mati itu boleh, maka pinangan kepada perempuan yang sedang idah karena talalz
raj’i hukumnya adalah haram.
Bagaimana
hukumnya meminang secara terang-terangan kepada perempuan yang sedang idah,
tetapi pelaksanaan akad nikahnya sesudah idahnya habis? Dalam hal ini, para
ulama fikih berbeda pendapat.
Menurut
Imam Malik, akad nikahnya sah, tetapi meminangnya secara terang-terangan itu
haram, karena antara meminang dan akad nikah itu berlainan. Tetapi, bilamana
akad nikahnya terjadi pada masa idah, maka para ulama sepakat harus dibatalkan,
sekalipun antara mereka berdua telah terjadi persetubuhan. Apakah nantinya
boleh dinikahkan lagi atau tidak sesudah masa idahnya habis? Imam Malik,
Al-Laits, dan Al-Auza’i berkata: Tidak boleh menikah lagi setelah masa idahnya
habis. Jumhur ulama berpendapat bahwa mereka boleh menikah lagi kapan saja
mereka suka, asalkan masa idahnya telah habis.[21]
6. Berkhalwat
(Menyendiri) dengan Tunangan
Menyendiri
dengan tunangan hukumnya haram, karena ia bukan muhrimnya. Ajaran Islam tidak
memperkenankan melakukan sesuatu terhadap pinangannya kecuali melihat. Hal ini
karena menyendiri dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan yang dilarang
agama. Akan tetapi, bila ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah
terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat, maka dibolehkan. Dalam kaitan ini,
Rasulullah Saw. bersabda:
عن ابن عباس رضي الله عنه
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا يخلون رجل بإمراة إلا مع ذي محرم )رواه البخاري(
Artinya:
Dari
Ibnu Abbas dari Nabi Saw., beliau bersabda: “janganlah seorang laki-laki
bersama dengan seorang perempuan, melainkan (hendaklah) besertanya (ada)
mahramnya” (HR Bukhari).[22]
Dalam
hadis yang lain, yaitu riwayat Muslim, Rasulullah Saw. menyatakan sebagai
berikut.
عن جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يبيتن رجل
عند امراة الا ان يكون نا كحا او ذا حرام )رواه مسلم(
Artinya:
Dari
jabir r.a., ia 'berkata, bahwa Rasululah saw., bersabda: “Tidak boleh bermalam
seseorang bersama dengan seorang wanita, kecuali dengan laki-laki yang
menikahinya atau dengan mahramnya” (H.R. Muslim).
Syarah
Hadis
Kalimat
“Laa Yakhluwanna”= Tidak boleh berkhalwat (berduaan di tempat sunyi),
menunjukkan tentang haramnya berkhalwat tersebut, baik di waktu malam maupun di
waktu siang. Seseorang boleh berkhalwat dengan seorang wanita asalkan ditemani
dengan mahram wanita tersebut. Hal ini dilakukan untuk menjaga kekhawatiran
terjadinya zina yang selalu diharapkan oleh setan.[23]
Dalam
hadis yang lain dijelaskan “karena orang ketiga dari keduanya adalah
setan" dengan redaksi ”Fainna tsalitsahuma asy-syaithan. ”
Adapun
hadis yang kedua dari Jabir mengatakan bahwa tidak boleh bermalam seorang
laki-laki dengan seorang wanita kecuali dengan suaminya. Kata
"Yabitanna" artinya bermalam.
Dalam
riwayat Muslim yang lain, berbunyi: La yabi‘tanna rajulun ’inda imra’atin
tsayyibin” ini berarti bahwa yang dilarang itu bermalam dalam rumah seorang
wanita janda. Diberinya tambahan dengan wanita janda ini, karena biasanya
seorang laki-laki akan lebih mudah menemui wanita janda tidak sesukar menemui
seorang gadis. Larangan menemui seorang janda di waktu malam ini mengandung
adanya makna lebih dilarang lagi untuk menemui gadis di waktu malam.[24]
Kedua
hadis tersebut merupakan dalil tentang haramnya berkhalwat dengan wanita
ajnabiyah (asing/boleh dinikahi) dan boleh berkhalwat dengan mahramnya, yang
dimaksud dengan mahram ialah seseorang yang haram dinikahi, karena ada hubungan
nasab atau susuan.[25]
Melihat
aurat mahram/mahramah, hukumnya boleh/tidak haram, selain bagian antara pusar
dan lutut. Seorang perempuan tidak boleh keluar rumah, kecuiali bersama dengan
mahram/mahramahnya.[26]
Jika
ada keperluan kepada wanita yang bukan muhrini, Al-Qur’an telah mengajarkan,
yaitu melalui tabir.
واذا سالتموهن متاعا فسئلوهن
من وراء حجاب
Terjemahnya:
jika kamu meminta suatu keperluan kepada
wanita yang bukan mahram, maka mintalah dari luar dinding. ” (QS Al-Ahzab/33:
53)[27]
Larangan
tersebut, antara lain, dimaksudkan sebagai batasan dalam pergaulan antara lawan
jenis demi menghindari fitnah. Dalam kenyataannya, di negara-negara yang
menganut pergaulan bebas, norma-norma hukum dan kesopanan, yang merupakan salah
satu pembeda antara manusia dengan binatang, seakan-akan hilang.
Oleh
karena itu, larangan Islam, tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan, tetapi
lebih dari itu, yaitu untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan
lawan jenis merupakan salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah. Dengan
demikian, larangan perbuatan tersebut, sebenarnya sebagai langkah preventif
agar tidak melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan
yang telah disepakati masyarakat.[28]
Download file Doc
[1]Abd.
Rachman Assegaf, Studi Islam Kontekstual, Elaborasi Paradigma Baru Muslim
Kaffah (Yogyakarta: Gama Media, 2005) cet ke-I, hlm. 133.
[2]Ibid
[3]Al-Qur’an
[4]Al-Qur’an
[5]Abd.
Rachman Assegaf, Op.Cit., hlm. 135.
[6]Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1994), cet ke-3 hlm. 556.
[7]H.
Abdurahman, Op.Cit., hlm. 113.
[8]Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 20. Lihat pula Dahlan
Idhamy, Asas-asas Fikih Munakahat: Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas,
1984), hlm. 15. dan lihat pula Selamet Abidin, Fikih Munakahat (Bandung: Pusaka
Setia, 1999), hlm. 41.
[9]H.M.A.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), hlm. 24-25.
[10]Al-Qur’an
[11]Ibn
Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t.),
Juz 2,hlm. .37.
[12]Slamet
Abidin dan Aminudin, Op.Cit., hlm. 43-44.
[13]Hadis
Riwayat Ahmad dan Muslim; lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fikih Munakahat (Jakarta,
Prenada Media, 2003), hlm. 77.
[14]Hadis
riwayat Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya, bab Al-Nikah, X/198; bandingkan
dengan Muhammad Ali As-Shabuni, Al-Zawaj aI-Islami AI-Mubakkir Sa’adah Wa
Hasanah, Edisi Indonesia Pernikahan Dini (Solusi Praktis menghadapi Perilaku
Seks Bebas), alih bahasa M. Abdul Ghaffar,(Jakarta: Pustaka Al-Naba, 2002),
hlm. 62.
[15]H.
Abdurrahman Ghazaly, Op.Cit., hlm. 78.
[16]H.M.A.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Op.Cit., hlm. 24-25.
[17]H.
Abdurrahman Ghazaly, Op.Cit., hlm. 78.
[18]Ibn
Rusyd, Op.Cit., hlm. 2-3.
[19]Al-Qur’an
[20]Sayyid
Sabiq, Op.Cit., hlm. 21-22.
[21]Ibid.,
hlm. 22-23.
[22]Subulus
Salam, Jilid III, hlm. 209.
[23]H.
Muhammad Syafl’i, Op.Cit., hlm. 54.
[24]Ibid.
[25]Abdul
Mudjieb dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1994) hlm. 186.
[26]Ibid
[27]Al-Qur’an
[28]H.
Rachmat Syafi'i, Op.Cit., hlm. 219. “Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam
tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 81.
casino-on-line-bonuses and promotions - DrmCD
ReplyDeleteFind out what these free casinos 대구광역 출장안마 can offer 당진 출장안마 and the best casinos to play casino games for real money. Slot machines 안성 출장안마 are 세종특별자치 출장샵 also 나주 출장샵 available on some casino floors,