Sunday, September 20, 2020

PACARAN DAN PEMINANGAN DALAM PERKAWINAN


1. Etika Pacaran

Akhir-akhir ini, proses khithbah (peminangan) biasanya diawali dengan adanya pacaran. Dalam bahasa Indonesia, pacar diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan batin, biasanya untuk menjadi tunangan dan kekasih. Dalam praktiknya, istilah pacaran dengan tunangan sering dirangkai menjadi satu.[1] Muda-mudi yang pacaran, kalau ada kesesuaian lahir batin, dilanjutkan dengan tunangan. Sebaliknya, mereka yang bertunangan biasanya diikuti dengan pacaran. Agaknya, pacaran di sini, dimaksudkan sebagai proses mengenal pribadi masing-masing, yang dalam ajaran Islam disebut dengan ”Ta’aruf” (saling kenal-mengenal).

Akibat pergeseran sosial, dewasa ini, kebiasaan pacaran masyarakat kita menjadi terbuka. Terlebih saat mereka merasa belum ada ikatan resmi, akibatnya bisa melampaui batas kepatutan. Kadangkala, seorang remaja menganggap perlu pacaran untuk tidak hanya mengenal pribadi pasangannya, melainkan sebagai pengalaman, uji coba, maupun bersenang-senang belaka. Itu terlihat dari banyaknya remaja yang gonta-ganti pacar, ataupun masa pacaran yang relatif pendek. Beberapa kasus yang diberitakan oleh media massa juga menunjukkan bahwa akibat pergaulan bebas atau bebas bercinta (free love) tidak jarang menimbulkan hamil pranikah, aborsi, bahkan akibat rasa malu di hati, bayi yang terlahir dari hubungan mereka berdua lantas dibuang begitu saja sehingga tewas.[2]

Islam sebenarnya telah memberikan batasan-batasan dalam pergaulan antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya, kita dilarang untuk mendekati zina. Seperti tersebut dalam surat Al-Isra ayat 32: '

ولا تقربوا الزنا انه كان فاحشة وساء سبيلا

Terjemahnya:

Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (QS Al-Isra/17: 32)[3]

Dalam Al-Qur’an, Allah swt. telah memberikan petunjuk, bahwa Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bersuku-suku serta berbangsa-bangsa adalah agar mereka dapat berinteraksi (berhubungan) dan saling kenal-mengenal. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hujurat ayat 13:

 يا ايها الناس انا خلقناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم ان الله عليم خبير

 Terjemahnya:

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang Zakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagiMaha Mengenal. (QS Al-Hujurat/49: 13)[4]

Dengan demikian, Islam memiliki etika dalam pergaulan dan mengadakan perkenalan antara pria dan wanita (pacaran), di mana tahapan umumnya dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, proses ta’aruf atau perkenalan. Setelah bertemu dan tertarik satu sama lain, dianjurkan untuk dapat mengenal kepribadian, latar belakang sosial, budaya, pendidikan, keluarga, maupun agama kedua belah pihak. Dengan tetap menjaga martabat sebagai manusia yang dimuliakan Allah, artinya tidak terjerumus pada perilaku tak senonoh, bila di antara mereka berdua terdapat kecocokan, maka bisa diteruskan dengan saling mengenal kondisi keluarga masing-masing, misalnya dengan jalan bersilaturrahmi ke orang tua keduanya.

Nabi saw., memberikan tips bagi seseorang yang hendak memilih pasangannya, yaitu mendahulukan pertimbangan keberagamaan daripada motif kekayaan, keturunan maupun kecantikan atau ketampaman.[5]

Kedua, proses khithbah, yakni melamar atau meminang.

2. Pengertian Peminangan (Khithbah)

Kata ”peminangan berasal dari kata ”pinang, meminang” (kata kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar, yang dalam bahasa Arab disebut ”khithbah”. Menurut etimologi, meminang atau melamar artinya (antara lain)[6] meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi, peminangan ialah kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.[7] Atau, seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.[8]

Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan yang disyariatkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memasuki perkawinah didasari kerelaan yang didapatkan dari penelitian, pengetahuan, serta kesadaran masing-masing pihak:

Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah perempuan yang memehuhi syarat sebagai berikut:[9]

  • Tidak dalam pinangan orang lain;
  • Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada penghalang syara’ yang melarang dilangsungkannya pernikahan;
  • Perempuan itu tidak dalam masa idah karena talak raj’i; dan
  • Apabila perempuan dalam masa idah karena talak ba’in, hendaklah meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan).

3. Melihat Pinangan

Untuk kebaikan dalam kehidupan berumah tangga kesejahteraan dan kesenangannya, seyogianya laki-laki melihat dulu perempuan yang akan dipinangnya sehingga ia dapat menentukan apakah peminangan itu diteruskan atau dibatalkan.

Dalam agama Islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batas-batas tertentu, berdasarkan sabda Nabi Saw.:

عن المغيرة ابن شعبة انه خطب امراة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم ا نظرت اليها ؟ قال: لا، قال: انظر  اليها فانه ان يؤدم بينكما )رواه النسائي و ابن ماجه والترمذي(

Artinya:

Dari Mughirah bin Syu’bah, ia meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah saw. bertanya kepadanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia menjawab: Belum. Sabda Nabi: Lihatlah dia lebih dahulu agar nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng. (HR. Nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi)

Mengenai bagian badan wanita yang boleh dilihat ketika dipinang, para fuqaha berbeda pendapat. Imam Malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Fuqaha yang lain (seperti Abu Daud al-Dhahiry). Membolehkan melihat seluruh badan, kecuali dua kemaluan sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat sama sekali. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka, dan dua telapak tangan.

Silang pendapat ini disebabkan karena dalam persoalan ini terdapat suruhan untuk melihat wanita secara mutlak, terdapat pula larangan secara mutlak, dan ada pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada muka dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman:

ولا يبدين زينتهن الا ما ظهر منها

Terjemahnya:

Dan janganlah (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya (QS Al-Nur/24: 31).[10]

Maksud ”perhiasan yang biasa tampak daripadanya” adalah muka dan dua telapak tangan. Di samping itu, juga diqiyaskan dengan kebolehan membuka muka dan telapak tangan pada waktu berhaji, oleh kebanyakan fuqaha. Adapun fuqaha yang melarang melihat sama sekali, mereka berpegang kepada aturan pokok, yaitu melihat seorang wanita.[11]

Berdasarkan salah satu riwayat dari Abu Razaq dan Said bin Manshur, Umar pernah meminang putri Ali yang bernama Ummu Kulsum. Ketika itu, Ali menjawab bahwa putrinya masih kecil. Kemudian, Ali berkata lagi: ”Nanti akan saya suruh datang Ummu Kulsum itu kepadamu, bilamana engkau suka, engkau dapat menjadikannya sebagai calon istri.” Setelah Ummu Kulsum datang kepada Umar, lalu Umar membuka pahanya, serentak Ummu Kulsum berkata: “Seandainya Tuan bukan seorang khalifah, tentu sudah saya colok kedua mata tuan.[12]

Bilamana seorang laki-laki melihat bahwa pinangannya ternyata tidak menarik, hendaklah dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya, sebab boleh jadi perempuan yang tidak disenanginya itu akan disenangi orang lain.

4. Meminang Pinangan Orang Lain

Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti menghalangi hak dan menyakiti hati peminang pertama, memecah belah hubungan kekeluargaan dan mengganggu ketenteraman. Hukum tersebut berdasarkan sabda Nabi Saw.:

المؤمن اخو المؤمن فلا يحل له ان يبتاع على بيع اخيه ولا يخطب على خطبة اخيه حتى يدري رواه احمد ومسلم

Artinya:

Orang mukmin dengah mukmin adalah bersaudara, maka tidak boleh ia membeli barang yang sedang dibeli saudaranya, dan jangan meminang pinangan saudaranya hingga ia meninggalkannya. ” (HR Ahmad dan Muslim) .[13]

Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda:

لا يبيع الرجل على بيع اخيه ولا يخطب على خطبة اخيه ولا تسأل المراة طلاق أختها  لتكتفي ما في انائها او ما في صحفتها )رواه مسلم(

Artinya:

Seorang laki-laki tidak boleh menawar barang yang sudah ditawar oleh saudaranya, dan tidak juga ia boleh melamar atas lamaran saudaranya. Dan seorang wanita tidak boleh meminta perceraian saudara perempuannya supaya ia dapat mendapatkan bagian yang ada di bejananya atau apa yang terdapat dalam piringnya sendiri” (HR Muslim).[14]

Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu telah menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan mengizinkanya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi, kalau pinangan semua ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau karena laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sudah meminangnya, atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka yang demikian itu diperbolehkan.[15]

Tirmidzi meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang makna hadis tersebut sebagai berikut: “Bilamana perempuan yang boleh dipinang merasa rida dan senang maka tidak ada seorang pun meminangnya lagi, tetapi kalau belum diketahui rida dan senangnya, maka tidaklah berdosa meminangnya.”

Jika pinangan laki-laki pertama sudah diterima, namun wanita tersebut menerima pinangan laki-laki kedua kemudian menikah dengannya, maka hukumnya berdosa, tetapi pernikahannya tetap sah, sebab yang dilarang adalah meminangnya, sedang meminang itu bukan merupakan salah satu syarat sah nikah. Karena itu, pernikahannya tidak boleh dibatalkan walaupun peminangnya itu merupakan tindakan pelanggaran. Imam Abu Daud berkata, ”Pernikahannya dengan peminang kedua harus dibatalkan, baik sesudah maupun sebelum persetubuhan.”[16]

Ibnu Qasim berpendapat bahwa yang dimaksud larangan tersebut adalah jika seorang yang baik (saleh) meminang di atas pinangan orang saleh pula. Sedangkan apabila peminang pertama tidak baik, sedangkan peminang kedua adalah baik, maka pinangan semacam itu diperbolehkan.[17]

Adapun mengenai waktu pelaksanaan pernikahan, para fuqaha berpendapat waktunya adalah ketika masing-masing pihak (peminang yang dipinang) sudah suka antara satu dengan lainnya, dan bukan pada waktu awal peminangan.[18] Pendapat ini didasarkan atas hadis Fatimah binti Qais r.a.:

جاءت فاطمة الى النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت له ان ابا جهم ابن حذيفة و معاوية ابن سفيان خطباها، فقل: اما ابو جهم فرجل لا يرفع وعصاه عن النساء، و اما معاوية فصعلوك لا مال له ولكن انكحي اسامة

Artinya:

Fatimah datang kepada Nabi saw., kemudian ia menceritakan kepada beliau bahwa Abu jahm bin Hudzaifah dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan telah meminangnya. Maka Nabi Saw. bersabda: Abu jahm adalah orang yang tidak pernah mengangkat tongkatnya kepada seorang perempuan (suka memukul). Adapun Muawiyah adalah orang miskin, tetapi nikahlah kamu dengan Usamah.

5. Meminang Perempuan yang Sedang Dalam Masa Idah

Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa idah, baik karena kematian suaminya, karena talak raj’i maupun talak ba’in, maka hukumnya haram.

Jika perempuan yang sedang idah karena talak raj’i, ia haram dipinang, karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya itu masih berhak merujuknya kembali sewaktu-waktu ia suka. Jika perempuan yang sedang idah karena talak ba’in maka ia haram dipinang secara terang-terangan karena mantan suaminya masih tetap mempunyai hak terhadap dirinya juga masih mempunyai hak untuk menikahinya dengan akad baru. Jika ada laki-laki lain meminangnya di masa idahnya berarti ia melanggar hak mantan suaminya.

Dalam hal boleh atau tidaknya meminang perempuan yang sedang idah secara sindiran, kalangan ahli flkih berbeda pendapat. Pendapat yang benar menyatakan boleh. Perempuan yang sedang idah karena kematian suaminya boleh dipinang secara sindiran selama masa idah, karena hubungan suami istri di sini telah terputus sehingga hak suami terhadap istrinya hilang sama sekali. Meskipun demikian, pinangan yang diajukan kepada perempuan tersebut hendaknya tidak mengganggunya, apalagi sampai mencemarkan namanya di mata tetangga atau kerabatnya. Allah Swt. berfirman:

ولا جناح عليكم في ما عرضتم به من خطبة النساء او اكننتم في انفسكم علم الله انكم ستذكرونهن ولكن لا تواعدوهن سرا الا ان تقولوا قولا معروفا ولا تعزموا عقدة النكاح حتى يبلغ الكتاب اجله واعلموا ان الله يعلم مافى  انفسكم فاحذروه

Terjemahnya:

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan, sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf, dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ’idahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maha takutlah kepada-Nya, ......... (QS Al-Baqarah/2: 235)[19]

Maksud perempuan-perempuan di sini adalah perempuan yang sedang dalam masa idah karena kematian suaminya, sebab yang dibicarakan dalam ayat di atas adalah soal kematian. Sedangkan maksud dari kata sindiran adalah seseorang yang mengucapkan kata-kata tersuratnya berlainan dengan yang tersiratnya. Mislanya: Saya ingin menikah, atau saya mengharapkan sekali agar Allah memudahkan jalan bagiku untuk memperoleh istri yang salehah. Termasuk dalam kategori meminang dengan sindiran adalah memberikan hadiah kepada perempuan yang sedang dalam masa idah, atau laki-laki itu menguji dirinya dengan menyebutnya jasa baiknya sebagai cara meminang dengan sindiran. Hal ini pernah dilakukan oleh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husein.[20]

Sukainah binti Hanzhalah menceritakan, ”Ali bin Muhammad bin Ali pernah meminangku ketika masa idahku belum selesai (karena suamiku meninggal), Ia berkata Engkau tentu tahu bahwa aku adalah kerabatnya Rasulullah saw. dan kerabatnya Ali, serta betapa mulianya kedudukanku di kalangan bangsa Arab. Lalu Aku menjawab: ”Mudah-mudahan Allah mau mengampuni kamu, wahai Abu Ja’far! Engkau adalah seorang yang menjadi teladan, tetapi engkau meminangku di masa idahku begini?” Ia menjawab: ”Saya hanya sekadar membaritahukan kepadamu tentang hubungan kerabatku dengan Rasulullah dap Ali.”

Rasulullah sendiri pernah masuk ke rumah Ummu Salamah ketika masa idah karena kematian Abu Salamah. Beliau bersabda kepadanya:

و لقد علمت اني رسول الله و خيرته و موضعي في قومي رواه الدارقطني

Artinya:

Tentu engkau sudah tahu bahwa aku ini seorang Rasul dan terbaik, serta betapa mulianya kedudukan di kalangan bangsaku. (HR Daruquthni)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum meminang dengan terang-terangan kepada mantan istri orang lain ketika masa idahnya adalah haram. Kalau meminang dengan sindiran kepada perempuan yang sedang idah karena talak ba’in atau talak mati itu boleh, maka pinangan kepada perempuan yang sedang idah karena talalz raj’i hukumnya adalah haram.

Bagaimana hukumnya meminang secara terang-terangan kepada perempuan yang sedang idah, tetapi pelaksanaan akad nikahnya sesudah idahnya habis? Dalam hal ini, para ulama fikih berbeda pendapat.

Menurut Imam Malik, akad nikahnya sah, tetapi meminangnya secara terang-terangan itu haram, karena antara meminang dan akad nikah itu berlainan. Tetapi, bilamana akad nikahnya terjadi pada masa idah, maka para ulama sepakat harus dibatalkan, sekalipun antara mereka berdua telah terjadi persetubuhan. Apakah nantinya boleh dinikahkan lagi atau tidak sesudah masa idahnya habis? Imam Malik, Al-Laits, dan Al-Auza’i berkata: Tidak boleh menikah lagi setelah masa idahnya habis. Jumhur ulama berpendapat bahwa mereka boleh menikah lagi kapan saja mereka suka, asalkan masa idahnya telah habis.[21]

6. Berkhalwat (Menyendiri) dengan Tunangan

Menyendiri dengan tunangan hukumnya haram, karena ia bukan muhrimnya. Ajaran Islam tidak memperkenankan melakukan sesuatu terhadap pinangannya kecuali melihat. Hal ini karena menyendiri dengan pinangan akan menimbulkan perbuatan yang dilarang agama. Akan tetapi, bila ditemani oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan maksiat, maka dibolehkan. Dalam kaitan ini, Rasulullah Saw. bersabda:

عن ابن عباس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا يخلون رجل بإمراة إلا مع ذي محرم )رواه البخاري(

 Artinya:

Dari Ibnu Abbas dari Nabi Saw., beliau bersabda: “janganlah seorang laki-laki bersama dengan seorang perempuan, melainkan (hendaklah) besertanya (ada) mahramnya” (HR Bukhari).[22]

Dalam hadis yang lain, yaitu riwayat Muslim, Rasulullah Saw. menyatakan sebagai berikut.

عن جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يبيتن رجل عند امراة الا ان يكون نا كحا او ذا حرام )رواه مسلم(

Artinya:

Dari jabir r.a., ia 'berkata, bahwa Rasululah saw., bersabda: “Tidak boleh bermalam seseorang bersama dengan seorang wanita, kecuali dengan laki-laki yang menikahinya atau dengan mahramnya” (H.R. Muslim).

Syarah Hadis

Kalimat “Laa Yakhluwanna”= Tidak boleh berkhalwat (berduaan di tempat sunyi), menunjukkan tentang haramnya berkhalwat tersebut, baik di waktu malam maupun di waktu siang. Seseorang boleh berkhalwat dengan seorang wanita asalkan ditemani dengan mahram wanita tersebut. Hal ini dilakukan untuk menjaga kekhawatiran terjadinya zina yang selalu diharapkan oleh setan.[23]

Dalam hadis yang lain dijelaskan “karena orang ketiga dari keduanya adalah setan" dengan redaksi ”Fainna tsalitsahuma asy-syaithan. ”

Adapun hadis yang kedua dari Jabir mengatakan bahwa tidak boleh bermalam seorang laki-laki dengan seorang wanita kecuali dengan suaminya. Kata "Yabitanna" artinya bermalam.

Dalam riwayat Muslim yang lain, berbunyi: La yabi‘tanna rajulun ’inda imra’atin tsayyibin” ini berarti bahwa yang dilarang itu bermalam dalam rumah seorang wanita janda. Diberinya tambahan dengan wanita janda ini, karena biasanya seorang laki-laki akan lebih mudah menemui wanita janda tidak sesukar menemui seorang gadis. Larangan menemui seorang janda di waktu malam ini mengandung adanya makna lebih dilarang lagi untuk menemui gadis di waktu malam.[24]

Kedua hadis tersebut merupakan dalil tentang haramnya berkhalwat dengan wanita ajnabiyah (asing/boleh dinikahi) dan boleh berkhalwat dengan mahramnya, yang dimaksud dengan mahram ialah seseorang yang haram dinikahi, karena ada hubungan nasab atau susuan.[25]

Melihat aurat mahram/mahramah, hukumnya boleh/tidak haram, selain bagian antara pusar dan lutut. Seorang perempuan tidak boleh keluar rumah, kecuiali bersama dengan mahram/mahramahnya.[26]

Jika ada keperluan kepada wanita yang bukan muhrini, Al-Qur’an telah mengajarkan, yaitu melalui tabir.

واذا سالتموهن متاعا فسئلوهن من وراء حجاب

Terjemahnya:

 jika kamu meminta suatu keperluan kepada wanita yang bukan mahram, maka mintalah dari luar dinding. ” (QS Al-Ahzab/33: 53)[27]

Larangan tersebut, antara lain, dimaksudkan sebagai batasan dalam pergaulan antara lawan jenis demi menghindari fitnah. Dalam kenyataannya, di negara-negara yang menganut pergaulan bebas, norma-norma hukum dan kesopanan, yang merupakan salah satu pembeda antara manusia dengan binatang, seakan-akan hilang.

Oleh karena itu, larangan Islam, tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan, tetapi lebih dari itu, yaitu untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan lawan jenis merupakan salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah. Dengan demikian, larangan perbuatan tersebut, sebenarnya sebagai langkah preventif agar tidak melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh agama dan yang telah disepakati masyarakat.[28]



Download file Doc

[1]Abd. Rachman Assegaf, Studi Islam Kontekstual, Elaborasi Paradigma Baru Muslim Kaffah (Yogyakarta: Gama Media, 2005) cet ke-I, hlm. 133.

[2]Ibid

[3]Al-Qur’an

[4]Al-Qur’an

[5]Abd. Rachman Assegaf, Op.Cit., hlm. 135.

[6]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet ke-3 hlm. 556.

[7]H. Abdurahman, Op.Cit., hlm. 113.

[8]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), hlm. 20. Lihat pula Dahlan Idhamy, Asas-asas Fikih Munakahat: Hukum Keluarga Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1984), hlm. 15. dan lihat pula Selamet Abidin, Fikih Munakahat (Bandung: Pusaka Setia, 1999), hlm. 41.

[9]H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 24-25.

[10]Al-Qur’an

[11]Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), Juz 2,hlm. .37.

[12]Slamet Abidin dan Aminudin, Op.Cit., hlm. 43-44.

[13]Hadis Riwayat Ahmad dan Muslim; lihat pula H. Abdurrahman Ghazali, Fikih Munakahat (Jakarta, Prenada Media, 2003), hlm. 77.

[14]Hadis riwayat Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya, bab Al-Nikah, X/198; bandingkan dengan Muhammad Ali As-Shabuni, Al-Zawaj aI-Islami AI-Mubakkir Sa’adah Wa Hasanah, Edisi Indonesia Pernikahan Dini (Solusi Praktis menghadapi Perilaku Seks Bebas), alih bahasa M. Abdul Ghaffar,(Jakarta: Pustaka Al-Naba, 2002), hlm. 62.

[15]H. Abdurrahman Ghazaly, Op.Cit., hlm. 78.

[16]H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Op.Cit., hlm. 24-25.

[17]H. Abdurrahman Ghazaly, Op.Cit., hlm. 78.

[18]Ibn Rusyd, Op.Cit., hlm. 2-3.

[19]Al-Qur’an

[20]Sayyid Sabiq, Op.Cit., hlm. 21-22.

[21]Ibid., hlm. 22-23.

[22]Subulus Salam, Jilid III, hlm. 209.

[23]H. Muhammad Syafl’i, Op.Cit., hlm. 54.

[24]Ibid.

[25]Abdul Mudjieb dkk, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus. 1994) hlm. 186.

[26]Ibid

[27]Al-Qur’an

[28]H. Rachmat Syafi'i, Op.Cit., hlm. 219. “Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 81.

 

1 comment:

  1. casino-on-line-bonuses and promotions - DrmCD
    Find out what these free casinos 대구광역 출장안마 can offer 당진 출장안마 and the best casinos to play casino games for real money. Slot machines 안성 출장안마 are 세종특별자치 출장샵 also 나주 출장샵 available on some casino floors,

    ReplyDelete