Tuesday, August 11, 2020

Kafalah dalam Fiqih Muamalah


A. Pengertian kafalah

Kafalah menurut bahasa berarti al-dhaman (jaminan), hamalah (beban), dan za’mah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah, para ulama mengemukakan definisi yang berbeda-beda antara lain adalah:“menggabungkan suatu dzimah (tanggung jawab) kepada dzimah yang lain dalam penaguhan dengan jiwa, utang, atau zat benda”.

Istilah kafalah menurut mazhab Hanafi adalah memasukkann tanggung jawab seseorang  ke dalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum. Dengan kata lain menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah nyawa, utang, atau barang. Meskipun demikian, penjamin yang ikut bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berhutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan hambali, kafalah adalah menjadikan seseorang penjamin ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab seseorang dalam pelunasan atau pembayaran utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berutang. Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam mu’amalah dan agar yang berpiutang tidak dirugikan kerna ketidakmampuan yang berutang.

B. Dasar hukum

Al-Qur’an

QS, Yusuf/12: 66.

قَالَ لَنْ اُرْسِلَهٗ مَعَكُمْ حَتّٰى تُؤْتُوْنِ مَوْثِقًا مِّنَ اللّٰهِ لَتَأْتُنَّنِيْ بِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يُّحَاطَ بِكُمْۚ فَلَمَّآ اٰتَوْهُ مَوْثِقَهُمْ قَالَ اللّٰهُ عَلٰى مَا نَقُوْلُ وَكِيْلٌ

Terjemah :

Dia (Yakub) berkata, “Aku tidak akan melepaskannya (pergi) bersama kamu, sebelum kamu bersumpah kepadaku atas (nama) Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung (musuh).” Setelah mereka mengucapkan sumpah, dia (Yakub) berkata, “Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan.”

QS, Yusuf/12: 72.

قَالُوْا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاۤءَ بِهٖ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَّاَنَا۠ بِهٖ زَعِيْمٌ

Terjemah :

Mereka menjawab, “Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban unta, dan aku jamin itu.”

Hadis

HR. Abu daud

Pinjaman hendaklah dikembalikan dan yang menjamin hendaklah membayar

HR. Abu daud, at-Tirmidzi dishahihkan Ibnu Hubban

Bahwa penjamin adalah orang yang berkewajiban membayar

Ijtihad

Ulama sepakat dengan bolehnya kafalah, karena sangat dibutuhkan dalam mu’amalah dan agar yang berpiutangtidak dirugikan kerena ketidakmampuan yang berutang.

C. Ketentuan

Secara umum kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu, a) kafalah dengan jiwa; dan b) kafalah dengan harta.

1. Kafalah dengan jiwa

Kafalah dengan jiwa dikenal dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang yang ia janjikan tanggungan (makful ‘alaih).

Penjaminan yang menyangkut masalah manusia boleh hukumnya. Orang yang ditanggung tidak mesti mengetahui permasalahan, karena kafalah menyangkut badan bukan harta. Penanggungan tentang hak Allah, seperti had al-khamar dan had nuduh zinah adalah tidak sah, sebab nabi Muhammad saw. bersabda: tidak ada kafalah dam had (riwayat al-Baihaqi). Alasan lainnya adalah karena menggugurkan dan menolak had adalah perkara syubhat, oleh karena itu tidak ada kekuatan jaminan yang dapat dipegang dan tidaklah mungkin had dapat dilakukan kecuali oleh orang yang bersangkutan.

Mazhab Syafi’i berpendapat, bahwa kafalah dinyatakan sah dengan menghadirkan orang yang terkena kewajiban menyangkut hak manusia, seperti Qishas dan Qazaf, karena kedua hal tersebut menurut Syafi’i termasuk hak yang pasti. Sedangkan, bila menyangkut had yang telah ditentukan oleh Allah, maka hal itu tidak sah dengan kafalah.

Ibnu Hazm menolak pendapat tersebut, menjamin dengan menghadirkan badan pada dasarnya tidak boleh, baik menyangkut persoalan harta maupun menyangkut masalah had, karena syarat apa pun yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an adalah batil.

Namun demikian, sebagian ulama membenarkan adanya kafalah jiwa, karena Nabi Muhammad SAW pernah menjamin urusan tuduhan, namun menurut Ibnu Hazm bahwa Hadits yang menceritakan tentang penjamin Nabi Muhammad SAW pada masalah tuduhan adalah batil, karena Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibrahim bin Khaitsam bin Arrak, dia adalah dha’if dan tidak boleh diambil periwayatnya.

Jika seseorang menjamin akan menghadirkan seseorang, maka orang tersebut wajib menghadirkannya. Bila ia tidak dapat menghadirkannya, sedangkan penjamin itu masih hidup atau penjamin itu sendiri berhalangan hadir, menurut Mazhab Maliki penjamin wajib membayar utang orang yang ditanggungnya, dalam hal ini Rasulullah SAW, bersabda; ”Penjamin adalah berkewajiban membayar” (Riwayat Abu Dawud).

Sementara itu Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa penjamin (kafil atau dhamin) harus ditahan sampai ia dapat menghadirkan orang tersebut atau sampai penjamin mengetahui, bahwa orang yang dijamin (ashil) telah meninggal dunia. Dalam keadaan demikian penjamin tidak berkewajiban membayar dengan harta, kecuali bila ketika menjamin mengisyaratkan demikian (akan membayarnya).

Menurut Mazhab Syafi’i, bila orang yang dijamin telah meninggal dunia, maka kafil tidak membayar kewajibannya, karena ia tidak menjamin harta, tapi menjamin orangnya dan kafil dinyatakan bebas tanggung jawab.

2. Kafalah dengan harta

Kafalah harta merupakan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran atau (pemenuhan) berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam yaitu;

  • Kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi beban orang lain. Dalam Hadits Salamah bin Akwa disebutkan, bahwa Nabi SAW tidak mau menshalatkan jenazah yang mempunyai kewajiban membayar utang, kemudian Qathadah ra., berkata; ”Shalatkanlah ia dan saya akan membayar utangnya, Rasulullah kemudian menshalatkannya”. Dalam kafalah utang disyaratkan sebagai berikut: a) Utang tersebut bersifat mengikat/tetap (mustaqir) pada waktu terjadinya transaksi jaminan, seperti utang qiradh, upah, dan mahar. Sementara Abu Hanifah, Malik dan Abu Yusuf berpendapat, bahwa seseorang boleh menjamin suatu utang yang belum mengikat. b) Hendaklah barang yang dijamin diketahui. Menurut Mazhab Syafi’i dan Ibnu Hazm, seseorang tidak sah menjamin barang yang tidak diketahui, sebab perbuatan tersebut adalah gharar, sementara Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad berpendapat bahwa seseorang boleh menjamin sesuatu yang tidak diketahui.
  • Kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti menyerahkan barang jualan kepada pembeli. Dalam hal ini disyaratkan materi yang dijamin tersebut adalah untuk ashil. Namun bila bukan berbentuk jaminan, maka kafalah batal.
  • Kafalah dengan ’aib, maksudnya adalah jaminan jika barang yang dijual ternyata mengandung cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya, maka penjamin (pembawa barang) bersedia memberi jaminan kepada penjual untuk memenuhi kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut).

0 komentar:

Post a Comment