GUGATAN PERKARA PERDATA
1. Istilah dan Pengertian Gugatan
Dalam perundang-undangan istilah yang digunakan adalah ”gugatan perdata" sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 118
ayat (1) HIR yang menggunakan istilah ”gugatan perdata”. Namun di dalam
pasal-pasal selanjutnya menggunakan istilah ”gugatan” atau ”gugat”
saja, seperti dapat dilihat pada Pasal 119 dan Pasal 120
HIR. Rv menggunakan istilah ”gugatan” sebagaimana tercantum pada Pasal 1
Rv. Meskipun tidak jelas, tetapi istilah ”gugatan” yang dimaksud adalah
gugatan perdata. Dalam kehidupan sehari-hari, secara umum istilah
”gugatan" sudah lazim digunakan dan berterima baik dalam praktik
peradilan maupun di kalangan para sarjana. Menurut doktrin, surat
gugatan berarti ”tuntutan”, ”dakwaan”, atau ”eis” (J.T.C. Simorangkir, 1980:
64). Beberapa pakar hukum, antara lain Sudikno Mertokusumo menggunakan
istilah gugatan berupa ”tuntutan perdata” (burgelijke vordering)
tentang hak yang mengandung sengketa (tuntutan hak). R. Soebekti
menggunakan istilah ”gugatan”. Penggunaan istilah tersebut merupakan
suatu penggunaan istilah untuk membedakan dengan permohonan yang
bersifat voluntair atau gugatan voluntair.
Setiap tindakan dapat menjadi kasus perdata apabila tindakan tersebut menimbulkan kerugian pada pihak lain dan bersifat hubungan perdata. Tindakan yang bersifat perdata yang dapat merugikan pihak lain berupa tindakan melanggar hukum orang, melanggar hukum benda, dan melanggar hukum perikatan.
Tindakan melanggar hukum orang, contohnya seperti tindakan orang yang belum dewasa adalah tanggung jawab orang tua atau walinya, tindakan istri menggugat suaminya dan sebaliknya, masalah warisan. Tindakan melanggar hukum benda, contohnya seperti tindakan menjual tanah milik orang lain, penyitaan bank karena wanprestasi membayar kredit rumah, dan tindakan menjaminkan sertifikat tanah tanpa persetujuan pemilik sertifikat. Adapun tindakan melanggar hukum perikatan dapat berupa tindakan melawan hukum dan tindakan melanggar kontrak (wanprestasi).
Tindakan melawan hukum dapat dikatagorikan apabila memenuhi unsur-unsur berikut ini.
Gugatan pada dasarnya berisi tuntutan yang diajukan oleh seseorang, beberapa orang, atau sekelompok orang (penggugat) kepada (tergugat). Gugatan tersebut ditujukan kepada pihak lain (tergugat) melalui pengadilan (PN) berhubung adanya perselisihan, konflik, atau permasalahan hukum. Pihak lain (tergugat) tersebut dapat berupa seseorang, beberapa orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam suatu badan hukum maupun bukan badan hukum.
Adanya perselisihan sebagaimana disebutkan adalah merupakan syarat materiil untuk dapat menggugat ke pengadilan dan syarat adanya perselisihan/konflik itu bersifat mutlak.
Gugatan itu harus sejelas mungkin, tidak boleh kabur atau samar-samar, baik subjek hukumnya, objek sengketanya, maupun tentang apa yang dituntut oleh Penggugat.
Setiap proses perkara di muka Pengadilan dimulai dengan pengajuan gugatan oleh penggugat/kuasanya. Pasal 2 ayat (l) UU No. 14 Tahun 1970, yang kemudian diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menetapkan bahwa wewenang tengadilan di bidang perdata adalah mcnerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang beperkara. Di dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 yang menyebutkannya tidak sejelas UU sebelumnya, yang mengatakan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk mcmeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Kewenangan tersebut adalah wewenang pengadilan untuk menyelesaikan perkara di antara para pihak yang beperkara. Hal ini disebut yurisdiksi kontentiosa dan gugatannya berbentuk gugatan kontentiosa atau yang disebut contentious.
Perkataan kontentiosa atau contentious berasal dari bahasa Latin yang berarti ’penuh semangat bertanding' atau ’berpolemik’. Dengan pengertian itulah sebabnya mengapa penyelesaian perkara yang mengandung sengketa disebut yurisdiksi kontentiosa atau contentious jurisdiction. Yang dimaksud dengan yurisdiksi kontentiosa adalah kewenangan peradilan memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa. Dalam praktik, gugatan kontentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan perdata. Penggunaan gugatan kontentiosa lebih bercorak pengkajian teoritis untuk membedakannya dengan gugatan voluntair.
Yurisdiksi gugatan kontentiosa berbeda dengan jurisdiksi gugatan voluntair. Gugatan voluntair bersifat sepihak, yaitu persoalan atau permasalahan yang diajukan tidak melibatkan pihak lain untuk diselesaikan oleh pengadilan bukan karena ada sengketa, tetapi semata-mata untuk kepentingan pemohon. Adapun pada gugatan kontentiosa, gugatannya mengandung dua pihak atau lebih dan permasalahan yang diminta adalah penyelesaian sengketa sebagaimana dimohonkan dalam gugatan kepada pengadilan, yang merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between contending parties).
Gugatan perdata adalah suatu gugatan atau tuntutan hak yang diajukan oleh seseorang atau beberapa orang atau sekelompok orang, baik yang terikat dalam suatu badan hukum atau bukan badan hukum, yang ditujukan kepada pihak lain melalui pengadilan untuk memeriksa dan menyelesaikannya, yang mengandung sengketa. Secara singkat, gugatan perdata adalah gugatan/tuntutan hak yang diajukan pihak penggugat kepada pihak tergugat melalui pengadilan.
Dengan demikian ciri khas yang melekat pada gugatan perdata adalah berikut ini.
Pasal 120 HIR/144 RBg berbunyi:
Mahkamah Agung dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, hlm. 117, menyatakan bahwa untuk bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat / tergugat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Untuk menciptakan keseragaman dalam pemahaman terhadap surat kuasa khusus yang diajukan oleh para pihak yang berpekara, SEMA No. 6 Tahun 1994 memberikan petunjuk:
Berdasarkan Pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142, baik penggugat atau kuasanya, diberi hak dan kewenangan untuk membuat, menandatangani, dan mengajukan/menyampaikan gugatan ke PN.
Surat kuasa yang dibuat para pihak harus bersifat khusus yang dicantumkan dengan jelas dalam gugatan, yang menerangkan surat kuasa itu diberikan kepada kuasanya yang digunakan untuk keperluan tertentu saja.
Di dalam praktik terdapat keanegaraman dari bentuk surat kuasa khusus. Untuk keseragaman surat kuasa khusus pada perkara perdata di dalam praktik, MA telah memberikan petunjuk dengan menerbitkan SEMA No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus:
"Untuk menciptakan keseragaman dalam pemahaman terhadap surat kuasa khusus yang diajukan oleh para pihak beperkara kepada badan-badan peradilan, diberikan petunjuk bahwa surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut undang-undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai penggugat dan B sebagai tergugat. Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah dan berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi, tanpa diperlukan surat kuasa khusus yang baru.”
Adapun perbedaan gugatan dan permohonan adalah sebagai berikut:
Setiap tindakan dapat menjadi kasus perdata apabila tindakan tersebut menimbulkan kerugian pada pihak lain dan bersifat hubungan perdata. Tindakan yang bersifat perdata yang dapat merugikan pihak lain berupa tindakan melanggar hukum orang, melanggar hukum benda, dan melanggar hukum perikatan.
Tindakan melanggar hukum orang, contohnya seperti tindakan orang yang belum dewasa adalah tanggung jawab orang tua atau walinya, tindakan istri menggugat suaminya dan sebaliknya, masalah warisan. Tindakan melanggar hukum benda, contohnya seperti tindakan menjual tanah milik orang lain, penyitaan bank karena wanprestasi membayar kredit rumah, dan tindakan menjaminkan sertifikat tanah tanpa persetujuan pemilik sertifikat. Adapun tindakan melanggar hukum perikatan dapat berupa tindakan melawan hukum dan tindakan melanggar kontrak (wanprestasi).
Tindakan melawan hukum dapat dikatagorikan apabila memenuhi unsur-unsur berikut ini.
- Adanya kesalahan yang disengaja atau kelalaian.
- Ada kerugian materiil dan immateriil.
- Adanya hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian.
- Pergantian kerugian.
Gugatan pada dasarnya berisi tuntutan yang diajukan oleh seseorang, beberapa orang, atau sekelompok orang (penggugat) kepada (tergugat). Gugatan tersebut ditujukan kepada pihak lain (tergugat) melalui pengadilan (PN) berhubung adanya perselisihan, konflik, atau permasalahan hukum. Pihak lain (tergugat) tersebut dapat berupa seseorang, beberapa orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam suatu badan hukum maupun bukan badan hukum.
Adanya perselisihan sebagaimana disebutkan adalah merupakan syarat materiil untuk dapat menggugat ke pengadilan dan syarat adanya perselisihan/konflik itu bersifat mutlak.
Gugatan itu harus sejelas mungkin, tidak boleh kabur atau samar-samar, baik subjek hukumnya, objek sengketanya, maupun tentang apa yang dituntut oleh Penggugat.
Setiap proses perkara di muka Pengadilan dimulai dengan pengajuan gugatan oleh penggugat/kuasanya. Pasal 2 ayat (l) UU No. 14 Tahun 1970, yang kemudian diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menetapkan bahwa wewenang tengadilan di bidang perdata adalah mcnerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang beperkara. Di dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 yang menyebutkannya tidak sejelas UU sebelumnya, yang mengatakan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk mcmeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Kewenangan tersebut adalah wewenang pengadilan untuk menyelesaikan perkara di antara para pihak yang beperkara. Hal ini disebut yurisdiksi kontentiosa dan gugatannya berbentuk gugatan kontentiosa atau yang disebut contentious.
Perkataan kontentiosa atau contentious berasal dari bahasa Latin yang berarti ’penuh semangat bertanding' atau ’berpolemik’. Dengan pengertian itulah sebabnya mengapa penyelesaian perkara yang mengandung sengketa disebut yurisdiksi kontentiosa atau contentious jurisdiction. Yang dimaksud dengan yurisdiksi kontentiosa adalah kewenangan peradilan memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa. Dalam praktik, gugatan kontentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan perdata. Penggunaan gugatan kontentiosa lebih bercorak pengkajian teoritis untuk membedakannya dengan gugatan voluntair.
Yurisdiksi gugatan kontentiosa berbeda dengan jurisdiksi gugatan voluntair. Gugatan voluntair bersifat sepihak, yaitu persoalan atau permasalahan yang diajukan tidak melibatkan pihak lain untuk diselesaikan oleh pengadilan bukan karena ada sengketa, tetapi semata-mata untuk kepentingan pemohon. Adapun pada gugatan kontentiosa, gugatannya mengandung dua pihak atau lebih dan permasalahan yang diminta adalah penyelesaian sengketa sebagaimana dimohonkan dalam gugatan kepada pengadilan, yang merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between contending parties).
Gugatan perdata adalah suatu gugatan atau tuntutan hak yang diajukan oleh seseorang atau beberapa orang atau sekelompok orang, baik yang terikat dalam suatu badan hukum atau bukan badan hukum, yang ditujukan kepada pihak lain melalui pengadilan untuk memeriksa dan menyelesaikannya, yang mengandung sengketa. Secara singkat, gugatan perdata adalah gugatan/tuntutan hak yang diajukan pihak penggugat kepada pihak tergugat melalui pengadilan.
Dengan demikian ciri khas yang melekat pada gugatan perdata adalah berikut ini.
- Perkara yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa atau perselisihan (disputes, differences).
- Sengketa atau perselisihan yang terjadi di antara pihak yang sekurang-kurangnya dua pihak. Pihak yang mengajukan penyelesaian sengketa atau gugatan disebut penggugat atau pihak penggugat (eiser, plaintiff), dan pihak yang ditarik sebagai lawan disebut tergugat (gedaagde, defendant).
- Gugatan perdata bersifat partai (party), pihak yang satu bertindak sebagai penggugat dan pihak lain sebagai tergugat.
Pasal 120 HIR/144 RBg berbunyi:
Bila
penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan
lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau
menyuruh mencatatnya.
Saat ini, semua gugatan yang masuk ke
pengadilan pada umumnya dapat dipastikan sudah tertulis, yang disusun
oleh yang bersangkutan (penggugat/ kuasanya). Jadi, bentuk gugatan
tertulis itu sangat diutamakan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 118 HIR/142
Rbg, yang menetapkan bahwa gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN
dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat/kuasanya.
Apalagi, saat ini sudah banyak jasa-jasa hukum, seperti advokat. Dalam
UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, ditentukan
bahwa hanya advokat yang telah mendapat izin dari organisasi profesi
advokat yang dapat memberi jasa hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Apabila ada pemberi jasa hukum yang tidak menjadi aggota organisasi
advokat dan terbukti memberi jasa atau menjalankan profesi advokat dapat
dipidana maksimal selama 5 tahun.Mahkamah Agung dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, hlm. 117, menyatakan bahwa untuk bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat / tergugat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Mempunyai surat kuasa khusus yang harus diserahkan di persidangan atau pemberian surat kuasa disebutkan dalam surat gugatan/permohonan, atau kuasa/wakil ditunjuk oleh pihak yang beperkara/pemohon di dalam persidangan secara lisan.
- Memenuhi syarat yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1985 Jo. Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 7 Oktober 1965 No. J.P. 14-2-11.
- Telah terdaftar sebagai advokad/pengacara praktik di kantor pengadilan tinggi/pengadilan negeri setempat dan secara khusus telah diizinkan untuk bersidang mewakili penggugat/ tergugat dalam perkara tertentu.
- Permohonan banding atau kasasi yang diajukan oleh kuasa/wakil dari pihak yang bersangkutan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut atau surat kuasa yang dipergunakan di PN telah menyebutkan pemberian kuasa pula untuk mengajukan permohonan banding atau kasasi.
- Kuasa/wakil negara/pemerintah dalam suatu perkara berdasarkan Stb. 1922 No. 522 dan Pasal 123 ayat (2) HIR/ Pasal 147 ayat (2) RBg adalah sebagai berikut.
- Pengacara negara yang diangkat oleh pemerintah.
- Jaksa.
- Orang tertentu atau pejabat yang diangkat/ditunjuk oleh instansi-instansi yang bersangkutan. Jaksa tidak perlu menyerahkan surat kuasa khusus. Pejabat atau orang yang diangkat/ditunjuk oleh instansi yang bersangkutan, cukup hanya menyerahkan salinan surat pengangkatan/ penunjukan yang tidak bermaterai.
Untuk menciptakan keseragaman dalam pemahaman terhadap surat kuasa khusus yang diajukan oleh para pihak yang berpekara, SEMA No. 6 Tahun 1994 memberikan petunjuk:
- Surat kuasa khusus harus bersifat khusus dan menurut undang-undang dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya digunakan untuk keperluan tertentu. Dalam perkara perdata harus jelas disebut antara A sebagai penggugat dan B sebagai tergugat, misalnya dalam perkara waris atau utang piutang tertentu dan sebagainya. Dalam perkara pidana harus dengan jelas menyebut pasal-pasal KUHAP yang didakwakan kepada terdakwa yang ditunjuk dengan lengkap.
- Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, surat kuasa khusus tetap sah berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi tanpa diperlukan surat khusus yang baru.
Berdasarkan Pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142, baik penggugat atau kuasanya, diberi hak dan kewenangan untuk membuat, menandatangani, dan mengajukan/menyampaikan gugatan ke PN.
Surat kuasa yang dibuat para pihak harus bersifat khusus yang dicantumkan dengan jelas dalam gugatan, yang menerangkan surat kuasa itu diberikan kepada kuasanya yang digunakan untuk keperluan tertentu saja.
Di dalam praktik terdapat keanegaraman dari bentuk surat kuasa khusus. Untuk keseragaman surat kuasa khusus pada perkara perdata di dalam praktik, MA telah memberikan petunjuk dengan menerbitkan SEMA No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus:
"Untuk menciptakan keseragaman dalam pemahaman terhadap surat kuasa khusus yang diajukan oleh para pihak beperkara kepada badan-badan peradilan, diberikan petunjuk bahwa surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut undang-undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai penggugat dan B sebagai tergugat. Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah dan berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi, tanpa diperlukan surat kuasa khusus yang baru.”
Adapun perbedaan gugatan dan permohonan adalah sebagai berikut:
- Dalam gugatan terdapat dua pihak yang beperkara, sedangkan dalam permohonan hanya satu pihak.
- Dalam gugatan mengandung sengketa/perselisihan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa atau perselisihan (konflik).
- Dalam gugatan, aktivitas hakim terbatas pada apa yang dikemukakan dan diminta pihak, sedangkan dalam permohonan, aktivitas hakim dapat melebihi apa yang dimohonkan (tugas hakim bersifat administratif saja).
- Dalam gugatan, hakim hanya memperhatikan dan menetapkan apa yang ditetapkan oleh undang-undang dan bebas, yakni tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun. Adapun dalam permohonan, hakim apabila diperlukan dapat menggunakan kebebasannya untuk mengatur sesuatu hal.
- Dalam gugatan keputusan hakim hanya mengikat bagi pihak-pihak yang bersangkutan dan bagi orang yang telah didengar kesaksiannya. sedangkan dalam permohonan keputusan hakim mempunyai kekuatan mengikat terhadap semua orang.
2. Pihak-Pihak dalam Gugatan Perdata
Pihak-pihak
yang tercantum dalam gugatan dinamakan subjek gugatan, yaitu pihak
penggugat atau para penggugat, pihak tergugat atau para tergugat, dan
turut tergugat atau para turut tergugat. Objek gugatan adalah sesuatu
hal yang menjadi pokok perkara, dapat berbentuk barang bergerak maupun
tidak bergerak dan dapat berupa barang yang masih akan didapat atau belum dipegang tangan.
Dalam gugatan keputusan hakim hanya
mengikat bagi pihak-pihak yang bersangkutan dan bagi orang yang telah
didengar kesaksiannya. Sedangkan dalam permohonan keputusan hakim mempunyai kekuatan mengikat terhadap semua orang.
Dalam
gugatan perdata sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak yang
dinamakan penggugat (eiser, plaintiff) dan Tergugat (gedaagde,
defendant). Penggugat adalah seseorang atau beberapa orang/sekelompok
orang, baik yang terikat dalam suatu badan hukum maupun bukan badan
hukum, yang merasa atau dirasa haknya dilanggar atau mereka yang merasa
atau dirasa haknya dirugikan. Adapun tergugat adalah pihak yang ditarik
ke muka pengadilan karena dianggap melanggar hak orang lain atau
mengakibatkan rugi orang lain. perkataan ”merasa dan dirasa”
mempunyai arti bahwa pihak penggugat maupun pihak tergugat yang diajukan
ke muka persidangn belum tentu benar dan salah. Oleh karena itu, harus
dibuktikan di persidangan.
Pihak penggugat dapat dikualifikasikan sebagai berikut.
- Penggugat orang pribadi (naturlijk person)
- Pengugat yang belum dewasa, misalnya karena kedudukannya sebagai ahli waris harus diwakili oleh orang tua atau wakilnya.
- Penggugat yang berada di bawah pengampuan (curatele), seperti karena gila, pemboros, atau sakit ingatan; terhadap mereka ini perlu ada penetapan pengadilan.
- Penggugat badan hukum (rechtsperson), misalnya PT, Yayasan, koperasi, BHMN, BHP, dan partai politik.
- Penggugat yang mewakili badan usaha atau persekutuan yang bukan badan hukum, misalnya CV, Firma (Fa), Usaha dagang, dan kongsi.
Adapun pihak tergugat dapat dikualifikasikan sebagai berikut.
- Tergugat orang pribadi (naturlijk person).
- Tergugat yang belum dewasa, misalnya karena kedudukannya sebagai ahli waris diwakili oleh orang tua atau wali.
- Tergugat yang berada di bawah pengampuan (curatele), karena gila, pemboros, atau sakit ingatan, terhadap mereka ini perlu ada penetapan pengadilan.
- Tergugat badan hukum (rechtsperson), misalnya PT, Yayasan, koperasi, BHMN, BHP, dan partai politik.
- Tergugat yang mewakili badan usaha atau persekutuan yang bukan badan hukum, misalnya CV, Firma (Fa), Usaha dagang, dan kongsi.
Keberadaan gugatan adalah karena ada pihak tergugat yang
disangka dan cukup beralasan dirasa telah merugikan atau mengakibatkan
rugi pihak penggugat. Maka sangatlah penting bagaimana menentukan
tergugat karena salah menentukan tergugat dalam gugatan akan ditolak,
tidak dapat diterima. Hal ini pun di dalam praktik sering terjadi
kesulitan untuk menentukan tergugat. Bagaimana menentukan tergugat dapat
berpedoman (Acmad Fauzan, 2007: 42) sebagai berikut.
- Ikatan hukum, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang;
- Ikatan hukum karena kronologi peristiwa hukum, misalnya orang yang bertindak sebagai otak/provokator (intelectual dader) terjadinya peristiwa hukum, tetapi sulit dibuktikan formalitasnya.
- Namanya disebut-sebut dalam keterangan calon saksi.
- Namanya tertera dalam dokumen tertulis, baik dalam notulen, sertifikat, petok, atau dokumen lainnya (Yurisprudensi MARI No. 480 K/Sip/1973, tanggal 2 Juli 1974).
- Menggunakan prinsip lebih baik pihaknya banyak dari pada kurang, yang dapat menjadikan gugatan kurang baik (plurium litis consortium).
- Penggugat maupun Tergugat disebut sebagai pihak materiil dan formil.
Pihak
materiil adalah pihak-pihak yang mempunyai kepentingan langsung. Adapun
pihak formil adalah pihak-pihak yang beracara di pengadilan. Jadi
penggugat dan tergugat merupakan pihak yang berkepentingan langsung dan
juga pihak-pihak yang beracara di pengadilan. Penggugat dan tergugat
bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri.
Pengajuan
suatu gugatan ke pengadilan berkaitan dengan suatu perselisihan
(konflik), yaitu ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain.
Perkataan ”merasa” dan ”dirasa” mempunyai arti bahwa belum tentu yang
bersangkutan sunguh-sungguh melanggar hak penggugat (Retnowulan Sutantio
dan Iskandar, 1989: 1). Oleh karena itu, masih perlu dibuktikan hak perdatanya melanggar atau tidak.
Akan
tetapi, ada orang yang bertindak sebagai penggugat atau pun tergugat
tanpa mempunyai kepentingan secara langsung dalam perkara yang
bersangkutan. Seorang wali atau pengampu bertindak sebagai pihak atas
namanya sendiri untuk kepentingan orang lain, maka yang mempunyai
kepentingan adalah pihak yang diwakilinya (Pasal 383, Pasal 446, Pasal 452, Pasal 403, dan Pasal 405
KUH Pdt). Mereka ini yang mewakili pihak atas namanya termasuk pihak
formil. Advokat atau pengacara bukan pihak materiil meskipun bertindak
atas nama dan kepentingan kliennya.
Kemungkinan terjadi banyak
penggugat dan juga banyak tergugat, maka dapat disusun dengan urutan
Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III, dan seterusnya. Demikian juga
tergugat dapat disusun dengan urutan Tergugat I, II, III, dan
seterusnya. Turut tergugat adalah pihak pihak yang ditarik ke dalam
perkara. Di dalam HIR/RIB tidak ada dijumpai istilah ”turut tergugat”,
tetapi dalam praktik sudah sering digunakan.
Turut
tergugat
digunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau
berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Keikutsertaan turut tergugat itu
ditujukan untuk demi lengkapnya suatu gugatan. Mereka ini dalam petitum
hanya dimohon agar tunduk dan taat terhadap putusan hakim (Putusan MA
tanggal 6 Agustus 1973 No. 663 K/Sip/1971 dan tanggal 1 Agustus 1973 No.
1030 K/Sip/1972).
Turut penggugat tidak dikenal dalam hukum acara. Dalam praktik,
walaupun dicantumkan dalam gugatan, Pengadilan menggapnya sebagai
penggugat (Putusan MA, tanggal 28 Januari 1976 N0. 201 K/ Sip/1974).
Selain itu, dalam praktik di pengadilan pernah digunakan turut
penggugat, yaitu dalam Yurisprudensi No. 2001 K/Sip/1974 tanggal 28
Januari 1976, ditentukan bahwa turut penggugat dianggap sebagai
penggugat. Oleh karena itu sebaiknya tidak perlu dibuat turut penggugat.
Di
dalam praktik dikenal suatu gugatan yang dinamakan ”gugatan
insidentil”, yaitu campur tangan pihak ketiga dalam proses perkara, yang
dinamakan ”intervensi” (campur tangan). Pengaturan intervensi dijumpai
dalam ketentuan Pasal 279-282 Rv. Yang
dimaksud dengan intervensi adalah masuknya atau ikut sertanya pihak
ketiga (intervenient) atas kehendak sendiri dalam sengketa yang
berlangsung antara penggugat dan tergugat. Bentuk interversi ini hanya
dikenal dalam Rv. Meskipun Rv sudah dicabut, tetapi dalam praktik masih
dibutuhkan (Putusan MA tanggal 14 Oktober 1975 No. 1060 K/Sip/1992).
Bentuk-bentuk
lembaga intervensi yang dikenal terdiri atas: voeging ’menyertai',
tussenkomst ’menengahi’, dan vrijwaring ’penjaminan’. Yang dimaksud
dengan voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam perkara yang
sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan sikap memihak
kepada salah satu pihak. Tussenkonst adalah ikut sertanya pihak ketiga
dalam sutu perkara yang sedang berlangsung dengan sikap membela
kepentingan sendiri. Vrijwaring adalah ikut sertanya pihak ketiga
karena ditarik oleh salah satu pihak yang beperkara dan bertujuan untuk
membebaskan pihak yang menarik dari kemungkinan tuntutan yang dapat
merugikan penariknya.
Dengan demikian, pada asasnya setiap orang
boleh beperkara di pengadilan, kecuali orang yang belum dewasa atau
orang yang sakit ingatan. Orang tidak cakap hukum (belum dewasa)
diwakili oleh orang tua/walinya dan orang yang sakit ingatan diwakili
oleh pengampunya. Pihak-pihak yang berperkara di pengadilan
dikualifikasi sebagai subjek hukum. Sebagai subjek hukum, badan hukum
(BH), baik bersifat publik dan privat dapat sebagai pihak yang
beperkara, BH yang bersifat publik: Negara, provinsi, kabupaten,
instansi pemerintah, dan lain-lain. BH yang bersifat privat: perseroan
terbatas (PT), koperasi, perkapalan, perusahaan asuransi, yayasan dan
lain-lain. Yang bertindak untuk dan atas nama BH adalah direkturnya.
Apabila
negara yang digugat, gugatan diajukan kepada pemerintah Indonesia,
dalam hal ini yang mewakili pemerintah Republik Indonesia, atau yang
bertempat tinggal pada departemen tertentu. Misalnya, Departemen Luar
Negeri. Dalam hal ini biasanya yang bertindak di muka pengadilan untuk
mewakili negara adalah kepala bagian hukum dari departemen yang
bersangkutan dengan membawa surat kuasa khusus dari menteri (Retnowulan
Sutantio dan Iskandar, 1989: 14).
Mengenai
kriteria dari orang dewasa, menurut peraturan yang berlaku di
Indonesia, belum ada satu patokan. Masih terdapat banyak peraturan
tentang kedewasaan, misalnya antara usia 15-21 tahun. Berpedoman kepada Pasal 330
KUH Perdata kedewasaan adalah 21 tahun. Selain itu, seseorang yang
belum dewasa tetapi sudah kawin dapat bertindak dalam hukum.
Terhadap
orang yang meninggal dunia dapat dilakukan gugatan. Gugatan ditujukan
kepada ahli waris (MA tanggal 18 Oktober 1967 No. 53 K/Sip/1967 dan
tanggal 10 Juli 1971 No. 429 K/Sip/1971. Seorang wakil yang mewakili
salah satu pihak yang beperkara haruslah wakil yang sah dan mempunyai
surat kuasa khusus.
0 komentar:
Post a Comment