Wednesday, July 17, 2019

GUGATAN PERKARA PERDATA


1. Istilah dan Pengertian Gugatan 
Dalam perundang-undangan istilah yang digunakan adalah ”gugatan perdata" sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 118 ayat (1) HIR yang menggunakan istilah ”gugatan perdata”. Namun di dalam pasal-pasal selanjutnya menggunakan istilah ”gugatan” atau ”gugat” saja, seperti dapat dilihat pada Pasal 119 dan Pasal 120 HIR. Rv menggunakan istilah ”gugatan” sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Rv. Meskipun tidak jelas, tetapi istilah ”gugatan” yang dimaksud adalah gugatan perdata. Dalam kehidupan sehari-hari, secara umum istilah ”gugatan" sudah lazim digunakan dan berterima baik dalam praktik peradilan maupun di kalangan para sarjana. Menurut doktrin, surat gugatan berarti ”tuntutan”, ”dakwaan”, atau ”eis” (J.T.C. Simorangkir, 1980: 64). Beberapa pakar hukum, antara lain Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah gugatan berupa ”tuntutan perdata” (burgelijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa (tuntutan hak). R. Soebekti menggunakan istilah ”gugatan”. Penggunaan istilah tersebut merupakan suatu penggunaan istilah untuk membedakan dengan permohonan yang bersifat voluntair atau gugatan voluntair.
Setiap tindakan dapat menjadi kasus perdata apabila tindakan tersebut menimbulkan kerugian pada pihak lain dan bersifat hubungan perdata. Tindakan yang bersifat perdata yang dapat merugikan pihak lain berupa tindakan melanggar hukum orang, melanggar hukum benda, dan melanggar hukum perikatan.
Tindakan melanggar hukum orang, contohnya seperti tindakan orang yang belum dewasa adalah tanggung jawab orang tua atau walinya, tindakan istri menggugat suaminya dan sebaliknya, masalah warisan. Tindakan melanggar hukum benda, contohnya seperti tindakan menjual tanah milik orang lain, penyitaan bank karena wanprestasi membayar kredit rumah, dan tindakan menjaminkan sertifikat tanah tanpa persetujuan pemilik sertifikat. Adapun tindakan melanggar hukum perikatan dapat berupa tindakan melawan hukum dan tindakan melanggar kontrak (wanprestasi).
Tindakan melawan hukum dapat dikatagorikan apabila memenuhi unsur-unsur berikut ini.
  1. Adanya kesalahan yang disengaja atau kelalaian.
  2. Ada kerugian materiil dan immateriil.
  3. Adanya hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian. 
  4. Pergantian kerugian.
Tindakan yang tergolong wanprestasi adalah tindakan yang tidak memenuhi prestasi, Yang dimaksud dengan prestasi adalah kewajiban debitur yang dapat berupa memberi, berbuat, dan tidak berbuat sesuatu. Suatu prestasi harus memenuhi syarat, yaitu harus diperkenankan, mungkin dilaksanakan, dan tertentu atau ditentukan. Seseorang yang tidak memenuhi prestasi disebut wanprestasi. Wanprestasi terdiri atas 4 bentuk, yaitu sama sekali tidak memenuhi prestasi, melakukan tetapi tidak sepenuhnya (tidak tunai), terlambat memenuhi prestasi, dan keliru memenuhi prestasi.
Gugatan pada dasarnya berisi tuntutan yang diajukan oleh seseorang, beberapa orang, atau sekelompok orang (penggugat) kepada (tergugat). Gugatan tersebut ditujukan kepada pihak lain (tergugat) melalui pengadilan (PN) berhubung adanya perselisihan, konflik, atau permasalahan hukum. Pihak lain (tergugat) tersebut dapat berupa seseorang, beberapa orang, atau sekelompok orang yang terikat dalam suatu badan hukum maupun bukan badan hukum.
Adanya perselisihan sebagaimana disebutkan adalah merupakan syarat materiil untuk dapat menggugat ke pengadilan dan syarat adanya perselisihan/konflik itu bersifat mutlak.
Gugatan itu harus sejelas mungkin, tidak boleh kabur atau samar-samar, baik subjek hukumnya, objek sengketanya, maupun tentang apa yang dituntut oleh Penggugat.
Setiap proses perkara di muka Pengadilan dimulai dengan pengajuan gugatan oleh penggugat/kuasanya. Pasal 2 ayat (l) UU No. 14 Tahun 1970, yang kemudian diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, menetapkan bahwa wewenang tengadilan di bidang perdata adalah mcnerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang beperkara. Di dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 10 yang menyebutkannya tidak sejelas UU sebelumnya, yang mengatakan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk mcmeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Kewenangan tersebut adalah wewenang pengadilan untuk menyelesaikan perkara di antara para pihak yang beperkara. Hal ini disebut yurisdiksi kontentiosa dan gugatannya berbentuk gugatan kontentiosa atau yang disebut contentious.
Perkataan kontentiosa atau contentious berasal dari bahasa Latin yang berarti ’penuh semangat bertanding' atau ’berpolemik’. Dengan pengertian itulah sebabnya mengapa penyelesaian perkara yang mengandung sengketa disebut yurisdiksi kontentiosa atau contentious jurisdiction. Yang dimaksud dengan yurisdiksi kontentiosa adalah kewenangan peradilan memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa. Dalam praktik, gugatan kontentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan perdata. Penggunaan gugatan kontentiosa lebih bercorak pengkajian teoritis untuk membedakannya dengan gugatan voluntair.
Yurisdiksi gugatan kontentiosa berbeda dengan jurisdiksi gugatan voluntair. Gugatan voluntair bersifat sepihak, yaitu persoalan atau permasalahan yang diajukan tidak melibatkan pihak lain untuk diselesaikan oleh pengadilan bukan karena ada sengketa, tetapi semata-mata untuk kepentingan pemohon. Adapun pada gugatan kontentiosa, gugatannya mengandung dua pihak atau lebih dan permasalahan yang diminta adalah penyelesaian sengketa sebagaimana dimohonkan dalam gugatan kepada pengadilan, yang merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between contending parties).
Gugatan perdata adalah suatu gugatan atau tuntutan hak yang diajukan oleh seseorang atau beberapa orang atau sekelompok orang, baik yang terikat dalam suatu badan hukum atau bukan badan hukum, yang ditujukan kepada pihak lain melalui pengadilan untuk memeriksa dan menyelesaikannya, yang mengandung sengketa. Secara singkat, gugatan perdata adalah gugatan/tuntutan hak yang diajukan pihak penggugat kepada pihak tergugat melalui pengadilan.
Dengan demikian ciri khas yang melekat pada gugatan perdata adalah berikut ini. 
  1. Perkara yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa atau perselisihan (disputes, differences).
  2. Sengketa atau perselisihan yang terjadi di antara pihak yang sekurang-kurangnya dua pihak. Pihak yang mengajukan penyelesaian sengketa atau gugatan disebut penggugat atau pihak penggugat (eiser, plaintiff), dan pihak yang ditarik sebagai lawan disebut tergugat (gedaagde, defendant).
  3. Gugatan perdata bersifat partai (party), pihak yang satu bertindak sebagai penggugat dan pihak lain sebagai tergugat.
Pihak, dalam arti penggugat dan tergugat, dapat berupa seseorang atau beberapa orang, sekelompok orang, baik yang terikat dalam suatu badan hukum maupun bukan badan hukum. Gugatan dapat berbentuk tertulis yang dinamai surat gugatan dan dapat juga diajukan secara lisan. Suatu gugatan diajukan secara lisan apabila penggugatnya buta huruf sebagaimana diatur menurut ketentuan Pasal 120 HIR/144 RBg. Gugatan lisan itu akan dicatat oleh ketua PN dan menjadi sebuah catatan tertulis tentang gugatan atau tuntutan hak (menjadi gugatan tertulis).
Pasal 120 HIR/144 RBg berbunyi:
Bila penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.
Saat ini, semua gugatan yang masuk ke pengadilan pada umumnya dapat dipastikan sudah tertulis, yang disusun oleh yang bersangkutan (penggugat/ kuasanya). Jadi, bentuk gugatan tertulis itu sangat diutamakan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 118 HIR/142 Rbg, yang menetapkan bahwa gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat/kuasanya. Apalagi, saat ini sudah banyak jasa-jasa hukum, seperti advokat. Dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, ditentukan bahwa hanya advokat yang telah mendapat izin dari organisasi profesi advokat yang dapat memberi jasa hukum di dalam dan di luar pengadilan. Apabila ada pemberi jasa hukum yang tidak menjadi aggota organisasi advokat dan terbukti memberi jasa atau menjalankan profesi advokat dapat dipidana maksimal selama 5 tahun.
Mahkamah Agung dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, hlm. 117, menyatakan bahwa untuk bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat / tergugat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Mempunyai surat kuasa khusus yang harus diserahkan di persidangan atau pemberian surat kuasa disebutkan dalam surat gugatan/permohonan, atau kuasa/wakil ditunjuk oleh pihak yang beperkara/pemohon di dalam persidangan secara lisan.
  2. Memenuhi syarat yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Kehakiman No. 1 Tahun 1985 Jo. Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 7 Oktober 1965 No. J.P. 14-2-11.
  3. Telah terdaftar sebagai advokad/pengacara praktik di kantor pengadilan tinggi/pengadilan negeri setempat dan secara khusus telah diizinkan untuk bersidang mewakili penggugat/ tergugat dalam perkara tertentu.
  4. Permohonan banding atau kasasi yang diajukan oleh kuasa/wakil dari pihak yang bersangkutan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan tersebut atau surat kuasa yang dipergunakan di PN telah menyebutkan pemberian kuasa pula untuk mengajukan permohonan banding atau kasasi.
  5. Kuasa/wakil negara/pemerintah dalam suatu perkara berdasarkan Stb. 1922 No. 522 dan Pasal 123 ayat (2) HIR/ Pasal 147 ayat (2) RBg adalah sebagai berikut.
  • Pengacara negara yang diangkat oleh pemerintah.
  • Jaksa.
  • Orang tertentu atau pejabat yang diangkat/ditunjuk oleh instansi-instansi yang bersangkutan. Jaksa tidak perlu menyerahkan surat kuasa khusus. Pejabat atau orang yang diangkat/ditunjuk oleh instansi yang bersangkutan, cukup hanya menyerahkan salinan surat pengangkatan/ penunjukan yang tidak bermaterai.
Mengenai perlunya kejelasan dan keseragaman tentang surat kuasa, MA telah menerbitkan beberapa surat edaran, yaitu Surat Edaran No. 2 Tahun 1959 tentang Surat Kuasa Khusus, SEMA No. 01 Tahun 1971 tentang Surat Kuasa Khusus, dan SEMA No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus.
Untuk menciptakan keseragaman dalam pemahaman terhadap surat kuasa khusus yang diajukan oleh para pihak yang berpekara, SEMA No. 6 Tahun 1994 memberikan petunjuk:
  1. Surat kuasa khusus harus bersifat khusus dan menurut undang-undang dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya digunakan untuk keperluan tertentu. Dalam perkara perdata harus jelas disebut antara A sebagai penggugat dan B sebagai tergugat, misalnya dalam perkara waris atau utang piutang tertentu dan sebagainya. Dalam perkara pidana harus dengan jelas menyebut pasal-pasal KUHAP yang didakwakan kepada terdakwa yang ditunjuk dengan lengkap.
  2. Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, surat kuasa khusus tetap sah berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi tanpa diperlukan surat khusus yang baru.
Memang, menurut HIR/RBg, tidak ada keharusan/kewajiban bagi penggugat untuk menguasakannya kepada advokat. HIR/ RBg tidak menganut sistem verplichte procureur stelling, yang mewajibkan penggugat harus memberi kuasa kepada pengacara atau advokat sebagaimana juga dianut oleh Rv. Pasal 118 ayat (1) HlR/142 ayat (1) RBg menetapkan bahwa tidak ada keharusan atau kewajiban bagi penggugat untuk menguasakan atau memberi kuasa dalam pembuatan, penandatanganan, serta pengajuan gugatan kepada seseorang yang berpredikat pengacara atau advokat, tetapi juga hal itu tidak mengurangi haknya untuk menunjuk seseorang atau beberapa orang kuasa yang bertindak mengurus kepentingannya dalam pembuatan dan pengajuan gugatan.
Berdasarkan Pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142, baik penggugat atau kuasanya, diberi hak dan kewenangan untuk membuat, menandatangani, dan mengajukan/menyampaikan gugatan ke PN.
Surat kuasa yang dibuat para pihak harus bersifat khusus yang dicantumkan dengan jelas dalam gugatan, yang menerangkan surat kuasa itu diberikan kepada kuasanya yang digunakan untuk keperluan tertentu saja.
Di dalam praktik terdapat keanegaraman dari bentuk surat kuasa khusus. Untuk keseragaman surat kuasa khusus pada perkara perdata di dalam praktik, MA telah memberikan petunjuk dengan menerbitkan SEMA No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus:
"Untuk menciptakan keseragaman dalam pemahaman terhadap surat kuasa khusus yang diajukan oleh para pihak beperkara kepada badan-badan peradilan, diberikan petunjuk bahwa surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut undang-undang harus dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu dipergunakan untuk keperluan tertentu, misalnya dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai penggugat dan B sebagai tergugat. Apabila dalam surat kuasa khusus tersebut telah disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup pula pemeriksaan dalam tingkat banding dan kasasi, maka surat kuasa khusus tersebut tetap sah dan berlaku hingga pemeriksaan dalam kasasi, tanpa diperlukan surat kuasa khusus yang baru.”
Adapun perbedaan gugatan dan permohonan adalah sebagai berikut:
  1. Dalam gugatan terdapat dua pihak yang beperkara, sedangkan dalam permohonan hanya satu pihak.
  2. Dalam gugatan mengandung sengketa/perselisihan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa atau perselisihan (konflik).
  3. Dalam gugatan, aktivitas hakim terbatas pada apa yang dikemukakan dan diminta pihak, sedangkan dalam permohonan, aktivitas hakim dapat melebihi apa yang dimohonkan (tugas hakim bersifat administratif saja).
  4. Dalam gugatan, hakim hanya memperhatikan dan menetapkan apa yang ditetapkan oleh undang-undang dan bebas, yakni tidak berada di bawah pengaruh atau tekanan dari pihak mana pun. Adapun dalam permohonan, hakim apabila diperlukan dapat menggunakan kebebasannya untuk mengatur sesuatu hal. 
  5. Dalam gugatan keputusan hakim hanya mengikat bagi pihak-pihak yang bersangkutan dan bagi orang yang telah didengar kesaksiannya. sedangkan dalam permohonan keputusan hakim mempunyai kekuatan mengikat terhadap semua orang.
2. Pihak-Pihak dalam Gugatan Perdata
Pihak-pihak yang tercantum dalam gugatan dinamakan subjek gugatan, yaitu pihak penggugat atau para penggugat, pihak tergugat atau para tergugat, dan turut tergugat atau para turut tergugat. Objek gugatan adalah sesuatu hal yang menjadi pokok perkara, dapat berbentuk barang bergerak maupun tidak bergerak dan dapat berupa barang yang masih akan didapat atau belum dipegang tangan.
Dalam gugatan keputusan hakim hanya mengikat bagi pihak-pihak yang bersangkutan dan bagi orang yang telah didengar kesaksiannya. Sedangkan dalam permohonan keputusan hakim mempunyai kekuatan mengikat terhadap semua orang. 
Dalam gugatan perdata sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak yang dinamakan penggugat (eiser, plaintiff) dan Tergugat (gedaagde, defendant). Penggugat adalah seseorang atau beberapa orang/sekelompok orang, baik yang terikat dalam suatu badan hukum maupun bukan badan hukum, yang merasa atau dirasa haknya dilanggar atau mereka yang merasa atau dirasa haknya dirugikan. Adapun tergugat adalah pihak yang ditarik ke muka pengadilan karena dianggap melanggar hak orang lain atau mengakibatkan rugi orang lain. perkataan ”merasa dan dirasa” mempunyai arti bahwa pihak penggugat maupun pihak tergugat yang diajukan ke muka persidangn belum tentu benar dan salah. Oleh karena itu, harus dibuktikan di persidangan.
Pihak penggugat dapat dikualifikasikan sebagai berikut.
  1. Penggugat orang pribadi (naturlijk person)
  2. Pengugat yang belum dewasa, misalnya karena kedudukannya sebagai ahli waris harus diwakili oleh orang tua atau wakilnya.
  3. Penggugat yang berada di bawah pengampuan (curatele), seperti karena gila, pemboros, atau sakit ingatan; terhadap mereka ini perlu ada penetapan pengadilan.
  4. Penggugat badan hukum (rechtsperson), misalnya PT, Yayasan, koperasi, BHMN, BHP, dan partai politik.
  5. Penggugat yang mewakili badan usaha atau persekutuan yang bukan badan hukum, misalnya CV, Firma (Fa), Usaha dagang, dan kongsi.
Adapun pihak tergugat dapat dikualifikasikan sebagai berikut.
  1. Tergugat orang pribadi (naturlijk person).
  2. Tergugat yang belum dewasa, misalnya karena kedudukannya sebagai ahli waris diwakili oleh orang tua atau wali.
  3. Tergugat yang berada di bawah pengampuan (curatele), karena gila, pemboros, atau sakit ingatan, terhadap mereka ini perlu ada penetapan pengadilan.
  4. Tergugat badan hukum (rechtsperson), misalnya PT, Yayasan, koperasi, BHMN, BHP, dan partai politik.
  5. Tergugat yang mewakili badan usaha atau persekutuan yang bukan badan hukum, misalnya CV, Firma (Fa), Usaha dagang, dan kongsi.
Keberadaan gugatan adalah karena ada pihak tergugat yang disangka dan cukup beralasan dirasa telah merugikan atau mengakibatkan rugi pihak penggugat. Maka sangatlah penting bagaimana menentukan tergugat karena salah menentukan tergugat dalam gugatan akan ditolak, tidak dapat diterima. Hal ini pun di dalam praktik sering terjadi kesulitan untuk menentukan tergugat. Bagaimana menentukan tergugat dapat berpedoman (Acmad Fauzan, 2007: 42) sebagai berikut.
  1. Ikatan hukum, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang;
  2. Ikatan hukum karena kronologi peristiwa hukum, misalnya orang yang bertindak sebagai otak/provokator (intelectual dader) terjadinya peristiwa hukum, tetapi sulit dibuktikan formalitasnya.
  3. Namanya disebut-sebut dalam keterangan calon saksi.
  4. Namanya tertera dalam dokumen tertulis, baik dalam notulen, sertifikat, petok, atau dokumen lainnya (Yurisprudensi MARI No. 480 K/Sip/1973, tanggal 2 Juli 1974).
  5. Menggunakan prinsip lebih baik pihaknya banyak dari pada kurang, yang dapat menjadikan gugatan kurang baik (plurium litis consortium).
  6. Penggugat maupun Tergugat disebut sebagai pihak materiil dan formil.
Pihak materiil adalah pihak-pihak yang mempunyai kepentingan langsung. Adapun pihak formil adalah pihak-pihak yang beracara di pengadilan. Jadi penggugat dan tergugat merupakan pihak yang berkepentingan langsung dan juga pihak-pihak yang beracara di pengadilan. Penggugat dan tergugat bertindak untuk kepentingan dan atas namanya sendiri.
Pengajuan suatu gugatan ke pengadilan berkaitan dengan suatu perselisihan (konflik), yaitu ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Perkataan ”merasa” dan ”dirasa” mempunyai arti bahwa belum tentu yang bersangkutan sunguh-sungguh melanggar hak penggugat (Retnowulan Sutantio dan Iskandar, 1989: 1). Oleh karena itu, masih perlu dibuktikan hak perdatanya melanggar atau tidak.
Akan tetapi, ada orang yang bertindak sebagai penggugat atau pun tergugat tanpa mempunyai kepentingan secara langsung dalam perkara yang bersangkutan. Seorang wali atau pengampu bertindak sebagai pihak atas namanya sendiri untuk kepentingan orang lain, maka yang mempunyai kepentingan adalah pihak yang diwakilinya (Pasal 383, Pasal 446, Pasal 452, Pasal 403, dan Pasal 405 KUH Pdt). Mereka ini yang mewakili pihak atas namanya termasuk pihak formil. Advokat atau pengacara bukan pihak materiil meskipun bertindak atas nama dan kepentingan kliennya.
Kemungkinan terjadi banyak penggugat dan juga banyak tergugat, maka dapat disusun dengan urutan Penggugat I, Penggugat II, Penggugat III, dan seterusnya. Demikian juga tergugat dapat disusun dengan urutan Tergugat I, II, III, dan seterusnya. Turut tergugat adalah pihak pihak yang ditarik ke dalam perkara. Di dalam HIR/RIB tidak ada dijumpai istilah ”turut tergugat”, tetapi dalam praktik sudah sering digunakan.
Turut tergugat digunakan bagi orang-orang yang tidak menguasai barang sengketa atau berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Keikutsertaan turut tergugat itu ditujukan untuk demi lengkapnya suatu gugatan. Mereka ini dalam petitum hanya dimohon agar tunduk dan taat terhadap putusan hakim (Putusan MA tanggal 6 Agustus 1973 No. 663 K/Sip/1971 dan tanggal 1 Agustus 1973 No. 1030 K/Sip/1972). Turut penggugat tidak dikenal dalam hukum acara. Dalam praktik, walaupun dicantumkan dalam gugatan, Pengadilan menggapnya sebagai penggugat (Putusan MA, tanggal 28 Januari 1976 N0. 201 K/ Sip/1974). Selain itu, dalam praktik di pengadilan pernah digunakan turut penggugat, yaitu dalam Yurisprudensi No. 2001 K/Sip/1974 tanggal 28 Januari 1976, ditentukan bahwa turut penggugat dianggap sebagai penggugat. Oleh karena itu sebaiknya tidak perlu dibuat turut penggugat.
Di dalam praktik dikenal suatu gugatan yang dinamakan ”gugatan insidentil”, yaitu campur tangan pihak ketiga dalam proses perkara, yang dinamakan ”intervensi” (campur tangan). Pengaturan intervensi dijumpai dalam ketentuan Pasal 279-282 Rv. Yang dimaksud dengan intervensi adalah masuknya atau ikut sertanya pihak ketiga (intervenient) atas kehendak sendiri dalam sengketa yang berlangsung antara penggugat dan tergugat. Bentuk interversi ini hanya dikenal dalam Rv. Meskipun Rv sudah dicabut, tetapi dalam praktik masih dibutuhkan (Putusan MA tanggal 14 Oktober 1975 No. 1060 K/Sip/1992).
Bentuk-bentuk lembaga intervensi yang dikenal terdiri atas: voeging ’menyertai', tussenkomst ’menengahi’, dan vrijwaring ’penjaminan’. Yang dimaksud dengan voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam perkara yang sedang berlangsung antara penggugat dan tergugat dengan sikap memihak kepada salah satu pihak. Tussenkonst adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam sutu perkara yang sedang berlangsung dengan sikap membela kepentingan sendiri. Vrijwaring adalah ikut sertanya pihak ketiga karena ditarik oleh salah satu pihak yang beperkara dan bertujuan untuk membebaskan pihak yang menarik dari kemungkinan tuntutan yang dapat merugikan penariknya.
Dengan demikian, pada asasnya setiap orang boleh beperkara di pengadilan, kecuali orang yang belum dewasa atau orang yang sakit ingatan. Orang tidak cakap hukum (belum dewasa) diwakili oleh orang tua/walinya dan orang yang sakit ingatan diwakili oleh pengampunya. Pihak-pihak yang berperkara di pengadilan dikualifikasi sebagai subjek hukum. Sebagai subjek hukum, badan hukum (BH), baik bersifat publik dan privat dapat sebagai pihak yang beperkara, BH yang bersifat publik: Negara, provinsi, kabupaten, instansi pemerintah, dan lain-lain. BH yang bersifat privat: perseroan terbatas (PT), koperasi, perkapalan, perusahaan asuransi, yayasan dan lain-lain. Yang bertindak untuk dan atas nama BH adalah direkturnya.
Apabila negara yang digugat, gugatan diajukan kepada pemerintah Indonesia, dalam hal ini yang mewakili pemerintah Republik Indonesia, atau yang bertempat tinggal pada departemen tertentu. Misalnya, Departemen Luar Negeri. Dalam hal ini biasanya yang bertindak di muka pengadilan untuk mewakili negara adalah kepala bagian hukum dari departemen yang bersangkutan dengan membawa surat kuasa khusus dari menteri (Retnowulan Sutantio dan Iskandar, 1989: 14). 
Mengenai kriteria dari orang dewasa, menurut peraturan yang berlaku di Indonesia, belum ada satu patokan. Masih terdapat banyak peraturan tentang kedewasaan, misalnya antara usia 15-21 tahun. Berpedoman kepada Pasal 330 KUH Perdata kedewasaan adalah 21 tahun. Selain itu, seseorang yang belum dewasa tetapi sudah kawin dapat bertindak dalam hukum.
Terhadap orang yang meninggal dunia dapat dilakukan gugatan. Gugatan ditujukan kepada ahli waris (MA tanggal 18 Oktober 1967 No. 53 K/Sip/1967 dan tanggal 10 Juli 1971 No. 429 K/Sip/1971. Seorang wakil yang mewakili salah satu pihak yang beperkara haruslah wakil yang sah dan mempunyai surat kuasa khusus.

0 komentar:

Post a Comment