Wednesday, July 17, 2019

TATA CARA MEMBUAT SURAT GUGATAN


Barang siapa hak pribadinya dilanggar orang lain atau barang siapa merasa dirugikan haknya, maka berdasarkan Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg, mengajukan gugatan dengan permohonan kepada pengadilan negeri sesuai dengan kewenangan relatif, untuk memanggil pihak-pihak dan dan diperiksa atas dasar gugatan tersebut.
HIR atau pun RBg tidak mengatur tentang elemen dan syarat-syarat gugatan, dan juga tidak mengatur bagaimana bentuk, cara, dan substansi dari gugatan. HIR/RBg hanya mengatur bagaimana suatu gugatan harus diajukan. Akan tetapi elemen dan syarat-syarat gugatan, secara teoretis dapat berpedoman pada ketentuan Pasal 8 ayat (3) Rv (St. 18472:52), dan juga berpedoman pada apa yang berlaku dalam praktik peradilan dewasa ini di Indonesia (Lilik Mulyadi, 1999: 42). Pasal 119 HIR/143 RBg mewajibkan hakim supaya memberi nasihat dan bantuan kepada penggugat pada waktu mengajukan gugatannya.
Isi gugatan dapat berpedoman pada Pasal 8 ayat (3) RV yang mengatakan bahwa apa yang dituntut kepada tergugat, dasardasar tuntutan dan tuntutan tersebut harus jelas dan tertentu. Perkataan jelas dan tertentu yang dimaksud dalam pasal ini ialah menyangkut identitas para pihak, Posita (dasar gugatan) atau fundamentum petendi, maupun petitum, yaitu apa yang dituntut (pokok tuntutan).
Di dalam praktik pun dalam merumuskan suatu gugatan tidak ada suatu patokan yang baku, sehingga orang bebas merumuskan gugatan. Namun demikian, gugatan itu harus memberikan gambaran yang jelas tentang kejadian materiil yang menjadi dasar tuntutan atau gugatan.
Di sini hakim dapat memberi petunjuk atau nasihat kepada penggugat apabila gugatan kurang jelas atau kurang sempurna, sehingga dapat dicegah pengajuan gugatan yang kurang jelas atau kurang sempurna. Putusan MA tgl. 15 Maret 1972 No. 547 K/Sip/1972 menyatakan bahwa karena HIR dan RBg tidak ada ketentuan mengenai isi surat gugatan, maka orang bebas menyusun dan merumuskan gugatan tersebut asal cukup memberi gambaran tentang kejadian yang menjadi dasar tuntutan. Putusan MA tgl. 21 Nopember 1970 No. 492 K/Sip/1970 menyatakan bahwa gugatan yang tidak sempurna karena tidak menyebutkan dengan jelas apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Dengan demikian, gugatan harus dibuat dengan jelas, tidak boleh kabur atau samar-samar karena ketidakjelasan subjek hukumnya, objek sengketanya maupun apa yang dituntut oleh Penggugat. Sekalipun demikian, masih diperbolehkan mohon tuntutan subsidair, yaitu mohon putusan yang seadil-adilnya (ex Aequo et Bono). Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip beracara yang sederhana menurut sistem HIR/RBg dan peranan aktif dari hakim.
Dalam hal ini hakim diperkenankan memberi petunjuk dan nasihat untuk memperbaiki dan mengisi kekurangan dari hal-hal yang belum dituntut atau memperbaiki kesalahan dari hal-hal yang diminta (petitum), asalkan sesuai dan tidak menyimpang atau mengubah dari materi pokok perkara. Keaktifan hakim dalam memberikan nasihat hukum dapat dilakukan pada waktu memasukkan gugatan atau dalam proses persidangan sampai eksekusi perkara tersebut selesai.
Bagaimana membuat/menyusun gugatan atau seberapa jauh harus diberikan rincian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa yang menjadi dasar gugatan? Menurut doktrin membuat/ menyusun gugatan didasarkan atas dua teori, yaitu substantiseringstheorie dan individualiseringstheory.
1) Substantiseringstheorie 
Suatu teori yang membahas bagaimana cara membuat gugatan. Menurut teori ini, bahwa membuat suatu gugatan hendaknya harus dirinci secara detail, yang dimulai dari ada hubungan hukum sebagai dasar gugatan (rechts gronden, legal grounds), dasar dan sejarah gugatan, sampai kepada kejadian formal maupun materiil dari suatu gugatan. Jadi, menurut teori ini, dalam suatu gugatan harus menggambarkan tentang uraian rentetan kejadian yang nyata yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, yang menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum tersebut. Misalnya, penggugat tidak cukup menyatakan dalam gugatannya ia sebagai pemilik (eigenaar) dari sebidang tanah dengan luas dan batas-batas tertentu sesuai dengan sertifikatnya, melakukan harus diuraikan secara detail dan terinci dalam gugatan dengan menyebutkan data dan hubungan hukum sehingga konklusinya bahwa penggugat memang sebagai pemilik, misalnya melalui perbuatan jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, dan lain-lain perbuatan yang menjadi dasar dari gugatan.
Baca Juga Macam-Macam Hukum
2) Individualiseringstheory 
Teori ini membahas penyusunan gugatan dibuat secara garis besarnya saja tentang dasar hubungan hukum dalam gugatan atau kejadian materiil. Jadi, terhadap ketentuan kaidah/pasal tersebut dirumuskan secara umum kemudian diindividualisasikan pada gugatan dan terhadap hal lainnya, seperti dasar pokok sejarah gugatan, sedangkan yang lainnya dapat dijelaskan dalam sidang berikutnya pada tahap replik, duplik, mapun pembuktian.
Jadi, menurut individualiseringstheory, kejadian-kejadian yang diuraikan dalam gugatan cukup menunjukkan adanya hubungan hukum tanpa menyebutkan dasar terjadinya atau sejarahnya; hanya garis-garis besar tentang dasar hubungan hukum atau kejadian materiilnya. Hal ini karena hal tersebut dapat dikemukakan pada persidangan nantinya.
Dalam praktik peradilan dewasa ini lebih cenderung menggunakan individualiseringstheory. Menurut yurisprudensi MA, perumusan kejadian materiil secara singkat telah memenuhi syarat dan gugatan tidak ”obscuur libel” atau ”obscure libelli", sebagaimana dalam putusannya tgl. 13 Desember 1958 No. 4 K/Sip/1958 dan Putusan MA N0. 547K/Sip/1971 (Lily Mulyadi, 1999: 43). Sebenarnya teori mana yang paling banyak dipakai tidak terlepas dari sejarah berlakunya hukum acara pada zaman penjajahan dahulu, di mana menurut sistem Rv, surat gugatan harus lengkap, sistematis, dan yuridis.
Adapun menurut sistem HIR dan RBg. beracara dalam sidang tidak harus tertulis dan tidak ada keharusan mewakilkan képada seorang kuasa. Sebenarnya, dalam merumuskan gugatan harus bebas dan mencakup seluruh hal-hal yang berhubungan dengan kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya. Apabila gugatan kurang jelas, ketua pengadilan dapat memberi petunjuk guna perbaikan gugatan (Pasal 111 HIR/Pasal 143 RBg). MA dalam putusannya tanggal 15 Maret 1972 N0. 547 K/Sip.1972 mengatakan, oleh karena HIR/RBg tidak menentukan syarat-syarat gugatan, para pihak bebas menyusun gugatan tersebut asalkan cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar gugatannya. Gugatan yang tidak sempuma karena tidak menyebut dengan jelas apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima (Putusan MA tanggal 21 Nopember 1970 No. 492 K/Sip/1970).
Gugatan/tuntutan hak merupakan syarat materiil adanya gugatan perdata. Adanya gugatan tersebut karena ada perselisihan atau sengketa. Oleh karena itu, sebelum menyusun gugatan terlebih dahulu harus memperhatikan langkah-langkah awal dalam menyusun gugatan, yaitu berikut ini.
  1. Pengumpulan bahan-bahan, baik berupa barang bukti tertulis, seperti akta autentik atau akta di bawah tangan atau pun tidak tertulis, seperti keterangan saksi, baik karena pengetahuan maupun karena pengalaman atau keahliannya.
  2. Pengetahuan hukum yang memadai tentang permasalahan yang dihadapi yang akan diwujudkan dalam gugatan.
  3. Melakukan identifikasi terhadap orang atau lembaga yang terlibat dalam perkara, yang kemungkinan bisa ditarik sebagai pihak dalam perkara: sebagai penggugat, tergugat, atau saksi. Identifikasi ini dapat meliputi nama, gelar, umur, tempat tinggal atau alamat, pekerjaan, dan lain-lain. Identifikasi juga dapat dilakukan terhadap objek yang diperebutkan, misalnya perkara tanah. Oleh karena itu, yang harus dilengkapi adalah informasi letak, luas, batas, sertifikat, petok, SPPT, PBB, siapa yang menguasai, hasilnya, nilainya, dan kemungkinan alas haknya.
  4. Melakukan analisis hukum yang akan menghasilkan suatu kesimpulan, yaitu bahwa penyelesaikan yang paling efektif adalah menggunakan dasar, misalnya perbuatan melawan hukum, ingkar janji (wanprestasi), atau alasan lain, dan menentukan subjeknya, baik sebagai penggugat, tergugat, dan saksinya.
Setelah gugatan dianggap sudah lengkap atau sudah maksimal, bahan-bahan itu perlu dianalisis secara hukum, dengan cara memilah-milah sejauh mana ada nilai keterkaitannya dengan kepentingan hukum untuk menyelesaikan perkara yang dihadapi. Mengadakan analisis hukum mempunyai arti menilai dengan menghubungkan bahan-bahan yang ada dengan berbagai peraturan hukum yang mengatur permasalahan. Agar analisis lebih tajam dan akurat, perlu menggunakan literatur, pendapat para pakar, dan sebagainya. Jadi, menyusun gugatan tidaklah mudah. Dengan kelemahan formal dari gugatan, sudah pasti ada eksepsi dari pihak lawan. Kalau ini terjadi sudah tentu akan menimbulkan kerugian. Selain harus menguasai materi yang menjadi pokok permasalahan, harus juga menguasai peraturan-peraturan hukum, putusan-putusan hukum (yurisprudensi), serta pengalaman praktik.
Pengajuan gugatan dilandasi oleh akal sehat atau kepatutan berdasarkan kerugian yang diderita penggugat yang terbukti sebagai kerugian yang disebabkan oleh perbuatan tergugat.
Syarat formal wujud gugatan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut.
  1. Diajukan secara tertulis dalam bentuk suatu surat gugat.
  2. Ditujukan kepada ketua PN berwenang (kompetensi relatif).
  3. Membuat indentifikasi tentang penggugat maupun tergugat.
  4. Memuat dasar/alasan tuntutan (fundamentum petendi) yang kuat dan memenuhi persyaratan, yaitu maksudnya jelas dan terang, masuk akal, disertai dengan fakta-fakta/bukti yang asli, dilandasi dengan kejadian materiil lengkap dan inheren, dilandasi dengan dasar-dasar yang rasional dan berisi tuntutan yang wajar/layak berdasarkan bukti-bukti, serta tidak memuat unsur-unsur pemalsuan atau penipuan.
  5. Bermaterai.
  6. Ditandatangani oleh penggugat/kuasanya.
Syarat materill isi gugatan yang harus dipenuhi secara memadai adalah sebagai berikut.
  1. Uraian gugatan berdasarkan alasan-alasan dan fakta-fakta yang sebenarnya.
  2. Menggambarkan uraian yang benar mengenai fakta kejadian materiil yang sebenarnya sejak awal sampai kesimpulan.
Syarat formal gugatan adalah suatu gugatan yang telah memenuhi ketentuan syarat formil menurut ketentuan dan peraturan hukum yang berlaku. Syarat formil gugatan tersebut merupakan suatu formulasi gugatan, yaitu perumusan (formulation) gugatan yang dianggap memenuhi syarat formiil menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
Anatorni suatu gugatan terdiri dari kepala gugatan, isi gugatan, dan penutup gugatan. Kepala gugatan berisi tanggal gugatan, nama pengadilan yang ditujukan, judul gugatan, keterangan para pihak atau identitas para pihak, serta dasar gugatan diajukan. Isi gugatan berisi keterangan para pihak, latar belakang mengajukan gugatan (fundamentum petendi/posita), dan apa yang dituntut (petitum). Penutup gugatan berupa tanda tangan penggugat/kuasa hukum penggugat dan materai. 

1) Identitas Para Pihak yang Berperkara 
Yang dimaksud dengan identitas para pihak adalah keterangan lengkap dari pihak-pihak yang beperkara menyangkut nama, umur, tempat tinggal (alamat), pekerjaan, dan status (kawin atau tidak kawin). Identitas para pihak ini harus jelas dan lengkap. Apabila identitas para pihak yang berpekara tidak lengkap gugatan tidak sah dan dianggap tidak ada. Dengan demikian gugatan akan ditolak/tidak dapat diterima. Jadi, identitas para pihak dalam gugatan merupakan syarat formil terhadap keabsahan gugatan.
Bagaimanakah penyebutan identitas para pihak dalam gugatan? Penyebutan identitas dalam gugatan tidak seluas atau tidak selengkap yang disyaratkan dalam perkara pidana yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP. Dalam perkara perdata, penyebutan identitas para pihak sangat sederhana. Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR, identitas yang harus dicantumkan ”cukup memadai” sebagai dasar untuk menyampaikan panggilan atau untuk menyampaikan pemberitahuan. Namun untuk 'menghindari kekeliruan sebaiknya penyebutan identitas pihak-pihak yang beperkara sejelas mungkin.
Kelengkapan identitas atau identitas yang wajib disebutkan dalam gugatan adalah identitas yang dianggap cukup, yaitu meliputi berikut ini.
  • Nama lengkap, termasuk gelar atau alias. Hal itu dimaksudkan untuk membedakan orang tersebut dengan orang lain yang kebetulan mempunyai nama yang sama. Kekeliruan penyebutan nama dianggap melanggar syarat formil yang berakibat gugatan menjadi cacat formil. Oleh karena itu, gugatan dapat dikatakan error in persona atau obscuur libel, artinya orang yang digugat tidak jelas. Kedudukan orang haruslah ditempatkan sesuai dengan kapasitasnya menurut hukum. Cacat formil yang timbul atas kekeliruan atau kesalahan yang bertindak sebagai penggugat maupun yang ditarik sebagai Tergugat, dikualifikasi mengandung error in persona.Error in persona yang timbul atas kesalahan dan kekeliruan dikualifikasi sebagai in persona, salah sasaran pihak yang digugat, gugatan kurang pihak (plurium litis consortium). Plurium litis consortium adalah pihak yang bertindak sebagai penggugat atau tergugat tidak lengkap atau gugatan yang diajukan kurang pihaknya. Gugatan yang kurang lengkap atau kurang pihaknya mengandung error in persona dalam bentuk plurium litis consortium. Diskualifikasi in persona, terjadi apabila bertindak sebagai penggugat tidak memenuhi syarat (diskualifikasi) dan tidak cakap melakukan tindakan hukum. Tidak memenuhi syarat (diskualifikasi) dapat terjadi karena disebabkan tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan atau juga anggaran Dasar (AD) perkumpulan atau perseroan menegaskan yang bertindak untuk dan atas nama perkumpulan itu adalah pengurus secara kolektif. Tidak cakap melakukan tindakan hukum adalah seperti orang di bawah umur atau perwalian Oleh karena itu, orang-orang tersebut tidak dapat sebagai penggugat, kecuali harus dengan bantuan orang tua (wali), dan akan berakibat gugatan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Demikian juga apabila yang digugat adalah perusahaan, penulisan korporasi atau badan hukum (legal entity) harus jelas dan sesuai dengan nama yang sesungguhnya, yakni nama yang disebut dalam anggaran dasar (AD) atau nama yang tertulis pada surat-surat resmi perusahaan. Salah sasaran dapat menimbulkan error in persona, yakni terjadi karena orang yang ditarik sebagai tergugat keliru. Misalnya, yang digugat di bawah umur tanpa mengikutsertakan orang tua atau walinya. Kemungkinan salah sasaran apabila orang yang ditarik sebagai tergugat tidak mempunyai status legal persona standi in judictio ’yang sah mempunyai wewenang bertindak di pengadilan’. Jadi, kekeliruan para pihak dapat mengakibatkan gugatan menjadi error in persona (kekeliruan mengenai orang). Cacat yang ditimbulkannya dapat berbentuk diskualifikasi (salah orang yang bertindak sebagai penggugat) dan juga berbentuk kesalahan pihak yang ditarik sebagai tergugat (gemis aanhoendarmigheid) atau berbentuk plurium litis consortium (kurang pihak dalam gugatan). Akibatnya, gugatan tidak memenuhi syarat formil dan menyebabkan gugatan tidak dapat diterima. 
    Error in persona digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu berikut ini.
    1. Orang yang menggugat tidak memenuhi syarat karena tidak mempunyai hak untuk menggugat sengketa dan tidak cakap melakukan tindakan hukum, yaitu bagi orang yang berada di bawah umur atau perwalian, pemboros, orang gila, maupun orang yang berada di bawah pengampuan.
    2. Salah sasaran menggugat.
    3. Gugatan kurang pihak, atau masih ada pihak lain yang dapat ditarik menjadi Tergugat (Badriyah Harum, 2010: 20).  
  • Alamat atau tempat tinggal. Yang dimaksud dengan alamat meliputi alamat kediaman pokok, kediaman tambahan, atau tempat tinggal riil. Sumber dokumen yang dapat digunakan untuk mengetahui keabsahan alamat dapat diperoleh dari KTP, NPWP, KK bagi perorangan, serta NPWP, AD, izin usaha atau papan nama bagi korporasi. Kemungkinan adanya perubahan alamat setelah diajukan gugatan, keabsahan gugatan tidak ada pengaruhnya dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar bantahan atau eksepsi sebagai alasan untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari tindakan sewenang-wenang dari Penggugat. Apabila tidak diketahui amat tempat tinggal Tergugat, maka menurut Pasal 390 ayat (3) HIR dapat dilakukan dengan pemanggilan umum oleh walikota/ Bupati. Apabila dihadapkan pada permasalahan seperti itu, dapat ditempuh cara perumusan identitas alamat, yakni dengan mencantumkan alamat atau tempat tinggal terakhir atau dengan tegas mengatakan tidak diketahui alamat atau tempat tinggalnya (Yahya Harahap, 2007: 56).
  • Pekerjaan. Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah kegiatan atau aktivitas seseorang sebagai sumber nafkah bagi penghidupannya dan keluarganya, seperti pegawai negeri, pegawai swasta, petani, TNI, Polisi, pedagang, nelayan, dan sebaginya.
2) Fundamentum Petendi atau Posita (Dasar Gugatan) 
Yang dimaksud dengan fundamentum petendi adalah dasar gugatan atau dasar tuntutan (grandslag van delis) yang memuat tentang adanya hubungan hukum di antara pihak-pihak yang beperkara dan sebagai landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara. Dengan kata lain, posita adalah suatu uraian jelas mengenai hal-hal yang menjadi dasar atau alasan hukum dari pengajuan gugatan atau latar belakang (dasar fakta) diajukannya gugatan. Istilah lain yang sering digunakan dalam praktik disebut positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan dan dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan.
Dalam merumuskan fundamentum petendi atau posita dapat didasarkan pada sustantieseringstheori dan individualiseringtheori. Substantiseringtheori, menjelaskan bahwa gugatan selain menguraikan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menguraikan kejadian-kejadian nyata. Adapun individualiseringtheori menyelesaikan bahwa dalam gugatan itu cukup diuraikan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya fakta nyata yang menyebabkan timbulnya peristiwa atau kejadian-kejadian tersebut. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman praktik peradilan, kedua teori itu digabung untuk menghindari terjadinya perumusan gugatan yang kabur/gugatan gelap atau obscuur libel (Yahya Harahap, 2007: 58). 
Fundamentum petendi memuat 2 (dua) unsur berikut ini.
  • Dasar fakta (feitelijk grand), yaitu uraian tentang kejadian-kejadian materiil peristiwa hukum sebagai penjelasan duduk perkaranya (alasan-alasan berdasarkan keadaan). Penegasan atau penjelasan yang dimaksud adalah pernyataan mengenai fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan materi atau objek perkara maupun pihak tergugat atau penjelasan fakta yang langsung berkaitan dengan hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat.
  • Dasar hukum (rechtelijk grand, legal grand), yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis gugatan (alasan-alasan berdasarkan hukum). Hubungan hukum yang dimaksud adalah hubungan hukum antara penggugat dengan materi atau objek yang disengketakan dan hubungan antara penggugat dengan tergugat mengenai materi atau objek perkara.
Secara faktual dan praktik peradilan fundamentum petendi (posita) memuat hal-hal sebagai berikut.
  • Objek perkara/gugatan, yaitu berupa uraian mengenai hal yang menjadi pokok sengketa sebagai dasar atau alasan hukum diajukannya kepada ketua PN yang berwenang, misalnya dalam sengketa perkawinan, hak cipta, jual beli, sewa beli, perjanjian, wanprestasi, dan lain-lain. Bila objek perkara menyangkut benda tetap, gugatan yang diajukan harus terinci baik cara memperolehnya, luasnya, dan batas-batasnya secara tegas dan tepat serta hubungan benda tersebut dengan penggugat. Apabila objeknya benda tidak tetap harus diuraikan ciri-ciri, nomor, jenis, cara memperolehnya, dan lain-lain. Perincian tersebut dalam gugatan sangat penting dan sangat diperlukan. Tanpa objek perkara yang menjadi sengketa, maka perkara tidak dapat diadili. Apabila perinciannya tidak jelas dan terang, berakibat gugatan tidak dapat diterima. Objek perkara banyak macamnya, dapat berupa barang bergerak, tidak bergerak, dan dapat juga berupa barang bergerak yang masih akan didapat atau belum dipegang tangan. Untuk objek perkara/gugatan barang bergerak, misalnya tanah dan bangunan, maka untuk mengajukan gugatan harus menguraikan secara lengkap tentang letak objek secara lengkap dan tegas, batas-batas tanah dan bangunannya, termasuk luasnya, serta surat bukti dan nama pemegang hak. Batas-batas tanah yang disebutkan dalam gugatan harus sama dengan kenyataan di lapangan. Orang yang secara nyata menguasai dan menghaki tanah dan bangunan harus ditarik sebagai pihak penggugat. Jenis bangunan harus disebutkan, misalnya bertingkat dua, berlantai keramik, beratap genting, bahannya terbuat dari kayu apa, dan sebagainya. Hasil tanaman dari tanah dan bangunan harus dibuat secara rinci. Apabila gugatannya menuntut ganti rugi dapat menghasilkan nilai sebesar tertentu. Kalau objek perkara menyangkut barang bergerak, dalam jenis apa pun pada prinsipnya harus disebukan secara lengkap dan terinci, sehingga dapat terhindar dari adanya kemungkinan mengenai salah objek.
  • Fakta-fakta hukum, yakni meliputi penguraian terhadap asal muasal penyebab sengketa, seperti adanya perbuatan melawan hukum atau perbuatan melawan hukum oleh penguasa, cidera janji yang timbul antara penggugat dengan tergugat, utang piutang, warisan, dan lain-lain. 
  • Kualifikasi perbuatan tergugat/para tergugat atau turut tergugat baik yang bersifat formal atau materiil. Kualifikasi perbuatan tersebut adalah melanggar undang-undang, perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya, wanprestasi, dan lain-lain atau hal yang bertentangan dengan kebiasaan, adat-istiadat, kesusilaan, dan lain-lain.
  • Penguraian dan penjabaran anasir kerugian dan permintaan lain sebagai akibat tindakan tergugat/para tergugat. Hal ini dapat dirinci berupa kalkulasi kerugian yang diderita, baik kerugian materiil maupun non materiil, adanya permintaan dwangson, bunga moratoir, permintaan sita jaminan, dan sebagainya.
Dengan demikian, dalam fundamentum petendi (posita) ada dua unsur yang sangat penting, yaitu dasar hukum dan dasar fakta. Dasar hukum maksudnya adalah hubungan antara penggugat dengan objek sengketa dan hubungan tergugat dengan objek sengketa. Adapun dasar fakta maksudnya adalah uraian tentang fakta yang terjadi dalam hubungan penggugat, tergugat, dan objek sengketa.
Fundamentum petendi (posita) harus disusun secara sistematik dan sedemikian rupa sesuai dengan kronologis perkara dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
  • Etika, artinya menggunakan gaya bahasa yang sopan; tidak menyerang kehormatan atau merendahkan pihak lain, khususnya tergugat (lawan).
  • Estetika, artinya menggunakan gaya bahasa yang indah, sehingga enak dibaca dan mudah dipahami, serta tidak monoton.
  • Bahasa baku, artinya tidak menggunakan kalimat yang berbelit-belit dan/atau panjang, tetapi cukup sederhana, singkat, jelas, dan tegas.
  • Memilih kata-kata yang tidak bermakna ganda sehingga dapat dihindari perbedaan penafsiran antara penggugat, tergugat, dan hakim.
  • Konsisten dalam menggunakan istilah, artinya tidak menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk hal tertentu, misalnya tim 9 dan panitia IX, ketua, pimpinan, dan pemimpin, tanah sengketa, objek perkara, dan tanah terperkara, dan lan-lain.
  • Sinkron, artinya tidak kontradiktif di antara bagian-bagian posita maupun dengan petitum.
  • Menggunakan kalimat yang bermakna hubungan sebab-akibat (kausal), artinya fakta-fakta hukum yang ditampilkan dalam kalimat awal akan membawa akibat hukum yang diuraikan dalam kalimat berikutnya, misalnya ”Oleh karena Tergugat menguasai tanah sengketa tanpa alas hak yang sah, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum”.
  • Menyusun fundamentum petendi (posita) dengan menggunakan kronologi peristiwa hukum untuk memudahkan pemahaman yang runtut guna menyakinkan hakim akan alas hak yang sah bagi penggugat dengan memberi nomor urut masing-masing alinea dan memberi nomor halaman untuk setiap lembar kertas yang digunakan (Achmad Fauzan, 2007: 60-61). 
3) Petitum 
Yang dimaksud dengan petitum adalah uraian tentang hal-hal yang diinginkan atau dimohonkan atau yang dituntut supaya diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, petitum memuat tuntutan atau isi pokok gugatan atau permohonan penggugat kepada pengadilan untuk dinyatakan atau ditetapkan sebagai hak atau hukuman kepada penggugat atau perumusan tentang tuntutan penggugat/para penggugat kepada tergugat/para tergugat atau turut tergugat. Istilah yang sama dengan petitum dinamakan conclusum (pokok tuntutan), berarti apa yang dituntut; onderwerp der eis (pokok tuntutan). Selain itu, disebut juga dengan istilah petition atau duidelijke en bepaalde conclusie.
Karena petitum merupakan isi dari gugatan, maka petitum merupakan bagian penting dalam suatu gugatan, karena itu, harus diperhatikan kesinkronan petitum dengan fundamentum petendi (posita) dan petitum harus jelas dan dirinci satu per satu yang dibuat di akhir gugatan. Apabila tidak sinkron, tergugat dapat mengajukan eksepsi atau tangkisan kepada penggugat dengan alasan ketidakjelasan atau obcuur libel. Iadi, tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna bisa berakibat tidak diterimanya gugatan karena obscuur libel dan tidak sempurna. Oleh karena itu, hakim wajib terikat pada petitum.
Menurut Pasal 178 HIR, hakim wajib mengadili semua bagian dari petitum dan dilarang untuk lebih dari apa yang diminta. Apabila putusan hakim melebihi dari yang dituntut, putusan hakim tersebut dapat dibatalkan pada tingkat kasasi.
Petitum dapat dirinci menjadi dua macam, sebagai berikut:
  • Tuntutan primair (petitum primair), merupakan tuntutan pokok (principal), misalnya tuntutan kepada tergugat menyerahkan barang yang dibeli, tuntuan meminta kepada hakim sebagai pemilik yang sah, tuntutan agar tergugat membayar ongkos perkara, atau tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu.
  • Tuntutan subsidair (petitum subsidair), merupakan tuntutan pengganti apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim. Lazimnya dirumuskan, ”Mohon keadilan yang seadil-adilnya (ex aeque et bono)".
Baik petitum primair maupun petitum subsidair samasama dirinci. Dalam penerapannya kedua-duanya tidak sama. Petitum primair mutlak diterapkan oleh hakim secara alternatif. Oleh karena itu, hakim dalam mengambil dan menjatuhkan putusannya memilih apakah petitum primair atau subsidair; tidak boleh mencampur-adukkannya, misalnya mengambil sebagian dari petitum primair dan sebagian dari petitum subsidair. Petitum subsidair bersifat alternatif atau tidak mutlak. Hakim bebas mengambil seluruh atau semua petitum primair dan mengesampingkan petitum subsidair. Dalam praktik peradilan aneka ragam tuntutan atau pctitum dikatagorikan sebagai petitum ”primair” dan ”subsidnir” atau dengan formulasi ”dalam provisi”, dalam pokok perkara/ primair dan subsidair, atau hanya terdiri dari tuntutan primair tanpa tuntutan subsidair.
Di lihat dari tingkatannya, menurut A. Ridwan Halim (2005: 43), petitum dapat dibedakan sebagai berikut.
  • Tuntutan menurut tingkatannya: primair dan subsidair.
  • Tuntutan menurut proses dan kualitas: tuntutan provisional dan tuntutan induk yang terdiri atas tuntutan pokok dan tuntutan tambahan. Tuntutan primair adalah tuntutan yang merupakan tuntutan pokok awal yang diajukan. Tuntutan subsidair adalah tuntutan pokok yang diajukan di samping tuntutan primair yang pada dasarnya lebih berfungsi sebagai tuntutan "cadangan”  yang diusahakan agar dapat dikabulkan bila tuntutan primair ditolak.
  • Tuntutan menurut proses dan kualitasnya: Tuntutan provisional dan tuntutan induk yang terdiri atas tuntutan pokok dan tambahan.
  • Tuntutan provisional, yaitu tuntutan agar dilakukan tindakan-tindakan tertentu secara lebih dulu, sementara tuntutan induk sedang dalam proses pemeriksaan dan pertimbangan. Tuntutan induk, yaitu tuntutan keseluruhan yang sebenarnya menjadi pokok masalah dalam perkara yang bersangkutan, yang pada dasarnya terdiri atas tuntutan pokok, yaitu hal atau inti yang menjadi isi dari tuntutan tersebut. Tuntutan tambahan, yaitu tuntutan lainnya yang merupakan penyerta atau tambahan yang masih erat hubungannya dengan tuntutan pokok.
  • Tuntutan menurut maksudnya:
  1. supaya pihak lawan melakukan sesuatu, 
  2. supaya pihak lawan tidak melakukan sesuatu, dan 
  3. campuran antara a dan b.
  • Menurut wujud/maknanya: tuntutan materiil, tuntutan immateriil, dan campuran a dan b. Tuntutan materiil, yaitu tuntutan yang berupa penyerahan kebendaan atau tuntutan yang tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat bendawi atau sesuatu yang harganya dapat diukur/ditukar dengan uang. Tuntutan immateriil, yaitu tuntutan yang tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang tidak bersifat bendawi atau sesuatu yang nilainya tidak dapat diukur dengan uang.
  • Tuntutan menurut sumber timbulnya: tuntutan praktis dan tuntutan pengandaian. Tuntutan praktis, yaitu tuntutan yang secara langsung didasarkan atas fakta keadaan yang sudah dihadapi. Tuntutan pengandaian, yaitu tuntutan yang timbulnya tergantung pada terpenuhi atau tidaknya persyaratan yang diandaikan sebagai sumber timbulnya tuntutan itu.
  • Tuntutan menurut urutan timbulnya: tuntutan awal (dalam konvensi) dan tuntutan balasan (dalam rekonvensi). Tuntutan awal, yaitu tuntutan yang timbul pertama kali sebagai awal proses pemeriksaan dan pengadilan perkara yang bersangkutan di pengadilan. Tuntutan balasan, yaitu tuntutan yang timbul kemudian dari pihak tergugat dalam konvensi sebagai tuntutan balasan terhadap tuntutan awal tersebut di atas. Tuntutan menurut sasarannya: tuntutan terhadap tergugat tunggal, tuntutan terhadap secara masing-masing dan secara tangung renteng, dan tuntutan terhadap beberapa tergugat.
  • Tuntutan menurut sifat hubungan antar tuntutan: tuntutan alternatif dan tuntutan kumulatif. Tuntutan alternatif, yaitu tuntutan yang jumlahnya lebih dari satu dan pemenuhannya berupa suatu pihak salah satu atau beberapa saja di antaranya. Tuntutan kumulatif, yaitu tuntutan yang jumlahnya lebih dari satu dan semuanya dipenuhi sebagai suatu penjumlahan.
Di lihat dari isinya, petitum gugatan dapat dikelompokkan sebagai berikut.
  • Petitum declaratoir, artinya petitium yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan keabsahan. Misalnya, menyatakan perjanjian yang dibuat antara penggugat dan tergugat adalah sah.
  • Petitum konstitutif, artinya petitum yang isinya bersifat untuk menciptakan atau meniadakan suatu keadaan hukum. Misalnya menyatakan penggugat dan tergugat adalah ahli waris sah dari almarhum (menciptakan); menyatakan bahwa hubungan ikatan perkawinan antara penggugat dengan tergugat putus karena perceraian. 
  • Petitum comdemnatoir, artinya petitum yang isinya bersifat hukuman yang dapat dipaksakan dengan cara eksekusi.
  • Petitum provisionil, artinya petitum yang isinya bersifat permintaan kepada hakim agar diadakan tindakan pendahuluan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung, misalnya penangguhan pembangunan rumah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
  • Petitum alternatif, artinya petitum yang isinya bersifat pilihan dengan memberi kesempatan kepada hakim untuk melakukan pilihan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam praktik biasanya ada dua pilihan dan kadang-kadang tiga pilihan dengan model primair dan subsidair atau ex aequo et bono.
Di dalam membuat petitum, menurut Achmad Fauzan (2007: 65-66), yang penting dan harus menjadi perhatian adalah hal-hal berikut.
  • Kesesuaian/sinkroninisasi dengan posita, intinya alasan-alasan yang diuraikan dalam posita-lah yang harus digunakan sebagai dasar untuk mengajukan permintaan. Misalnya, uraian dalam posita sudah berdasar hukum sehingga petitum pertama yang diminta adalah mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya; uraian membuktikan bahwa tergugat telah menguasai tanah sengketa tanpa alas hak yang sah, sehingga petitum yang diminta menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
  • Tidak kontradiksi, artinya petitum tidak boleh kontradiksi dengan posita maupun dengan bagian petitum lainnya. Misalnya, di dalam posita diuraikan tentang tergugat telah menguasai tanah sengketa tanpa alasan hak yang sah, sehingga merupakan perbuatan yang melawan hukum. Akan tetapi di dalam petitum lupa tidak disebutkan adanya perbuatan melawan hukum tergugat, misalnya dengan formulasi kalimat, ”Menyatakan bahwa tanah sengketa milik sah Penggugat. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa kepada Penggugat”.
  • Orang yang ditetapkan dalam petitum harus sebagai pihak dalam perkara. Misalnya, menyatakan bahwa pcnggugat dan tergugat yang bernama Amin adalah ahli waris yang sah dari suami-istri almarhum dan almarhumah Jalil dan Romlah yang berhak atas harta peninggalannya, yaitu barang sengekata, padahal Amin tidak mcmihak dalam perkara.
  • Petitum harus jelas dan tegas, artinya apa yang diminta harus jelas sehingga tidak membingunkan. Misalnya, menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, padahal seharusnya disebutkan beberapa yang diminta penggugat, misalnya menetapkan hak Penggugat atas tanah sengketa adalah setengah bagian.
  • Petitum tidak boleh bersifat negatif, artinya berisi perintah untuk tidak berbuat. Misalnya, menghukum tergugat untuk tidak berbuat tindakan-tindakan yang bersifat merusak agunan sengketa.
  • Petitum harus runtut dan disusun sesuai dengan poin-poin posita serta diberi nomor urut.
Hal yang perlu diperhatikan adalah antarafundamentum petendi (posita) dan petitum harus ada hubungannya, artinya uraian dalam petitum harus didukung oleh posita. Apabila petitum tidak didukung oleh posita, gugatan menjadi kabur dan akan berakibat gugatan ditolak/tidak diterima. 
4) Nama Pengadilan Harus Jelas (Kewenangan Relatif Pengadilan) 
Gugatan secara formil harus ditujukan kepada pengadilan sesuai dengan kompetensi relatif/kewenangan relatif. Gugatan harus memuat dengan jelas dan tegas mengenai alamat dan kompetensi PN. Kalau tidak, maka gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) dengan alasan hakim tidak berwenang mengadili.
Gugatan harus diajukan kepada ketua pengadilan negeri tertentu, misalnya Ketua PN Medan, Ketua PN Tarutung, dsb. Mengenai kejelasan dan ketegasan alamat PN yang dituju dan juga yang sesuai dengan kompetensi relatif diatur dalam Pasal 118 HIR/142 RBg, yang menetapkan berikut ini. 
  • Pengajuan gugatan itu diajukan kepada ketua PN yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat.
  • Jika terdapat lebih dari seorang tergugat yang tidak bertempat tinggal dalam daerah hukum yang sama, gugatan diajukan kepada ketua PN yang daerah hukumnya meliputi salah satu tergugat menurut pilihannya.
  • Jika beberapa orang tergugat hubungannya satu dengan yang lain sebagai orang yang berutang pertama dan penanggung, diajukan ke pengadilan di tempat tinggal orang yang berhutang pertama.
  • Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal (tetap) atau tempat tinggal kediaman (sementara), gugatan diajukan kepada PN di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.
  • Jika yang digugat itu barang tetap, gugatan diajukan kepada PN di tempat barang tetap terletak.
  • Jika kedua belah pihak memilih tempat tinggal dengan suatu akta, penggugat dapat mengajukan gugatannya ke PN yang daerah hukumnya bertempat tinggal yang dipilih tersebut.
Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg yang mengatur kompetensi relatif PN menegaskan bahwa permohonan gugatan itu diajukan kepada PN yang benar-benar sesuai dengan kewenangannya (kekuasaannya), yakni berikut ini.
  • Di mana tergugat bertempat tinggal.
  • Di mana tergugat berada (jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya).
  • Di mana salah satu tergugat bertempat tinggal, jika ada banyak Tergugat yang tinggalnya tidak dalam satu daerah hukum pengadilan negeri.
  • Di mana tergugat utama bertempat tinggal, jika hubungan antara tergugat-tergugat adalah sebagai yang berutang dan penjaminnya.
  • Di mana penggugat atau salah satu dari penggugat bertempat tinggal dalam hal berikut ini.
  1. Tergugat tidak mempunyai tempat tinggal dan tidak diketahui di mana ia berada.
  2. Tergugat tidak dikenal. Dalam hal ini yang menjadi objek gugatan adalah benda tidak bergerak (tanah), di mana benda tidak bergerak terletak. Hal ini berbeda dengan RBg, yang menurut Pasal 142 RBg, apabila objek gugatan adalah tanah, maka gugatan selalu dapat diajukan kepada PN di mana tanah itu terletak.
  • Dalam hal pilihan domisili secara tertulis dalam akta, jika penggugat menghendaki, di tempat domisili yang dipilih itu.
Apabila tergugat pada hari sidang pertama tidak mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang wewenang relatif ini, PN tidak boleh menyatakan dirinya tidak berwenang. Pengadilan wajib mengadili perkara tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 133 HIR/Pasal 159 RBg, yang menyatakan bahwa eksepsi mengenai kewenangan relatif harus diajukan pada permulaan sidang apabila diajukan secara terlambat, hakim dilarang untuk memperhatikan eksepsi tersebut.
5)Tempat, Tanggal, dan Penandatanganan Gugatan 
Tempat menunjukkan di mana gugatan itu dibuat. Meskipun tidak mutlak adanya, tetapi apabila tempat disusunnya surat gugatan itu terasa janggal, misalnya gugatan itu dibuat di luar negeri, bisa saja dipermasalahkan keasliannya. Yang dimaksud dengan tanggal gugatan adalah tanggal gugatan yang tertera dalam gugatan. Tanggal surat gugatan menunjukkan waktu dibuatnya gugatan. Ketiadaan tanggal akan dapat berakibat hukum yang fatal, misalnya gugatan tidak dapat diterima, gugatan menjadi prematur atau kedaluwarsa, atau gugatan tidak sah. Memang, undang-undang tidak pernah menyebutkan bahwa gugatan harus mencantumkan tanggal suatu gugatan. Pemberian tanggal gugatan bukanlah merupakan syarat formil gugatan atau tidak mutlak. Oleh karena itu, gugatan yang tidak mencantumkan tanggal tidak akan berakibat gugatan mengandung cacat formil. Namun demikian, pencantuman tanggal gugatan dilaksanakan demi kepastian hukum atau pembuatan dan penandatangan gugatan, sehingga apabila timbul masalah penandatanganan berhadapan dengan tanggal pembuatan, dapat diselesaikan berdasarkan register di kepaniteraan (M. Yahya Harahap, 2007: 52). 
Di dalam praktik peradilan, pencantuman tanggal gugatan sangat penting, karena tanggal sebagai dasar yang menunjukkan tentang waktu disusunnya surat gugatan. Oleh karena itu, pencantuman tanggal gugatan adalah keharusan dalam suatu gugatan. Apabila tanggal gugatan tidak dicantumkan dapat berakibat hukum yang fatal, yaitu tidak dapat diterimanya gugatan tersebut (niet onvankelijk verklaard).
Pencantuman tanggal surat gugatan dapat diletakkan pada bagian atas dari lembar awal gugatan atau pada bagian bawah dari lembar terakhir gugatan. Suatu gugatan yang tidak diberi tanggal dapat berakibat berikut ini.
  • Bersifat fatal, misalnya gugatan menjadi prematur dalam hal gugatan berkaitan dengan tanggal jatuh tempo suatu tagihan.
  • Gugatan menjadi kedaluwarsa (verjaard) dalam hal gugatan berkaitan dengan tenggang waktu tuntutan hak yang disediakan oleh undang-undang.
  • Gugatan menjadi tidak sah, dalam hal tanggal tertera dalam surat gugatan lebih awal dari tanggal surat kuasa, apabila gugatan diajukan menggunakan jasa advokat (Ahmad Fauzan dan Suhartanto, 2007: 17). 
Pengajuan gugatan dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan atau kuasanya dengan surat kuasa khusus. Apabila diberikan kepada seorang kuasa surat kuasa tersebut haruslah dengan surat kuasa khusus. Surat kuasa adalah surat yang menerangkan terjadinya pemberian kuasa dari seseorang atau satu pihak kepada orang atau pihak lain untuk bertindak sebagai wakil dalam mengurusi kepentingan pemberian kuasa. Menurut Soebekti, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian atau persetujuan di mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Pada umumnya, di lihat dari isinya, surat kuasa ada dua macam, yaitu surat kuasa umum dan surat kuasa khusus. Surat kuasa umum adalah surat kuasa yang menerangkan bahwa pemberian kuasa tersebut berlaku umum atau meliputi berbagai macam hal. Surat kuasa khusus adalah surat kuasa yang secara tegas menerangkan bahwa pemberian kuasa itu hanya berlaku khusus untuk hal-hal tertentu saja, misalnya khusus mengenai penjualan tanah dan bagunan, pengurusan surat tanah, pengurusaan surat kendaraan, atau pengambilan gaji si pemberi kuasa.
Kehadiran wakil atau pengacara tergantung dari kebutuhan pihak. Menguasakan kepada wakil atau pengacara untuk mengurus kepentingannya harus dengan surat kuasa khusus yang mengatur secara khusus penguasaan yang dilimpahkan secara mengganti dan ditandatangani. Pengaturan secara khusus penguasaan kepentingan berupa aturan pemberian hak dan kewenangan kepada wakil atau pengacara yang bertindak atas namanya dihadapan pengadilan atau instansi sesuai dengan keperluan dan kepentingannya terhadap sengketa. Biasanya dalam surat kuasa khusus tersebut dicantumkan juga hak substitusi, yakni yang membolehkan penguasaan itu dapat ditarik dari wakil atau pengacara oleh pemberi kuasa.
6) Gugatan Bermaterai 
Dalam praktik peradilan dewasa ini gugatan harus bermaterai (Rp 6.000,00). Gugatan yang tidak bermaterai akan dikembalikan. Pada materai itu diberi tanggal, bulan, tahun, dan berisikan tanda tangan penggugat/kuasanya.
7) Judul Gugatan 
Memang, tidak ada keharusan untuk mencantumkan judul gugatan. Namun pembaca, panitera, hakim, atau tergugat akan lebih mudah memahami isi gugatan jika tercantum judul gugatan. Dengan kata lain, pencantuman tersebut dapat membantu panitera untuk meregister/mendaftar gugatan. Lazimnya, judul gugatan dicantumkan pada bagian sebelah kiri lembar gugatan; ditulis di bawah tanggal gugatan, kalau tanggal gugatan dicantumkan paling atas. Kata-katanya pendek, misalnya, Perihal/Hal: Gugatan dan Permohonan Sita Jaminan, Gugatan Wanprestasi, Gugatan Perbuatan Melawan Hukum dan Ganti Rugi disertai Permohonan Sita Jaminan. Perlu diperhatikan bahwa harus ada kesesuaian antara judul gugatan dengan isi gugatan, karena gugatan dapat menjadi obscuur libel atau kabur.
Sebelum menyusun gugatan, sebaiknya harus terlebih dahulu memperhatikan langkah-langkah awal dalam menyusun gugatan, yaitu berikut ini.
  • Pengumpulan bahan-bahan baik berupa barang bukti tertulis (akta autentik atau akta di bawah tangan) atau pun tidak tertulis (keterangan saksi, baik karena pengetahuan maupun karena pengalaman atau keahliannya.
  • Pengetahuan hukum yang memadai tentang permasalahan yang dihadapi yang akan diwujudkan dalam gugatan.
  • Melakukan identifikasi terhadap orang atau lembaga yang terlibat dalam perkara, yang kemungkinan bisa ditarik sebagai pihak dalam perkara, sebagai penggugat, tergugat, atau saksi. Identifikasi ini dapat meliputi nama, gelar, umur, tempat tinggal atau alamat, pekerjaan, dan lain-lain. Idenfikasi juga terhadap objek yang diperebutkan, misalnya perkara tanah, yang harus dilengkapi adalah informasi letak, luas, batas, sertifikat, petok, SPPT PBB, siapa yang menguasai, hasilnya, nilainya, dan kemungkinan alas haknya.
  • Melakukan analisis hukum yang akan menghasilkan suatu kesimpulan, yaitu bahwa penyelesaikan yang paling efektif adalah menggunakan dasar, misalnya perbuatan melawan hukum, ingkar janji (wanprestasi) atau alasan lain dan menentukan subjeknya, baik sebagai penggugat, tergugat, dan saksinya.
Setelah gugatan dianggap sudah lengkap atau sudah maksimal, bahan-bahan itu perlu dianalisis secara hukum. Analisis secara hukum itu dilakukan untuk memilah-milah sejauh mana ada nilai keterkaitannya dengan kepentingan hukum untuk menyelesaikan perkara yang dihadapi. Mengadakan analisis hukum artinya menilai dengan mengaitkan bahan-bahan yang ada dengan berbagai peraturan hukum yang mengatur permasalahan yang dihadapi. Agar analisis lebih tajam dan akurat perlu mengunakan literatur, pendapat para pakar, dan sebagainya. Jadi, menyusun gugatan tidaklah mudah. Dengan kelemahan formal dari gugatan, yang pasti ada eksepsi (tangkisan) dari pihak lawan. Kalau ini terjadi sudah tentu akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, selain harus menguasai materi yang menjadi pokok permasalahan harus juga menguasai peraturan-peraturan hukum, putusan-putusan hukum (yurisprudensi), serta pengalaman praktik yang sudah tentu sangat efektif untuk membantu dalam penyusunan suatu gugatan.
8) Penandatanganan Gugatan 
Gugatan harus ditandatangani oleh penggugat atau wakil/kuasa. Yang dimaksud dengan wakil/kuasa adalah seorang kuasa, yakni seorang yang sengaja dikuasakan berdasarkan suarat kuasa khusus untuk membuat dan menandatangani gugatan. Membuat tanda tangan dalam gugatan merupakan syarat formil.
Syarat formil dapat dilihat dalam Pasal 118 ayat (1) HIR/ Pasal 142 ayat (1) RBg yang menyatakan bahwa gugatan dimasukkan ke PN sesuai dengan kompetensi relatif dan di buat dalam bentuk surat permohonan/permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya (kuasanya). Demikian juga tanggal gugatan harus lebih muda dari tanggal surat kuasa khusus atau sekurang-kurang sama.
Menurut Pasal 118 HIR, gugatan dapat ditanda tangani:
  • penggugat atau para penggugat,
  • kuasa/wakilnya, dan
  • hakim, apabila penggugat /para penggugat tidak dapat menulis.
Yang dimaksud dengan tanda tangan (handtekening, signature) pada umumnya merupakan tanda atau inisial nama yang dituliskan dengan tangan sendiri oleh penanda tangan (Yahya Harahap, 2007: 53). Apabila penggugat tidak dapat menulis, ia dapat membubuhkannya dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan.
Cap jempol merupakan cap ibu jari tangan yang disamakan dengan tanda tangan. Di dalam praktik peradilan, penerapan cap jempol harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang. hal ini merupakan syarat imperatif. Namun, tidak mengakibatkan gugatan batal demi hukum, tetapi dapat diperbaiki dengan memerintahkan penggugat untuk melegalisasi.

0 komentar:

Post a Comment