Wednesday, July 17, 2019

PERMOHONAN PERKARA PERDATA


Istilah ”permohonan" merupakan yang lazim digunakan, tetapi sering juga disebut ”gugatan voluntair”. Istilah ”voluntair” dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU N0. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (diubah dengan UU No. 14 Tahun 1985), yang menetapkan bahwa penyelesaian setiap perkara yang diajukan ke badan-badan peradilan mengandung pengertian penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair. Setelah UU No. 14 Tahun 1945 diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, perubahan tersebut tidak diikuti lagi dalam undang-undang berikutnya. Demikian juga ketika UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, telah dicabut dan diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak ada dalam pasal-pasalnya menyebut istilah tersebut.
Terhadap penyebutan istilah di dalam undang-undang, Yahya Harahap (2007:38) berpendapat bahwa ketentuan tersebut merupakan penegasan, di samping kewenangan badan peradilan dalam hal penyelesaian perkara yang bersifat partai (ada pihak penggugat dan tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian masalah atau perkara voluntair, yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat. Istilah ini pun dapat dilihat dalam ”Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan” hlm. 110 angka 15 yang menggunakan istilah permohonan. Namun pada angka 15 huruf (e) digunakan juga istilah voluntair. Berdasarkan permohonan yang diajukan itu, hakim akan memberi suatu penetapan.
Dalam kehidupan sehari-hari istilah ”perkara” diartikan sebagai suatu persoalan atau kasus yang dihadapi pihak-pihak yang meminta hakim untuk menyelesaikannya. Namun, tidak semua persoalan atau tuntutan hak dapat dikatagorikan sebagai perkara. Dalam pengertian perkara tersimpul dua keadaan, pertama, ada perselisihan (konflik); kedua, keadaan tidak ada perselisihan. Ada perselisihan, artinya ada sesuatu yang menjadi pokok perselisihan, yaitu ada yang dipertentangkan atau ada yang disengketakan. Perselisihan atau persengketaan itu tidak diselesaikan oleh pihak-pihak, melainkan penyelesaiannya memerlukan campur tangan pengadilan sebagai instansi yang oleh undang-undang diberi tugas dan wewenang untuk mengadili dan menyelesaikannya. Tidak ada perselisihan, mempunyai arti bahwa dalam perkara itu tidak ada yang dipersoalkan atau tidak ada yang disengketakan/diperkarakan, tetapi diperlukan suatu kepastian hukum yang harus dihormati dan diakui semua orang.
Permohonan atau gugatan voluntair adalah suatu tuntutan hak perdata atau suatu perkara perdata yang tidak mengandung sengketa, atau dengan kata lain, permohonan adalah persoalan perdata yang tidak mengandung sengketa.
Permohonan atau gugatan voluntair memiliki ciri khas, sebagai berikut.
  1. Permasalahan atau tuntutan hak perdata tidak ada sengketa (without disputes).
  2. Tindakan yang dilakukan adalah sepihak, tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan (one party only/ex-party).
  3. Sifat kepentingan dalam permohonan adalah kepentingan sepihak (on behalf of one party). Kepentingan si pemohon, yaitu suatu permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum, misalnya penetapan ahli waris, permintaan izin dari pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu, dll.
Menurut Yahya Harahap (2007: 229), permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada ketua PN. Menurutnya, ciri khas permohonan atau gugatan voluntair sebagai berikut.
  1. Masalah yang diajukan bersifat sepihak semata (for benefit one party only). Dalam ”permohonan” si pemohon benar-benar untuk menyelesaikan kepentingannya mengenai sesuatu permasalahan perdata yang memerlukan kapastian hukum, misalnya permintaan izin dari pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu, dan pada prinsipnya apa yang dipermasalahkan pemohon tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain. 
  2. Permasalahan yang dimohonkan penyelesaiannya kepada PN pada prinsipnya tanpa sengketa atau konflik dengan pihak lain (without disputes or dijferences with another party). 
  3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-party.
Landasan hukum kewenangan pengadilan menerima, memeriksa, dan menyelesaikan permohonan (gugatan voluntair) didasarkan pada Pasal 2 dan Penjelasannya pada ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 tahun 1985). UU tersebut sudah diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan selanjutnya diganti melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Meskipun tidak ada pengaturan dalam undang-undang ini, apa yang digariskan oleh Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dianggap masih relevan sebagai landasan gugatan voluntair (Yahya Harahap, 2005: 30). 
Ketentuan Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan sebagai berikut.
  1. Pada prinsipnya penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicial power) melalui badan-badan peradilan bidang perdata tugas pokoknya adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
  2. Secara eksepsional, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 memberi kewenangan atau yuridiksi voluntair kepada pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984, yang mengatakan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970, tugas pokok pengadilan adalah memeriksa dan memutus perkara yang bersifat sengketa atau juridiction. Akan tetapi di samping itu, berwenang juga memeriksa perkara yang termasuk ruang lingkup yuridiksi voluntir yang disebut perkara permohonan. Namun, kewenangan itu terbatas pada hal-hal yang tegas ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, yang menegaskan tentang masalah yang bersangkutan dapat atau boleh diselesaikan secara voluntir melalui bentuk permohonan. Jadi, dari sudut esensi dan eksistensi permohonan, maka permohonan bersifat refleksi, yaitu hanya demi kepentingan pihaknya sendiri tanpa melibatkan pihak lain.
Pihak yang ada dalam perkara hanyalah pemohon sendiri. Permohonan yang diajukan oleh pemohon kepada pengadilan ditujukan untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tanpa menarik pihak lain sebagai lawan. Jadi, tujuan permohonan adalah menyelesaikan kepentingan pemohon sesuai dengan undang-undang.
PN mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan permohonan. Menurut ketentuan hukum bahwa yang memberi kewenangan tersebut dapat merujuk kepada ketentuan Pasal 2 dan penjelasannya ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai mana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan kemudian diganti dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada pokoknya, pengaturannya masih sangat terbatas atau sangat eksepsional dalam hal tentu saja dibatasi dengan persyaratan yang menegaskan boleh atau tidaknya diselesaikan melalui bentuk permohonan, yaitu hanya boleh terhadap masalah yang disebut dan ditentukan sendiri oleh undang-undang.
Fundamentum petendi (posita atau dasar permohonan/gugatan) permohonan didasarkan pada ketentuan pasal undang-undang yang menjadi alasan pemohon. Misalnya, Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur permohonan izin poligami. Dalil pemohon berdasarkan ketentuan yang digariskan pada Pasal 4 ayat (1) yang diikuti dengan pemenuhan syarat-syarat perkawinan yang disebut pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.
Sebagaimana sudah dikemukakan, tujuan pengajuan permohonan adalah untuk menyelesaikan kepentingan si pemohon sendiri tanpa melibatkan pihak lawan. Sehubungan dengan itu, petitum permohonan harus mengacu pada penyelesaian kepentingan si pemohonan secara sepihak. Oleh karena itu, petitum tidak boleh melanggar atau melampaui hak orang lain.
Dengan demikian, petitum permohonan harus benar-benar murni dan merupakan permintaan penyelesaian kepentingan pemohon, dengan acuan sebagai berikut.
  1. Isi petitum merupakan permintaan yang bersifat deklaratif, artinya bersifat pernyataan dari pemohon.
  2. Pemohon tidak dapat melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai pemohon.
  3. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat comdemnatoir (mengandung hukum).
  4. Petitum pemohon harus dirinci satu persatu tentang hal-hal yang dikehendaki pemohonan untuk ditetapkan pengadilan kepadanya.
  5. Petitum tidak boleh bersifat compositotur atau ex aequo et bono (Yahya Harahap, 2007: 37-38). 
Kata petitum berasal dari bahasa Latin yang berarti ’permohonan atau tuntutan’. Setiap gugatan dimulai dengan mengutarakan dalil-dalil dan diakhiri atau ditutup dengan mengajukan tuntutan. Petitum adalah mengenai apa saja yang dituntut oleh pihak yang merasa dan dirasa dirugikan haknya Oleh pihak lain untuk diputuskan Oleh hakim.
Dalam petmohonan tidak ada sengketa atau perselisihan. Oleh karena itu, permohonan yang hendak dimintakan Oleh pemohon kepada hakim sebagai keputusan hakim bukan merupakan keputusan hakim, melainkan dalam bentuk suatu penetapan hakim. Penetapan ini bertujuan untuk memberi kepastian hukum terhadap hal yang diminta, yang harus dihormati dan diakui semua orang. Misalnya pemohonan untuk ditetapkan sebagai ahli waris yang sah. anak angkat, pengangkatan kewarganegaraan akta lahir, konsinyasi, ganti nama, dan lain sebagainya. Di sini hakim hanya bertugas sebagai petugas administratif negara yang mengatur sesuatu hal. Tugas hakim tersebut termasuk judirictio voluntaria, yaitu suatu kewenangan memeriksa perkara yang tidak bersifat mengadili, tetapi bersifat administratif (Abdul Kadir Muhammad, 1990: 19). 
Putusan hakim yang berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan, yang dinamakan penetapan atau ketetapan (beschikking; degree). Diktum adalah pernyataan yang merupakan bagian dari suatu putusan sebagai jawaban dari hakim terhadap suatu tuntutan/gugatan. Diktum permohonan bersifat deklaratoir, artinya diktumnya hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta.
Atas suatu permohonan tertentu, PN harus menjatuhkan putusan, misalnya dalam hal permohonan pengangkatan WNA terhadap anak WNI atau seorang anak WNI terhadap WNA (SEMA No. 6 Tahun 1983) dan juga sehubungan dengan permohonan untuk menyatakan pailit. 
Bagaimana pengajuan permohonan dilakukan? Pada prinsipnya permohonan diajukan kepada ketua PN sesuai dengan tempat tinggal pemohon. Di dalam permohonan itu harus berisi tentang identitas pemohon, fundamentum petendi (posita), petitum, bermaterai, dan ditandatangani pemohon atau kuasanya.
Perlu juga diketahui bahwa tidak semua permohonan yang diajukan oleh pemohon dapat diajukan kepada PN. Sesuai dengan kewenangannya, PN hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh suatu peraturan perundang-undangan. Permohonan yang diajukan yang disebutkan dalam undang-undang, adalah sebagai berikut. 
  1. Permohonan pengangkatan wali bagi anak belum dcwasa. 
  2. Permohonan pengangkatan pengampuan bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun.
  3. Permohonan dispensasi nikah bagi pria yang belum mencapai umur 19 tahun dan bagi wanita yang belum mencapai umur 16 tahun, yang dapat diajukan kepada pcngadilan agama atau pengadilan negeri (Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974).
  4. Permohonan ijin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun, yang dapat diajukan kepada Pengadilan Agama atau pengadilan ncgeri (Pasal 6 ayat (5) UU No. 1 Tahun 1974). 
  5. Permohonan pembatalan perkawinan (fasak nikah) (Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 UU No. 1 Tahun 1974).
  6. Permohonan pengangkatan wali bagi mereka yang beragama Islam atau pengangkatan wali adhol (Pasal 23 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam Jo. Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987). 
  7. Permohonan pengangkatan anak (untuk ini harus diperhatikan SEMA No. 6/1963).
  8. Permohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan sipil, misalnya apabila nama anak secara salah disebutkan dalam akta tersebut (Pasal 49 dan Pasal 50 Ordonansi Penduduk Jawa dan Madura).
  9. Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit oleh karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit.
  10. Permohonan untuk menetapkan bahwa sebidang tanah adalah milik pemohon tidak dibenarkan untuk dikabulkan oleh PN. Hak milik atas sebidang tanah harus dibuktikan dengan sertifikat tanah atau apabila dipermasalahkan dalam suatu gugatan, dibuktikan dengan alat bukti lain di persidangan.
  11. Permohonan untuk menetapkan seseorang atau beberapa orang adalah ahli waris almarhum, tidak dapat diajukan. Penetapan ahli waris almarhum dapat dikabulkan dalam suatu gugatan mengenai warisan almarhum.
  12. Untuk mengalihkan hak atas tanah, menghibahkan, mewakafkan, menjual, atau membalikkan nama sebidang tanah/tanah dan rumah, yang semula tercatat atas nama almarhum atau almarhumah, cukup dilakukan sebagai berikut.
  • Bagi mereka yang berlaku hukum waris BW, cukup dengan surat keterangan hak waris yang dibuat oleh notaris.
  • Bagi mereka yang berlaku hukum waris adat, cukup dengan surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh ahli waris yang bersangkutan sendiri dan disaksikan oleh lurah dan diketahui camat dari desa dan kecamatan tempat tinggal almarhum.
  • Bagi mereka yang berlaku hukum waris lainnya, misalnya WNI keturunan Hindia, cukup dengan surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (perhatikan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri, Direktur Jenderal Agraria, Kepala Direktorat Pendaftaran Tanah, u.b. Kepala Pembinaan Hukum, R. Saoepandi, tertanggal 20 Desember 1969, No. Drt/l112/63/12/69, yang terdapat dalam buku Tuntunan bagi Pembuat Akta Tanah, Dep. Dalam Negeri, Dirjen Agraria, hlm. 85 (Pedoman Pelalsanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, hlm. 112-113).
Di samping yang dikemukakan di atas, suatu permohonan tidak dapat dibenarkan untuk mengabulkan permohonan dan menetapkan seseorang atau beberapa orang sebagai pemilik atau mempunyai hak atas suatu barang/binatang. Demikian juga tidak dapat dikeluarkan penetapan atas surat permohonan untuk menyatakan suatu dokumen atau sebuah akta adalah sah.
Permohonan harus diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan kepada Ketua PN di tempat tinggal tergugat (Pasal 118 ayat (1) HIRI Pasal 142 ayat (1) RBg). Permohonan disampaikan kepada PN setelah pemohon membayar persekot biaya perkara yang besarnya sudah ditentukan oleh PN, kemudian permohonan itu didaftarkan dalam buku register dan diberi nomor urut.
Pemohon yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diajukan permohonannya secara prodeo, dimana ketidakmampuannya itu harus dibuktikan dengan surat keterangan dari kepala desa yang bersangkutan.
Permohonan dapat diajukan oleh pemohon secara tertulis atau secara lisan. Apabila permohonan itu dilakukan secara tertulis maka pemohon mengajukannya ke hadapan ketua PN dan ketua PN yang akan menyuruh mencatat permohonan tersebut (Pasal 120 HIR/144 RBg).
Pemeriksaan permohonan hanya dilakukan secara sepihak, yaitu hanya mendengar keterangan pemohon atau kuasanya, dan untuk memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan oleh pemohon. Dalam pemeriksaan tidak berlangsung contradictoir, maksudnya tidak ada bantahan dari pihak lain. Setelah hakim melakukan pemeriksaan terhadap permohonan, kemudian hakim memberikan putusan. Putusan hakim berisi pertimbangan dan diktum penyelsaian permohonan yang dituangkan dalam bentuk penetapan. Diktum hanya bersifat menegaskan pernyataan atau deklarasi hukum yang diminta dan kekuatan pembuktiannya hanya mengikat pada diri si pemohon.
Apabila permohonan ditolak oleh hakim, sesuai dengan doktrin dan praktik peradilan yang berlaku, dalam perkara voluntir merupakan putusan yang bersifat tingkat pertama dan terakhir, artinya tidak dapat diajukan banding. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Jo. Penjelasannya, maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah kasasi. Itu pun dalam hal terjadi pengajuan permohonan yang keliru.
Pengajuan upaya hukum kasasi terhadap penetapan atas permohonan secara analogi merujuk kepada ketentuan pada Penjelasan Pasal 43 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Pembahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Ketentuan Pasal 43 ayat (1) Pasal 43 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan tidak ikut diubah oleh kedua UU tersebut.
Pasal 43 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung mengatakan bahwa permohoan kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan terhadap perkara telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Dalam penjelasannya mengatakan bahwa pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena adanya putusan pengadilan tingkat pertama yang oleh undang-undang tidak dapat dimohonkan banding.
Dapat juga dilakukan upaya hukum peninjauan pembali (PK). Upaya hukum ini ditempuh untuk mengoreksi dan meluruskan kekeliruan atas permohonan. Mengenai hal ini terdapat yurisprudensi yang dapat digunakan sebagai pedoman yang sudah merupakan preseden, yaitu PK No. 1 PK/Ag/1990 tanggal 22 Januari 1991. Dalam kasus ini, Pengadilan Agama (PA) Pandeglang telah mengabulkan status ahli waris dan pembagian harta warisan melalui permohonan sepihak. Terhadap penetapan tersebut, pihak yang dirugikan mengajukan PK ke MA, yang ternyata MA mengabulkan PK dan bersamaan dengan itu MA membatalkan Penetapan PA Pandeglang (Yahaya Harahap, 2007; 45). 
Apabila orang yang merasa dirugikan atas penetapan perkara voluntair, menurut Yahya Harahap (2007: 44-45), cara yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut.
a. Dapat mengajukan perlawanan terhadap permohonan selama proses berlangsung. Landasan hukumnya berpedoman secara analogis kepada Pasal 378 Rv. atau Pasal 195 ayat (6) HIR. Perlawanan itu sangat bermanfaat untuk menghindari terbitnya penetapan yang keliru dan memberi hak kepada orang yang merasa dirugikan kepentingannya untuk
  1. menjukan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) yang bersifat semu atau kuasi derden verzet selama proses berlangsung; 
  2. pihak yang merasa dirugikan tersebut bertindak sebagai pelawan, sedangkan pemohon ditarik sebagai terlawan; 
  3. dasar perIawanan, ditujukan kepada pengaju permohonan gugatan voluntair tersebut; 
  4. pelawan meminta agar permohonan ditolak serta perkaranya diselesaikan secara kontradiktoir.
b. Mengajukan gugatan perdata. Pihak yang merasa dirugikan bertindak sebagai penggugat dan pemohon sebagai tergugat. Dalil gugatan bertitik tolak dari hubungan hukum yang terjalin antara penggugat dengan permasalahan yang diajukan pemohon dalam permohonan.
c. Mengajukan permintaan pembatalan kepada MA atas penetapan, yang berpedoman kepada Penetapan MA No. 5 Pen/Sep/1975 sebagai preseden.
d. Mengajukan upaya peninjauan kembali (PK).

0 komentar:

Post a Comment