ASAS-ASAS HUKUM PUTUSAN HAKIM
Putusan yang baik sekurang-kurangnya
memenuhi persyaratan, terutama untuk memenuhi kebutuhan teoretis dan kebutuhan
praktis. Memenuhi kebutuhan teoretis mempunyai arti bahwa menilik isinya, suatu
putusan harus dapat dipertanggugjawabkan dari sudut ilmu hukum (juridis
verantwoord), bahkan tidak jarang melalui putusannya ini hakim dapat membentuk
atau menemukan hukum baru. Adapun memenuhi kebutuhan praktis maksudnya adalah
bahwa dengan putusan hakim itu diharapkan dapat menyelesaikan
persoalan/sengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapat diterima oleh
pihak-pihak yang bersangkutan khususnya dan masyarakat umumnya karena putusan
itu dirasakan adil, benar, dan berdasarkan hukum. [1]
Hal yang terpenting bagi para pihak yang
berkepentingan adalah putusan hakim/pengadilan itu dapat diterima. Suatu
putusan dapat diterima kalau putusan tersebut tidak mengandung cacat hukum.
Agar suatu putusan tidak mengandung cacat hukum maka putusan itu harus
dilandasi atau didasarkan asas atau prinsip hukum sebagai pedoman. Asas-asas
atau prinsip hukum tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR/Pasal 189 RBg, Pasal
50 UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas atau prinsip yang
tersebut adalah:
1. Putusan hakim harus memuat alasan yang jelas dan rinci.
Putusan hakim harus memuat alasan yang
jelas dan rinci, Artinya, putusan yang dijatuhkan berdasarkan pertimbangan yang
jelas dan cukup. Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim
dalam memutus perkara didasarkan pada sumber hukum perundangundangan, hukum
kebiasaan, yurisprudensi, atau doktrin hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengatakan
putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan,
juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dalam
ketentuan Pasal 178 ayat (1) HIR/Pasal 189 ayat (1) RBg, hakim karena
jabatannya atau secara ex-officio wajib mencukupkan segala alasan hukum yang
tidak dikemukakan pihak yang berperkara. Untuk memenuhi kewajiban itu hakim
karena kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam
kedudukannya tersebut maka hakim mempunyai peran atau fungsi sebagai perumus
dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
2.Hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan yang diajukan.
Prinsip ini dapat dipedomani dari ketentuan
Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) RBg dan Pasal 50 Rv. Dengan ketentuan
ini, maka sebelum putusan harus secara menyeluruh memeriksa dan mengadili
setiap gugatan yang diajukan. Hakim tidak boleh memutuskan atau memberikan
keputusan melebihi dari tuntutan penggugat. Prinsip ini dipedomani berdasarkan
ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR/ Pasal 189 ayat (3) RBg dan Pasal 50 Rv, yang
menegaskan bahwa hakim tidak boleh memberikan keputusan melebihi dari hal yang
dituntut penggugat dalam perkara yang bersangkutan. Dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBg, yang memberikan
pembatasan itu, maka posisi hakim menjadi pasif sehingga fungsi hakim hanyalah
semata-mata menjadi wasit dalam pemeriksaan perkara tersebut. Pada hal menurut
Pasal 119 HIR, hakim berwenang memberikan petunjuk kepada penggugat atau
kuasanya. Inilah kelemahan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBg.
Larangan bagi hakim untuk tidak memutuskan melebihi tuntutan disebut larangan
ultra petitum. Hakim yang melanggar ketentuan tersebut dianggap telah melampaui
wewenang (ultra virus). Tindakan tersebut invalid (cacat) dan tidak sah
(illegal) sekalipun dilakukan dengan ihtikad baik (goodfaith) dan sesuai dengan
kepentingan umum (publik interest). Hakim yang melakukan ultra virus merupakan
pelanggaran terhadap prinsip the rule of law, yaitu prinsip tindakan apa pun
harus sesuai dengan hukum dan prinsip siapa pun tidak boleh melakukan tindakan
melawan hukum.
3. Putusan hakim diucapkan di muka umum.
Prinsip peradilan terbuka ini untuk
umum, mulai dari awal pemeriksaan perkara sampai putusan dijatuhkan, merupakan
bagian dari asas fair trial. Menurut asas fair trial, pemeriksaan persidangan
harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Dalam literatur
hal tersebut disebut the open justice principle. Tujuannya adalah untuk
menjamin proses peradilan yang terhindar dari perbuatan tercela (misbehavior)
dari pejabat peradilan. Melalui prinsip terbuka untuk umum, persalinan dianggap
memiliki efek pencegah terjadinya proses peradilan yang berat sebelah atau
diskriminasi. Prinsip pemeriksaan dan putusan yang diucapkan secara terbuka
ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa
putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.
Tidak dipenuhinya ketentuan ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam kasus-kasus tertentu di mana
undang-undang membenarkan pemeriksaan secara tertutup, misalnya dalam bidang
perceraian (Pasal 39 ayat [3] UU No. 1 Tahun 1974) yang telah diubah menjadi UU
No. 16 Tahun 2019. Untuk melindungi nama baik suami-istri dalam pergaulan
masyarakat, maka pembacaan putusan harus dilakukan dalam sidang terbuka untuk
umum (Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974). Jadi, menyangkut pengucapan putusan, harus
dilakukan di persidangan, yakni di ruang sidang pengadilan. [2]
Referensi
-----------
1. Ateng Afandi dan Wahyu Afandi,
Tentang Melaksanakan Putusan Hakim Perdata, (Bandung: Alumni, 1983), h. 10..
2. Djamanat Samosir, Hukum Acara
Perdata: tahap-tahap penyelesaian perkara perdata, (Bandung: Nuansa Aulia,
2011), h. 273-275.
0 komentar:
Post a Comment