Tuesday, June 16, 2020

ASAS-ASAS HUKUM PUTUSAN HAKIM




Putusan yang baik sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan, terutama untuk memenuhi kebutuhan teoretis dan kebutuhan praktis. Memenuhi kebutuhan teoretis mempunyai arti bahwa menilik isinya, suatu putusan harus dapat dipertanggugjawabkan dari sudut ilmu hukum (juridis verantwoord), bahkan tidak jarang melalui putusannya ini hakim dapat membentuk atau menemukan hukum baru. Adapun memenuhi kebutuhan praktis maksudnya adalah bahwa dengan putusan hakim itu diharapkan dapat menyelesaikan persoalan/sengketa hukum yang ada dan sejauh mungkin dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan khususnya dan masyarakat umumnya karena putusan itu dirasakan adil, benar, dan berdasarkan hukum. [1]
Hal yang terpenting bagi para pihak yang berkepentingan adalah putusan hakim/pengadilan itu dapat diterima. Suatu putusan dapat diterima kalau putusan tersebut tidak mengandung cacat hukum. Agar suatu putusan tidak mengandung cacat hukum maka putusan itu harus dilandasi atau didasarkan asas atau prinsip hukum sebagai pedoman. Asas-asas atau prinsip hukum tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR/Pasal 189 RBg, Pasal 50 UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas atau prinsip yang tersebut adalah:

1. Putusan hakim harus memuat alasan yang jelas dan rinci.

Putusan hakim harus memuat alasan yang jelas dan rinci, Artinya, putusan yang dijatuhkan berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara didasarkan pada sumber hukum perundangundangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, atau doktrin hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang mengatakan putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Dalam ketentuan Pasal 178 ayat (1) HIR/Pasal 189 ayat (1) RBg, hakim karena jabatannya atau secara ex-officio wajib mencukupkan segala alasan hukum yang tidak dikemukakan pihak yang berperkara. Untuk memenuhi kewajiban itu hakim karena kedudukannya sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam kedudukannya tersebut maka hakim mempunyai peran atau fungsi sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

2.Hakim wajib mengadili seluruh bagian gugatan yang diajukan.

Prinsip ini dapat dipedomani dari ketentuan Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2) RBg dan Pasal 50 Rv. Dengan ketentuan ini, maka sebelum putusan harus secara menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap gugatan yang diajukan. Hakim tidak boleh memutuskan atau memberikan keputusan melebihi dari tuntutan penggugat. Prinsip ini dipedomani berdasarkan ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR/ Pasal 189 ayat (3) RBg dan Pasal 50 Rv, yang menegaskan bahwa hakim tidak boleh memberikan keputusan melebihi dari hal yang dituntut penggugat dalam perkara yang bersangkutan. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBg, yang memberikan pembatasan itu, maka posisi hakim menjadi pasif sehingga fungsi hakim hanyalah semata-mata menjadi wasit dalam pemeriksaan perkara tersebut. Pada hal menurut Pasal 119 HIR, hakim berwenang memberikan petunjuk kepada penggugat atau kuasanya. Inilah kelemahan Pasal 178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBg. Larangan bagi hakim untuk tidak memutuskan melebihi tuntutan disebut larangan ultra petitum. Hakim yang melanggar ketentuan tersebut dianggap telah melampaui wewenang (ultra virus). Tindakan tersebut invalid (cacat) dan tidak sah (illegal) sekalipun dilakukan dengan ihtikad baik (goodfaith) dan sesuai dengan kepentingan umum (publik interest). Hakim yang melakukan ultra virus merupakan pelanggaran terhadap prinsip the rule of law, yaitu prinsip tindakan apa pun harus sesuai dengan hukum dan prinsip siapa pun tidak boleh melakukan tindakan melawan hukum.

3. Putusan hakim diucapkan di muka umum.

Prinsip peradilan terbuka ini untuk umum, mulai dari awal pemeriksaan perkara sampai putusan dijatuhkan, merupakan bagian dari asas fair trial. Menurut asas fair trial, pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir. Dalam literatur hal tersebut disebut the open justice principle. Tujuannya adalah untuk menjamin proses peradilan yang terhindar dari perbuatan tercela (misbehavior) dari pejabat peradilan. Melalui prinsip terbuka untuk umum, persalinan dianggap memiliki efek pencegah terjadinya proses peradilan yang berat sebelah atau diskriminasi. Prinsip pemeriksaan dan putusan yang diucapkan secara terbuka ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 yang mengatakan bahwa putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dalam kasus-kasus tertentu di mana undang-undang membenarkan pemeriksaan secara tertutup, misalnya dalam bidang perceraian (Pasal 39 ayat [3] UU No. 1 Tahun 1974) yang telah diubah menjadi UU No. 16 Tahun 2019. Untuk melindungi nama baik suami-istri dalam pergaulan masyarakat, maka pembacaan putusan harus dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 34 UU No. 1 Tahun 1974). Jadi, menyangkut pengucapan putusan, harus dilakukan di persidangan, yakni di ruang sidang pengadilan. [2]

Download File Doc 

Referensi
-----------
1. Ateng Afandi dan Wahyu Afandi, Tentang Melaksanakan Putusan Hakim Perdata, (Bandung: Alumni, 1983), h. 10..
2. Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata: tahap-tahap penyelesaian perkara perdata, (Bandung: Nuansa Aulia, 2011), h. 273-275.

0 komentar:

Post a Comment