Ulasan Lengkap : Tentang 'Ariyah (Pinjam-Meminjam)
Menurut etimologi, al-ariyah berarti sesuatu yang dipinjam, pergi, dan kembali atau beredar. Sedangkan menurut terminologi fiqih, ada dua definisi yang berbeda. Pertama, Ulama Maliki dan Hanafi mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat sesuatu tanpa ganti rugi. Kedua, Ulama Syafi’i dan Hambali mendefinisikannya dengan kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi. Kedua definisi ini membawa akibat hukum yang berbeda. Definisi pertama membolehkan peminjam meminjamkan barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga. Sedangkan definisi kedua tidak membolehkan. ’Ariyah merupakan sarana tolong-menolong antara orang yang mampu dengan yang tidak mampu.[1]
b. Dasar Hukum 'Ariyah
1. Al-Qur’an
QS. al-Maidah (5): 2:
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Terjemah :
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.
HR. Bukhari dan Muslim:
Dari Shafwan Ibnu Umaiyah: Rasulullah saw meminjam kuda Abi Talhah dan mengendarainya.
HR. Abu Daud:
Dari Shafwan, ”Rasulullah saw meminjam baju perang Abu Shafwan, lalu ia mengatakan: apakah hal ini merupakan pemakaian tanpa izin wahai Muhammad? Rasul menjawab: ”tidak, ini saya pinjam dengan jaminan. ”
HR. Abu Daud dan At-Tirmizi:
Ariah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.
c. Ketentuan 'Ariyah
Para ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan hukum asal akad. Apakah bersifat pemilikan terhadap manfaat atau hanya sekadar kebolehan memanfaatkannya. Ulama Hanafi dan Maliki mengatakan, bahwa ’ariyah merupakan akad yang menyebabkan peminjam memiliki akad yang dia pinjam. Peminjaman itu dilakukan secara sukarela, tanpa imbalan dari pihak peminjam. Oleh sebab itu, peminjam berhak meminjamkan barang itu kepada orang lain untuk dimanfaatkan, karena manfaat barang itu telah menjadi miliknya, kecuali pemilik barang membatasi pemanfaatannya untuk peminjam saja.
Sedangkan Ulama Syafi’i, Hambali, dan Abu al Hasan al Karkhi, pakar fiqih Hanafi, berpendapat, bahwa ’ariyah hanya bersifat kebolehan memanfaatkan benda, sehingga pemanfaatannya hanya terbatas bagi pihak peminjam. Namun seluruh ulama fiqih sepakat, bahwa pihak peminjam tidak boleh menyewakannya kepada pihak lain.
Menurut jumhur ulama pemanfaatan barang oleh peminjam terbatas pada sejauh mana izin pemanfaatan yang diberikan oleh pemiliknya. Sedangkan, Ulama Hanafi membedakan antara ’ariyah yang bersifat mutlak dan yang bersifat terbatas. Apabila peminjaman dilakukan secara mutlak berarti peminjam berhak untuk memanfaatkan barang itu sesuai dengan keinginannya. Namun, bila pemanfaatan barang itu menurut adat kebiasaan setempat telah melampaui batas dan barang menjadi rusak, maka kerusakan harus ditanggung oleh peminjam, baik rusak disebabkan pemanfaatannya sendiri maupun karena pemanfaatan oleh orang lain yang ia beri izin. Apabila peminjaman bersifat terbatas, maka peminjam terikat dengan syarat-syarat yang ditentukan pemilik itu. Apabila syarat-syarat itu tidak ia laksanakan, maka segala risiko kerugian barang pinjaman itu menjadi tanggungan peminjam.
Dalam hal pembatalan secara sepihak oleh pemilik barang terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Ulama Hanafi,
Syafi’i, dan Hambali, berpendapat bahwa akad ’ariyah sifatnya tidak mengikat bagi kedua belah pihak sehingga pemilik barang boleh saja membatalkan pinjaman itu kapan saja ia mau, dan pihak peminjam boleh saja memulangkan barang itu kapan saja ia kehendaki tanpa membedakan peminjaman bersifat mutlak atau terbatas. Ulama Maliki berpendapat, bahwa pihak yang meminjamkan barang tidak dapat mengambil barangnya sebelum dimanfaatkan oleh peminjam. Apabila akad ’ariyah memiliki batas waktu pemanfaatan, maka pemilik barang tidak dapat meminta kembali barangnya sebelum tenggang waktu peminjaman jatuh tempo.
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai sifat akad ’ariyah. Menurut Ulama Hanafi, ’ariyah di tangan peminjam bersifat amanah. Peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap kerusakan barang yang bukan disebabkan perbuatannya atau kelalaiannya dalam memanfaatkan barang itu. Namun, apabila kerusakan disengaja atau karena kelalaian peminjam, maka ia dikenakan ganti rugi.
Ulama Hambali berpendapat, bahwa ’ariyah mempunyai risiko ganti rugi, baik disebabkan perbuatan peminjam maupun disebabkan hal lain. Namun, bila yang dipinjam adalah barang-barang yang sifatnya untuk kemaslahatan umum dan dalam pemanfaatan terjadi kerusakan tanpa sengaja dari peminjam, maka ia tidak dikenakan ganti rugi.
Ulama Maliki menyatakan apabila barang yang dipinjamkan itu dapat disembunyikan, lalu peminjam mengatakan barang itu hilang atau hancur sedangkan ia tidak dapat membuktikannya, maka ia dikenakan ganti rugi. Apabila barang itu tidak dapat disembunyikan, maka tidak dikenakan ganti rugi atas kerusakan itu.
Menurut Ulama Syafi’i, apabila kerusakan barang disebabkan pemanfaatan yang tidak disetujui pemilik barang, maka peminjam dikenakan ganti rugi. Akan tetapi, apabila kerusakan terjadi dalam batas pemanfaatan yang diizinkan pemiliknya, maka peminjam tidak dikenakan ganti rugi.
Menurut Hanafi, akad ’ariyah yang semula bersifat amanah boleh berubah menjadi akad yang dikenakan ganti rugi dalam hal sebagai berikut:
- barang itu secara sengaja dimusnahkan atau dirusak;
- barang itu disewakan atau tidak dipelihara sama sekali;
- pemanfaatan barang pinjaman itu tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku atau tidak sesuai dengan syarat yang disepakati bersama; dan
- pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan sejak semula dalam akad.[2]
------------
[1] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 238.
[2] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 240-244.
0 komentar:
Post a Comment