Monday, June 22, 2020

PENGGOLONGAN AKAD



Akad secara garis besar berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini berdasarkan asas (dasar), tujuan, ketentuan, sifat, dan hukum-hukum yang ada dalam akad-akad itu sendiri. Masing-masing golongan akad kadang-kadang dikumpulkan dalam satu kelompok, walaupun ada perbedaan-perbedaan antara satu dengan yang lain. Para ulama fiqih mengemukakan, bahwa akad dapat diklasifikasikan dalam berbagai segi. Antara lain dilihat dari penjelasan berikut ini.
a. Penggolongan akad dilihat dari segi keabsahannya menurut syara' 
Dilihat dari segi keabsahannya menurut syara' maka akad terbagi dua, akad sahih dan akad tidak sahih. [1]
1. Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlaku seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. Akad yang sahih menurut Ulama Hanafi dan Maliki terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
a) Akad nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
b) Akad mawquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad itu,
Seperti akad yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayyiz. Dalam kasus seperti ini akad itu baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum apabila jual beli itu diizinkan oleh wali anak kecil itu. Contoh lain dari akad mawquf ini adalah yang disebut dalam fiqih dengan ’aqad al-fudhuli, yaitu akad yang keabsahannya berlaku bila telah mendapat persetujuan dari pemilik aslinya (yang diwakili). Misalnya, A memberi uang sebesar Rp 1.000.000 kepada B untuk membeli seekor kambing. Ternyata di tempat penjual kambing, jumlah uang tersebut dapat membeli dua ekor kambing, sehingga B membeli dua ekor kambing. Keabsahan akad jual beli dua ekor kambing ini amat tergantung kepada persetujuan, karena B diperintahkan hanya membeli seekor kambing. Apabila A menyetujui akad yang telah dilaksanakan B, maka jual beli itu menjadi sah. Jika tidak disetujui A, maka jual beli itu tidak sah. Akan tetapi, ulama Syafi’i dan Hambali menganggap jual beli mawquf itu sebagai jual beli yang batil.
2. Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. Ulama Hanafi membagi akad yang tidak sahih itu menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
a) Akad batil yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari syara’. Misalnya, objek jual beli itu tidak jelas atau terdapat unsur tipuan, seperti menjual ikan dalam lautan atau salah satu pihak yang berakad tidak cakap bertindak hukum.
b) Akad fasid, adalah akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misalnya, menjual rumah atau kendaraan yang tidak jelas tipe, jenis, dan bentuk rumah yang dijual, sehingga menimbulkan perselisihan antara penjual dengan pembeli. Jual beli ini bisa dianggap sah jika unsur-unsur yang menyebabkan ke-fasad-annya itu dihilangkan, misalnya dengan menjelaskan tipe, jenis, bentuk rumah yang dijual.
Akan tetapi, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa akad yang batil dan akad yang fasid mengandung esensi yang sama, yaitu tidak sah dan akad itu tidak mengakibatkan akad hukum apa pun.
b. Penggolongan akad dilihat dari segi penamaannya 
Dilihat dari segi penamaannya para ulama fiqih membagi akad menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:[2]
1. Akad musammah, yaitu akad yang ditentukan nama-namanya oleh syara' serta dijelaskan hukum-hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, perikatan, hibah, wakalah, wakaf, hiwalah, ji’alah, wasiat, dan perkawinan.
2. Akad ghair musammah, yaitu akad yang penamaannya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan tempat, seperti istishna’, bai’ al-wafa’, dan lain-lain.
c. Penggolongan akad dilihat dari segi disariatkannya akad atau tidak 
Dilihat dari segi disariatkannya akad atau tidak terbagi dua yaitu sebagai berikut:[3]
1. Akad musyara’ah, yaitu akad-akad yang dibenarkan syara’, umpamanya jual beli, jual harta yang ada harganya dan termasuk juga hibah, dan rahn (gadai).
2. Akad mamnu’ah yaitu akad-akad yang dilarang syara’, seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan.
d. Penggolongan akad dilihat dari sifat bendanya
Dilihat dari sifat bendanya akad dibagi dua, yaitu sebagai berikut:[4]
1. Akad ’ainiyah, yakni akad yang disyaratkan kesempurnaannya dengan melaksanakan apa yang diakadkan itu. Misalnya, benda yang dijual diserahkan kepada yang membeli.
2. Akad ghairu ’ainiyah, yaitu akad yang hasilnya semata-mata berdasarkan akad itu sendiri. Misalnya, benda yang sudah di wakafkan otomatis menjadi benda wakaf.
e. Penggolongan akad dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad
Dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad. Dari sudut ini, dibagi dua pula:[5]
1. Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu. Misalnya, pernikahan yang harus dilakukan di hadapan para saksi, akad yang menimbulkan hak bagi seseorang atas tanah, yang oleh undang-undang mengharuskan hak itu dicatat di kantor agraria.
2. Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Misalnya, jual beli yang tidak perlu di tempat yang ditentukan dan tidak perlu di hadapan pejabat.
f. Penggolongan akad Dilihat dari dapat tidaknya dibatalkan akad. 
Dilihat dari dapat tidaknya dibatalkan akad. Dari segi ini akad dibagi empat macam:[6]
1. Akad yang tidak dapat dibatalkan, yaitu ’aqduzziwaj. Akad nikah tak dapat dicabut, meskipun terjadinya dengan persetujuan kedua belah pihak. Akad nikah hanya dapat diakhiri dengan jalan-jalan yang ditetapkan oleh syariat, seperti talak, khulu’, atau karena keputusan hakim.
2. Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak, seperti jual beli, shulh, dan akad-akad lainnya.
3. Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak pertama. Misal, rahn dan kafalah merupakan keharusan bagi si rahin dan si kafil, tidak merupakan keharusan oleh si murtahin (orang yang memegang gadai) atau si makful lahu (orang yang memegang tanggungan). Si murtahin boleh melepaskan rahn kapan saja dia kehendaki.
4. Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak yang kedua, yaitu seperti: wadi’ah, ’ariyah, dan wakalah.
g. Penggolongan akad dilihat dari segi tukar-menukar hak
Dilihat dari segi tukar-menukar hak. Dari segi ini akad dibagi tiga:[7]
1. Akad mu’awadah, yaitu: akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik, seperti jual beli, sewa menyewa, shulh terhadap harta dengan harta.
2. Akad tabarru ’at, yaitu akad-akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan, seperti hibah dan ’ariyah.
3. Akad yang mengandung tabarru’ pada permulaan tetapi menjadi mu’awadah pada akhirnya, seperti qard dan kafalah. Qard dan kafalah ini permulaan adalah tabarru’, tetapi pada akhirnya menjadi mu’awadah ketika si kafil meminta kembali uangnya kepada si madin.
h. Penggolongan akad dilihat dari keharusan membayar ganti dan tidak
Dilihat dari keharusan membayar ganti dan tidak. Maka dari segi ini dibagi tiga golongan:[8]
1. Akad dhamanah, yaitu tanggung jawab pihak kedua sesudah barang-barang itu diterimanya. Seperti jual beli, qard menjadi dhaman pihak yang kedua sesudah barang itu diterimanya. Kalau rusak sebelum diserahkannya, maka tanggung jawab dipikul oleh pihak yang pertama. Pihak pertama harus mengganti kerugian pihak yang kedua atau mengembalikan harga.
2. Akad amanah, yaitu tanggung jawab dipikul oleh yang empunya, bukan oleh yang memegang barang. Misal, syirkah, wakalah.
3. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang mengharuskan dhamanah, dan dari segi yang lain merupakan amanah, yaitu: ijarah, rahn, shulh.
i. Penggolongan akad dilihat dari segi tujuan akad 
Dilihat dari segi tujuan akad dibagi menjadi 4 golongan:[9]
1. Yang tujuannya tamlik (untuk memperoleh sesuatu), seperti jual beli, mudharabah.
2. Yang tujuannya mengokohkan kepercayaan saja, seperti rahn dan kafalah. Akad itu dilakukan untuk menambah kepercayaan si dai  atau si murtahin.
3. Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah, wasiyat.
4. Yang tujuannya memelihara, yaitu: wadi’ah.
j. Penggolongan akad dilihat dari segi waktu berlakunya
Dilihat dari segi waktu berlakunya terbagi dua yaitu sebagai berikut:[10[
1. Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama. Misalnya, jual beli walaupun dengan harga yang ditangguhkan. Demikian pula shulh, qard, dan hibah. Semua akad ini dipandang telah selesai apabila masing-masing pihak telah menyempurnakan apa yang dikehendaki oleh akad.
2. Akad mustamirrah, dinamakan juga ’akad zamaniyah, yaitu akad yang pelaksanaannya memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Contohnya: ijarah, ’ariyah, wakalah, dan syirkah. Pelaksanaan akad-akad ini adalah dengan selesai digunakannya manfaat yang disewa, atau yang dipinjam, atau dilaksanakan tugas-tugas perkongsian.
k. Penggolongan akad dilihat dari ketergantungan denhan yang lain
Dilihat dari ketergantungan denhan yang lain. Akad dari segi ini dibagi dua juga, yaitu sebagai berikut.
1. Akad asliyah, yaitu akad yang berdiri sendiri, tidak memerlukan adanya sesuatu yang lain, misalnya jual beli, ijarah, wadi’ah, ’ariyah.
2. Akad tab’iyah, yaitu akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena memerlukan sesuatu yang lain, seperti: rahn dan kafalah. Rahn tidak dilakukan apabila tidak ada utang.
l. Penggolongan akad dilihat dari maksud dan tujuannya akad 
Dilihat dari maksud dan tujuannya akad terbagi atas dua jenis, yaitu sebagai berikut:[11]
1. Akad tabarru’, yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharap ridha dan pahala dari Allah, sama sekali tidak ada unsur mencari ”return” ataupun motif. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Hibah, Wakaf, Wasiat, Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, dan Qirad.
2. Akad tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan berdasarkan rukun dan syarat yang harus dipenuhi semuanya. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah, Salam, Istishna’ dan Ijarah Muntahiya Bittamlik serta Mudharabah dan Musyarakah.

Download File Doc

Referensi
------------
[1]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 238.
[2]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet. 3, edisi. 2, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 108.
[3]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 109.
[4]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 110.
[5]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 110.
[6]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 111.
[7]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 112.
[8]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 113.
[9]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 114.
[10]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, h. 115.
[11]Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan & peransuransian Syariah di Indonesia, cet. 1, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 19.

0 komentar:

Post a Comment