Thursday, June 18, 2020

ULASAN LENGKAP : TENTANG PETITUM


Download File Doc
Petitum adalah uraian tentang hal-hal yang diinginkan atau dimohonkan atau yang dituntut supaya diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, petitum memuat tuntutan atau isi pokok gugatan atau permohonan penggugat kepada pengadilan untuk dinyatakan atau ditetapkan sebagai hak atau hukuman kepada penggugat atau perumusan tentang tuntutan penggugat/para penggugat kepada tergugat/para tergugat atau turut tergugat. Istilah yang sama dengan petitum dinamakan conclusum (pokok tuntutan), berarti apa yang dituntut; onderwerp der eis (pokok tuntutan). Selain itu, disebut juga dengan istilah petition atau duidelijke en bepaalde conclusie.
Karena petitum merupakan isi dari gugatan, maka petitum merupakan bagian penting dalam suatu gugatan, karena itu, harus diperhatikan kesinkronan petitum dengan fundamentum fetendi (posita) dan petitum harus jelas dan dirinci satu per satu yang dibuat di akhir gugatan. Apabila tidak sinkron, tergugat dapat mengajukan eksepsi atau tangkisan kepada penggugat dengan alasan ketidakjelasan atau obcuur libel. Jadi, tuntutan yang tidak jelas atau tidak sempurna bisa berakibat tidak diterimanya gugatan karena obscuur libel dan tidak sempurna. Oleh karena itu, hakim wajib terikat pada petitum.
Menurut Pasal 178 HIR, hakim wajib mengadili semua bagian dari petitum dan dilarang untuk lebih dari apa yang diminta. Apabila putusan hakim melebihi dari yang dituntut, putusan hakim tersebut dapat dibatalkan pada tingkat kasasi.
Petitum dapat dirinci menjadi dua macam, sebagai berikut:
Tuntutan primair (petitum primair), merupakan tuntutan pokok (principal), misalnya tuntutan kepada tergugat menyerahkan barang yang dibeli, tuntuan meminta kepada hakim sebagai pemilik yang sah, tuntutan agar tergugat membayar ongkos perkara, atau tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih dahulu.
BACA JUGA TENTANG 
Tuntutan subsidair (petitum subsidair), merupakan tuntutan pengganti apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim. Lazimnya dirumuskan, ”Mohon keadilan yang seadil-adilnya (ex aeque et bono)”. Baik petitum primair maupun petitum subsidair samasama dirinci. Dalam penerapannya kedua-duanya tidak sama. Petitum primair mutlak diterapkan oleh hakim secara alternatif. Oleh karena itu, hakim dalam mengambil dan menjatuhkan putusarmya memilih apakah petitum primair atau subsidair; tidakboleh mencampur-adukkannya, misalnya mengambil sebagian dari petitum primair dan sebagian dari petitum subsidair. Petitum subsidair bersifat alternatif atau tidak mutlak. Hakim bebas mengambil seluruh atau semua petitum primair dan mengesampingkan petitum subsidair. Dalam praktik peradilan aneka ragam tuntutan atau petitum dikatagorikan sebagai petitum ”primair” dan ”subsidair” atau dengan formulasi ”dalam provisi”, dalam pokok perkara/ primair dan subsidair, atau hanya terdiri dari tuntutan primair tanpa tuntutan subsidair.
Di lihat dari tingkatannya, menurut A. Ridwan Halim, petitum dapat dibedakan sebagai berikut.[1]

  1. Tuntutan menurut tingkatannya: primair dan subsidair.
  2. Tuntutan menurut proses dan kualitas: tuntutan provisional dan tuntutan induk yang terdiri atas tuntutan pokok dan tuntutan tambahan. Tuntutan primair adalah tuntutan yang merupakan tuntutan pokok awal yang diajukan. Tuntutan subsidair adalah tuntutan pokok yang diajukan di samping tuntutan primair yang pada dasarnya lebih berfungsi sebagai tuntutan”cadangan” yang diusahakan agar dapat dikabulkan bila tuntutan primair ditolak.
  3. Tuntutan menurut proses dan kualitasnya: Tuntutan provisional dan tuntutan induk yang terdiri atas tuntutan pokok dan tambahan.
  4. Tuntutan provisional, yaitu tuntutan agar dilakukan tindakan-tindakan tertentu secara lebih dulu, sementara tuntutan induk sedang dalam proses pemeriksaan dan pertimbangan. Tuntutan induk, yaitu tuntutan keseluruhan yang sebenarnya menjadi pokok masalah dalam perkara yang bersangkutan, yang pada dasarnya terdiri atas tuntutan pokok, yaitu hal atau inti yang menjadi isi dari tuntutan tersebut. Tuntutan tambahan, yaitu tuntutan lainnya yang merupakan penyerta atau tambahan yang masih erat hubungannya dengan tuntutan pokok.
  5. Tuntutan menurut maksudnya: (1) supaya pihak lawan melakukan sesuatu, (2) supaya pihak lawan tidak melakukan sesuatu, dan (3) campuran antara a dan b.
  6. Menurut wujud/maknanya: tuntutan materiil, tuntutan immateriil, dan campuran a dan b. Tuntutan materiil, yaitu tuntutan yang berupa penyerahan kebendaan atau tuntutan yang tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat bendawi atau sesuatu yang harganya dapat diukur/ditukar dengan uang. Tuntutan immateriil, yaitu tuntutan yang tujuannya untuk mendapatkan sesuatu yang tidak bersifat bendawi atau sesuatu yang nilainya tidak dapat diukur dengan uang.
  7. Tuntutan menurut sumber timbulnya: tuntutan praktis dan tuntutan pengandaian. Tuntutan praktis, yaitu tuntutan yang secara langsung didasarkan atas fakta keadaan yang sudah dihadapi. Tuntutan pengandaian, yaitu tuntutan yang timbulnya tergantung pada terpenuhi atau tidaknya persyaratan yang diandaikan sebagai sumber timbulnya tuntutan itu.
  8. Tuntutan menurut urutan timbulnya: tuntutan awal (dalam konvensi) dan tuntutan balasan (dalam rekonvensi). Tuntutan awal, yaitu tuntutan yang timbul pertama kali sebagai awal proses pemeriksaan dan pengadilan perkara yang bersangkutan di pengadilan. Tuntutan balasan, yaitu tuntutan yang timbul kemudian dari pihak tergugat dalam konvensi sebagai tuntutan balasan terhadap tuntutan awal tersebut di atas.
  9. Tuntutan menurut sasarannya: tuntutan terhadap tergugat tunggal, tuntutan terhadap secara masing-masing dan secara tangung renteng, dan tuntutan terhadap beberapa tergugat.
  10. Tuntutan menurut sifat hubungan antar tuntutan: tuntutan alternatif dan tuntutan kumulatif. Tuntutan alternatif, yaitu tuntutan yang jumlahnya lebih dari satu dan pemenuhannya berupa suatu pihak salah satu atau beberapa saja di antaranya. Tuntutan kumulatif, yaitu tuntutan yang jumlahnya lebih dari satu dan semuanya dipenuhi sebagai suatu penjumlahan.
Di lihat dari isinya, petitum gugatan dapat dikelompokkan sebagai berikut.

  1. Petitum declaratoir, artinya petitium yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan keabsahan. Misalnya, menyatakan perjanjian yang dibuat antara penggugat dan tergugat adalah sah.
  2. Petitum konstitutif, artinya petitum yang isinya bersifat untuk menciptakan atau meniadakan suatu keadaan hukum. Misalnya menyatakan penggugat dan tergugat adalah ahli waris sah dari almarhum (menciptakan); menyatakan bahwa hubungan ikatan perkawinan antara penggugat dengan tergugat putus karena perceraian. 
  3. Petitum comdemnatoir, artinya petitum yang isinya bersifat hukuman yang dapat dipaksakan dengan cara eksekusi.
  4. Petitum provisionil, artinya petitum yang isinya bersifat permintaan kepada hakim agar diadakan tindakan pendahuluan selama proses pemeriksaan perkara berlangsung, misalnya penangguhan pembangunan rumah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
  5. Petitum alternatif, artinya petitum yang isinya bersifat pilihan dengan memberi kesempatan kepada hakim untuk melakukan pilihan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam praktik biasanya ada dua pilihan dan kadang-kadang tiga pilihan dengan model primair dan subsidair atau ex aequo et bono.
Di dalam membuat petitum, menurut Achmad Fauzan, yang penting dan harus menjadi perhatian adalah hal-hal berikut.[2]

  1. Kesesuaian/sinkroninisasi dengan posita, intinya alasan-alasan yang diuraikan dalam posita-lah yang harus digunakan sebagai dasar untuk mengajukan permintaan. Misalnya, uraian dalam posita sudah berdasar hukum sehingga petitum pertama yang diminta adalah mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya; uraian membuktikan bahwa tergugat telah menguasai tanah sengketa tanpa alas hak yang sah, sehingga petitum yang diminta menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
  2. Tidak kontradiksi, artinya petitum tidak boleh kontradiksi dengan posita maupun dengan bagian petitum lainnya. Misalnya, di dalam posita diuraikan tentang tergugat telah menguasai tanah sengketa tanpa alasan hak yang sah, sehingga merupakan perbuatan yang melawan hukum. Akan tetapi di dalam petitum lupa tidak disebutkan adanya perbuatan melawan hukum tergugat, misalnya dengan formulasi kalimat, ”Menyatakan bahwa tanah sengketa milik sah Penggugat. Menghukum Tergugat untuk menyerahkan tanah sengketa kepada Penggugat”.
  3. Orang yang ditetapkan dalam petitum harus sebagai pihak dalam perkara. Misalnya, menyatakan bahwa penggugat dan tergugat yang bernama Amin adalah ahli waris yang sah dari suami-istri almarhum dan almarhumah Jalil dan Romlah yang berhak atas harta peninggalannya, yaitu barang sengekata, padahal Amin tidak memihak dalam perkara.
  4. Petitum harus jelas dan tegas, artinya apa yang diminta harus jelas sehingga tidak membingunkan. Misalnya, menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, padahal seharusnya disebutkan beberapa yang diminta penggugat, misalnya menetapkan hak Penggugat atas tanah sengketa adalah setengah bagian.
  5. Petitum tidak boleh bersifat negatif, artinya berisi perintah untuk tidak berbuat. Misalnya, menghukum tergugat untuk tidak berbuat tindakan-tindakan yang bersifat merusak agunan sengketa.
  6. Petitum harus runtut dan disusun sesuai dengan poin-poin posita serta diberi nomor urut. 
Hal yang perlu diperhatikan adalah antara fundamentum petendi (posita) dan petitum harus ada hubungannya, artinya uraian dalam petitum harus didukung oleh posita. Apabila petitum tidak didukung oleh posita, gugatan menjadi kabur dan akan berakibat gugatan ditolak/tidak diterima. ‘

0 komentar:

Post a Comment