Wednesday, June 17, 2020

ULASAN LENGKAP : TENTANG POSITA ATAU FUNDAMENTUM PETENDI




Yang dimaksud dengan fundamentum petendi adalah dasar gugatan atau dasar tuntutan (grondslag van delis) yang memuat tentang adanya hubungan hukum di antara pihak-pihak yang beperkara dan sebagai landasan pemeriksaan dan penyelesaian perkara. Dengan kata lain, posita adalah suatu uraian jelas mengenai hal-hal yang menjadi dasar atau alasan hukum dari pengajuan gugatan atau latar belakang (dasar fakta) diajukannya gugatan. Istilah lain yang sering digunakan dalam praktik disebut positum atau bentuk jamak disebut posita gugatan dan dalam bahasa Indonesia disebut dalil gugatan.
Dalam merumuskan fundamentum petendi atau posita dapat didasarkan pada sustantieseringstheori dan individualiseringtheori. Substantiseringtheori, menjelaskan bahwa gugatan selain menguraikan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menguraikan kejadian-kejadian nyata. Adapun individualiseringtheori menyelesaikan bahwa dalam gugatan itu cukup diuraikan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya fakta nyata yang menyebabkan timbulnya peristiwa atau kejadian-kejadian tersebut. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman praktik peradilan, kedua teori itu digabung untuk menghindari terjadinya perumusan gugatan yang kabur/gugatan gelap atau obscuur libel. [1]
Fundamentum petendi memuat 2 (dua) unsur berikut ini. 
  1. Dasar fakta (feitelijk grond), yaitu uraian tentang kejadian-kejadian materiil peristiwa hukum sebagai penjelasan duduk perkaranya (alasan-alasan berdasarkan keadaan). Penegasan atau penjelasan yang dimaksud adalah pernyataan mengenai fakta atau peristiwa yang berkaitan langsung dengan atau hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan materi atau objek perkara maupun pihak tergugat atau penjelasan fakta yang langsung berkaitan dengan hukum atau hubungan hukum yang didalilkan penggugat.
  2. Dasar hukum (rechtelijk grond, legal grond), yaitu uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis gugatan (alasan-alasan berdasarkan hukum). Hubungan hukum yang dimaksud adalah hubungan hukum antara penggugat dengan materi atau objek yang disengketakan dan hubungan antara penggugat dengan tergugat mengenai materi atau objek perkara.
Secara faktual dan praktik peradilan fundamentum petendi (posita) memuat hal-hal sebagai berikut.
  1. Objek perkara/gugatan, yaitu berupa uraian mengenai hal yang menjadi pokok sengketa sebagai dasar atau alasan hukum diajukannya kepada ketua PN yang berwenang, misalnya dalam sengketa perkawinan, hak cipta, jual beli, sewa beli, perjanjian, wanprestasi, dan lain-lain. Bila objek perkara menyangkut benda tetap, gugatan yang diajukan harus terinci baik cara memperolehnya, luasnya, dan batas-batasnya secara tegas dan tepat serta hubungan benda tersebut dengan penggugat. Apabila objeknya benda tidak tetap harus diuraikan ciri-ciri, nomor, jenis, cara memperolehnya, dan lain-lain. Perincian tersebut dalam gugatan sangat penting dan sangat diperlukan. Tanpa objek perkara yang menjadi sengketa, maka perkara tidak dapat diadili. Apabila perinciannya tidak jelas dan terang, berakibat gugatan tidak dapat diterima. Objek perkara banyak macamnya, dapat berupa barang bergerak, tidak bergerak, dan dapat juga berupa barang bergerak yang masih akan didapat atau belum dipegang tangan. Untuk objek perkara/gugatan barang bergerak, misalnya tanah dan bangunan, maka untuk mengajukan gugatan harus menguraikan secara lengkap tentang letak objek secara lengkap dan tegas, batas-batas tanah dan bangunannya, termasuk luasnya, serta surat bukti dan nama pemegang hak. Batas-batas tanah yang disebutkan dalam gugatan harus sama dengan kenyataan di lapangan. Orang yang secara nyata menguasai dan menghaki tanah dan bangunan harus ditarik sebagai pihak penggugat. Jenis bangunan harus disebutkan, misalnya bertingkat dua, berlantai keramik, beratap genting, bahannya terbuat dari kayu apa, dan sebagainya. Hasil tanaman dari tanah dan bangunan harus dibuat secara rinci. Apabila gugatannya menuntut ganti rugi dapat menghasilkan nilai sebesar tertentu. Kalau objek perkara menyangkut barang bergerak, dalam jenis apa pun pada prinsipnya harus disebukan secara lengkap dan terinci, sehingga dapat terhindar dari adanya kemungkinan mengenai salah objek.
  2. Fakta-fakta hukum, yakni meliputi penguraian terhadap asal muasal penyebab sengketa, seperti adanya perbuatan melawan hukum atau perbuatan melawan hukum oleh penguasa, cidera janji yang timbul antara penggugat dengan tergugat, utang piutang, warisan, dan lain-lain. 
  3. Kualifikasi perbuatan tergugat/para tergugat atau turut tergugat baik yang bersifat formal atau materiil. Kualifikasi perbuatan tersebut adalah melanggar undang-undang, perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya, wanprestasi, dan lain-lain atau hal yang bertentangan dengan kebiasaan, adat-istiadat, kesusilaan, dan lain-lain.
  4. Penguraian dan penjabaran anasir kerugian dan permintaan lain sebagai akibat tindakan tergugat/para tergugat. Hal ini dapat dirinci berupa kalkulasi kerugian yang diderita, baik kerugian materiil maupun non materiil, adanya permintaan dwangson, bunga moratoir, permintaan sita jaminan, dan sebagainya.
Dengan demikian, dalam fundamentum petendi (posita) ada dua unsur yang sangat penting, yaitu dasar hukum dan dasar fakta. Dasar hukum maksudnya adalah hubungan antara penggugat dengan objek sengketa dan hubungan tergugat dengan objek sengketa. Adapun dasar fakta maksudnya adalah uraian tentang fakta yang terjadi dalam hubungan penggugat, tergugat, dan objek sengketa.
Fundamentum petendi (posita) harus disusun secara sistematik dan sedemikian rupa sesuai dengan kronologis perkara dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
  1. Etika, artinya menggunakan gaya bahasa yang sopan; tidak menyerang kehormatan atau merendahkan pihak lain, khususnya tergugat (lawan).
  2. Estetika, artinya menggunakan gaya bahasa yang indah, sehingga enak dibaca dan mudah dipahami, serta tidak monoton.
  3. Bahasa baku, artinya tidak menggunakan kalimat yang berbelit-belit dan/atau panjang, tetapi cukup sederhana, singkat, jelas, dan tegas.
  4. Memilih kata-kata yang tidak bermakna ganda sehingga dapat dihindari perbedaan penafsiran antara penggugat, tergugat, dan hakim.
  5. Konsisten dalam menggunakan istilah, artinya tidak menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk hal tertentu, misalnya tim 9 dan panitia IX, ketua, pimpinan, dan pemimpin, tanah sengketa, objek perkara, dan tanah terperkara, dan lan-lain.
  6. Sinkron, artinya tidak kontradiktif di antara bagian-bagian posita maupun dengan petitum.
  7. Menggunakan kalimat yang bermakna hubungan sebab-akibat (kausal), artinya fakta-fakta hukum yang ditampilkan dalam kalimat awal akan membawa akibat hukum yang diuraikan dalam kalimat berikutnya, misalnya ”Oleh karena Tergugat menguasai tanah sengketa tanpa dasar hak yang sah, maka perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum".
  8. Menyusun fundamentum petendi (posita) dengan menggunakan kronologi peristiwa hukum untuk memudahkan pemahaman yang runtut guna menyakinkan hakim akan dasar hak yang sah bagi penggugat dengan memberi nomor urut masing-masing alinea dan memberi nomor halaman untuk setiap lembar kertas yang digunakan. [2]
Download File Doc

Referensi
-----------
1. M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 58.
2. Achmad Fauzan dan Suhartanto, Tentang Melaksanakan Putusan Hakim Perdata di Pengadilan Negeri,  (Bandung: Yrama Widya, 2007), h. 60-61.

0 komentar:

Post a Comment