Thursday, February 28, 2019

FREEDOM FROM EX POST FACTO LAW


Oleh Bagir Manan, Freedom From ex Post Facto Law (sebuah perkenalan) dalam Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXX No. 356 Juli 2015, h. 5-6)
Freedom from ex post facto law (bebas dari hukum yang berlaku surut), atau lebih sempit: “freedom from ex post facto laws" (bebas dari undang-undang yang berlaku surut), atau secara singkat disebut: ex post facto law, yaitu “a law that impermissibility applies retroactively” (hukum tidak boleh diterapkan berlaku surut). Ungkapan ini terutama sebagai asas hukum pidana. Dalam bidang hukum keperdataan dimungkinkan suatu kaidah diterapkan berlaku surut (lihat, Black’s Law Dictionary).
BACA JUGA PERBEDAAN PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA
BACA JUGA MACAM-MACAM EKSEKUSI DALAM BIDANG PERDATA
Dalam Black’s Law Dictionary diuraikan mengenai dua kategori retroaktif: Pertama; retroaktif murni (true retroactive), yaitu: “application wich was completed before the rule was promulgated” (menerapkan suatu ketentuan hukum baru terhadap suatu peristiwa atau transaksi yang telah (selesai) dilakukan sebelum ketentuan hukum tersebut ditetapkan atau diundangkan) . Kedua; kuasi retroaktif (quasi retroactive), yaitu: “a new rule of law is applied to an act or transaction in the process of completion” (suatu ketentuan hukum baru, diterapkan pada peristiwa atau transaksi yang sedang dalam proses). Kuasi retroaktif berpeluang dalam hubungan keperdataan, seperti proses membuat perjanjian. Tidak mudah diterapkan, bahkan tidak mungkin diterapkan dalam suatu perbuatan atau peristiwa pidana. Sesuatu peristiwa, atau tindakan, atau perbuatan akan disebut sebagai peristiwa pidana, karena sudah selesai dilakukan. Merencanakan suatu perbuatan pidana bukan merupakan suatu peristiwa pidana. Tindakan permulaan melakukan tindak pidana baru (itu pun kemungkinan) sebagai “percobaan melakukan perbuatan pidana” belum menjadi suatu peristiwa pidana. Mungkin saja suatu percobaan melakukan tindak pidana dilakukan dalam waktu bersamaan dengan pengesahan suatu undang-undang, tetapi hal semacam itu lebih banyak sebagai konstruksi konseptual daripada suatu kenyataan.
Ex post facto artinya “berlaku surut”. Freedom from, ex post facto laws artinya “bebas dari undang-undang yang berlaku surut” atau “larangan menetapkan atau menerapkan undang-undang secara berlaku surut”.
Sebagai norma hukum (hukum internasional atau hukum nasional), asas ini dilukiskan (dirumuskan) sebagai:
  1. Tidak seorang pun dapat dihukum, kecuali atas dasar aturan yang sudah ada pada saat perbuatan atau tindakan itu dilakukan (terjadi)”. Asas ini lazim diterjemahkan sebagai “larangan berlaku surut” atau “larangan retroaktif". Hukum hanya berlaku ke depan. 
  2. Apabila saat atau setelah suatu pelanggaran terjadi, kepada terdakwa akan dinyatakan bersalah menurut hukum yang lebih menguntungkan. Terdakwa sekali-sekali tidak boleh dikenai hukuman yang lebih berat. Asas ini sebagai pengecualian dari asas berlaku surut. Ketentuan baru sebagai pengganti ketentuan lama dapat serta merta diterapkan apabila menguntungkan terdakwa, misalnya ancaman hukuman yang lebih ringan, atau sekurang-kurangnya tidak boleh lebih berat dari ketentuan lama. Sepintas lalu, hal ini tampak sebagai semacam pilihan hukum (choice of law). Sekali-sekali tidak. Ajaran pilihan hukum memberi kebebasan untuk memilih hukum yang akan diterapkan. Di sini sama sekali tidak ada kebebasan memilih hukum. Hakim hanya boleh menerapkan ketentuan yang menguntungkan terdakwa (ketentuan lama atau ketentuan baru).
Bebas dari undang-undang berlaku surut atau larangan undang-undang berlaku surut merupakan asas hukum umum (general principles of law). Sebagai asas, bebas dari berlaku surut atau larangan berlaku surut merupakan sandaran yang tidak dapat dikesampingkan baik dalam pembentukan hukum (law making) maupun dalam penerapan hukum (law applying). Untuk lebih memperkuat kedudukan asas ini, tidak jarang ditegaskan atau dimuat sebagai kaidah hukum (legal norm). Walaupun dimuat sebagai kaidah hukum, tetapi karena merupakan asas, bebas dari undang-undang berlaku surut atau larangan undang-undang, senantiasa prevail terhadap kaidah-kaidah yang lain. Hal ini berlaku untuk semua asas hukum, baik asas hukum di bidang tertentu (seperti asas-asas dalam hukum perdata) maupun asas hukum umum.
BACA JUGA HUKUM PUBLIK & HUKUM PRIVAT 
BACA JUGA ACTIO POPULARIS VS TIGHT STANDING
Sebagai asas pemidanaan, asas bebas dari ex. post pacto laws, bukan sekadar sebagai konsep hukum (legal concept), tetapi sebagai konsep hak asasi manusia (human right concept) yang dapat dijumpai baik dalam Konstitusi (UUD) maupun undang-undang. Sebagai konsep hak asasi, asas bebas dari ex post pacto laws, didapati baik dalam tatanan (hukum) internasional maupun tatanan (hukum) nasional.
Sebagaimana yang telah dikemukakan, ahli-ahli hukum Indonesia lebih mengenai ungkapan: “nullum delictum” daripada “freedom from ex post facto laws” atau “ex post facto laws” (supra).
Sejarah hukum Indonesia menunjukkan, asas “larangan undang-undang berlaku surut" telah ada sejak masa Hindia Belanda.
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving in Indonesie (AB) (8.1847: 23) 
(1) Pasal 2 AB: “De wet verbind alleen voor het toekomende en heeft geene terugwerkende kracht” (Undang-undang hanya mengikat ke depan dan tidak mempunyai kekuatan berlaku surut).
(2) AB, Pasal 26: “Niemand mag tot straf vervolg of daartoe veroordeeld warden, dan op de wijze en in de gevallen bij de wettelijke bij de wet voorzien” (Tidak seorang pun dapat dituntut pidana atau dijatuhi pidana karena suatu perbuatan, kecuali dengan cara dan sesuai dengan yang telah diatur terlebih dahulu dalam undang-undang).
2. IS, Ps. 143: “Niemand mag tot straf vervolg of daartoe veroordeeld warden dan op de wijze en in de gevallen bij algemene vordering voorzien” (Tidak seorang pun dapat dituntut pidana atau dijatuhi pidana akibat suatu perbuatan, kecuali menurut cara dan sesuai dengan yang telah diatur terlebih dahulu dalam suatu peraturan umum). 
3. UUDS ‘50 dan Konstitusi RIS 
Dua konstitusi ini mengatur asas freedom from ex post facto laws dalam pasal dengan rumusan (bunyi) yang sama yaitu Pasal 14 ayat (2): “Tiada seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya". 
4. KUHPidana 
(1) Pasal 1 ayat (1) KUHPidana menyebutkan: “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu”. (geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegene wettelijke strafbepaling).
(2) Pasal 103: ‘Aturan ke depan bab yang pertama dalam buku ini boleh dilakukan juga atas perbuatan yang atasnya ditentukan hukuman menurut undang-undang lain, kecuali jika undang-undang, peraturan umum atau ordonansi menentukan lain”. (De bepalingen der eerste acht Titels van dit Boek zijn oak toepasselijk offeiten waarop bij andere wettelijke voorschriften straf is gedeeld, tenzij bij de wet. bij algemeene maatregel van bestuur of bij ordonantie anders is bepald).
Ketentuan dalam KUHPidana, Pasal 103, tidak langsung mengenai freedom from ex post facto laws, melainkan sebagai pasal penunjuk, bahwa semua ketentuan dalam KUHPidana, Buku I, berlaku juga ketentuan pidana dalam peraturan-peraturan lain, kecuali suatu undang-undang, peraturan pemerintah, atau ordonansi menentukan lain).

0 komentar:

Post a Comment