FREEDOM FROM EX POST FACTO LAW
Oleh Bagir Manan, Freedom From ex Post Facto Law (sebuah perkenalan) dalam Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXX No. 356 Juli 2015, h. 5-6)
Freedom from ex post facto law (bebas dari hukum yang berlaku
surut), atau lebih sempit: “freedom from ex post facto laws" (bebas
dari undang-undang yang berlaku surut), atau secara singkat disebut: ex
post facto law, yaitu “a law that impermissibility applies
retroactively” (hukum tidak boleh diterapkan berlaku surut). Ungkapan
ini terutama sebagai asas hukum pidana. Dalam bidang hukum keperdataan
dimungkinkan suatu kaidah diterapkan berlaku surut (lihat, Black’s Law
Dictionary).
BACA JUGA PERBEDAAN PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA
BACA JUGA MACAM-MACAM EKSEKUSI DALAM BIDANG PERDATA
BACA JUGA PERBEDAAN PERKARA PERDATA DAN PERKARA PIDANA
BACA JUGA MACAM-MACAM EKSEKUSI DALAM BIDANG PERDATA
Dalam Black’s Law Dictionary diuraikan mengenai dua
kategori retroaktif: Pertama; retroaktif murni (true retroactive),
yaitu: “application wich was completed before the rule was promulgated”
(menerapkan suatu ketentuan hukum baru terhadap suatu peristiwa atau
transaksi yang telah (selesai) dilakukan sebelum ketentuan hukum
tersebut ditetapkan atau diundangkan) . Kedua; kuasi retroaktif (quasi
retroactive), yaitu: “a new rule of law is applied to an act or
transaction in the process of completion” (suatu ketentuan hukum baru,
diterapkan pada peristiwa atau transaksi yang sedang dalam proses).
Kuasi retroaktif berpeluang dalam hubungan keperdataan, seperti proses
membuat perjanjian. Tidak mudah diterapkan, bahkan tidak mungkin
diterapkan dalam suatu perbuatan atau peristiwa pidana. Sesuatu
peristiwa, atau tindakan, atau perbuatan akan disebut sebagai peristiwa
pidana, karena sudah selesai dilakukan. Merencanakan suatu perbuatan
pidana bukan merupakan suatu peristiwa pidana. Tindakan permulaan
melakukan tindak pidana baru (itu pun kemungkinan) sebagai “percobaan
melakukan perbuatan pidana” belum menjadi suatu peristiwa pidana.
Mungkin saja suatu percobaan melakukan tindak pidana dilakukan dalam
waktu bersamaan dengan pengesahan suatu undang-undang, tetapi
hal semacam itu lebih banyak sebagai konstruksi konseptual daripada
suatu kenyataan.
Ex post facto artinya “berlaku surut”. Freedom
from, ex post facto laws artinya “bebas dari undang-undang yang berlaku
surut” atau “larangan menetapkan atau menerapkan undang-undang secara
berlaku surut”.
Sebagai norma hukum (hukum internasional atau hukum nasional), asas ini dilukiskan (dirumuskan) sebagai:
- Tidak seorang pun dapat dihukum, kecuali atas dasar aturan yang sudah ada pada saat perbuatan atau tindakan itu dilakukan (terjadi)”. Asas ini lazim diterjemahkan sebagai “larangan berlaku surut” atau “larangan retroaktif". Hukum hanya berlaku ke depan.
- Apabila saat atau setelah suatu pelanggaran terjadi, kepada terdakwa akan dinyatakan bersalah menurut hukum yang lebih menguntungkan. Terdakwa sekali-sekali tidak boleh dikenai hukuman yang lebih berat. Asas ini sebagai pengecualian dari asas berlaku surut. Ketentuan baru sebagai pengganti ketentuan lama dapat serta merta diterapkan apabila menguntungkan terdakwa, misalnya ancaman hukuman yang lebih ringan, atau sekurang-kurangnya tidak boleh lebih berat dari ketentuan lama. Sepintas lalu, hal ini tampak sebagai semacam pilihan hukum (choice of law). Sekali-sekali tidak. Ajaran pilihan hukum memberi kebebasan untuk memilih hukum yang akan diterapkan. Di sini sama sekali tidak ada kebebasan memilih hukum. Hakim hanya boleh menerapkan ketentuan yang menguntungkan terdakwa (ketentuan lama atau ketentuan baru).
Bebas
dari undang-undang berlaku surut atau larangan undang-undang berlaku
surut merupakan asas hukum umum (general principles of law). Sebagai
asas, bebas dari berlaku surut atau larangan berlaku surut merupakan
sandaran yang tidak dapat dikesampingkan baik dalam pembentukan hukum
(law making) maupun dalam penerapan hukum (law applying). Untuk lebih
memperkuat kedudukan asas ini, tidak jarang ditegaskan atau dimuat
sebagai kaidah hukum (legal norm). Walaupun dimuat sebagai kaidah hukum,
tetapi karena merupakan asas, bebas dari undang-undang berlaku surut
atau larangan undang-undang, senantiasa prevail terhadap kaidah-kaidah
yang lain. Hal ini berlaku untuk semua asas hukum, baik asas hukum di
bidang tertentu (seperti asas-asas dalam hukum perdata) maupun asas
hukum umum.
BACA JUGA HUKUM PUBLIK & HUKUM PRIVAT
BACA JUGA ACTIO POPULARIS VS TIGHT STANDING
Sebagai asas pemidanaan, asas bebas dari ex. post pacto laws, bukan sekadar sebagai konsep hukum (legal concept), tetapi sebagai konsep hak asasi manusia (human right concept) yang dapat dijumpai baik dalam Konstitusi (UUD) maupun undang-undang. Sebagai konsep hak asasi, asas bebas dari ex post pacto laws, didapati baik dalam tatanan (hukum) internasional maupun tatanan (hukum) nasional.
BACA JUGA HUKUM PUBLIK & HUKUM PRIVAT
BACA JUGA ACTIO POPULARIS VS TIGHT STANDING
Sebagai asas pemidanaan, asas bebas dari ex. post pacto laws, bukan sekadar sebagai konsep hukum (legal concept), tetapi sebagai konsep hak asasi manusia (human right concept) yang dapat dijumpai baik dalam Konstitusi (UUD) maupun undang-undang. Sebagai konsep hak asasi, asas bebas dari ex post pacto laws, didapati baik dalam tatanan (hukum) internasional maupun tatanan (hukum) nasional.
Sebagaimana yang telah
dikemukakan, ahli-ahli hukum Indonesia lebih mengenai ungkapan: “nullum
delictum” daripada “freedom from ex post facto laws” atau “ex post facto laws” (supra).
Sejarah hukum Indonesia menunjukkan, asas “larangan undang-undang berlaku surut" telah ada sejak masa Hindia Belanda.
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving in Indonesie (AB) (8.1847: 23)
(1) Pasal 2 AB: “De wet verbind alleen voor het toekomende en heeft geene
terugwerkende kracht” (Undang-undang hanya mengikat ke depan dan tidak
mempunyai kekuatan berlaku surut).
(2) AB, Pasal 26: “Niemand
mag tot straf vervolg of daartoe veroordeeld warden, dan op de wijze en
in de gevallen bij de wettelijke bij de wet voorzien” (Tidak seorang pun
dapat dituntut pidana atau dijatuhi pidana karena suatu perbuatan,
kecuali dengan cara dan sesuai dengan yang telah diatur terlebih dahulu
dalam undang-undang).
2. IS, Ps. 143:
“Niemand mag tot straf vervolg of daartoe veroordeeld warden dan op de
wijze en in de gevallen bij algemene vordering voorzien” (Tidak seorang
pun dapat dituntut pidana atau dijatuhi pidana akibat suatu perbuatan,
kecuali menurut cara dan sesuai dengan yang telah diatur terlebih dahulu
dalam suatu peraturan umum).
3. UUDS ‘50 dan Konstitusi RIS
Dua
konstitusi ini mengatur asas freedom from ex post facto laws dalam
pasal dengan rumusan (bunyi) yang sama yaitu Pasal 14 ayat (2): “Tiada
seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman,
kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku
terhadapnya".
4. KUHPidana
(1) Pasal 1 ayat (1)
KUHPidana menyebutkan: “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum
melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang yang terdahulu
dari perbuatan itu”. (geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene
daaraan voorafgegene wettelijke strafbepaling).
(2) Pasal 103:
‘Aturan ke depan bab yang pertama dalam buku ini boleh dilakukan juga
atas perbuatan yang atasnya ditentukan hukuman menurut undang-undang
lain, kecuali jika undang-undang, peraturan umum atau ordonansi
menentukan lain”. (De bepalingen der eerste acht Titels van dit Boek
zijn oak toepasselijk offeiten waarop bij andere wettelijke
voorschriften straf is gedeeld, tenzij bij de wet. bij algemeene
maatregel van bestuur of bij ordonantie anders is bepald).
Ketentuan dalam KUHPidana, Pasal 103,
tidak langsung mengenai freedom from ex post facto laws, melainkan
sebagai pasal penunjuk, bahwa semua ketentuan dalam KUHPidana, Buku I,
berlaku juga ketentuan pidana dalam peraturan-peraturan lain, kecuali
suatu undang-undang, peraturan pemerintah, atau ordonansi menentukan
lain).
0 komentar:
Post a Comment