ACTIO POPULARIS VS TIGHT STANDING
Disadari atau tidak,
pembedaan antara tipikal hukum publik dan hukum privat juga secara
analogi terjadi pada aspek-aspek lain dalam kajian hukum, seperti adanya
pembedaan Sistem Hukum Civil Law dan Common Law, yang sejatinya
didasari praktik hukum dalam wilayah keberlakuan tertentu (Eropa
Kontinental dan Anglo Saxon (Eropa Daratan) serta Amerika); dasar
penegakan hukum, yakni wet/perundang-undangan (tertulis) yang
diperbandingkan dengan recht/hukum (baik tertulis serta berdasarkan
kebiasaan yang berlanjut); sampai tipikal negara hukum, yakni negara
hukum murni dengan berbagai variannya, yang selanjutnya diperbandingkan
dengan negara kesejahteraan (welfaar staat/welfare state).
Salah
satu poin dikotomi yang relevan dengan bahasan ini adalah mengenai hak
gugat (standing to the sue) atas dasar suatu kepentingan, yang juga
memiliki 2 sisi perbedaan secara praktis, yakni dalam cakupan Hukum
Perdata (Privat) dan Hukum Administrasi Negara (Publik), terkhusus dalam
sistem hukum di negara ini.
Hak gugat umum (actio popularis)
pada umumnya dilakukan dengan motivasi dasar adanya tuntutan ganti
kerugian atas suatu tindakan pemerintah yang memiliki dampak kepada
warga masyarakat. Kendati secara tekstual, actio popularis ini berkenaan
dengan jaminan hukum bagi warga masyarakat (dalam bentuk tindakan hukum
tertentu, baik secara indvidual maupun komunal), namun dalam praktiknya
actio popularis lebih identik dengan gugatan perwakilan kelompok (class
action) terhadap tindakan pemerintah (overheidsdaad) yang berimplikasi
pada hajat hidup orang banyak, atau lingkungan hidup (alam).
Oleh
karena motivasi dasarnya adalah adanya tuntutan ganti kerugian, maka
secara prinsip konsep actio popularis baik dalam tindakan pokoknya
maupun tuntutan pokoknya, cenderung ke arah praktik hukum perdata
alih-alih dianut dalam praktik Hukum Administrasi Negara, yang
substansinya adalah menguji keabsahan tindakan hukum pemerintah dan/
atau keputusan tata usaha negara yang diterbitkan oleh pemerintah.
Sehingga dengan demikian, dalam sengketa tata usaha negara tak semua
subjek hukum bisa mengajukan gugatan, kendati mendalilkan adanya
kepentingan umum (masyarakat) yang dirugikan atas tindakan hukum
pemerintah tersebut. Hal tersebut menjadi salah satu pembeda pokok
antara hak gugat di dalam lingkup hukum perdata dengan hukum
administrasi.
Bila dikaji secara mendasar terdapat pula pembeda
pokok selain motivasi, yang secara prinsip juga harus dipahami adalah
kepentingan yang menjadi dasar adanya motivasi untuk melakukan suatu
tindakan hukum (gugatan) tertentu.
Perbedaan mendasar antara
latar belakang adanya gugatan di Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha
Negara adalah adanya hak keperdataan yang dikomparasikan dengan adanya
kepentingan. Keduanya kendati sering memiliki batasan yang serupa dan
kadang sukar dibedakan, namun pada prinsipnya kedua term tersebut pada
awalnya bersifat subjektif, yang pada akhirnya akan dibuktikan
objektivitasnya oleh hakim/majelis hakim yang memeriksa.
Terkait
dengan aspek kepentingan ini, ada pemaknaan yang silih berganti
digunakan dan terkadang berderivasi (bila tidak dikatakan sebuah
disparitas) terhadap pemaknaan konteks kepentingan mengajukan gugatan.Dalam
perkembangannya, terdapat dinamika pasang surut antara dua rezim, yaitu
actio popularis dan tight standing secara bergantian. Actio Popularis,
diartikan bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan. Semua subjek
hukum berkepentingan dengan pelaksanaan wewenang pemerintah yang sesuai
dengan hukum. Tight standing diartikan hak mengajukan gugatan hanya
diberikan kepada pihak yang dialamatkan oleh suatu keputusan.(Van Wijk,
H.D., Hoofdstukkken Van Administratief Recht/Utrecht: Uitgeveru Lemma
BV, 1995, hlm. 715)
Dalam
actio popularis, hak mengajukan gugatan bagi warga negara atas nama
kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehingga orang yang mengambil
inisiatif mengajukan gugatan tidak harus orang yang mengalami sendiri
kerugian secara langsung, dan juga tidak memerlukan surat kuasa khusus
dari anggota masyarakat yang diwakilinya.(Susanti Adi Nugroho, Class
Action & Perbandingannya dengan Negara Lain/Jakarta: Prenada Media
Group, 2010, hlm. 386)
Adanya
pengidentifikasian class action dengan actio popularis ini secara hukum
menjadi logis, karena apa yang dituntut pada keduanya, mayoritas
berkaitan dengan kepentingan umum, yang-juga bukan merupakan
kebetulan-sering bersinggungan dengan tindakan pemerintah, baik tindakan
faktual pemerintah (feitelijkehandelingen) maupun tindakan hukum
pemerintah (rechtshandelingen).
Sementara dalam tight standing,
kriteria subjek hukum yang dapat mengajukan gugatan lebih ketat dengan
parameter tertentu yang secara objektif dapat diperkirakan
eksistensinya. Kendati dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, frasa yang menjadi prasyarat hak gugat adalah “merasa
kepentingannya dirugikan”, akan tetapi dengan mendasarkan diri pada
konsep hukum publik dasar yang terkandung di dalamnya, di mana tidak
semua subjek hukum dapat semaunya menggugat sebuah keputusan pemerintah
yang telah diterbitkan, maka konsep tight standing ini diterapkan
sebagai penyeimbang dari frasa “merasa kepentingannya dirugikan” dalam
Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
0 komentar:
Post a Comment