Thursday, February 28, 2019

ACTIO POPULARIS VS TIGHT STANDING


Disadari atau tidak, pembedaan antara tipikal hukum publik dan hukum privat juga secara analogi terjadi pada aspek-aspek lain dalam kajian hukum, seperti adanya pembedaan Sistem Hukum Civil Law dan Common Law, yang sejatinya didasari praktik hukum dalam wilayah keberlakuan tertentu (Eropa Kontinental dan Anglo Saxon (Eropa Daratan) serta Amerika); dasar penegakan hukum, yakni wet/perundang-undangan (tertulis) yang diperbandingkan dengan recht/hukum (baik tertulis serta berdasarkan kebiasaan yang berlanjut); sampai tipikal negara hukum, yakni negara hukum murni dengan berbagai variannya, yang selanjutnya diperbandingkan dengan negara kesejahteraan (welfaar staat/welfare state).
Salah satu poin dikotomi yang relevan dengan bahasan ini adalah mengenai hak gugat (standing to the sue) atas dasar suatu kepentingan, yang juga memiliki 2 sisi perbedaan secara praktis, yakni dalam cakupan Hukum Perdata (Privat) dan Hukum Administrasi Negara (Publik), terkhusus dalam sistem hukum di negara ini.
Hak gugat umum (actio popularis) pada umumnya dilakukan dengan motivasi dasar adanya tuntutan ganti kerugian atas suatu tindakan pemerintah yang memiliki dampak kepada warga masyarakat. Kendati secara tekstual, actio popularis ini berkenaan dengan jaminan hukum bagi warga masyarakat (dalam bentuk tindakan hukum tertentu, baik secara indvidual maupun komunal), namun dalam praktiknya actio popularis lebih identik dengan gugatan perwakilan kelompok (class action) terhadap tindakan pemerintah (overheidsdaad) yang berimplikasi pada hajat hidup orang banyak, atau lingkungan hidup (alam).
Oleh karena motivasi dasarnya adalah adanya tuntutan ganti kerugian, maka secara prinsip konsep actio popularis baik dalam tindakan pokoknya maupun tuntutan pokoknya, cenderung ke arah praktik hukum perdata alih-alih dianut dalam praktik Hukum Administrasi Negara, yang substansinya adalah menguji keabsahan tindakan hukum pemerintah dan/ atau keputusan tata usaha negara yang diterbitkan oleh pemerintah. Sehingga dengan demikian, dalam sengketa tata usaha negara tak semua subjek hukum bisa mengajukan gugatan, kendati mendalilkan adanya kepentingan umum (masyarakat) yang dirugikan atas tindakan hukum pemerintah tersebut. Hal tersebut menjadi salah satu pembeda pokok antara hak gugat di dalam lingkup hukum perdata dengan hukum administrasi.
Bila dikaji secara mendasar terdapat pula pembeda pokok selain motivasi, yang secara prinsip juga harus dipahami adalah kepentingan yang menjadi dasar adanya motivasi untuk melakukan suatu tindakan hukum (gugatan) tertentu.
Perbedaan mendasar antara latar belakang adanya gugatan di Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara adalah adanya hak keperdataan yang dikomparasikan dengan adanya kepentingan. Keduanya kendati sering memiliki batasan yang serupa dan kadang sukar dibedakan, namun pada prinsipnya kedua term tersebut pada awalnya bersifat subjektif, yang pada akhirnya akan dibuktikan objektivitasnya oleh hakim/majelis hakim yang memeriksa.
Terkait dengan aspek kepentingan ini, ada pemaknaan yang silih berganti digunakan dan terkadang berderivasi (bila tidak dikatakan sebuah disparitas) terhadap pemaknaan konteks kepentingan mengajukan gugatan.Dalam perkembangannya, terdapat dinamika pasang surut antara dua rezim, yaitu actio popularis dan tight standing secara bergantian. Actio Popularis, diartikan bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan. Semua subjek hukum berkepentingan dengan pelaksanaan wewenang pemerintah yang sesuai dengan hukum. Tight standing diartikan hak mengajukan gugatan hanya diberikan kepada pihak yang dialamatkan oleh suatu keputusan.(Van Wijk, H.D., Hoofdstukkken Van Administratief Recht/Utrecht: Uitgeveru Lemma BV, 1995, hlm. 715)
Dalam actio popularis, hak mengajukan gugatan bagi warga negara atas nama kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehingga orang yang mengambil inisiatif mengajukan gugatan tidak harus orang yang mengalami sendiri kerugian secara langsung, dan juga tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakilinya.(Susanti Adi Nugroho, Class Action & Perbandingannya dengan Negara Lain/Jakarta: Prenada Media Group, 2010, hlm. 386)
Adanya pengidentifikasian class action dengan actio popularis ini secara hukum menjadi logis, karena apa yang dituntut pada keduanya, mayoritas berkaitan dengan kepentingan umum, yang-juga bukan merupakan kebetulan-sering bersinggungan dengan tindakan pemerintah, baik tindakan faktual pemerintah (feitelijkehandelingen) maupun tindakan hukum pemerintah (rechtshandelingen).
Sementara dalam tight standing, kriteria subjek hukum yang dapat mengajukan gugatan lebih ketat dengan parameter tertentu yang secara objektif dapat diperkirakan eksistensinya. Kendati dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, frasa yang menjadi prasyarat hak gugat adalah “merasa kepentingannya dirugikan”, akan tetapi dengan mendasarkan diri pada konsep hukum publik dasar yang terkandung di dalamnya, di mana tidak semua subjek hukum dapat semaunya menggugat sebuah keputusan pemerintah yang telah diterbitkan, maka konsep tight standing ini diterapkan sebagai penyeimbang dari frasa “merasa kepentingannya dirugikan” dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.


0 komentar:

Post a Comment