Showing posts with label HUKUM PERDATA. Show all posts
Showing posts with label HUKUM PERDATA. Show all posts

Thursday, April 16, 2020

MACAM-MACAM HUKUM



Hukum pada dasarnya diartikan sebagai aturan atau pedoman bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dengan tujuan agar terciptanya sebuah keteraturan dan ketertiban yang menjadi sumber ketenangan dalam  sebuah kehidupan, yang jika ditelaah kembali hukum-hukum tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa spesifikasi pembagian hukum.
Adapun macam-macam, jenis dan bentuk-bentuk hukum berdasarkan spesifikasinya ialah sebagai berikut:
1. Hukum berdasarkan bentuknya
Hukum berdasarkan bentuknya, dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum tertulis, biasanya dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dibedakan menjadi dua macam hukum tertulis yaitu: Hukum tertulis yang dikodiflkasikan, Contoh: KUHP, KUH Perdata, KUHAP, KUH Dagang. Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan. Contoh: undang undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden.
  • Hukum tidak tertulis ialah kaidah yang hidup dan diyakini oleh masyarakat serta ditaati berlakunya sebagai kaidah hukum. Hukum demikian lazim disebut sebagai hukum kebiasaan.

2. Hukum berdasarkan sumber formalnya
Hukum berdasarkan sumber formalnya, dapat digolongkan menjadi enam macam, yakni:
  • Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan;
  • Hukum kebiasaan dan hukum adat, yaitu hukum yang berbentuk peraturan kebiasaan dan adat
  • Hukum yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim
  • Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara peserta perjanjian internasional
  • Hukum perjanjian, yaitu hukum yang dibuat oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.
  • Hukum ilmu (hukum doktrin), yaitu hukum yang bersumber dari pendapat para sarjana terkemuka atau hukum yang berasal dari doktrin.

3. Hukum berdasarkan isi atau kepentingan yang diatur
Hukum berdasarkan isi atau kepentingan yang diatur dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum privat, adalah hukum yang mengatur kepentingan pribadi, Misalnya hukum perdata, hukum dagang.
  • Hukum publik, ialah hukum yang mengatur kepentingan umum atau kepentingan publik. Contoh: hukum pidana, hukum tata negara, hukum acara pidana, hukum internasional publik.

4. Hukum berdasarkan kekuatan berlakunya atau sifatnya
Hukum berdasarkan kekuatan berlakunya dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum yang bersifat memaksa (imperatif) yaitu kaidah hukum yang tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak. Jadi hukum memaksa harus dilaksanakan. Ada kemungkinan bersifat imperatif, “secara apriori wajib ditaati, kaidah ini tidak dapat dikesampingkan dalam suatu keadaan konkret, hanya karena para pihak membuat perjanjian. Contoh: paasal 147 dan 148 KUH Perdata, ps. 326, ps.338 KUHP.
  • Hukum yang bersifat mengatur (fakultatif) yaitu kaidah hukum yang dapat dikesampingkan oleh para pihak yang bersangkutan. ada kemungkinan bersifat fakultatif, ”tidaklah secara apriori mengikal atau wajib ditaati, jadi ini merupakan kaidah hukum yang dalam keadaan konkret dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak . Contoh: pasal 1476 dan 1477 KUH Perdata.

5. Hukum berdasarkan fungsinya
Hukum berdasarkan fungsinya dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum materiil, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara sesama anggota masyarakat, antara anggota masyarakat dengan penguasa negara, antara masyarakat dengan penguasan negara, dan antara anggota masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, hukum materiil menimbulkan hak dan kewajiban sebagai akibat yang timbul karena adanya hubungan hukum.
  • Hukum formal, yaitu hukum yang mengatur bagaimana cara melaksanakan hukum (bagi penguasa) dan bagaimana cara menuntutnya bila hak-hak seseorang dilanggar oleh orang lain. Hukum formal lazimnya disebut hukum acara dan meliputi hukum acara perdata dan hukum acara pidana.

6. Hukum berdasarkan luas berlakunya
Hukum berdasarkan luas berlakunya dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum Umum, ialah hukum yang berlaku bagi setiap orang dalam masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin, warga negara, maupun jabatan seseorang. Contoh: hukum pidana.
  • Hukum Khusus, ialah hukum yang berlakunya hanya bagi golongan orang tertentu saja. Contoh: hukum pidana militer.

7. Hukum berdasarkan tempat berlakunya
Hukum berdasarkan tempat berlakunya dapat digolongkan menjadi tiga macam, yakni:
  • Hukum nasional, ialah hukum yang berlakunya pada suatu negara tenentu.
  • Hukum internasional, ialah hukum yang mengatur hubungan antara negara satu dengan negara
  • Hukum asing, adalah hukum yang berlaku di negara lain jika dipandang dari suatu negara tertentu.

8. Hukum berdasarkan waktu berlakunya
Hukum berdasarkan waktu berlakunya dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Ius Constitutum, ialah hukum positiv yang sedang berlaku di suatu negara tertentu
  • Ius Constituendum, ialah hukum yang diharapkan akan berlaku pada masa yang akan datang.

Tuesday, March 12, 2019

KEADILAN DI ATAS KEPASTIAN HUKUM


Dalam praktik di dunia peradilan sering kali ditemukan prinsip keadilan hukum kalah dengan prinsip kepastian hukum, yang menjadi mahkota bukan keadilan akan tetapi kepastian hukum. Padahal setiap putusan hakim wajib diawali dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempuyai makna bahwa hakim harus menjadikan keadilan sebagai spirit utama dalam seluruh bagian putusan, keadilan harus di atas yang lainnya termasuk di atas kepastian hukum. Keadilan dijadikan sebagai pisau analisis dalam setiap tahapan putusan, mulai dari tahap konstantir, tahap kualiflkasi dan tahap konstituir.
Menurut Gustav Radbruch (Theo Huijbers: 1982) dari tiga tujuan hukum (yaitu: kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama daripada kepastian dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktik-praktik yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktik-praktik kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakikat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum.  
Fenomena keadilan di bawah kepastian ini memang sulit dihindari, salah satu penyebabnya adalah ketika suatu hukum telah bertransformasi menjadi undang-undang yang merupakan prinsip yang utama dalam kultur civil law system (Romawi-Jerman atau corak keluarga Eropa Kontinental), sistem hukum yang diadopsi Indonesia sekarang ini. Kehadiran corak keluarga sistem hukum ini merupakan produk historis yang dibawa oleh Kolonial Belanda, yang kemudian mengejawantah ke dalam aspek substansi, struktur, dan budaya hukum Indonesia sampai sekarang (Shidarta: 2009).
Undang-undang memiliki kelebihan dalam memenuhi tujuan kepastian, namun ia juga memiliki kelemahan karena sifatnya akan menjadi tidak fleksibel, kaku dan statis. Penulisan adalah pembatasan, dan pembatasan atas suatu hal yang sifatnya abstrak (pembatasan dalam konteks materi) dan dinamis (pembatasan dalam konteks waktu) seperti halnya value consciousness masyarakat ke dalam suatu undang-undang secara logis akan membawa kepada konsekuensi ketertinggalan substansi undang-undang tersebut atas bahan pembentuknya (nilai-nilai masyarakat).  
Suatu undang-undang memang memiliki mekanisme pembaruan (legal reform) sebagai upaya meminimalisir sifat ketidak-dinamisannya, namun setiap orang juga mengetahui bahwa memperbarui suatu undang-undang baik melalui proses legislasi maupun proses kontekstualisasi oleh hakim bukanlah perkara yang gampang untuk dilakukan. Proses legislasi tidak dapat dipungkiri juga merupakan manifestasi proses pergulatan politik, dimana untuk menghasilkan suatu undang-undang yang baru tidak akan dapat dilangsungkan dalam waktu yang singkat karena membutuhkan upaya pencapaian kesepakatan atas kelompok-kelompok dengan visi dan misi yang berbeda-beda.  
Sedangkan pembaruan oleh hakim melalui putusannya juga tidak bisa dilakukan secara maksimal, di samping karena pengaruh kultur civil law system yang menghendaki hakim untuk mendasarkan diri secara ketat kepada bunyi undang-undang walaupun undang-undang tersebut telah ketinggalan zaman, juga dikarenakan paradigma berpikir hakim masih banyak mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum (Ade Maman Suherman: 2004). Dengan demikian, tujuan utama yang dituju bukanlah keadilan melainkan kepastian, karena fllsafat positivisme mengutamakan hal yang sifatnya jelas dan pasti (positif) di atas segalanya dengan alasan bahwa hanya hal yang bersifat pasti saja yang dapat dijadikan ukuran kebenaran.  
Pada akhirnya, apa yang adil tidaklah diukur dari seberapa mampukah masyarakat merasakannya sebagai suatu hal yang sesuai dengan rasa keadilan mereka melainkan seberapa sesuaikah putusan hakim yang ada dengan bunyi aturan dalam undang-undang. Fenomena ini merupakan problem mendasar dalam penegakan hukum di Indonesia. (Ahmad Zaenal Fanani, Berfikir Filsafati dalam Putusan Hakim dalam Varia Peradilan No. 304 Maret 2011. h. 57)

Wednesday, February 27, 2019

MACAM-MACAM EKSEKUSI DALAM BIDANG PERDATA


Menurut peraturan yang berlaku di Indonesia (HIR/RBg), eksekusi yang dikenal hanya ada 3 macam. Namun di luar HIR/RBg, yaitu dalam praktik, banyak dilakukan. Eksekusi ini biasanya eksekusi riil yang dijalankan juru sita yang dibantu beberapa orang polisi. 
1. Eksekusi Membayar Sejumlah Uang 
Pengaturan eksekusi untuk membayar sejumlah uang diatur dalam Pasal 197 HIR/Pasal 208 RBg. Menurut ketentuan, menjalankan eksekusi untuk membayar sejumlah uang dilakukan melalui lelang terhadap barang-barang milik pihak yang kalah sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayarkan sesuai dengan isi putusan hakim ditambah dengan biaya pengeluaran untuk pelaksanaan eksekusi. Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang. 
Dalam praktik, sesuai dengan ketentuan Pasal 197 HIR/Pasal 208 RBg, harus ada sita eksekutorial terlebih dahulu terhadap barang-barang milik pihak yang kalah sebelum lelang dilakukan. Setelah itu, proses eksekusi dimulai dari barang-barang bergerak, jikalau barang-barang bergerak tidak cukup atau tidak ada barulah dilakukan terhadap barang-barang tidak bergerak (Lilik Mulyadi, 1999: 277).  
2. Eksekusi Menghukum Melakukan Perbuatan 
Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 225 HIR/259 RBg, yang menggariskan orang tidak dapat dipaksakan memenuhi suatu prestasi yang berupa perbuatan, akan tetapi pihak yang dimenangkan dapat meminta hakim agar kepentingan yang akan diperoleh dinilai dengan uang. 
Pasal 225 HIR/259 HIR menegaskan yang dapat dilakukan pihak yang kalah (Tergugat) menilai perbuatan adalah dengan penilain uang. Tergugat yang dihukum membayar sejumlah uang sebagai pengganti harus ia lakukan berdasarkan putusan hakim yang menilai besar penggantian (Putusan PN yang bersangkutan). 
Eksekusi ini merupakan perintah undang-undang sebagai jalan keluar/atau alternatif yang dapat ditempuh oleh pihak yang menang guna memperoleh pemenuhan putusan yang menghukum pihak yang kalah yang disebut dalam amar putusan dengan jalan meminta kepada Ketua PN untuk mengganti hukuman tersebut dengan sejumlah uang, caranya bahwa kepentingan pembuatan tertentu dinilai dengan sejumlah uang. 
Pihak yang menang dapat mengajukan permohonan kepada Katua PN, agar putusan dinilai dengan sejumlah uang. Apabila permohonan itu dikabulkan maka beralihlah sifat eksekusi dari eksekusi riil menjadi pembayaran sejumlah uang. Dengan peralihan tersebut, pemenuhan putusan sudah dapat dipaksakan terhadap pihak yang kalah melalui eksetorial beslag yang dialnjutkan dengan penjualan lelang terhadap harta kekayaan pihak yang kalah. 
3. Eksekusi Riil 
Eksekusi riil merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung, yaitu pelaksanaan putusan yang menuju kepada hasil yang sama seperti apabila dilaksanakan secara sukarela. Dengan demikian, eksekusi riil adalah eksekusi yang dilaksanakan secara nyata (riil), misalnya pengosongan rumah/tanah atau penjualan barang-barang tetap atau tidak tetap milik tergugat yang kalah.
Eksekusi riil diatur dalam Pasal 1033 RV, yang menentukan jikalau putusan pengadilan yang memerintahkan pengosongan barang tidak bergerak tidak dipenuhi oleh orang yang dihukum, ketua PN memerintahkan dengan surat kepada juru sita supaya dengan bantuan alat negara, barang tidak bergerak itu dan segala barang kepunyaannya dikosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya. Bentuk eksekusi riil ialah pengosongan, yang dapat berupa pengosongan tanah (sawah), kebun, tanah perumahan, atau pengosongan bangunan (gudang rumah tempat tinggal, perkantoran, dll.). Eksekusi pengosongan didasarkan atas dalil atau posita hak milik bahwa tanah terperkara yang dikuasai tergugat adalah milik penggugat. Oleh karena itu penggugat dalam petitum gugatan, mengatakan agar tergugat dihukum meninggalkan dan mengosongkan tanah terperkara. 
4. Parate Eksekusi 
Parate eksekusi adalah eksekusi langsung dalam hal kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial, misalnya soal-soal pajak. Suatu putusan dapat dieksekusi atas dasar ”salinan resmi putusan”. Putusan hakim yang resmi ini disebut minuut, sedang salinan resminya yang asli disebut ”Grosse Putusan”. Putusan yang disamakan dengan putusan hakim dan dapat dieksekusi adalah akta hipotik dan akta notaris, Salinan remi grosse akta hipotik dan akta notaris yang berkepala; ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tentang pengakuan hutang sepihak dengan kewajiban membayar sejumlah uang yang sudah pasti jumlahnya tanpa klausula.

BENTUK-BENTUK UPAYA HUKUM



Pada kenyataannya kekeliruan dan kekhilafan selalu terjadi pada diri setiap orang. Salah satu penyebabnya adalah karena keterbatasan dan kelemahan manusia. Demikian juga dengan putusan hakim tidak luput dari hal tersebut. Tidak selalu semua pihak yang bersengketa merasa puas terhadap putusan hakim. Oleh karena itu, demi kebenaran dan keadilan, setiap putusan hakim perlu diperiksa ulang agar kekeliruan dan kehilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki dalam bentuk suatu upaya hukum.(Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata/2011:302)
Upaya hukum adalah upaya yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum melawan putusan hakim untuk suatu hal tertentu dalam memperoleh atau mempertahankan keadilan, perlindungan dan kepastian hukum, sesuai dengan undang-undang. Mukti Arto memberikan pengertian upaya hukum sebagaj suatu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum yang merasa haknya dirugikan atas suatu kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan/kepastian hukum menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang. (Mukti Arto/2000:279)
Dalam hukum acara perdata (doktrin) dikenal ada 2 (dua) macam upaya hukum, yaitu:
Pertama, Upaya hukum biasa
Upaya hukum biasa, yaitu upaya hukum yang pada dasamya menangguhkan eksekusi kecuali apabila ada putusan dijatuhkan dengan ketentuan putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (Ubv), yang terdiri dari perlawanan (verzet), Banding, dan Kasasi. Upaya hukum biasa yang dimungkinkan terhadap putusan-putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, melalui verzet, banding atau kasasi. 
Kedua, Upaya hukum luar biasa
Upaya hukum luar biasa, yaitu upaya hukum yang pada dasamya tidak menangguhkan eksekusi, terdiri atas peninjauan kembali (request civil) dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet). Upaya hukum luar biasa ini dimungkinkan hanya terhadap putusan yang telah mempunyai hukum tetap.
adapun penjabaran dari bentuk-bentuk upaya hukum ialah sebagai berikut:
1. Verzet
Upaya hukum verzet (perlawanan) adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri/Pengadilan Tingkat Pertama karena Tergugat tidak hadir pada sidang pertama dan tidak mengirimkan wakilnya untuk mcnghadap di persidangan, walapun sudah dipanggil dengan patut dan tanpa alasan yang sah. Perlawanan (verzet) merupakan hak diberikan oleh undang-undang kepada Tergugat terhadap putusan yang dijatuhkan atas ketidakhadirannya (Pasal 125 ayat (3) HIR/149 ayat (3) Rbg Jo. 129 ayat (1) HIR/Pasal 153 ayat (1) RBg. ladi, verzet perlawanan atau bantahan terhadap verstek. Pasal 125 ayat (3) HIR/149 ayat (3) RBg: Iika gugatan diterima, maka atas perintah ketua diberikan putusan itu kepada pihak yang dikalahkan, serta diterangkan kepadanya. bahwa ia berhak mengajukan perlawanan (verstek) tahadap putusan tak hadir itu kepada pengadilan negeri itu, dalam tempo dan dengan cara seperhti ditentukan dalam Pasal 129 HIR/Pasal 153 RBg.  
2. Banding
Apabila putusan dirasa kurang memuaskan penggugat, penggugat dapat mengajukan banding. Upaya hukum banding adalah upaya hukum untuk memohon supaya perkara yang telah diputus oleh PN diperiksa ulang oleh PT. Alasan permohonan banding, karena tidak puas terhadap hasil putusan hakim PN/Pengadilan Tingkat Pertama. Upaya hukum banding adalah mengulang sebagai judex pactie. Dengan permohonan banding maka perkara menjadi mentah dan putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap, belum mengikat sehingga belum dapat dilaksanakan (eksekusi). Upaya hukum Banding diatur dalam UU No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan, yang berlaku untuk Jawa dan Madura, Pasal 199-Pasal 205 RBg, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Semula upaya hukum banding diatur dalam Pasal 188 Pasal 194 HIR (untuk Jawa dan Madura) dan Pasal 199-Pasal 205 RBg (untuk daerah luar Jawa dan Madura). Tetapi, dengan sejak diundangkannya UU No 20 tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura maka Pasal 188-Pasal 194 HIR tidak berlaku lagi
3. Kasasi 
Upaya hukum kasasi dalah upaya hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak terutama pihak yang tidak puas terhadap putusan banding. Upaya hukum kasasi dilakukan oleh MA sebagai puncak peradilan.
Dasar hukum kewenangan mengadili kasasi diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28 ayat (1), Pasal 29 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Berdasarkan ketentuan ini MA berwenangan mengadili, memeriksa, dan memutus perkara perdata terhadap putusan pengadilan banding atau Tingkat terakhir dari semua lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung kecuali undang-undang menentukan lain.
4. Peninjauan Kembali
Upaya hukum peninjauan kembali (PK) atau request civil merupakan upaya hukum luar biasa sebagai upaya hukum terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap. Permohoan PK selalu ada kemungkinan untuk dilakukan meskipun putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, bahkan putusan itu sudah dilaksanakan (dieksekusi). Permohonan PK terjadi apabila ada alasan untuk itu dan dirasakan tidak adil.
Upaya hukum PK merupakan upaya hukum luar biasa yang diberikan oleh undang-undang kepada pihak-pihak beperkara yang keberatan dan dirugikan oleh sesuatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Upaya ini terjadi apabila pihak-pihak yang beperkara keberatan dan dirugikan oleh putusan-putusan yang telah mempunyai hukum tetap. (Sudikno Mertokusumo/1999: 205) mengatakan bahwa putusan yang dijatuhkan dalam tingkat terakhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat (verstek) dan tidak ada kemungkinan untuk mengajukan perlawanan dapat ditinjau kembali atau permohonan orang yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara yang telah diputus dapat dimintakan peninjauan kembali (PK).
Peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum meninjau kembali putusan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan yang dapat dimintakan PK hanyalah kepada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika putusah itu belum mempunyai hukum tetap maka upaya hukum yang dapat dilakukan adalah upaya hukum biasa.
PK diatur dalam Pasal 66 sampai Pasal 76 UU No. 14 Tahun 1985, yang dubah dengan UU No. 5 tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985, yang diubah lagi dengan UU 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Dalam perubahan kedua UU perubahan tersebut, ketentuan sebagai dasar pengaturan PK tidak ada yang diubah.
Dalam pemeriksaan PK, yang penting diperhatikan adalah berikut ini:
Permohonan diajukan secara tertulis oleh pihak yang berperkara sendiri atau kuasanya.
Permohonan PK hanya diajukan satu kali. 
Pengajuan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. 
Permohonan PK dapat dicabut selama belum diputus. dan apabila dicabut tidak dapat diajukan lagi.
5. Perlawanan Pihak Ketiga 
Derden verzet (perlawanan pihak ketiga) adalah upaya hukum yang diajukan oleh pihak ketiga yang merasa keberatan dan merugikan haknya atas suatu putusan yang merugikan haknya. Pihak ketiga terbuka kemungkinan untuk mengajukan derden verzet yang kepentingannya dirugikan. Dalam hal ini verzet yang diajukan pihak ketiga bukan ditujukan kepada putusan verstek, tetapi diajukan terhadap putusan yang telah memunyai kekuatan tetap. Apabila dalam eksekusi pengadilan telah meletakkan sita jaminan, yang oleh pihak ketiga diklaim sebagai miliknya, maka ia dapat mengajukan perlawanan dengan menempatkan pihak pemohon eksekusi sebagai Terlawan.
Pengajuan perlawanan hanya dapat diajukan apabila eksekusi belum dilaksanakan dengan meminta kepada pengadilan agar mencabut atau mengangkat sita yang bersangkutan. Kalau pemohon mengajukan perlawanan sesudah dilaksanakan eksekusi maka perlawanan itu tidak dapat lagi diajukan, dan karena itu, pihak ketiga hanya dapat mengajukan upaya hukum biasa dengan mengajukan gugatan biasa. Pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan apabila hak-haknya dirugikan oleh satu satu pihak. Perlawanan derden verzet diajukan kepada Pengadilan yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak dengan cara biasa.






PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA


Yang Harus Diketahui Hakim
Dari jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat, akhirnya akan dapat diketahui oleh hakim apa yang sesungguhnya disengketakan oleh mereka. Peristiwa apa yang menjadi pokok sengketa. Seperti yang telah diketengahkan di muka, tugas hakim adalah mengkonstatir, mengkualifisir, dan kemudian mengkonstituir. Apa yang harus dikonstatirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus dikualifisir. Pasal 4 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 mewajibkan hakim mengadili menurut hukum. Oleh karena itu, hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya.
Tentang hukumnya tidak perlu diberitahukan kepada hakim oleh para pihak, dan tidak perlu pula untuk dibuktikan. Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Ini merupakan asas hukum acara. Oleh karena itu, hakim harus mempunyai pengetahuan tentang hukum. Tidak mengherankan kalau disyaratkan bahwa hakim harus seorang sarjana hukum (UU No. 48 tahun 2009). Dalam tugasnya, hakim harus mengenal hukum. Hukum ini dikenalnya dari perundang-undangan dan kebiasaan. Apakah hukum kebiasaan juga tidak perlu dibuktikan? Tentang hal ini ada putusan HR yang memutuskan: “Dat het bestaan ener gewoonte betreffende zodanige bedingen door den rechter kan worden angenomen anafhankelijk van de wettelijke  voorschirften aangaande de bewijslevering”.( Pilto, Bewijs en Verjaring: t.t/14) Terjemahannya: Bahwa adanya suatu kebiasaan mengenai janji-janji semacam itu dapat diterima oleh hakim, lepas dari ketentuan undang-undang mengenai pembuktian. Jadi, baik hukum yang tertulis maupun yang tidak, tidak perlu dibuktikan. Terumma hukum acara harus dikuasai oleh hakim, karena merupakan “aturan permainan", peradilan.
Meskipun peristiwa atau faktanya itu disajikan oleh para pihak, hakim harus tau pasti akan peristiwa yang diajukan itu. Ia harus mengkonstituirnya, yang berarti bahwa ia harus mengakui kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Dan kebenaran ini hanya dapat diperoleh dengan pembuktian. Untuk dapat 'menjatuhkan putusan yang adil, hakim harus mengenal peristiwa yang telah dibuktikan kebenarannya.
Dalarn beberapa hal, peristiwanya tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim. Ini disebabkan:
Pertama, Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal di bawah ini, peristiwanya tidak perlu dibuktikan.
Dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Karena tergugat tidak datang, peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat dalam surat gugat tanpa diadakan pembuktian dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar, serta di luar hadirnya pihak tergugat dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim.
Dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan bukti, sehingga tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
Dengan telah dilakukan sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Telah menjadi pendapat umum bahwa dalam hal bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian. (Asser-Anema-Verdam, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgrrlijk Recht van Bcwijs: t.t/29)
Kedua, Hakim secara ex officio dianggap mengenali peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Peristiwa-peristiwa itu ialah:
Apa yang dikenal sebagai peristiwa notoir. Peristiwa notoir adalah kejadian atau keadaan yang dianggap harus diketahui oleh orang yang berpendidikan dan mengenal zamannya tanpa mengadakan penelitian lebih lanjut, atau peristiwa yang dapat diketahuinya dari sumber-sumber yang umum tanpa mengadakan penelitian yang berarti dan yang memberi kepastian yang cukup untuk digunakan sebagai alasan yang serius.(Asser-Anema-Verdam, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgrrlijk Recht van Bewijs: t.t/30). Lazimnya, peristiwa notoir ini diartikan sebagai peristiwa yang diketahui umum. Oleh karena itu, hakim yang berpendidikan tinggi dan sudah tentu dianggap berpengetahuan luas pula, harus tahu juga akan peristiwa notoir ini. Sehingga, tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Demikianlah misalnya bahwa Negara Republik Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, bahwa tanggal 17 Agustus 1976 jatuh pada hari Selasa. Itu semua merupakan peristiwa notoir, peristiwa yang diketahui oleh umum, yang tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. (putusan M.A. 22 aG, 1956, H 1957 NO. 12/118)
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di persidangan di muka hakim yang memeriksa perkara. Kejadian-kejadjan prosesuil ini dianggap diketahui oleh hakim, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, misalnya bahwa pihak tergugat tidak datang, bahwa pihak tergugat mengakui gugatan, bahwa pihak penggugat mengajukan barang bukti.
Ketiga, Pengetahuan tentang pengalaman. Yang dimaksudkan dengan pengetahuan tentang pengalaman ini adalah kesimpulan berdasarkan pengetahuan umum. Pengetahuan tentang pengalaman ini tidaklah termasuk hukum, karena tidak bersifat normatif, tetapi merupakan pengalaman semata-mata. Sebaliknya, bukan pula merupakan peristiwa tertentu, melainkan merupakan kejadian yang ajeg. Jadi, merupakan ketentuan umum berdasarkan pengalaman manusia dan yang digunakan untuk menilai peristiwa yang djajukan atau yang telah dibuktikan. Pengetahuan tentang pengalaman ini misalnya, bahwa mobil yang lari dengan kecepatan 100 km per jam tidak mungkin dihentikan seketika; bahwa barang yang berat apabila dilemparkan ke atas akan jatuh ke bawah; bahwa apabila sebuah peluru ditembakkan tembus mengenai kepala manusia, ia akan mati, Itu semuanya tidak memerlukan pembuktian. Pada peristiwa notoir, hakim mengenali peristiwanya secara konkret, seperti perang di Timor Timur. Sedangkan pada pengetahuan tentang pengalaman, hakim menerapkan suatu pengetahuan umum: kapal terbang lebih cepat jalannya daripada sepeda motor.
Membuktikan
Jadi untuk dapat mengkonstatir peristiwa, peristiwa itu harus dibuktikan kebenarannya. Di luar yang telah dikemukakan di atas, semua peristiwa lainnya harus dibuktikan.
Apakah yang Dimaksud dengan Membuktikan?
“Membuktikan” mengandung beberapa pengertian:
Pertama, Kata membuktikan dikenal dalam arti logis atau ilmiah. Membuktikan di sini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu axioma, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari sebuah segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian ini tidak dimungkinkan adanya bukti lawan, kecuali pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Di sini aksioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga dipereh kesimpulan kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.(Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata: 2013/142-143)
Kedua, Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensional. Di sini pun membuktikan berarti juga memberi kepastian. Hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian yang basifat nisbi atau relatif, yang mempunyai tingkatan-tingkatan.
kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan, kepastian ini bersifat intuitif dan disebut conviction in time.  
kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal sehingga disebut conviction rasonne.
Ketiga, Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan. Akan tetapi, merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian, pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian “historis". (H Drion, Bewijzen in het recht. Themis 1966 afl. 5/6: t.t/410) Pembuktian yang bersifat historis ini mcncoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik dalam pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, membuktikan pada hakikatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Dalam pembuktian secara yuridis, sering terjadi bahwa pengamatannya sebagai dasar dari pembuktian tidak bersifat langsung didasarkan atas penglihatan, tetapi didasarkan ataskesaksian oleh orang lain. Kecuali itu, dipisahkan antara pihak yang mengajukan alat-alat bukti dan pihak yang harus menetapkan bahwa sesuatu telah terbukti.   
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Menurut Suyling, membuktikan secara yuridis tidak hanya memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga terjadinya suatu peristiwa, yang tidak tergantung pada tindakan para pihak, seperti pada persangkaan-persangkaan, dan tidak tergantung pada keyakinan hakim seperti pada pengakuan dan sumpah.(K. Wiersma, Bewijzen in hat burgerlijk geding. Themis 1966 afl, 5/6: t.t/462)   Kesamaan ketiga jenis pembuktian adalah bahwa membuktikan berarti memberi motivasi mengapa sesuatu itu dianggap benar dan didasarkan pada pengalaman dan pengamatan.
Tujuan Pembuktian
Sudah menjadi communis opinio seperti yang telah diketengahkan di muka bahwa membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim, karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa, mengkualifisirnya,  dan kemudian mengkonstituir. Maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Walaupun putusan itu diharuskan objektif, dalam hal pembuktian dibedakan antara pembuktian dalam perkara pidana yang mensyaratkan adanya keyakinan dan pembuktian dalam perkara perdata yang tidak secara tegas mensyaratkan adanya keyakinan. Di Inggris disyaratkan bahwa di dalam perkara pidana peristiwanya harus “beyond reasonable doubt’, sedang dalam perkara perdata cukup dengan preponderance of evidence”.
Berbeda dengan tujuan pembuktian ilmiah ialah bahwa pernbuktian ilmiah adalah suatu konstatasi peristiwa dan bukan semata-mata untuk mengambil kesimpulan atau putusan. Tujuan pembuktian yuridis adalah untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan  tidak meragukan yang mempunyai akibat hukum. Putusan pengadilan harus objektif dalam arti mengandung unsur kesamaan dalam hukum: kesamaan perlakuan terhadap para pihak.
Hukum Pembuktian Positif
Di samping pembagian hukum menjadi hukum materiil (substantive law) dan hukum formil (adjective law), masih dikenal adanya unsur materiil dari hukum, yang rnengatur tentang isi, dan unsur fdrmil, yang mengatur tentang caranya. Unsur-unsur ini kita jumpai baik di dalam hukum materiil maupun hukum formil.
Hukum acara sebagai hukum formil mempunyai unsur materiil maupun formil. Unsur-unsur materiil dari hukum acara adalah ketentuan yang mengatur tentang wewenang, misalnya ketentuan tentang hak dari pihak yang dikalahkan. Sedangkan unsur formil mengatur tentang cara menggunakan wewenang tersebut, misalnya tentang bagaimana caranya naik banding dan sebagainya.
Hukum pembuktian pun, yang termasuk hukum acara juga; terdiri dari unsur materiil maupun formil. Hukum pembuktian materiil mengatur tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan (toelaabaarheid, admissiblity) serta kekuatan pembuktiannya, sedang hukum pembuktian formil mengatur tentang caranya mengadakan pembuktian.
Hukum pembuktian positif kita dalam acara perdata diatur dalam HIR dan Rbg serta BW buku IV. Yang tercantum dalam HIR dan Rbg adalah hukum pembuktian baik yang materiil maupun formil. Apa yang tercantum dalam BW buku IV adalah hukum pcmbuktian materiil. Sumber hukum pembuktian formil lainnya kecuali yang termuat dalarn HIR dan Rbg adalah Rv.
Isi ketentuan dalam HIR (Rbg) mengenai pembuktian dalam garis besarnya memiliki persamaan dengan BW buku IV. Hukum pembuktian yang diatur dalam HIR (Rbg) dan BW itu tidak lengkap dan kurang sistematis.
Hukum pembuktian dalam BW buku IV itu disusun khusus untuk acara contradictoir dalam bidang hukum harta kekayaan di muka hakim perdata. Bagi acara declaratoir atau peradilan volunter pada asasnya tidak berlaku hukum pembuktian BW buku IV, tetapi diperlakukan secara analog. (Asser-Anema-Veram, Handleiding tot de Beoefeningvan het Netherlands Burgerlijk Recth, van Bewijs: t.t/54)
Apa yang Harus Dibuktikan
Seperti yang telah diketengahkan di muka, yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya. Hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim (ius curia novit). Ketentuan ini dapat disimpulkan dari Pasal 178 ayat 1 HIR (Pasal 189 ayat 1 Rbg) dan Pasal 50 ayat 1 Rv.
Jadi, hakim dalam proses perdata terutama harus menemukan dan menemukan peristiwanya atau hubungan hukumnya dan kemudian memperlakukan atau menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkannya itu.
Peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh penggugat dan tergugat belum tentu semuanya penting bagi hakim sebagai dasar pertimbangan dari putusannya. Peristiwa-peristiwa itu masih harus disaring oleh hakim, harus dipisahkan mana yang penting (relevant; material) bagi hukum dan mana yang tidak (irrelevant, immaterial). Peristiwa yang relevan itulah yang harus ditetapkan dan oleh karena itu harus dibuktikan. Misalnya yang harus dibuktikan ialah adanya perjanjian utang-piutang antara penggugat dan tergugat. Tidaklah relevan bagi hukum apakah penggugat pada waktu mengadakan perjanjian tersebut memakai baju batik dan tergugat sedang merokok. Yang relevan bagi hakim ialah apakah benar-benar pada waktu dan tempat tertentu telah terpenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, sehingga terjadilah perjanjian utang-piutang terima antara kedua belah pihak. Apakah yang dimaksud dengan peristiwa yang harus dibuktikan itu juga hak? Dengan perkataan lain: apakah hak dapat dibuktikan? Dari pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg) dan 1865 BW telah jelas, bahwa siapa yang mengaku mempunyai hak harus membuktikannya. Telah merupakan pendapat umum serta yurisprudensi tetap juga bahwa hak dapat pula dibuktikan. Bukankah tujuan dari pembuktian itu untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua belah pihak, suatu hubungan yang sering tidak dapat dilihat atau diamati oleh panca indra? Pertanyaan tersebut timbul oleh karena para sarjana hukum dalam abad yang lalu berpendapat bahwa yang dapat dibuktikan hanyalah yang dapat diamati dengan panca indra saja.”(Pitlo, Bewijs en Verjaring: t.t/22)
Dari peristiwa itu yang harus dibuktikan adalah kebenarannya. Sering dikatakan bahwa dalam acara perdata, kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah kebenaran indrawi, berlainan dengan dalam acara pidana, di mana hakim mencari kebenaran materiil. Ini tidak berarti bahwa dalam acara perdata hakim mencari kebenaran yang setengah-setengah atau palsu. Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara, jadi tidak melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi kepada luasnya pemeriksaan oleh hakim. Pasal 178 ayat 3 HIR (Pasal 189 ayat 3 Rbg. 50 ayat 3 Rv) melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari yang dituntut. Dalam mencari kebenaran formil, hakim perdata cukup membuktikan dengan ‘preponderance of evidence” saja, sedang bagi hakim pidana dalam mencari kebenaran materiil peristiwanya harus terbukti “beyond reasonable doubt”.
Kalau objek pembuktian yuridis adalah peristiwa konkret individual dan bersifat historis, karena peristiwa yang dibuktikan pada umumnya adalah peristiwa yang sudah terjadi diwaktu yang silarn, objek pembuktian ilmiah adalah dalil-dalil. Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam pembuktian ilmiah pun objeknya adalah peristiwa konkret individual seperti seorang dokter yang harus mendiagnosis suatu penyakit.
Siapa yang Harus Membuktikan
Yang mencari kebenaran dan menetapkan atau mengkonstatir peristiwanya adalah hakim. Peristiwa itu ditetapkan atau dikonstatir oleh hakim setelah dianggapnya terbukti benar. Kalau hakim yang harus mengkonstatir peristiwanya, siapakah yang wajib membuktikannya; yang wajib membuktikan atau mengajukan alat-alat bukti adalah Yang berkepentingan di dalam perkara atau sengketa. Yang berkepentingan tidak lain adalah para pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Para pihaklah yang wajib membuktikan peristiwa yang disengketakan dan bukan hakim. Hal ini dapat kita baca dalam Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg) dan 1865 BW. “Barang siapa yang mengaku mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (baca juga Pasal 178 ayat 1 HIR, 189 ayat 1 Rbg. 50 ayat 1 Rv). Jadi, dalam hal ini dipisahkan antara yang harus membuktikan atau yang harus mengajukan alat-alat bukti, yaitu para pihak, dan yang harus menyatakan terbukti atau tidaknya suatu peristiwa, yaitu hakim.
Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk suatu peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, pembuktian itu masih harus dinilai. Dalam hal ini pembentuk undang-undang dapat mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga ia tidak bebas menilainya. Sebaliknya, pembentuk undang undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan kepada hakim dalam menilai pembuktian. Terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis misalnya, hakim terikat dalam penilaiannya (Pasal 165 HIR, 285 Rbg. 1870 BW). Sebaliknya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang berarti bahwa ia bebas menilai kesaksian (Pasal 172 HIR, 309 Rbg, 1908 BW).
Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah judex facti saja, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.” (M.A 29 Juli 1967 No. 7 K/Sip/1967, J.I. Pen. II/69, hal. 93) Apabila alat bukti oleh hakim dinilai cukup memberi kepastian tentang peristiwa yang disengketakan untuk mengabaikan akibat hukum yang dituntut oleh penggugat, kecuali ada bukti lawan, bukti itu dinilai sebagai bukti lengkap atau sempuma. Jadi bukti itu dinilai lengkap atau sempuma apabila hakim berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu harus dianggap sudah pasti atau benar.
Tiap pembuktian, walau dengan bukti lengkap sekalipun, dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. Pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan untuk menyangkut akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk membuktikan ketidakbenaran peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan. Bukti lawan tidak dimungkinkan terhadap bukti yang bersifat menentukan atau memutuskan. Bukti yang bersifat menemukan ini adalah bukti lengkap atau sempuma yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Pasal 177 HIR (Pasal 314 Rbg) dan 1936 BW tentang sumpah tidak memungkinkan bukti lawan.
Berhubung dalam menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas atau diikat oleh undang-undang, maka timbullah pertanyaan: sampai berapa jauhkah hukum positif boleh mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa di dalam sidang? Tentang hal ini ada tiga teori: (Asser-Anema-Verdam, 49) 
Teori pembuktian bebas“ Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian sedapat mungkin diserahkan kepadanya.
Teori pembuktian negatif" Menurut teori ini, harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada Iarangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim di sini dilarang dengan pengecualian (Pasal 169 HIR. 306 Rbg. 1905 BW).  
Teori Pembuktian positif Di samping adanya Iarangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Di sini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat pasal 165 HIR. 285 Rbg. 1870 BW).
Pendapat umum menghendaki teori pembuktian yang lebih bebas. Hasrat akan adanya kebebasan dalam hukum pembuktian ini dimaksudkan untuk memberi kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.(Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia: 2013/139-149)