KEADILAN DI ATAS KEPASTIAN HUKUM
Dalam praktik di dunia
peradilan sering kali ditemukan prinsip keadilan hukum kalah dengan
prinsip kepastian hukum, yang menjadi mahkota bukan keadilan akan tetapi
kepastian hukum. Padahal setiap putusan hakim wajib diawali dengan
kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang
mempuyai makna bahwa hakim harus menjadikan keadilan sebagai spirit
utama dalam seluruh bagian putusan, keadilan harus di atas yang lainnya
termasuk di atas kepastian hukum. Keadilan dijadikan sebagai pisau
analisis dalam setiap tahapan putusan, mulai dari tahap konstantir,
tahap kualiflkasi dan tahap konstituir.
Menurut Gustav Radbruch (Theo Huijbers: 1982)
dari tiga tujuan hukum (yaitu: kepastian, keadilan, dan kemanfaatan)
keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama daripada
kepastian dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav
Radbruch tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara
tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan
teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi
praktik-praktik yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia
II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktik-praktik kekejaman
perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di
atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain.
Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan
utama, karena hal ini sesuai dengan hakikat atau ontologi hukum itu
sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui
peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang
saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh
sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Bahkan dapat dikatakan
dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang
istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum.
Fenomena
keadilan di bawah kepastian ini memang sulit dihindari, salah satu
penyebabnya adalah ketika suatu hukum telah bertransformasi menjadi
undang-undang yang merupakan prinsip yang utama dalam kultur civil law
system (Romawi-Jerman atau corak keluarga Eropa Kontinental),
sistem hukum yang diadopsi Indonesia sekarang ini. Kehadiran corak
keluarga sistem hukum ini merupakan produk historis yang dibawa oleh
Kolonial Belanda, yang kemudian mengejawantah ke dalam aspek substansi,
struktur, dan budaya hukum Indonesia sampai sekarang (Shidarta: 2009).
Undang-undang
memiliki kelebihan dalam memenuhi tujuan kepastian, namun ia juga
memiliki kelemahan karena sifatnya akan menjadi tidak fleksibel, kaku
dan statis. Penulisan adalah pembatasan, dan pembatasan atas suatu hal
yang sifatnya abstrak (pembatasan dalam konteks materi) dan dinamis
(pembatasan dalam konteks waktu) seperti halnya value consciousness
masyarakat ke dalam suatu undang-undang secara logis akan membawa kepada
konsekuensi ketertinggalan substansi undang-undang tersebut atas bahan
pembentuknya (nilai-nilai masyarakat).
Suatu undang-undang
memang memiliki mekanisme pembaruan (legal reform) sebagai upaya
meminimalisir sifat ketidak-dinamisannya, namun setiap orang juga
mengetahui bahwa memperbarui suatu undang-undang baik melalui proses
legislasi maupun proses kontekstualisasi oleh hakim bukanlah perkara
yang gampang untuk dilakukan. Proses legislasi tidak dapat dipungkiri
juga merupakan manifestasi proses pergulatan politik, dimana untuk
menghasilkan suatu undang-undang yang baru tidak akan dapat
dilangsungkan dalam waktu yang singkat karena membutuhkan upaya
pencapaian kesepakatan atas kelompok-kelompok dengan visi dan misi yang
berbeda-beda.
Sedangkan pembaruan oleh hakim melalui putusannya
juga tidak bisa dilakukan secara maksimal, di samping karena pengaruh
kultur civil law system yang menghendaki hakim untuk mendasarkan diri
secara ketat kepada bunyi undang-undang walaupun undang-undang tersebut
telah ketinggalan zaman, juga dikarenakan paradigma berpikir hakim masih
banyak mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum (Ade Maman
Suherman: 2004). Dengan demikian, tujuan utama
yang dituju bukanlah keadilan melainkan kepastian, karena fllsafat
positivisme mengutamakan hal yang sifatnya jelas dan pasti (positif) di
atas segalanya dengan alasan bahwa hanya hal yang bersifat pasti saja
yang dapat dijadikan ukuran kebenaran.
Pada akhirnya, apa yang
adil tidaklah diukur dari seberapa mampukah masyarakat merasakannya
sebagai suatu hal yang sesuai dengan rasa keadilan mereka melainkan
seberapa sesuaikah putusan hakim yang ada dengan bunyi aturan dalam
undang-undang. Fenomena ini merupakan problem mendasar dalam penegakan
hukum di Indonesia. (Ahmad Zaenal Fanani, Berfikir Filsafati dalam
Putusan Hakim dalam Varia Peradilan No. 304 Maret 2011. h. 57)
0 komentar:
Post a Comment