Tuesday, March 12, 2019

KEADILAN DI ATAS KEPASTIAN HUKUM


Dalam praktik di dunia peradilan sering kali ditemukan prinsip keadilan hukum kalah dengan prinsip kepastian hukum, yang menjadi mahkota bukan keadilan akan tetapi kepastian hukum. Padahal setiap putusan hakim wajib diawali dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempuyai makna bahwa hakim harus menjadikan keadilan sebagai spirit utama dalam seluruh bagian putusan, keadilan harus di atas yang lainnya termasuk di atas kepastian hukum. Keadilan dijadikan sebagai pisau analisis dalam setiap tahapan putusan, mulai dari tahap konstantir, tahap kualiflkasi dan tahap konstituir.
Menurut Gustav Radbruch (Theo Huijbers: 1982) dari tiga tujuan hukum (yaitu: kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama daripada kepastian dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktik-praktik yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktik-praktik kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakikat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum.  
Fenomena keadilan di bawah kepastian ini memang sulit dihindari, salah satu penyebabnya adalah ketika suatu hukum telah bertransformasi menjadi undang-undang yang merupakan prinsip yang utama dalam kultur civil law system (Romawi-Jerman atau corak keluarga Eropa Kontinental), sistem hukum yang diadopsi Indonesia sekarang ini. Kehadiran corak keluarga sistem hukum ini merupakan produk historis yang dibawa oleh Kolonial Belanda, yang kemudian mengejawantah ke dalam aspek substansi, struktur, dan budaya hukum Indonesia sampai sekarang (Shidarta: 2009).
Undang-undang memiliki kelebihan dalam memenuhi tujuan kepastian, namun ia juga memiliki kelemahan karena sifatnya akan menjadi tidak fleksibel, kaku dan statis. Penulisan adalah pembatasan, dan pembatasan atas suatu hal yang sifatnya abstrak (pembatasan dalam konteks materi) dan dinamis (pembatasan dalam konteks waktu) seperti halnya value consciousness masyarakat ke dalam suatu undang-undang secara logis akan membawa kepada konsekuensi ketertinggalan substansi undang-undang tersebut atas bahan pembentuknya (nilai-nilai masyarakat).  
Suatu undang-undang memang memiliki mekanisme pembaruan (legal reform) sebagai upaya meminimalisir sifat ketidak-dinamisannya, namun setiap orang juga mengetahui bahwa memperbarui suatu undang-undang baik melalui proses legislasi maupun proses kontekstualisasi oleh hakim bukanlah perkara yang gampang untuk dilakukan. Proses legislasi tidak dapat dipungkiri juga merupakan manifestasi proses pergulatan politik, dimana untuk menghasilkan suatu undang-undang yang baru tidak akan dapat dilangsungkan dalam waktu yang singkat karena membutuhkan upaya pencapaian kesepakatan atas kelompok-kelompok dengan visi dan misi yang berbeda-beda.  
Sedangkan pembaruan oleh hakim melalui putusannya juga tidak bisa dilakukan secara maksimal, di samping karena pengaruh kultur civil law system yang menghendaki hakim untuk mendasarkan diri secara ketat kepada bunyi undang-undang walaupun undang-undang tersebut telah ketinggalan zaman, juga dikarenakan paradigma berpikir hakim masih banyak mendasarkan diri pada filsafat positivisme hukum (Ade Maman Suherman: 2004). Dengan demikian, tujuan utama yang dituju bukanlah keadilan melainkan kepastian, karena fllsafat positivisme mengutamakan hal yang sifatnya jelas dan pasti (positif) di atas segalanya dengan alasan bahwa hanya hal yang bersifat pasti saja yang dapat dijadikan ukuran kebenaran.  
Pada akhirnya, apa yang adil tidaklah diukur dari seberapa mampukah masyarakat merasakannya sebagai suatu hal yang sesuai dengan rasa keadilan mereka melainkan seberapa sesuaikah putusan hakim yang ada dengan bunyi aturan dalam undang-undang. Fenomena ini merupakan problem mendasar dalam penegakan hukum di Indonesia. (Ahmad Zaenal Fanani, Berfikir Filsafati dalam Putusan Hakim dalam Varia Peradilan No. 304 Maret 2011. h. 57)

0 komentar:

Post a Comment