Sunday, March 10, 2019

ASAS DOUBLE JEOPARDY SEBAGAI SALAH SATU HAK ASASI TERDAKWA


Asas double jeopardy berakar dari masa Yunani dan Romawi, kemudian menjadi bagian dari common law di Inggris. Selanjutnya berkembang sebagai salah satu asas umum peradilan. Dalam kasus Green v US (1957), Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa gagasan di balik larangan double jeopardy, bahwa negara dengan segala sumber dan kekuasaannya tidak dibenarkan mencoba mengulangi mendakwa seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana. Membenarkan atau membiarkan negara bertindak semacam itu akan mempermalukan, merugikan dan memaksa yang bersangkutan terus dalam keragu-raguan dan tidak ada kepastian, serta memperbesar kemungkinan dibuktikan bersalah walaupun sesungguhnya tidak bersalah (Corwin, The Constitutional, 1978, hlm. 371). 
Yang dimaksud double jeopardy, yaitu: tidak seorang pun dapat dituntut (prosecuted, indicted) atau dipidana (punished) dua kali (lebih dari satu kali) untuk suatu perbuatan pidana yang sama. Asas double jeopardy berasal dari asas nemo debet vis vexari (tidak seorang pun dapat dibahayakan (menghadapi bahaya) dua kali untuk pelanggaran yang sama). Ada beberapa unsur penting dalam asas double jeopardy. Pertama; asas double jeopardy adalah asas dalam pemidanaan (hukum pidana). Asas ini tidak diterapkan dalam perkara keperdataan (perkara perdata) dan perkara tata usaha negara. Persoalannya: “Apakah mungkin, seseorang yang sudah dijatuhi pidana badan dan/atau denda kemudian digugat secara keperdataan oleh korban untuk memperoleh ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum (onrecht-matigedaad). Sepanjang dalam pemidanaan belum disertai kewajiban membayar ganti rugi, masih dimungkinkan (diperbolehkan) memajukan gugatan keperdataan. Apabila dalam pemidanaan telah disertai pidana ganti kerugian, tidak dibenarkan lagi memajukan gugatan keperdataan ganti rugi. Memajukan gugatan keperdataan untuk memperoleh lagi ganti rugi harus termasuk dalam makna double jeopardy. Pidana denda tidak menutup gugatan keperdataan. Denda adalah pembayaran untuk negara, sedangkan ganti kerugian adalah untuk korban (victim). Bagaimana dengan pidana korupsi. Putusan pidana korupsi dapat sekaligus terdiri dari pidana badan, denda, dan uang pengganti (pengganti kerugian negara). Karena negara telah menerima pembayaran kerugian negara (uang pengganti), maka berlaku asas double jeopardy (dilarang mengadili kembali, karena negara (kalau menang) akan menerima dua kali ganti kerugian untuk satu perkara yang sama. Kedua; satu (suatu) perbuatan (atau kelalaian) yang sama. Artinya sekali berbuat pidana (sekali peristiwa pidana). Bukan dalam arti jenis pidana yang sama. Asas double jeopardy tidak berlaku pada seseorang yang mencuri lagi setelah sebelumnya dipidana karena pencurian. Ketiga; dilarang dituntut atau dipidana dua kali, artinya tidak boleh diadili dan diputus lebih dari satu kali untuk satu perbuatan yang sama. 
Perlu pula ditegaskan, double jeopardy tidak termasuk (memasukkan) tuntutan atau pemidanaan komulasi (seperti dalam perkara korupsi). Tuntutan atau pemidanaan komulasi diperbolehkan, karena tidak menuntut dan mengadili dua kali, melainkan satu perbuatan sekaligus mengandung berbagai jenis pelanggaran pidana dengan ancaman pemidanaan yang berbeda. Di Indonesia, walaupun ada tuntutan komulasi, tetapi putusan hakim hanya satu pemidanaan (komulatif) atau alternatif atau hanya satu jenis pidana) . Berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat. Seorang dapat sekaligus diadili atas dasar bermacam-macam pelanggaran dan dijatuhi pidana yang berbeda-beda menurut aneka ragam pelanggaran tersebut, sehingga ada terpidana dijatuhi pidana sampai 120 tahun. 
Bagaimana dengan pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden, atau seperti di Amerika Serikat juga terhadap pejabat lain, misalnya hakirn. Ada yang berpendapat berlaku asas larangan double jeopardy. Pemakzulan adalah peradilan khusus Presiden dan/atau Wakil Presiden. Bertentangan dengan keadilan apabila akan diadili dalam perkara yang sama, hanya ancaman hukumannya yang berbeda. Tetapi ada pendapat tidak berlaku larangan double jeopardy untuk impeachment. Dalam Pasal I sec. 3, alinea ke-8 DUD. Amerika Serikat didapati ketentuan: “Judgment in cases of impeachment shell not extent further than to removal from office, and discqualification to hold and enjoy any office ..., but the party convicted shall nevertheless be liable and subject to indictment, trial, judgment, and punishment, according to law”. Di satu pihak, putusan impeachment hanya terbatas pada memberhentikan dari jabatan dan larangan menjabat jabatan tertentu, tetapi di pihak lain yang dicetak tebal oleh Pen.-disebutkan mereka yang sudah dikenai hukuman karena impeachment, akan tetap bertanggung jawab dan dapat digugat, diadili, diputus, dan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Klausul ini merupakan suatu pembenaran menerapkan double jeopardy. Di pihak lain, Amendemen V (1791) menyebutkan-antara lain: “. . . nor shall any person be subject for the same affence to be twice put in jeopardy of life or limb ...”. Alasan membolehkan mengadili kembali dan menjatuhkan hukuman, karena hukuman impeachment tidak mengakibatkan jeopardy (ancaman atau bahaya) bagi kehidupan yang bersangkutan (life) (lihat, Edward S. Corwin, The Constitution, 1978, hlm.16). 
Seperti asas Expost facto law, asas double jeopardy dapat dijumpai dalam kesepakatan atau hukum internasional dan hukum nasional. 
1. Kesepakatan dan Hukum Internasional 
  1. Internasional Covenant on Civil and Political Rights, FEB, 1966, Pasal 14 angka 7: “No one shall be tried or punished again for an offence for which he has already been finally convicted or acquitted in accordance with the law and penal procedure of each country" (Tidak seorang pun dapat diadili atau dipidana lagi atas suatu pelanggaran di mana yang bersangkutan telah dipidana atau dibebaskan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai dengan hukum dan tata cara pemidanaan yang berlaku pada negara yang bersangkutan).  
  2. ProtokoI Ketujuh (1984) dari European Convention on Human Rights, Pasal 4 (Right not to be tried or punished twice).   
  • No one shall be liable to be tried or punished again in criminal proceedings under the jurisdiction of the same State for an offence for which he has already been finalty acquitted or convicted in accordance with the law and penal procedure of that State. (Tidak seorang pun dapat diadili atau dipidana lagi melalui peradilan pidana di bawah wewenang negara yang sama terhadap pelanggaran pidana yang sudah diputus bebas atau dipidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai dengan hukum dan hukum secara pidana negara yang bersangkutan)
  • The provisions of proceeding paragraph shall not prevent the re-opening of the case in accordance with the law and penal procedure of the State concerned, if there is evidence of new or newly discovered facts, or if there have been a fundamental defect in the previdus proceedings, which could affect the out come of the case.(Ketentuan-ketentuan terdahulu tidak menutup (kemungkinan) membuka kasus yang sudah diputus (diputus bebas atau dipidana) sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana negara yang bersangkutan apabila ada bukti berdasarkan fakta-fakta baru, atau apabila didapati cacat fundamental dalam proses peradilan terdahulu (yang sudah diputus) yang mungkin mempengaruhi hasil akhir kasus yang bersangkutan.
2. Ketentuan-ketentuan Nasional
Amerika Serikat asas larangan double jeopardy diatur dalam Amendemen V dalam anak kalimat: “nor shall any person be subject for the same offence to be twice put in jeopardy or limb” (tidak seorang pun akan dihadapkan dua kali pada risiko atau bahaya untuk satu pelanggaran yang sama). Secara maknawi anak kalimat ini bermaksud: “tidak seorang pun dapat diadili dua kali untuk satu pelanggaran yang sama”.
Di India, asas larangan double jeopardy diatur dalam UUD, Pasal 20 Ayat (2): “no person shall be prosecuted or punished for the same offence more than one” (tidak seorang pun dapat dituntut atau dipidana) lebih dari satu kali atas satu pelanggaran (pidana) yang sama). (Varia Peradilan No. 325 Desember 2012, hlm. 12-15) 



0 komentar:

Post a Comment