ASAS DOUBLE JEOPARDY SEBAGAI SALAH SATU HAK ASASI TERDAKWA
Asas
double jeopardy berakar dari masa Yunani dan Romawi, kemudian menjadi
bagian dari common law di Inggris. Selanjutnya berkembang sebagai salah
satu asas umum peradilan. Dalam kasus Green v US (1957),
Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan bahwa gagasan di balik
larangan double jeopardy, bahwa negara dengan segala sumber dan
kekuasaannya tidak dibenarkan mencoba mengulangi mendakwa seseorang yang
telah melakukan perbuatan pidana. Membenarkan atau membiarkan negara
bertindak semacam itu akan mempermalukan, merugikan dan memaksa yang
bersangkutan terus dalam keragu-raguan dan tidak ada kepastian, serta
memperbesar kemungkinan dibuktikan bersalah walaupun sesungguhnya tidak
bersalah (Corwin, The Constitutional, 1978, hlm. 371).
Yang
dimaksud double jeopardy, yaitu: tidak seorang pun dapat dituntut
(prosecuted, indicted) atau dipidana (punished) dua kali (lebih dari
satu kali) untuk suatu perbuatan pidana yang sama. Asas double jeopardy
berasal dari asas nemo debet vis vexari (tidak seorang pun dapat
dibahayakan (menghadapi bahaya) dua kali untuk pelanggaran yang sama).
Ada beberapa unsur penting dalam asas double jeopardy. Pertama; asas
double jeopardy adalah asas dalam pemidanaan (hukum pidana). Asas ini
tidak diterapkan dalam perkara keperdataan (perkara perdata) dan perkara
tata usaha negara. Persoalannya: “Apakah mungkin, seseorang yang sudah
dijatuhi pidana badan dan/atau denda kemudian digugat secara keperdataan
oleh korban untuk memperoleh ganti kerugian atas dasar perbuatan
melawan hukum (onrecht-matigedaad). Sepanjang dalam pemidanaan belum
disertai kewajiban membayar ganti rugi, masih dimungkinkan
(diperbolehkan) memajukan gugatan keperdataan. Apabila dalam pemidanaan
telah disertai pidana ganti kerugian, tidak dibenarkan lagi memajukan
gugatan keperdataan ganti rugi. Memajukan gugatan keperdataan untuk
memperoleh lagi ganti rugi harus termasuk dalam makna double jeopardy.
Pidana denda tidak menutup gugatan keperdataan. Denda adalah pembayaran
untuk negara, sedangkan ganti kerugian adalah untuk korban (victim).
Bagaimana dengan pidana korupsi. Putusan pidana korupsi dapat sekaligus
terdiri dari pidana badan, denda, dan uang pengganti (pengganti kerugian
negara). Karena negara telah menerima pembayaran kerugian negara (uang
pengganti), maka berlaku asas double jeopardy (dilarang mengadili
kembali, karena negara (kalau menang) akan menerima dua kali ganti
kerugian untuk satu perkara yang sama. Kedua; satu (suatu) perbuatan
(atau kelalaian) yang sama. Artinya sekali berbuat pidana (sekali
peristiwa pidana). Bukan dalam arti jenis pidana yang sama. Asas double
jeopardy tidak berlaku pada seseorang yang mencuri lagi setelah
sebelumnya dipidana karena pencurian. Ketiga; dilarang dituntut atau
dipidana dua kali, artinya tidak boleh diadili dan diputus lebih dari
satu kali untuk satu perbuatan yang sama.
Perlu pula ditegaskan,
double jeopardy tidak termasuk (memasukkan) tuntutan atau pemidanaan
komulasi (seperti dalam perkara korupsi). Tuntutan atau pemidanaan
komulasi diperbolehkan, karena tidak menuntut dan mengadili dua kali,
melainkan satu perbuatan sekaligus mengandung berbagai jenis pelanggaran
pidana dengan ancaman pemidanaan yang berbeda. Di Indonesia, walaupun
ada tuntutan komulasi, tetapi putusan hakim hanya satu pemidanaan
(komulatif) atau alternatif atau hanya satu jenis pidana) . Berbeda
dengan misalnya di Amerika Serikat. Seorang dapat sekaligus diadili atas
dasar bermacam-macam pelanggaran dan dijatuhi pidana yang berbeda-beda
menurut aneka ragam pelanggaran tersebut, sehingga ada terpidana
dijatuhi pidana sampai 120 tahun.
Bagaimana
dengan pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden, atau
seperti di Amerika Serikat juga terhadap pejabat lain, misalnya hakirn.
Ada yang berpendapat berlaku asas larangan double jeopardy. Pemakzulan
adalah peradilan khusus Presiden dan/atau Wakil Presiden. Bertentangan
dengan keadilan apabila akan diadili dalam perkara yang sama, hanya
ancaman hukumannya yang berbeda. Tetapi ada pendapat tidak berlaku
larangan double jeopardy untuk impeachment. Dalam Pasal I sec. 3, alinea
ke-8 DUD. Amerika Serikat didapati ketentuan: “Judgment in
cases of impeachment shell not extent further than to removal from
office, and discqualification to hold and enjoy any office ..., but the
party convicted shall nevertheless be liable and subject to indictment,
trial, judgment, and punishment, according to law”. Di satu pihak,
putusan impeachment hanya terbatas pada memberhentikan dari jabatan dan
larangan menjabat jabatan tertentu, tetapi di pihak lain yang dicetak
tebal oleh Pen.-disebutkan mereka yang sudah dikenai hukuman karena
impeachment, akan tetap bertanggung jawab dan dapat digugat, diadili,
diputus, dan dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Klausul ini
merupakan suatu pembenaran menerapkan double jeopardy. Di pihak lain,
Amendemen V (1791) menyebutkan-antara lain: “. . .
nor shall any person be subject for the same affence to be twice put in
jeopardy of life or limb ...”. Alasan membolehkan mengadili kembali dan
menjatuhkan hukuman, karena hukuman impeachment tidak mengakibatkan
jeopardy (ancaman atau bahaya) bagi kehidupan yang bersangkutan (life)
(lihat, Edward S. Corwin, The Constitution, 1978, hlm.16).
Seperti
asas Expost facto law, asas double jeopardy dapat dijumpai dalam
kesepakatan atau hukum internasional dan hukum nasional.
1. Kesepakatan dan Hukum Internasional
- Internasional Covenant on Civil and Political Rights, FEB, 1966, Pasal 14 angka 7: “No one shall be tried or punished again for an offence for which he has already been finally convicted or acquitted in accordance with the law and penal procedure of each country" (Tidak seorang pun dapat diadili atau dipidana lagi atas suatu pelanggaran di mana yang bersangkutan telah dipidana atau dibebaskan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai dengan hukum dan tata cara pemidanaan yang berlaku pada negara yang bersangkutan).
- ProtokoI Ketujuh (1984) dari European Convention on Human Rights, Pasal 4 (Right not to be tried or punished twice).
- No one shall be liable to be tried or punished again in criminal
proceedings under the jurisdiction of the same State for an offence for
which he has already been finalty acquitted or convicted in accordance
with the law and penal procedure of that State. (Tidak seorang pun dapat diadili atau dipidana lagi melalui peradilan
pidana di bawah wewenang negara yang sama terhadap pelanggaran pidana
yang sudah diputus bebas atau dipidana yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap sesuai dengan hukum dan hukum secara pidana negara yang
bersangkutan)
- The provisions of proceeding paragraph shall not prevent the re-opening of the case in accordance with the law and penal procedure of the State concerned, if there is evidence of new or newly discovered facts, or if there have been a fundamental defect in the previdus proceedings, which could affect the out come of the case.(Ketentuan-ketentuan terdahulu tidak menutup (kemungkinan) membuka kasus yang sudah diputus (diputus bebas atau dipidana) sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana negara yang bersangkutan apabila ada bukti berdasarkan fakta-fakta baru, atau apabila didapati cacat fundamental dalam proses peradilan terdahulu (yang sudah diputus) yang mungkin mempengaruhi hasil akhir kasus yang bersangkutan.
2. Ketentuan-ketentuan Nasional
Amerika
Serikat asas larangan double jeopardy diatur dalam Amendemen V dalam
anak kalimat: “nor shall any person be subject for the same offence to
be twice put in jeopardy or limb” (tidak seorang pun akan dihadapkan dua
kali pada risiko atau bahaya untuk satu pelanggaran yang sama). Secara
maknawi anak kalimat ini bermaksud: “tidak seorang pun dapat diadili dua
kali untuk satu pelanggaran yang sama”.
Di India, asas larangan
double jeopardy diatur dalam UUD, Pasal 20 Ayat (2): “no person shall
be prosecuted or punished for the same offence more than one” (tidak
seorang pun dapat dituntut atau dipidana) lebih dari satu kali atas satu
pelanggaran (pidana) yang sama). (Varia Peradilan No. 325 Desember 2012, hlm. 12-15)
0 komentar:
Post a Comment