Friday, March 8, 2019

WHISTLEBLOWER DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA


Pasal 184 Ayat (1) KUHAP menentukan salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi/saksi korban dengan menempati urutan sebagai alat bukti utama. Sedangkan pengertian saksi dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP secara tegas diberikan rumusan, yakni: “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri”.  
Konsep pengertian saksi tersebut dalam praktik peradilan pidana telah mengalami perkembangan cukup signifikan, di mana ternyata orang-orang yang sekadar mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan suatu tindak pidana, sudah dapat dikategorikan dalam status sebagai saksi dan untuk itu mereka dapat dimintai keterangan. Sedangkan dalam beberapa Undang-Undang Tindak Pidana Khusus yakni Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Narkotika Nomor 5 Tahun 1997, Undang-Undang Pencucian Uang Nomor 15 Tahun 2002, Undang-Undang Terorisme Nomor 15 Tahun 2003, muncul istilah “saksi" dan “pelapor”.
Sedangkan mengenai pengertian “Pelapor” dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 butir 24 KUHAP yang menentukan perihal “Laporan” adalah: Pemberitahuan yang disampaikan oleh sesorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Sehingga dari pengertian “laporan” tersebut dapat diambil pengertian dari “pelapor” adalah orang yang memberikan/menyampaikan laporan itu kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya suatu peristiwa pidana. Atau dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 31 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo. Nomor 20 Tahun 2001, yang dimaksud dengan “Pelapor” adalah: orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi.  
Dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dalam Pasal 31 dinyatakan: bahwa seorang pelapor tidak dapat diajukan ke depan persidangan pengadilan untuk dijadikan sebagai saksi karena mereka wajib untuk dilindungi identitas dan alamatnya. Juga dalam Pasal 42 Undang-Undang Money Laundry Nomor 15 Tahun 2002 dicantumkan juga bahwa: Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan khusus bagi setiap orang yang memberikan kesaksian agar terhindar dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk keluarganya.
Demikian pula dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Nomor 15 tahun 2003 pada Pasal 34 secara lebih terperinci ditetapkan Perihal bentuk-bentuk perlindungan yang wajib diberikan oleh negara, baik pada saat sebelum, selama, maupun setelah proses pemeriksaan perkara berlangsung, kepada saksi. Adapun bentuk perlindungan kepada saksi tersebut berupa: perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental, kerahasiaan identitas saksi dan pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di depan persidangan pengadilan dengan tanpa harus bertatap muka dengan terdakwa pelaku tindak pidana terorisme.(Eko Wiyono "Hakim Yustisi Pengadilan Tinggi Ambon Tahun 2011" dalam varia peradilan no. 304 Maret 2011, h. 15-16)
Pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban pada prinsipnya harus merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan dan diperolehnya dalam posisinya sebagai salah satu elemen dalam proses peradilan pidana, dan adanya perlindungan terhadap saksi termasuk saksi korban ini adalah merupakan salah satu bentuk penghargaan atas kontribusi mereka dalam proses penegakan hukum pidana. Adanya ketentuan-ketentuan perlindungan terhadap saksi termasuk saksi korban tersebut adalah merupakan suatu langkah maju dan bentuk manifestasi dari timbulnya kesadaran bahwa keberhasilan suatu penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana adalah tidak hanya pelaku tindak pidana saja yang harus mendapatkan perlindungan hukum, akan tetapi saksi dan saksi korban juga membutuhkannya. (Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi dan Korban sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana) yang jujur dan Adil)
Media elektronik dengan gencar melalui durasi siaran yang cukup tinggi dan menempatkannya sebagai segmen berita aktual, telah mengungkapkan kepada publik bahwa terindikasi banyak kasus yang justru tidak diungkapkan oleh aparat penegak hukum dengan melalui proses awal penyelidikan, akan tetapi justru digulirkan oleh pihak-pihak yang mengetahui perihal terjadinya dugaan telah terjadi suatu kejahatan dengan memberikan informasi dan melontarkan, menyampaikan atau menyuarakan serta menggulirkan kepada publik masyarakat luas perihal dugaan indikasi terjadi kejahatan dimaksud, yang Iebih dikenal dengan istilah “Peniup Peluit (Whistle Blower) ”. Sehingga fenomena yang ada di tengah masyarakat justru para “Whistle Blower" inilah yang mendapat tekanan dan cenderung untuk dikejar menjadi sasaran utama sebuah penyelidikan, dan bukan sebaliknya lebih dilindungi sebagai aset untuk pengungkapan sebuah kasus dalam proses penegakan hukum. Bahkan terdapat kecenderungan upaya kriminalisasi terhadap para “Whistle Blower” ini. Padahal terdapat banyak kasus menunjukkan bahwa orang yang berstatus sebagai “Peniup Peluit (Whistle Blower)” ini kadangkala memang bukan orang yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri adanya kejadian perkara tersebut sebagaimana dimaksud oleh KUHAP.  
Bagi seorang seperti Susno Duadji yang mantan polisi dengan berpangkat jenderal yang pernah menduduki jabatan penting sebagai Kabareskrim Mabes Polri adalah tidak banyak berpengaruh bagi dirinya saat melakukan blow up kepada publik tentang adanya dugaan telah terjadi suatu tindak pidana, akan tetapi bagi orang awam akan menjadi lain atas keselamatan dirinya maupun keluarganya. Sehingga dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan yang dijamin oleh undang-undang, diharapkan dapat tercipta suatu iklim yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada aparat penegak hukum ataupun menyampaikan kepada publik/masyarakat luas, karena merasa takut atau khawatir jiwanya terancam oleh pihak tertentu.  
BACA JUGA MACAM-MACAM EKSEKUSI DALAM BIDANG PERDATA
Para “Peniup Peluit (Whistle Blower)” ini sangat rentan akan intimidasi dan ancaman bahkan cenderung menjadi sasaran kriminalisasi sebagai pelaku kejahatan yang dikualiflsir sebagai tindak pidana pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, sehingga akhirnya mereka ini justru menjadi dituntut dan dihukum, padahal mereka inilah yang menjadi ujung tombak dalam pemberantasan kasus-kasus penyelewengan administrasi/maladministrasi terbesar di Indonesia. Kondisi ini adalah merupakan hal yang wajar karena eksistensinya secara hukum dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia tidak diakui, meskipun dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dikenal sebagai “pelapor”.  
Oleh karena itu, menegakkan dan mewujudkan serta mengaktualisasikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai media dan sarana complement penegakan hukum di negara Indonesia adalah merupakan suatu aktivitas yang tidak dapat ditunda lagi bagi proses penegakan hukum dan perkembangan masyarakat hukum Indonesia, terlebih lagi dalam kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia pentingnya aspek perlindungan terhadap Saksi maupun Korban menjadi penentu dalam proses dan kewenangan hakim pada saat menjalankan profesinya membuat berbagai putusan yang bersifat prerogative terhadap perkara yang sedang ditanganinya. (Teguh Soedarsono, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Majalah Kesaksian-Media Perlindungan Saksi dan Korban/ Jakarta, edisi I Januari-Februari 2010, hlm. 14.) 
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang LPSK dalam Pasal 8 ditentukan: “Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahapan penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kemudian dalam Pasal 29 ditentukan perihal tata cara pemberian perlindungan pada huruf “a" bahwa: Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK”. Lebih lanjut dalam Pasal 30 Ayat (1) secara jelas ditentukan: “Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban".  
Dari ketentuan tersebut menunjukkan bahwa yang menjadi sasaran utama dalam upaya perlindungan hukum dalam proses penegakan hukum pidana adalah hanya terhadap Saksi dan/atau Korban, sedangkan terhadap “Pelapor” ataupun "Peniup Peluit (Whistle Blower)” adalah tidak termasuk dalam maksud dari perlindungan hukum yang harus dilakukan oleh negara sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban tersebut. Lalu timbul pertanyaan bagaimana terhadap keberadaan “Pelapor” dan “Peniup Peluit (Whistle Blower)" dalam proses penegakan hukum tersebut, bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada mereka (?). Atas hal tersebut untuk “Pelapor” di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Khusus sudah diatur dan bahkan perlindungan hukum dan jaminan keselamatan terhadap mereka sudah ditentukan secara tegas, seperti halnya dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Money Laundry dan Undang-Undang Terorisme. Akan tetapi bagaimana dengan para “Peniup Peluit (Whistle Blower)” yang tidak ditentukan perlindungan hukumnya dalam proses penegakan hukum tersebut (?).  
Dalam perspektif normatif, tidak terdapat adanya perlindungan hukum terhadap para “Peniup Peluit (Whistle Blower) " tersebut, bahkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak terdapat adanya perlindungan hukum terhadap mereka. Pembentuk undang-undang memandang tidak diperlukan adanya perlindungan hukum bagi para “Peniup Peluit (Whistle Blower)" tersebut, dikarenakan secara yuridis formal yang dilindungi oleh undang-undang adalah Saksi dan Korban sedangkan pengertian Saksi menurut ketentuan undang-undang yakni Pasal 1 butir 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP adalah: “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Demikian dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dinyatakan: Saksi adalah: “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri”.  
Sedangkan untuk “Peniup Peluit (Whistle Blower)” apa yang dikemukakan kepada publik adalah tidak selalu apa yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri ataupun ia alami sendiri sebagaimana dimaksud oleh undang-undang, akan tetapi apa yang ia sampaikan kepada publik perihal adanya dugaan terjadinya kejahatan itu dapat berasal dari orang lain ataupun didasarkan pada data-data yang diperoleh dari pihak lain yang merasa takut dan tidak ada keberanian moral untuk menyampaikan perihal adanya dugaan sedang atau telah terjadinya kejahatan dengan alasan keselamatan jiwanya dapat terancam. Biasanya mereka adalah kalangan pers atau lembaga pemantau independen.  
Demikian pula bila ditarik ke dalam pengertian “Pelapor” dalam Pasal 1 butir 24 KUHAP, maka para “Peniup Peluit (Whistle Blower)” ini tidak dapat diberikan kualifikasi sebagai “Pelapor” karena apa yang diungkapkan oleh mereka adalah tidak hanya dapat disampaikan kepada pejabat yang berwenang, akan tetapi laporannya juga dapat disampaikan kepada publik masyarakat luas dengan melalui pemberitan media massa bahwa menurut mereka telah terdapat dugaan kuat adanya sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana. Ataupun pengertian pada Penjelasan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Nomor 20 Tahun 2001, maka informasi yang disampaikan oleh para “Peniup Peluit (Whistle Blower)" ini bukan hanya disampaikan kepada aparat penegak hukum sebagaimana dimaksud dalam pengertian tersebut, akan tetapi juga di blow up kepada publik.  
Dari argumentasi tersebut diatas maka menurut pandangan penulis terhadap para “Peniup Peluit (Whistle Blower) ” ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai “Saksi” sebagaimana dimaksud oleh ketentuan undang-undang karena apa yang dikemukakan adalah tidak hanya apa yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri ataupun ia alami sendiri telah terjadi suatu tindak pidana, akan tetapi dapat juga mereka peroleh dari pihak lain yang tidak memiliki keberanian moral dan merasa takut untuk menyampaikan perihal terjadinya tindak pidana. Dan juga mereka tidak dapat diklasiflkasikan sebagai “pelapor” karena mereka tidak hanya menyampaikan perihal terdapat dugaan sedang atau telah terjadinya suatu tindak pidana tidak hanya kepada pejabat yang berwenang saja berdasarkan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud oleh undang-undang, akan tetapi dapat juga disampaikan kepada publik masyarakat luas dengan melaiui pemberitaan media massa.  
Dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia, keberadaan para “Peniup Peluit (Whistle Blower)” tidak diakui eksistensinya dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana dalam suatu peradilan pidana. Hal mana didasarkan pada pertimbangan pemikiran bahwa apa yang disampaikan oleh “Peniup Peluit (Whistle Blower)" kepada publik tersebut adalah bukan merupakan sesuatu yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri atau ia alami sendiri, sehingga sangat dimungkinkan Iendenmis dan syarat dengan kepentingan pribadi atau pihak tertentu yang berkepentingan dengan tindak pidana yang diduga telah terjadi yang dikemukakan kepada publik tersebut. Dan satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa justru para “Peniup Peluit (Whistle Blower) ” menjadi sasaran upaya kriminalisasi dalam bentuk tindak pidana pencemaran nama baik dan perbuatan yang tidak menyenangkan.  
Kriminalisasi terhadap para “Peniup Peluit (Whistle Blower)” tersebut apabila ternyata dapat dibuktikan bahwa apa yang ia kemukakan kepada publik tersebut adalah sesuatu yang tidak benar, maka tidak menjadi persoalan yang krusial. Namun sebaliknya apabila ternyata apa yang dikemukakan kepada publik tersebut ternyata adalah merupakan sesatu hal yang benar sebagai suatu tindak pidana yang sedang atau telah terjadi, maka keadaan ini akan menjadi persoalan yang pelik dan bahkan sangat potensial akan menambah carut marutnya dunia peradilan di negara Indonesia.  
Berdasar pada konsep pemikiran di atas, baik didasarkan pada tinjauan dari perspektif normatif maupun dari perspektif Sistem Peradilan Pidana, maka menurut pendapat penulis agar terhindarkan dari kondisi tendensius dari para “Peniup Peluit (Whistle Blower) ” yang dapat syarat dengan kepentingan pribadi atau pihak tertentu yang berkepentingan dengan adanya dugaan terjadinya tindak kejahatan yang dikemukakan kepada publik tersebut, dan terhindar dari adanya upaya kriminalisasi terhadap para “Peniup Peluit (Whistle Blower) ” tersebut sehubungan secara yuridis formal apa yang dikemukakan tersebut memang dapat terjadi adalah karena bukan yang ia dengar, ia dengar dan ia alami sendiri sehingga secara yuridis tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, akan tetapi dapat berasal dari pihak lain, maka tidak perlu diberikan perlindungan hukum terhadap para “Peniup Peluit (Whistle Blower)” tersebut sebagaimana perlindungan hukum yang harus diberikan kepada Saksi dan Korban yang dimaksud dalam Undang-Undang N omor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.  
Eko Wiyono (Hakim Yustisial Pengadilan Tinggi Ambon Tahun 2011) berpendapat perlindungan terhadap para “Peniup Peluit (Whistle Blower) ” dalam proses penegakan hukum pidana hendaknya diberikan setelah status dari “Peniup Peluit (Whistle Blower)” tersebut ditingkatkan menjadi “Saksi”, sehingga baik dalam perspektif normatif memang diatur dan ditentukan dengan secara jelas perihal hak perlindungan hukum yang harus diberikan negara kepada para “Saksi” tersebut, meskipun masih dalam status sebagai “Pelapor” sebagaimana dalam Tindak Pidana Khusus, di mana apa yang dikemukakan adalah merupakan sesuatu yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Maupun dalam perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia eksistensi dan kedudukan hukum seorang “Saksi” adalah dipandang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, dan bahkan “Saksi” adalah merupakan alat bukti yang utama menurut Hukum Acara Pidana Indonesia sebagaimana ditentukan dalam KUHAP sebagai acuan Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

0 komentar:

Post a Comment