WHISTLEBLOWER DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
Pasal 184 Ayat (1) KUHAP menentukan salah satu
alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan
saksi/saksi korban dengan menempati urutan sebagai alat bukti utama.
Sedangkan pengertian saksi dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP secara tegas
diberikan rumusan, yakni: “orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan alami sendiri”.
Konsep
pengertian saksi tersebut dalam praktik peradilan pidana telah
mengalami perkembangan cukup signifikan, di mana ternyata orang-orang
yang sekadar mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan suatu tindak
pidana, sudah dapat dikategorikan dalam status sebagai saksi dan untuk
itu mereka dapat dimintai keterangan. Sedangkan dalam beberapa
Undang-Undang Tindak Pidana Khusus yakni Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Narkotika Nomor 5 Tahun 1997, Undang-Undang Pencucian Uang Nomor 15 Tahun 2002, Undang-Undang Terorisme Nomor 15 Tahun 2003, muncul istilah “saksi" dan “pelapor”.
Sedangkan
mengenai pengertian “Pelapor” dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1
butir 24 KUHAP yang menentukan perihal “Laporan” adalah: Pemberitahuan
yang disampaikan oleh sesorang karena hak atau kewajiban berdasarkan
undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang
atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Sehingga dari pengertian
“laporan” tersebut dapat diambil pengertian dari “pelapor” adalah orang
yang memberikan/menyampaikan laporan itu kepada pejabat yang berwenang
tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya suatu peristiwa
pidana. Atau dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 31 Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo. Nomor 20 Tahun 2001,
yang dimaksud dengan “Pelapor” adalah: orang yang memberi informasi
kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi.
Dalam Undang Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,
dalam Pasal 31 dinyatakan: bahwa seorang pelapor tidak dapat diajukan
ke depan persidangan pengadilan untuk dijadikan sebagai saksi karena
mereka wajib untuk dilindungi identitas dan alamatnya. Juga dalam Pasal
42 Undang-Undang Money Laundry Nomor 15 Tahun 2002 dicantumkan juga bahwa: Negara berkewajiban untuk memberikan perlindungan khusus bagi
setiap orang yang memberikan kesaksian agar terhindar dari kemungkinan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya termasuk
keluarganya.
Demikian pula dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Nomor 15 tahun 2003
pada Pasal 34 secara lebih terperinci ditetapkan Perihal bentuk-bentuk
perlindungan yang wajib diberikan oleh negara, baik pada saat sebelum,
selama, maupun setelah proses pemeriksaan perkara berlangsung, kepada
saksi. Adapun bentuk perlindungan kepada saksi tersebut berupa:
perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental,
kerahasiaan identitas saksi dan pemberian keterangan pada saat
pemeriksaan di depan persidangan pengadilan dengan tanpa harus bertatap
muka dengan terdakwa pelaku tindak pidana terorisme.(Eko Wiyono "Hakim Yustisi Pengadilan Tinggi Ambon Tahun 2011" dalam varia peradilan no. 304 Maret 2011, h. 15-16)
Pemberian
perlindungan terhadap saksi dan korban pada prinsipnya harus merupakan
pemberian seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan dan diperolehnya dalam
posisinya sebagai salah satu elemen dalam proses peradilan pidana, dan
adanya perlindungan terhadap saksi termasuk saksi korban ini adalah
merupakan salah satu bentuk penghargaan atas kontribusi mereka dalam
proses penegakan hukum pidana. Adanya ketentuan-ketentuan perlindungan
terhadap saksi termasuk saksi korban tersebut adalah merupakan suatu
langkah maju dan bentuk manifestasi dari timbulnya kesadaran bahwa
keberhasilan suatu penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana
adalah tidak hanya pelaku tindak pidana saja yang harus mendapatkan
perlindungan hukum, akan tetapi saksi dan saksi korban juga
membutuhkannya. (Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi dan Korban
sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana) yang jujur dan Adil)
Media elektronik dengan gencar melalui durasi siaran yang cukup tinggi dan menempatkannya sebagai segmen berita aktual, telah mengungkapkan kepada publik bahwa terindikasi banyak kasus yang justru tidak diungkapkan oleh aparat penegak hukum dengan melalui proses awal penyelidikan, akan tetapi justru digulirkan oleh pihak-pihak yang mengetahui perihal terjadinya dugaan telah terjadi suatu kejahatan dengan memberikan informasi dan melontarkan, menyampaikan atau menyuarakan serta menggulirkan kepada publik masyarakat luas perihal dugaan indikasi terjadi kejahatan dimaksud, yang Iebih dikenal dengan istilah “Peniup Peluit (Whistle Blower) ”. Sehingga fenomena yang ada di tengah masyarakat justru para “Whistle Blower" inilah yang mendapat tekanan dan cenderung untuk dikejar menjadi sasaran utama sebuah penyelidikan, dan bukan sebaliknya lebih dilindungi sebagai aset untuk pengungkapan sebuah kasus dalam proses penegakan hukum. Bahkan terdapat kecenderungan upaya kriminalisasi terhadap para “Whistle Blower” ini. Padahal terdapat banyak kasus menunjukkan bahwa orang yang berstatus sebagai “Peniup Peluit (Whistle Blower)” ini kadangkala memang bukan orang yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri adanya kejadian perkara tersebut sebagaimana dimaksud oleh KUHAP.
Media elektronik dengan gencar melalui durasi siaran yang cukup tinggi dan menempatkannya sebagai segmen berita aktual, telah mengungkapkan kepada publik bahwa terindikasi banyak kasus yang justru tidak diungkapkan oleh aparat penegak hukum dengan melalui proses awal penyelidikan, akan tetapi justru digulirkan oleh pihak-pihak yang mengetahui perihal terjadinya dugaan telah terjadi suatu kejahatan dengan memberikan informasi dan melontarkan, menyampaikan atau menyuarakan serta menggulirkan kepada publik masyarakat luas perihal dugaan indikasi terjadi kejahatan dimaksud, yang Iebih dikenal dengan istilah “Peniup Peluit (Whistle Blower) ”. Sehingga fenomena yang ada di tengah masyarakat justru para “Whistle Blower" inilah yang mendapat tekanan dan cenderung untuk dikejar menjadi sasaran utama sebuah penyelidikan, dan bukan sebaliknya lebih dilindungi sebagai aset untuk pengungkapan sebuah kasus dalam proses penegakan hukum. Bahkan terdapat kecenderungan upaya kriminalisasi terhadap para “Whistle Blower” ini. Padahal terdapat banyak kasus menunjukkan bahwa orang yang berstatus sebagai “Peniup Peluit (Whistle Blower)” ini kadangkala memang bukan orang yang mendengar, melihat atau mengalami sendiri adanya kejadian perkara tersebut sebagaimana dimaksud oleh KUHAP.
Bagi seorang seperti
Susno Duadji yang mantan polisi dengan berpangkat jenderal yang pernah
menduduki jabatan penting sebagai Kabareskrim Mabes Polri adalah tidak
banyak berpengaruh bagi dirinya saat melakukan blow up kepada publik
tentang adanya dugaan telah terjadi suatu tindak pidana, akan tetapi
bagi orang awam akan menjadi lain atas keselamatan dirinya maupun
keluarganya. Sehingga dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan
yang dijamin oleh undang-undang, diharapkan dapat tercipta suatu iklim
yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan
suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada aparat penegak hukum
ataupun menyampaikan kepada publik/masyarakat luas, karena merasa takut
atau khawatir jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
BACA JUGA MACAM-MACAM EKSEKUSI DALAM BIDANG PERDATA
BACA JUGA MACAM-MACAM EKSEKUSI DALAM BIDANG PERDATA
Para “Peniup
Peluit (Whistle Blower)” ini sangat rentan akan intimidasi dan ancaman
bahkan cenderung menjadi sasaran kriminalisasi sebagai pelaku kejahatan
yang dikualiflsir sebagai tindak pidana pencemaran nama baik dan
perbuatan tidak menyenangkan, sehingga akhirnya mereka ini justru
menjadi dituntut dan dihukum, padahal mereka inilah yang menjadi ujung
tombak dalam pemberantasan kasus-kasus penyelewengan
administrasi/maladministrasi terbesar di Indonesia. Kondisi ini adalah
merupakan hal yang wajar karena eksistensinya secara hukum dalam Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia tidak diakui, meskipun dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dikenal sebagai “pelapor”.
Oleh
karena itu, menegakkan dan mewujudkan serta mengaktualisasikan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban sebagai media dan sarana complement
penegakan hukum di negara Indonesia adalah merupakan suatu aktivitas
yang tidak dapat ditunda lagi bagi proses penegakan hukum dan
perkembangan masyarakat hukum Indonesia, terlebih lagi dalam kasus-kasus
pelanggaran hak asasi manusia pentingnya aspek perlindungan terhadap
Saksi maupun Korban menjadi penentu dalam proses dan kewenangan hakim
pada saat menjalankan profesinya membuat berbagai putusan yang bersifat
prerogative terhadap perkara yang sedang ditanganinya. (Teguh
Soedarsono, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Majalah Kesaksian-Media Perlindungan Saksi dan Korban/
Jakarta, edisi I Januari-Februari 2010, hlm. 14.)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang LPSK dalam Pasal 8 ditentukan: “Perlindungan dan hak Saksi dan
Korban diberikan sejak tahapan penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Kemudian
dalam Pasal 29 ditentukan perihal tata cara pemberian perlindungan pada
huruf “a" bahwa: Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas
inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang,
mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK”. Lebih lanjut dalam
Pasal 30 Ayat (1) secara jelas ditentukan: “Dalam hal LPSK menerima
permohonan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29,
Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban".
Dari
ketentuan tersebut menunjukkan bahwa yang menjadi sasaran utama dalam
upaya perlindungan hukum dalam proses penegakan hukum pidana adalah
hanya terhadap Saksi dan/atau Korban, sedangkan terhadap “Pelapor”
ataupun "Peniup Peluit (Whistle Blower)” adalah tidak termasuk dalam
maksud dari perlindungan hukum yang harus dilakukan oleh negara
sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
tersebut. Lalu timbul pertanyaan bagaimana terhadap keberadaan “Pelapor”
dan “Peniup Peluit (Whistle Blower)" dalam proses penegakan hukum
tersebut, bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada
mereka (?). Atas hal tersebut untuk “Pelapor” di dalam Undang-Undang
Tindak Pidana Khusus sudah diatur dan bahkan perlindungan hukum dan
jaminan keselamatan terhadap mereka sudah ditentukan secara tegas,
seperti halnya dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Money Laundry dan Undang-Undang Terorisme. Akan tetapi bagaimana dengan
para “Peniup Peluit (Whistle Blower)” yang tidak ditentukan perlindungan
hukumnya dalam proses penegakan hukum tersebut (?).
Dalam
perspektif normatif, tidak terdapat adanya perlindungan hukum terhadap
para “Peniup Peluit (Whistle Blower) " tersebut, bahkan dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban juga tidak terdapat adanya perlindungan
hukum terhadap mereka. Pembentuk undang-undang memandang tidak
diperlukan adanya perlindungan hukum bagi para “Peniup Peluit (Whistle
Blower)" tersebut, dikarenakan secara yuridis formal yang dilindungi
oleh undang-undang adalah Saksi dan Korban sedangkan pengertian Saksi
menurut ketentuan undang-undang yakni Pasal 1 butir 26 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP adalah: “orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Demikian dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban dinyatakan: Saksi adalah: “orang yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami
sendiri”.
Sedangkan untuk “Peniup Peluit (Whistle Blower)” apa
yang dikemukakan kepada publik adalah tidak selalu apa yang ia lihat
sendiri, ia dengar sendiri ataupun ia alami sendiri sebagaimana dimaksud
oleh undang-undang, akan tetapi apa yang ia sampaikan kepada publik
perihal adanya dugaan terjadinya kejahatan itu dapat berasal dari orang
lain ataupun didasarkan pada data-data yang diperoleh dari pihak lain
yang merasa takut dan tidak ada keberanian moral untuk menyampaikan
perihal adanya dugaan sedang atau telah terjadinya kejahatan dengan
alasan keselamatan jiwanya dapat terancam. Biasanya mereka adalah
kalangan pers atau lembaga pemantau independen.
Demikian pula
bila ditarik ke dalam pengertian “Pelapor” dalam Pasal 1 butir 24 KUHAP,
maka para “Peniup Peluit (Whistle Blower)” ini tidak dapat diberikan kualifikasi
sebagai “Pelapor” karena apa yang diungkapkan oleh mereka adalah tidak
hanya dapat disampaikan kepada pejabat yang berwenang, akan tetapi
laporannya juga dapat disampaikan kepada publik masyarakat luas dengan
melalui pemberitan media massa bahwa menurut mereka telah terdapat
dugaan kuat adanya sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana.
Ataupun pengertian pada Penjelasan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. Nomor 20 Tahun 2001,
maka informasi yang disampaikan oleh para “Peniup Peluit (Whistle
Blower)" ini bukan hanya disampaikan kepada aparat penegak hukum
sebagaimana dimaksud dalam pengertian tersebut, akan tetapi juga di blow
up kepada publik.
Dari argumentasi tersebut diatas maka menurut
pandangan penulis terhadap para “Peniup Peluit (Whistle Blower) ” ini
tidak dapat diklasifikasikan sebagai “Saksi” sebagaimana dimaksud oleh
ketentuan undang-undang karena apa yang dikemukakan adalah tidak hanya
apa yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri ataupun ia alami sendiri
telah terjadi suatu tindak pidana, akan tetapi dapat juga mereka peroleh
dari pihak lain yang tidak memiliki keberanian moral dan merasa takut
untuk menyampaikan perihal terjadinya tindak pidana. Dan juga mereka
tidak dapat diklasiflkasikan sebagai “pelapor” karena mereka tidak hanya
menyampaikan perihal terdapat dugaan sedang atau telah terjadinya suatu
tindak pidana tidak hanya kepada pejabat yang berwenang saja
berdasarkan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud oleh undang-undang,
akan tetapi dapat juga disampaikan kepada publik masyarakat luas dengan
melaiui pemberitaan media massa.
Dalam perspektif Sistem
Peradilan Pidana Indonesia, keberadaan para “Peniup Peluit (Whistle
Blower)” tidak diakui eksistensinya dalam pelaksanaan penegakan hukum
pidana dalam suatu peradilan pidana. Hal mana didasarkan pada
pertimbangan pemikiran bahwa apa yang disampaikan oleh “Peniup Peluit
(Whistle Blower)" kepada publik tersebut adalah bukan merupakan sesuatu
yang ia lihat sendiri, ia dengar sendiri atau ia alami sendiri, sehingga
sangat dimungkinkan Iendenmis dan syarat dengan kepentingan pribadi
atau pihak tertentu yang berkepentingan dengan tindak pidana yang diduga
telah terjadi yang dikemukakan kepada publik tersebut. Dan satu hal
yang tidak dapat dipungkiri bahwa justru para “Peniup Peluit (Whistle
Blower) ” menjadi sasaran upaya kriminalisasi dalam bentuk tindak pidana
pencemaran nama baik dan perbuatan yang tidak menyenangkan.
Kriminalisasi
terhadap para “Peniup Peluit (Whistle Blower)” tersebut apabila
ternyata dapat dibuktikan bahwa apa yang ia kemukakan kepada publik
tersebut adalah sesuatu yang tidak benar, maka tidak menjadi persoalan
yang krusial. Namun sebaliknya apabila ternyata apa yang dikemukakan
kepada publik tersebut ternyata adalah merupakan sesatu hal yang benar
sebagai suatu tindak pidana yang sedang atau telah terjadi, maka keadaan
ini akan menjadi persoalan yang pelik dan bahkan sangat potensial akan
menambah carut marutnya dunia peradilan di negara Indonesia.
Berdasar
pada konsep pemikiran di atas, baik didasarkan pada tinjauan dari
perspektif normatif maupun dari perspektif Sistem Peradilan Pidana, maka
menurut pendapat penulis agar terhindarkan dari kondisi tendensius dari
para “Peniup Peluit (Whistle Blower) ” yang dapat syarat dengan
kepentingan pribadi atau pihak tertentu yang berkepentingan dengan
adanya dugaan terjadinya tindak kejahatan yang dikemukakan kepada publik
tersebut, dan terhindar dari adanya upaya kriminalisasi terhadap para
“Peniup Peluit (Whistle Blower) ” tersebut sehubungan secara yuridis
formal apa yang dikemukakan tersebut memang dapat terjadi adalah karena
bukan yang ia dengar, ia dengar dan ia alami sendiri sehingga secara
yuridis tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, akan tetapi
dapat berasal dari pihak lain, maka tidak perlu diberikan perlindungan
hukum terhadap para “Peniup Peluit (Whistle Blower)” tersebut
sebagaimana perlindungan hukum yang harus diberikan kepada Saksi dan
Korban yang dimaksud dalam Undang-Undang N omor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Eko Wiyono (Hakim Yustisial Pengadilan Tinggi Ambon Tahun 2011)
berpendapat perlindungan terhadap para “Peniup Peluit (Whistle Blower) ”
dalam proses penegakan hukum pidana hendaknya diberikan setelah status
dari “Peniup Peluit (Whistle Blower)” tersebut ditingkatkan menjadi
“Saksi”, sehingga baik dalam perspektif normatif memang diatur dan
ditentukan dengan secara jelas perihal hak perlindungan hukum yang harus
diberikan negara kepada para “Saksi” tersebut, meskipun masih dalam
status sebagai “Pelapor” sebagaimana dalam Tindak Pidana Khusus, di mana
apa yang dikemukakan adalah merupakan sesuatu yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri sehingga dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Maupun dalam perspektif Sistem
Peradilan Pidana Indonesia eksistensi dan kedudukan hukum seorang
“Saksi” adalah dipandang sangat penting dalam proses penegakan hukum
pidana, dan bahkan “Saksi” adalah merupakan alat bukti yang utama
menurut Hukum Acara Pidana Indonesia sebagaimana ditentukan dalam KUHAP
sebagai acuan Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment