KEPUTUSAN BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA DIIJNDUNGI ASAS PRESUMPTIO lUSTAE CAUSA
Asas
presumptio iustae causa adalah salah satu asas yang terdapat dalam
hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Bila diartikan kata-perkata,
maka akan diperoleh pengertian sebagai berikut: (N.E. Algra, et aL, Kamus
lstilah Hukum Fockema Andrea BeIanda-Indonesia, Binacipta, 1983)
- Presumptio: an inference required or permitted by law as to the existence of one fact from proof of the existence of other facts or a conclusion derived from a particular set of facts based on law, rather than probable reasoning.
- lustae: justice, the law and its administration.
- Causa: (in the abl.) on account of; for the sake of; case at law, case, law-suit/ situation, condition; cause/reason, motive, pretext/interest.
Bila diartikan dalam bahasa Indonesia, maka secara presumptio
iustae causa diartikan sebagai keputusan pemerintah harus selalu
dianggap benar dan sah serta segera dilaksanakan sebelum ada keputusan
hukum yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa keputusan itu
tidak berlaku. Berdasarkan asas praduga Rechtmatig/Presumptio iustae
causa bahwa keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) harus dianggap sah secara
hukum sampai dengan adanya keputusan Pengadilan yang menyatakan
sebaliknya, hal ini agar tugas pemerintahan khususnya dalam rangka
memberikan perlindungan (protection), pelayanan umum (public service)
dan mewujudkan kesejahteraan (welfare) bagi masyarakat dapat berjalan,
namun sebagai penyeimbang guna memberikan perlindungan hukum terhadap
kepentingan penggugat, hakim dapat mengeluarkan penundaan pelaksanaan
(schorsing).
Penetapan penundaan merupakan produk hukum yang
lahir dari permohonan tapi dalam hal ini terdapat sengketa tata usaha
negara, namun hakim dapat mengeluarkan penetapan penundaan/schorsing.
Pemberian
perlindungan kepada rakyat merupakan amanat dari Pembukaan (Preambule)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
alinea ke-4 (empat) yang menyebutkan, untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
”. Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia tidak hanya dari
ancaman pihak luar yang bersifat eksternal, akan tetapi termasuk pula
dari tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melanggar hukum
yang berimplikasi menimbulkan kerugian bagi rakyat.
Pemberian
penghargaan amat penting terhadap penundaan pelaksanaan keputusan tata
usaha negara sebagaimana dikatakan oleh Adrian B. Webner, menurut
Supandi dapat dipahami, oleh karena:
- Penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara mengakibatkan daya laku (gelding) terhadap keputusan tata usaha negara yang digugat terhenti untuk sementara waktu (tijdelijk);
- Penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara mengakibatkan suasana/keadaan hukumnya (rechtstoestand) kembali pada keadaan atau posisi semula (restitutio in integrum) sebelum adanya keputusan tata usaha negara yang disengketakan;
- Penundaan pelaksanaan képutusan tata usaha negara memberi batasan (restricteren) berlakunya asas praduga sah (presumptio iustae causa/vermoeden van rechtmatigheid).
Dengan memerhatikan 3 (tiga) aspek hukum yang
ditimbulkan bilamana penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara
dikeluarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, seyogianya menurut
Supandi:
Lembaga penangguhan (schorsing) maksudnya penudaan
pelaksanaan keputusan tata usaha negara harus dijabarkan secara sangat
hati-hati karena semata-mata hanya untuk memberikan kualitas
keseimbangan perIindungan kepentingan umum dengan kepentingan individu
warga negara (penggugat). Namun, manakala dalam rangka melindungi
kepentingan individu warga negara (penggugat) tersebut berakibat
terlantarnya kepentingan umum, maka pengadilan (hakim) wajib
mengutamakan kepentingan umum.“ (Supandi, Ganti Rugi Akibat Tindakan
Pejabat Panerintah dalam RUU Administrasi Pemerintahan dan Prospek
Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Sophia Hadyanto (editor) Paradigma
Kebijakan Hukum Pasca Reformasi dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Sally
Lubis/ Medan: PT Sofemdia, Cet. 2010), hlm. 317-318)
Di
dalam ilmu hukum bahwa suatu “keputusan” dikatakan sah menurut hukum
(rechsmatig) apabila keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu
yang ditentukan oleh hukum. Dengan dipenuhinya persyaratan yang
ditentukan oleh hukum maka keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum
(rechtskrach) untuk dilaksanakan. Sebaliknya apabila suatu keputusan
tersebut tidak memenuhi persyaratan maka menurut hukum ketetapan atau
keputusan tersebut menjadi “tidak sah” yang berakibat hukum menjadi
“batal” (nietig). Menurut Van der Pot, ada 4 syarat yang harus dipenuhi
agar ketetapam administrasi sebagai ketetapan sah dan apabila salah
satunya tidak dipenuhi dapat menimbulkan akibat bahwa ketetapan
administrasi tersebut menjadi ketetapan tidak sah: 1. Bevoedgheid
(kewenangan) organ administrasi yang membuat keputusan; 2. geen
juridische gebreken in de wilsvorming (tidak ada kekurangan yuridis
dalam pembentukan kehendak); 3. vorm dan procedure yakni keputusan
dituangkan dalam bentuk yang telah ditetapkan dan dibuat menurut tata
cara yang telah ditetapkan; Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi
dan tujuan peraturan dasar. (Abdul Rasyid THlmib, Wewenang Mahkamah
Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia/Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 211)
Philipus
M. Hadjon mengutarakan wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek
hukum merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan
atau keputusan tersebut sah. Pertama, aspek wewenang dalam hal ini
artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang
mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu;
kedua, aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut
dikeluarkan sesuai dengan tata cara yang disyaratkan dan bertumpu kepada
asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya
menyangkut objek ketetapan atau keputusan tidak ada “Error in re”.
Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah keabsahan adalah terjemahan dari
istilah Belanda “rechtmatigheid”(van bestuur). Rechtmatigheid =
legalitas = legality. (Mustamin DG. Matutu dkk, Mandat Delegasi, Atribusi
dan Implementasinya di Indonesid/Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 109-159)
Ruang lingkup keabsahan meliputi: 1. wewenang; 2. prosedur; 3.
Substansi. Butir 1 dan 2 (wewenang dan procedure) merupakan landasan
bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas
presumptio iustae causa. Atas dasar asas itulah ketentuan Pasal 67 ayat
(1) UU. No. 5 Tahun 1986 menyatakan: Gugatan
tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau
Jabatan Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang digugat.
0 komentar:
Post a Comment