Sunday, March 3, 2019

KEPUTUSAN BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA DIIJNDUNGI ASAS PRESUMPTIO lUSTAE CAUSA


Asas presumptio iustae causa adalah salah satu asas yang terdapat dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Bila diartikan kata-perkata, maka akan diperoleh pengertian sebagai berikut: (N.E. Algra, et aL, Kamus lstilah Hukum Fockema Andrea BeIanda-Indonesia,  Binacipta, 1983) 
  1. Presumptio: an inference required or permitted by law as to the existence of one fact from proof of the existence of other facts or a conclusion derived from a particular set of facts based on law, rather than probable reasoning. 
  2. lustae: justice, the law and its administration.  
  3. Causa: (in the abl.) on account of; for the sake of; case at law, case, law-suit/ situation, condition; cause/reason, motive, pretext/interest.
Bila diartikan dalam bahasa Indonesia, maka secara presumptio iustae causa diartikan sebagai keputusan pemerintah harus selalu dianggap benar dan sah serta segera dilaksanakan sebelum ada keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa keputusan itu tidak berlaku. Berdasarkan asas praduga Rechtmatig/Presumptio iustae causa bahwa keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) harus dianggap sah secara hukum sampai dengan adanya keputusan Pengadilan yang menyatakan sebaliknya, hal ini agar tugas pemerintahan khususnya dalam rangka memberikan perlindungan (protection), pelayanan umum (public service) dan mewujudkan kesejahteraan (welfare) bagi masyarakat dapat berjalan, namun sebagai penyeimbang guna memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan penggugat, hakim dapat mengeluarkan penundaan pelaksanaan (schorsing).  
Penetapan penundaan merupakan produk hukum yang lahir dari permohonan tapi dalam hal ini terdapat sengketa tata usaha negara, namun hakim dapat mengeluarkan penetapan penundaan/schorsing.
Pemberian perlindungan kepada rakyat merupakan amanat dari Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4 (empat) yang menyebutkan, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ”. Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia tidak hanya dari ancaman pihak luar yang bersifat eksternal, akan tetapi termasuk pula dari tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melanggar hukum yang berimplikasi menimbulkan kerugian bagi rakyat.  
Pemberian penghargaan amat penting terhadap penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara sebagaimana dikatakan oleh Adrian B. Webner, menurut Supandi dapat dipahami, oleh karena:
  1. Penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara mengakibatkan daya laku (gelding) terhadap keputusan tata usaha negara yang digugat terhenti untuk sementara waktu (tijdelijk); 
  2. Penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara mengakibatkan suasana/keadaan hukumnya (rechtstoestand) kembali pada keadaan atau posisi semula (restitutio in integrum) sebelum adanya keputusan tata usaha negara yang disengketakan;  
  3. Penundaan pelaksanaan képutusan tata usaha negara memberi batasan (restricteren) berlakunya asas praduga sah (presumptio iustae causa/vermoeden van rechtmatigheid).  
Dengan memerhatikan 3 (tiga) aspek hukum yang ditimbulkan bilamana penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara dikeluarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, seyogianya menurut Supandi:  
Lembaga penangguhan (schorsing) maksudnya penudaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara harus dijabarkan secara sangat hati-hati karena semata-mata hanya untuk memberikan kualitas keseimbangan perIindungan kepentingan umum dengan kepentingan individu warga negara (penggugat). Namun, manakala dalam rangka melindungi kepentingan individu warga negara (penggugat) tersebut berakibat terlantarnya kepentingan umum, maka pengadilan (hakim) wajib mengutamakan kepentingan umum.“ (Supandi, Ganti Rugi Akibat Tindakan Pejabat Panerintah dalam RUU Administrasi Pemerintahan dan Prospek Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Sophia Hadyanto (editor) Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Sally Lubis/ Medan: PT Sofemdia, Cet. 2010), hlm. 317-318) 
Di dalam ilmu hukum bahwa suatu “keputusan” dikatakan sah menurut hukum (rechsmatig) apabila keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh hukum. Dengan dipenuhinya persyaratan yang ditentukan oleh hukum maka keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum (rechtskrach) untuk dilaksanakan. Sebaliknya apabila suatu keputusan tersebut tidak memenuhi persyaratan maka menurut hukum ketetapan atau keputusan tersebut menjadi “tidak sah” yang berakibat hukum menjadi “batal” (nietig). Menurut Van der Pot, ada 4 syarat yang harus dipenuhi agar ketetapam administrasi sebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya tidak dipenuhi dapat menimbulkan akibat bahwa ketetapan administrasi tersebut menjadi ketetapan tidak sah: 1. Bevoedgheid (kewenangan) organ administrasi yang membuat keputusan; 2. geen juridische gebreken in de wilsvorming (tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak); 3. vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah ditetapkan dan dibuat menurut tata cara yang telah ditetapkan; Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar. (Abdul Rasyid THlmib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia/Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 211) 
Philipus M. Hadjon mengutarakan wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut sah. Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tata cara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya menyangkut objek ketetapan atau keputusan tidak ada “Error in re”. Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah keabsahan adalah terjemahan dari istilah Belanda “rechtmatigheid”(van bestuur). Rechtmatigheid = legalitas = legality. (Mustamin DG. Matutu dkk, Mandat Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesid/Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 109-159) Ruang lingkup keabsahan meliputi: 1. wewenang; 2. prosedur; 3. Substansi. Butir 1 dan 2 (wewenang dan procedure) merupakan landasan bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas presumptio iustae causa. Atas dasar asas itulah ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU. No. 5 Tahun 1986 menyatakan: Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.

0 komentar:

Post a Comment