HUKUM PIDANA SEBAGAI SARANA HUKUM ULTIMUM REMEDIUM
Ultimum
Remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana
kita yang menyatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya
terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini mempunyai makna apabila
suatu tindak pidana dapat diselesaikan melalui jalur lain hendaklah
jalan tersebut terlebih dahulu dilalui. Jalan
lain yang dimaksud adalah penyelesaian secara kekeluargaan, negosiasi,
mediasi perdata ataupun hukum administrasi. Dalam hukum pidana, kita
mengenal istilah “ultimum remedium”. Artinya bahwa sanksi pidana
dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya.
Dengan perkataan lain, dalam suatu undang-undang sanksi pidana
dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir setelah sanksi perdata, maupun
sanksi administratif.
Mengapa mekanisme ini dipergunakan? Agar
selain memberikan kepastian hukum juga agar proses hukum pidana yang
cukup panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap korban maupun
terhadap pelaku itu sendiri. Dalam perkembangan ilmu hukum pidana yang
sudah jauh maju, upaya “ultimum remedium” merupakan senjata terakhir
dipergunakan. Senjata terakhir (ultimum remedium) merupakan upaya-upaya
lain sudah ditempuh. Baik gugatan perdata, sanksi administrasi maupun
upaya-upaya lain. (Hoenagels dalam bukunya The Order Side of Criminology
an Inversion of the Concept of Crime/Holland: Kluwer, Deventer, 1963, hlm. 231)
menekankan kembali penting mempertimbangkan berbagai faktor untuk
melakukan kriminalisasi agar tetap menjaga dalil Ultimum Remedium dan
tidak terjadi over criminalization antara lain: (Supandi, Hakim Agung pada Mahkamah Agung)
- Jangan menggunakan Hukum Pidana dengan cara emosional;
- Jangan menggunakan hukum pidana untuk mempidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya;
- Jangan menggunakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan dirumuskan;
- Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat;
- Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak akan efektif;
- Hukum pidana dalam hal-hal tertentu harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan;
- Hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan.
Karakteristik
Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium ini dapat diartikan bahwa
keberadaan pengaturan sanksi pidana diletakkan atau diposisikan sebagaj
sanksi terakhir (Yulies Masriani Tiena, Pengantar Hukum Indonesia,
Cetakan II /Jakarta: Sinar Grafika, 2006, him.
63) Artinya, dalam suatu UU yang pertama kali diatur adalah sanksi
administratif atau sanksi perdata, kemudian baru diatur tentang sanksi
pidana. Jadi apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum
mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam
masyarakat, maka baru diadakan juga Sanksi pidana sebagai senjata
terakhir atau ultimum remedium. Penerapan ultimum remedium ini dapat
mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, mengingat sanksi pidana
itu keras dan tajam jadi selalu diusahakan menjadi pilihan terakhir
setelah sanksi lain dirasakan kurang. (Adami Chazawi, Pelajaran Hukum
Pidana, Cetakan I/Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005, hlm. 53)
Bersimpul
dari hal di atas sebenarnya dapat kita artikan bahwa Pemidanaan adalah
merupakan alternatif terakhir bagi suatu perbuatan hukum pidana (delik).
Sama halnya bahwa untuk suatu tindak pidana tertentu Asas Ultimum
Remedium itu mewajibkan syarat harus dilakukan upaya pemberian sanksi
lain (nonpidana) baik itu denda, peringatan, sanksi administrasi atau
hal lainnya sebelum dilakukannya upaya pidana baik berupa penjara/kurungan.
Penegakan Hukum Pidana tetap memerhatikan asas Ultimum Remedium yang
mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir
setelah penerapan penegakan hukum administratif dianggap tidak berhasil.
Sudut pandang pragmatis hukum dapat menyimpulkan bahwa Ultimum Remedium
memberikan ruang bagi masyarakat luas akan upaya perbaikan, koreksi,
dan upaya lainnya sebelum pemidanaan diberikan. No Criminal Penalty
before Adminsitrative Correction is Implemented. (H.B Vos, Leerboek van Nederlands Strafrecht/Haarlem: H.D. Tjeenk Willink, 1950, hlm. 10)
0 komentar:
Post a Comment