Sunday, March 3, 2019

HUKUM PIDANA SEBAGAI SARANA HUKUM ULTIMUM REMEDIUM


Ultimum Remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana kita yang menyatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini mempunyai makna apabila suatu tindak pidana dapat diselesaikan melalui jalur lain hendaklah jalan tersebut terlebih dahulu dilalui. Jalan lain yang dimaksud adalah penyelesaian secara kekeluargaan, negosiasi, mediasi perdata ataupun hukum administrasi. Dalam hukum pidana, kita mengenal istilah “ultimum remedium”. Artinya bahwa sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Dengan perkataan lain, dalam suatu undang-undang sanksi pidana dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir setelah sanksi perdata, maupun sanksi administratif.
Mengapa mekanisme ini dipergunakan? Agar selain memberikan kepastian hukum juga agar proses hukum pidana yang cukup panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap korban maupun terhadap pelaku itu sendiri. Dalam perkembangan ilmu hukum pidana yang sudah jauh maju, upaya “ultimum remedium” merupakan senjata terakhir dipergunakan. Senjata terakhir (ultimum remedium) merupakan upaya-upaya lain sudah ditempuh. Baik gugatan perdata, sanksi administrasi maupun upaya-upaya lain. (Hoenagels dalam bukunya The Order Side of Criminology an Inversion of the Concept of Crime/Holland: Kluwer, Deventer, 1963, hlm. 231) menekankan kembali penting mempertimbangkan berbagai faktor untuk melakukan kriminalisasi agar tetap menjaga dalil Ultimum Remedium dan tidak terjadi over criminalization antara lain: (Supandi, Hakim Agung pada Mahkamah Agung) 
  1. Jangan menggunakan Hukum Pidana dengan cara emosional;   
  2. Jangan menggunakan hukum pidana untuk mempidana perbuatan yang tidak jelas korban atau kerugiannya; 
  3. Jangan menggunakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar daripada kerugian oleh tindak pidana yang akan dirumuskan; 
  4. Jangan menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat; 
  5. Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak akan efektif; 
  6. Hukum pidana dalam hal-hal tertentu harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan; 
  7. Hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan.
Karakteristik Hukum Pidana dalam konteks ultimum remedium ini dapat diartikan bahwa keberadaan pengaturan sanksi pidana diletakkan atau diposisikan sebagaj sanksi terakhir (Yulies Masriani Tiena, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan II /Jakarta: Sinar Grafika, 2006, him. 63) Artinya, dalam suatu UU yang pertama kali diatur adalah sanksi administratif atau sanksi perdata, kemudian baru diatur tentang sanksi pidana. Jadi apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata belum mencukupi untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat, maka baru diadakan juga Sanksi pidana sebagai senjata terakhir atau ultimum remedium. Penerapan ultimum remedium ini dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, mengingat sanksi pidana itu keras dan tajam jadi selalu diusahakan menjadi pilihan terakhir setelah sanksi lain dirasakan kurang. (Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Cetakan I/Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005, hlm. 53) 
Bersimpul dari hal di atas sebenarnya dapat kita artikan bahwa Pemidanaan adalah merupakan alternatif terakhir bagi suatu perbuatan hukum pidana (delik). Sama halnya bahwa untuk suatu tindak pidana tertentu Asas Ultimum Remedium itu mewajibkan syarat harus dilakukan upaya pemberian sanksi lain (nonpidana) baik itu denda, peringatan, sanksi administrasi atau hal lainnya sebelum dilakukannya upaya pidana baik berupa penjara/kurungan. Penegakan Hukum Pidana tetap memerhatikan asas Ultimum Remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administratif dianggap tidak berhasil. Sudut pandang pragmatis hukum dapat menyimpulkan bahwa Ultimum Remedium memberikan ruang bagi masyarakat luas akan upaya perbaikan, koreksi, dan upaya lainnya sebelum pemidanaan diberikan. No Criminal Penalty before Adminsitrative Correction is Implemented. (H.B Vos, Leerboek van Nederlands Strafrecht/Haarlem: H.D. Tjeenk Willink, 1950, hlm. 10)

0 komentar:

Post a Comment