Wednesday, February 27, 2019

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA


Yang Harus Diketahui Hakim
Dari jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat, akhirnya akan dapat diketahui oleh hakim apa yang sesungguhnya disengketakan oleh mereka. Peristiwa apa yang menjadi pokok sengketa. Seperti yang telah diketengahkan di muka, tugas hakim adalah mengkonstatir, mengkualifisir, dan kemudian mengkonstituir. Apa yang harus dikonstatirnya adalah peristiwa dan kemudian peristiwa ini harus dikualifisir. Pasal 4 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009 mewajibkan hakim mengadili menurut hukum. Oleh karena itu, hakim harus mengenal hukum di samping peristiwanya.
Tentang hukumnya tidak perlu diberitahukan kepada hakim oleh para pihak, dan tidak perlu pula untuk dibuktikan. Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit). Ini merupakan asas hukum acara. Oleh karena itu, hakim harus mempunyai pengetahuan tentang hukum. Tidak mengherankan kalau disyaratkan bahwa hakim harus seorang sarjana hukum (UU No. 48 tahun 2009). Dalam tugasnya, hakim harus mengenal hukum. Hukum ini dikenalnya dari perundang-undangan dan kebiasaan. Apakah hukum kebiasaan juga tidak perlu dibuktikan? Tentang hal ini ada putusan HR yang memutuskan: “Dat het bestaan ener gewoonte betreffende zodanige bedingen door den rechter kan worden angenomen anafhankelijk van de wettelijke  voorschirften aangaande de bewijslevering”.( Pilto, Bewijs en Verjaring: t.t/14) Terjemahannya: Bahwa adanya suatu kebiasaan mengenai janji-janji semacam itu dapat diterima oleh hakim, lepas dari ketentuan undang-undang mengenai pembuktian. Jadi, baik hukum yang tertulis maupun yang tidak, tidak perlu dibuktikan. Terumma hukum acara harus dikuasai oleh hakim, karena merupakan “aturan permainan", peradilan.
Meskipun peristiwa atau faktanya itu disajikan oleh para pihak, hakim harus tau pasti akan peristiwa yang diajukan itu. Ia harus mengkonstituirnya, yang berarti bahwa ia harus mengakui kebenaran peristiwa yang bersangkutan. Dan kebenaran ini hanya dapat diperoleh dengan pembuktian. Untuk dapat 'menjatuhkan putusan yang adil, hakim harus mengenal peristiwa yang telah dibuktikan kebenarannya.
Dalarn beberapa hal, peristiwanya tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim. Ini disebabkan:
Pertama, Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran peristiwa tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal di bawah ini, peristiwanya tidak perlu dibuktikan.
Dalam hal dijatuhkan putusan verstek. Karena tergugat tidak datang, peristiwa yang menjadi sengketa yang dimuat dalam surat gugat tanpa diadakan pembuktian dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar, serta di luar hadirnya pihak tergugat dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim.
Dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan bukti, sehingga tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
Dengan telah dilakukan sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Telah menjadi pendapat umum bahwa dalam hal bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian. (Asser-Anema-Verdam, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgrrlijk Recht van Bcwijs: t.t/29)
Kedua, Hakim secara ex officio dianggap mengenali peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Peristiwa-peristiwa itu ialah:
Apa yang dikenal sebagai peristiwa notoir. Peristiwa notoir adalah kejadian atau keadaan yang dianggap harus diketahui oleh orang yang berpendidikan dan mengenal zamannya tanpa mengadakan penelitian lebih lanjut, atau peristiwa yang dapat diketahuinya dari sumber-sumber yang umum tanpa mengadakan penelitian yang berarti dan yang memberi kepastian yang cukup untuk digunakan sebagai alasan yang serius.(Asser-Anema-Verdam, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands Burgrrlijk Recht van Bewijs: t.t/30). Lazimnya, peristiwa notoir ini diartikan sebagai peristiwa yang diketahui umum. Oleh karena itu, hakim yang berpendidikan tinggi dan sudah tentu dianggap berpengetahuan luas pula, harus tahu juga akan peristiwa notoir ini. Sehingga, tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Demikianlah misalnya bahwa Negara Republik Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, bahwa tanggal 17 Agustus 1976 jatuh pada hari Selasa. Itu semua merupakan peristiwa notoir, peristiwa yang diketahui oleh umum, yang tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. (putusan M.A. 22 aG, 1956, H 1957 NO. 12/118)
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di persidangan di muka hakim yang memeriksa perkara. Kejadian-kejadjan prosesuil ini dianggap diketahui oleh hakim, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, misalnya bahwa pihak tergugat tidak datang, bahwa pihak tergugat mengakui gugatan, bahwa pihak penggugat mengajukan barang bukti.
Ketiga, Pengetahuan tentang pengalaman. Yang dimaksudkan dengan pengetahuan tentang pengalaman ini adalah kesimpulan berdasarkan pengetahuan umum. Pengetahuan tentang pengalaman ini tidaklah termasuk hukum, karena tidak bersifat normatif, tetapi merupakan pengalaman semata-mata. Sebaliknya, bukan pula merupakan peristiwa tertentu, melainkan merupakan kejadian yang ajeg. Jadi, merupakan ketentuan umum berdasarkan pengalaman manusia dan yang digunakan untuk menilai peristiwa yang djajukan atau yang telah dibuktikan. Pengetahuan tentang pengalaman ini misalnya, bahwa mobil yang lari dengan kecepatan 100 km per jam tidak mungkin dihentikan seketika; bahwa barang yang berat apabila dilemparkan ke atas akan jatuh ke bawah; bahwa apabila sebuah peluru ditembakkan tembus mengenai kepala manusia, ia akan mati, Itu semuanya tidak memerlukan pembuktian. Pada peristiwa notoir, hakim mengenali peristiwanya secara konkret, seperti perang di Timor Timur. Sedangkan pada pengetahuan tentang pengalaman, hakim menerapkan suatu pengetahuan umum: kapal terbang lebih cepat jalannya daripada sepeda motor.
Membuktikan
Jadi untuk dapat mengkonstatir peristiwa, peristiwa itu harus dibuktikan kebenarannya. Di luar yang telah dikemukakan di atas, semua peristiwa lainnya harus dibuktikan.
Apakah yang Dimaksud dengan Membuktikan?
“Membuktikan” mengandung beberapa pengertian:
Pertama, Kata membuktikan dikenal dalam arti logis atau ilmiah. Membuktikan di sini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu axioma, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari sebuah segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian ini tidak dimungkinkan adanya bukti lawan, kecuali pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Di sini aksioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga dipereh kesimpulan kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.(Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata: 2013/142-143)
Kedua, Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensional. Di sini pun membuktikan berarti juga memberi kepastian. Hanya saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian yang basifat nisbi atau relatif, yang mempunyai tingkatan-tingkatan.
kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan, kepastian ini bersifat intuitif dan disebut conviction in time.  
kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal sehingga disebut conviction rasonne.
Ketiga, Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan. Akan tetapi, merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian, pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian “historis". (H Drion, Bewijzen in het recht. Themis 1966 afl. 5/6: t.t/410) Pembuktian yang bersifat historis ini mcncoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik dalam pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, membuktikan pada hakikatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar.
Dalam pembuktian secara yuridis, sering terjadi bahwa pengamatannya sebagai dasar dari pembuktian tidak bersifat langsung didasarkan atas penglihatan, tetapi didasarkan ataskesaksian oleh orang lain. Kecuali itu, dipisahkan antara pihak yang mengajukan alat-alat bukti dan pihak yang harus menetapkan bahwa sesuatu telah terbukti.   
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Menurut Suyling, membuktikan secara yuridis tidak hanya memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga terjadinya suatu peristiwa, yang tidak tergantung pada tindakan para pihak, seperti pada persangkaan-persangkaan, dan tidak tergantung pada keyakinan hakim seperti pada pengakuan dan sumpah.(K. Wiersma, Bewijzen in hat burgerlijk geding. Themis 1966 afl, 5/6: t.t/462)   Kesamaan ketiga jenis pembuktian adalah bahwa membuktikan berarti memberi motivasi mengapa sesuatu itu dianggap benar dan didasarkan pada pengalaman dan pengamatan.
Tujuan Pembuktian
Sudah menjadi communis opinio seperti yang telah diketengahkan di muka bahwa membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim, karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa, mengkualifisirnya,  dan kemudian mengkonstituir. Maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Walaupun putusan itu diharuskan objektif, dalam hal pembuktian dibedakan antara pembuktian dalam perkara pidana yang mensyaratkan adanya keyakinan dan pembuktian dalam perkara perdata yang tidak secara tegas mensyaratkan adanya keyakinan. Di Inggris disyaratkan bahwa di dalam perkara pidana peristiwanya harus “beyond reasonable doubt’, sedang dalam perkara perdata cukup dengan preponderance of evidence”.
Berbeda dengan tujuan pembuktian ilmiah ialah bahwa pernbuktian ilmiah adalah suatu konstatasi peristiwa dan bukan semata-mata untuk mengambil kesimpulan atau putusan. Tujuan pembuktian yuridis adalah untuk mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan  tidak meragukan yang mempunyai akibat hukum. Putusan pengadilan harus objektif dalam arti mengandung unsur kesamaan dalam hukum: kesamaan perlakuan terhadap para pihak.
Hukum Pembuktian Positif
Di samping pembagian hukum menjadi hukum materiil (substantive law) dan hukum formil (adjective law), masih dikenal adanya unsur materiil dari hukum, yang rnengatur tentang isi, dan unsur fdrmil, yang mengatur tentang caranya. Unsur-unsur ini kita jumpai baik di dalam hukum materiil maupun hukum formil.
Hukum acara sebagai hukum formil mempunyai unsur materiil maupun formil. Unsur-unsur materiil dari hukum acara adalah ketentuan yang mengatur tentang wewenang, misalnya ketentuan tentang hak dari pihak yang dikalahkan. Sedangkan unsur formil mengatur tentang cara menggunakan wewenang tersebut, misalnya tentang bagaimana caranya naik banding dan sebagainya.
Hukum pembuktian pun, yang termasuk hukum acara juga; terdiri dari unsur materiil maupun formil. Hukum pembuktian materiil mengatur tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan (toelaabaarheid, admissiblity) serta kekuatan pembuktiannya, sedang hukum pembuktian formil mengatur tentang caranya mengadakan pembuktian.
Hukum pembuktian positif kita dalam acara perdata diatur dalam HIR dan Rbg serta BW buku IV. Yang tercantum dalam HIR dan Rbg adalah hukum pembuktian baik yang materiil maupun formil. Apa yang tercantum dalam BW buku IV adalah hukum pcmbuktian materiil. Sumber hukum pembuktian formil lainnya kecuali yang termuat dalarn HIR dan Rbg adalah Rv.
Isi ketentuan dalam HIR (Rbg) mengenai pembuktian dalam garis besarnya memiliki persamaan dengan BW buku IV. Hukum pembuktian yang diatur dalam HIR (Rbg) dan BW itu tidak lengkap dan kurang sistematis.
Hukum pembuktian dalam BW buku IV itu disusun khusus untuk acara contradictoir dalam bidang hukum harta kekayaan di muka hakim perdata. Bagi acara declaratoir atau peradilan volunter pada asasnya tidak berlaku hukum pembuktian BW buku IV, tetapi diperlakukan secara analog. (Asser-Anema-Veram, Handleiding tot de Beoefeningvan het Netherlands Burgerlijk Recth, van Bewijs: t.t/54)
Apa yang Harus Dibuktikan
Seperti yang telah diketengahkan di muka, yang harus dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya. Hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh hakim (ius curia novit). Ketentuan ini dapat disimpulkan dari Pasal 178 ayat 1 HIR (Pasal 189 ayat 1 Rbg) dan Pasal 50 ayat 1 Rv.
Jadi, hakim dalam proses perdata terutama harus menemukan dan menemukan peristiwanya atau hubungan hukumnya dan kemudian memperlakukan atau menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkannya itu.
Peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh penggugat dan tergugat belum tentu semuanya penting bagi hakim sebagai dasar pertimbangan dari putusannya. Peristiwa-peristiwa itu masih harus disaring oleh hakim, harus dipisahkan mana yang penting (relevant; material) bagi hukum dan mana yang tidak (irrelevant, immaterial). Peristiwa yang relevan itulah yang harus ditetapkan dan oleh karena itu harus dibuktikan. Misalnya yang harus dibuktikan ialah adanya perjanjian utang-piutang antara penggugat dan tergugat. Tidaklah relevan bagi hukum apakah penggugat pada waktu mengadakan perjanjian tersebut memakai baju batik dan tergugat sedang merokok. Yang relevan bagi hakim ialah apakah benar-benar pada waktu dan tempat tertentu telah terpenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, sehingga terjadilah perjanjian utang-piutang terima antara kedua belah pihak. Apakah yang dimaksud dengan peristiwa yang harus dibuktikan itu juga hak? Dengan perkataan lain: apakah hak dapat dibuktikan? Dari pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg) dan 1865 BW telah jelas, bahwa siapa yang mengaku mempunyai hak harus membuktikannya. Telah merupakan pendapat umum serta yurisprudensi tetap juga bahwa hak dapat pula dibuktikan. Bukankah tujuan dari pembuktian itu untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua belah pihak, suatu hubungan yang sering tidak dapat dilihat atau diamati oleh panca indra? Pertanyaan tersebut timbul oleh karena para sarjana hukum dalam abad yang lalu berpendapat bahwa yang dapat dibuktikan hanyalah yang dapat diamati dengan panca indra saja.”(Pitlo, Bewijs en Verjaring: t.t/22)
Dari peristiwa itu yang harus dibuktikan adalah kebenarannya. Sering dikatakan bahwa dalam acara perdata, kebenaran yang harus dicari oleh hakim adalah kebenaran indrawi, berlainan dengan dalam acara pidana, di mana hakim mencari kebenaran materiil. Ini tidak berarti bahwa dalam acara perdata hakim mencari kebenaran yang setengah-setengah atau palsu. Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh yang berperkara, jadi tidak melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi kepada luasnya pemeriksaan oleh hakim. Pasal 178 ayat 3 HIR (Pasal 189 ayat 3 Rbg. 50 ayat 3 Rv) melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari yang dituntut. Dalam mencari kebenaran formil, hakim perdata cukup membuktikan dengan ‘preponderance of evidence” saja, sedang bagi hakim pidana dalam mencari kebenaran materiil peristiwanya harus terbukti “beyond reasonable doubt”.
Kalau objek pembuktian yuridis adalah peristiwa konkret individual dan bersifat historis, karena peristiwa yang dibuktikan pada umumnya adalah peristiwa yang sudah terjadi diwaktu yang silarn, objek pembuktian ilmiah adalah dalil-dalil. Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam pembuktian ilmiah pun objeknya adalah peristiwa konkret individual seperti seorang dokter yang harus mendiagnosis suatu penyakit.
Siapa yang Harus Membuktikan
Yang mencari kebenaran dan menetapkan atau mengkonstatir peristiwanya adalah hakim. Peristiwa itu ditetapkan atau dikonstatir oleh hakim setelah dianggapnya terbukti benar. Kalau hakim yang harus mengkonstatir peristiwanya, siapakah yang wajib membuktikannya; yang wajib membuktikan atau mengajukan alat-alat bukti adalah Yang berkepentingan di dalam perkara atau sengketa. Yang berkepentingan tidak lain adalah para pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Para pihaklah yang wajib membuktikan peristiwa yang disengketakan dan bukan hakim. Hal ini dapat kita baca dalam Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg) dan 1865 BW. “Barang siapa yang mengaku mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (baca juga Pasal 178 ayat 1 HIR, 189 ayat 1 Rbg. 50 ayat 1 Rv). Jadi, dalam hal ini dipisahkan antara yang harus membuktikan atau yang harus mengajukan alat-alat bukti, yaitu para pihak, dan yang harus menyatakan terbukti atau tidaknya suatu peristiwa, yaitu hakim.
Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk suatu peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, pembuktian itu masih harus dinilai. Dalam hal ini pembentuk undang-undang dapat mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu, sehingga ia tidak bebas menilainya. Sebaliknya, pembentuk undang undang dapat menyerahkan dan memberi kebebasan kepada hakim dalam menilai pembuktian. Terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis misalnya, hakim terikat dalam penilaiannya (Pasal 165 HIR, 285 Rbg. 1870 BW). Sebaliknya hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi, yang berarti bahwa ia bebas menilai kesaksian (Pasal 172 HIR, 309 Rbg, 1908 BW).
Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim, dan hanyalah judex facti saja, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.” (M.A 29 Juli 1967 No. 7 K/Sip/1967, J.I. Pen. II/69, hal. 93) Apabila alat bukti oleh hakim dinilai cukup memberi kepastian tentang peristiwa yang disengketakan untuk mengabaikan akibat hukum yang dituntut oleh penggugat, kecuali ada bukti lawan, bukti itu dinilai sebagai bukti lengkap atau sempuma. Jadi bukti itu dinilai lengkap atau sempuma apabila hakim berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan, peristiwa yang harus dibuktikan itu harus dianggap sudah pasti atau benar.
Tiap pembuktian, walau dengan bukti lengkap sekalipun, dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. Pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan untuk menyangkut akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk membuktikan ketidakbenaran peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan. Bukti lawan tidak dimungkinkan terhadap bukti yang bersifat menentukan atau memutuskan. Bukti yang bersifat menemukan ini adalah bukti lengkap atau sempuma yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Pasal 177 HIR (Pasal 314 Rbg) dan 1936 BW tentang sumpah tidak memungkinkan bukti lawan.
Berhubung dalam menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas atau diikat oleh undang-undang, maka timbullah pertanyaan: sampai berapa jauhkah hukum positif boleh mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa di dalam sidang? Tentang hal ini ada tiga teori: (Asser-Anema-Verdam, 49) 
Teori pembuktian bebas“ Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian sedapat mungkin diserahkan kepadanya.
Teori pembuktian negatif" Menurut teori ini, harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada Iarangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim di sini dilarang dengan pengecualian (Pasal 169 HIR. 306 Rbg. 1905 BW).  
Teori Pembuktian positif Di samping adanya Iarangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada hakim. Di sini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat pasal 165 HIR. 285 Rbg. 1870 BW).
Pendapat umum menghendaki teori pembuktian yang lebih bebas. Hasrat akan adanya kebebasan dalam hukum pembuktian ini dimaksudkan untuk memberi kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.(Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia: 2013/139-149)

0 komentar:

Post a Comment