PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERDATA
Dari jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat, akhirnya
akan dapat diketahui oleh hakim apa yang sesungguhnya disengketakan oleh
mereka. Peristiwa apa yang menjadi pokok sengketa. Seperti yang telah
diketengahkan di muka, tugas hakim adalah mengkonstatir, mengkualifisir, dan
kemudian mengkonstituir. Apa yang harus dikonstatirnya adalah peristiwa dan
kemudian peristiwa ini harus dikualifisir. Pasal 4 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009
mewajibkan hakim mengadili menurut hukum. Oleh karena itu, hakim harus mengenal
hukum di samping peristiwanya.
Tentang hukumnya tidak perlu diberitahukan kepada hakim oleh
para pihak, dan tidak perlu pula untuk dibuktikan. Hakim dianggap tahu akan
hukumnya (ius curia novit). Ini merupakan asas hukum acara. Oleh karena itu,
hakim harus mempunyai pengetahuan tentang hukum. Tidak mengherankan kalau
disyaratkan bahwa hakim harus seorang sarjana hukum (UU No. 48 tahun 2009).
Dalam tugasnya, hakim harus mengenal hukum. Hukum ini dikenalnya dari
perundang-undangan dan kebiasaan. Apakah hukum kebiasaan juga tidak perlu
dibuktikan? Tentang hal ini ada putusan HR yang memutuskan: “Dat het bestaan
ener gewoonte betreffende zodanige bedingen door den rechter kan worden
angenomen anafhankelijk van de wettelijke
voorschirften aangaande de bewijslevering”.( Pilto, Bewijs en Verjaring:
t.t/14) Terjemahannya: Bahwa adanya suatu kebiasaan mengenai janji-janji
semacam itu dapat diterima oleh hakim, lepas dari ketentuan undang-undang
mengenai pembuktian. Jadi, baik hukum yang tertulis maupun yang tidak, tidak
perlu dibuktikan. Terumma hukum acara harus dikuasai oleh hakim, karena
merupakan “aturan permainan", peradilan.
Meskipun peristiwa atau faktanya itu disajikan oleh para
pihak, hakim harus tau pasti akan peristiwa yang diajukan itu. Ia harus
mengkonstituirnya, yang berarti bahwa ia harus mengakui kebenaran peristiwa
yang bersangkutan. Dan kebenaran ini hanya dapat diperoleh dengan pembuktian. Untuk
dapat 'menjatuhkan putusan yang adil, hakim harus mengenal peristiwa yang telah
dibuktikan kebenarannya.
Dalarn beberapa hal, peristiwanya tidak perlu dibuktikan
atau diketahui oleh hakim. Ini disebabkan:
Pertama, Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui
atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yang berarti bahwa kebenaran
peristiwa tidak perlu dibuktikan kebenarannya. Dalam hal-hal di bawah ini,
peristiwanya tidak perlu dibuktikan.
Dalam hal
dijatuhkan putusan verstek. Karena tergugat tidak datang, peristiwa yang
menjadi sengketa yang dimuat dalam surat gugat tanpa diadakan pembuktian
dianggap benar dan kemudian tanpa mendengar, serta di luar hadirnya pihak
tergugat dijatuhkanlah putusan verstek oleh hakim.
Dalam hal tergugat
mengakui gugatan penggugat maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu
dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan bukti, sehingga tidak
memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
Dengan telah
dilakukan sumpah decisoir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang
menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memerlukan
pembuktian lebih lanjut.
Telah menjadi
pendapat umum bahwa dalam hal bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan
referte, pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak
dengan pembuktian. (Asser-Anema-Verdam, Handleiding tot de beoefening van het
Nederlands Burgrrlijk Recht van Bcwijs: t.t/29)
Kedua, Hakim secara ex officio dianggap mengenali
peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Peristiwa-peristiwa
itu ialah:
Apa yang dikenal
sebagai peristiwa notoir. Peristiwa notoir adalah kejadian atau keadaan yang
dianggap harus diketahui oleh orang yang berpendidikan dan mengenal zamannya tanpa
mengadakan penelitian lebih lanjut, atau peristiwa yang dapat diketahuinya dari
sumber-sumber yang umum tanpa mengadakan penelitian yang berarti dan yang
memberi kepastian yang cukup untuk digunakan sebagai alasan yang
serius.(Asser-Anema-Verdam, Handleiding tot de beoefening van het Nederlands
Burgrrlijk Recht van Bewijs: t.t/30). Lazimnya, peristiwa notoir ini diartikan
sebagai peristiwa yang diketahui umum. Oleh karena itu, hakim yang
berpendidikan tinggi dan sudah tentu dianggap berpengetahuan luas pula, harus
tahu juga akan peristiwa notoir ini. Sehingga, tidak perlu dibuktikan lebih
lanjut. Demikianlah misalnya bahwa Negara Republik Indonesia diproklamirkan
pada tanggal 17 Agustus 1945, bahwa tanggal 17 Agustus 1976 jatuh pada hari
Selasa. Itu semua merupakan peristiwa notoir, peristiwa yang diketahui oleh
umum, yang tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. (putusan M.A. 22 aG, 1956, H
1957 NO. 12/118)
Peristiwa-peristiwa yang terjadi di persidangan di muka hakim yang
memeriksa perkara. Kejadian-kejadjan prosesuil ini dianggap diketahui oleh
hakim, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, misalnya bahwa pihak
tergugat tidak datang, bahwa pihak tergugat mengakui gugatan, bahwa pihak penggugat
mengajukan barang bukti.
Ketiga, Pengetahuan tentang pengalaman. Yang dimaksudkan
dengan pengetahuan tentang pengalaman ini adalah kesimpulan berdasarkan
pengetahuan umum. Pengetahuan tentang pengalaman ini tidaklah termasuk hukum,
karena tidak bersifat normatif, tetapi merupakan pengalaman semata-mata.
Sebaliknya, bukan pula merupakan peristiwa tertentu, melainkan merupakan
kejadian yang ajeg. Jadi, merupakan ketentuan umum berdasarkan pengalaman
manusia dan yang digunakan untuk menilai peristiwa yang djajukan atau yang
telah dibuktikan. Pengetahuan tentang pengalaman ini misalnya, bahwa mobil yang
lari dengan kecepatan 100 km per jam tidak mungkin dihentikan seketika; bahwa
barang yang berat apabila dilemparkan ke atas akan jatuh ke bawah; bahwa
apabila sebuah peluru ditembakkan tembus mengenai kepala manusia, ia akan mati,
Itu semuanya tidak memerlukan pembuktian. Pada peristiwa notoir, hakim
mengenali peristiwanya secara konkret, seperti perang di Timor Timur. Sedangkan
pada pengetahuan tentang pengalaman, hakim menerapkan suatu pengetahuan umum:
kapal terbang lebih cepat jalannya daripada sepeda motor.
Membuktikan
Jadi untuk dapat mengkonstatir peristiwa, peristiwa itu
harus dibuktikan kebenarannya. Di luar yang telah dikemukakan di atas, semua
peristiwa lainnya harus dibuktikan.
Apakah yang Dimaksud dengan Membuktikan?
“Membuktikan” mengandung beberapa pengertian:
Pertama, Kata membuktikan dikenal dalam arti logis atau
ilmiah. Membuktikan di sini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak
karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan.
Berdasarkan suatu axioma, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu
pengetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang bersifat mutlak yang tidak
memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma bahwa dua garis yang
sejajar tidak mungkin bersilang dapat dibuktikan bahwa dua kaki dari sebuah
segitiga tidak mungkin sejajar. Terhadap pembuktian ini tidak dimungkinkan
adanya bukti lawan, kecuali pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Di sini
aksioma dihubungkan menurut ketentuan-ketentuan logika dengan
pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga dipereh
kesimpulan kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.(Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata: 2013/142-143)
Kedua, Kata membuktikan dikenal juga dalam arti
konvensional. Di sini pun membuktikan berarti juga memberi kepastian. Hanya
saja bukan kepastian mutlak, melainkan kepastian yang basifat nisbi atau
relatif, yang mempunyai tingkatan-tingkatan.
kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan, kepastian ini bersifat intuitif dan disebut conviction in time.
kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal sehingga disebut conviction rasonne.
kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan, kepastian ini bersifat intuitif dan disebut conviction in time.
kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal sehingga disebut conviction rasonne.
Ketiga, Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti
yuridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang logis
dan mutlak yang berlaku bagi setiap orang serta menutup segala kemungkinan akan
bukti lawan. Akan tetapi, merupakan pembuktian yang konvensional yang bersifat
khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang
berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka. Dengan demikian, pembuktian
dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinannya
bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau
dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Pembuktian
secara yuridis tidak lain merupakan pembuktian “historis". (H Drion,
Bewijzen in het recht. Themis 1966 afl. 5/6: t.t/410) Pembuktian yang bersifat
historis ini mcncoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik
dalam pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, membuktikan pada hakikatnya
berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tertentu
dianggap benar.
Dalam pembuktian secara yuridis, sering terjadi bahwa pengamatannya sebagai dasar dari pembuktian tidak bersifat langsung didasarkan atas penglihatan, tetapi didasarkan ataskesaksian oleh orang lain. Kecuali itu, dipisahkan antara pihak yang mengajukan alat-alat bukti dan pihak yang harus menetapkan bahwa sesuatu telah terbukti.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Menurut Suyling, membuktikan secara yuridis tidak hanya memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga terjadinya suatu peristiwa, yang tidak tergantung pada tindakan para pihak, seperti pada persangkaan-persangkaan, dan tidak tergantung pada keyakinan hakim seperti pada pengakuan dan sumpah.(K. Wiersma, Bewijzen in hat burgerlijk geding. Themis 1966 afl, 5/6: t.t/462) Kesamaan ketiga jenis pembuktian adalah bahwa membuktikan berarti memberi motivasi mengapa sesuatu itu dianggap benar dan didasarkan pada pengalaman dan pengamatan.
Dalam pembuktian secara yuridis, sering terjadi bahwa pengamatannya sebagai dasar dari pembuktian tidak bersifat langsung didasarkan atas penglihatan, tetapi didasarkan ataskesaksian oleh orang lain. Kecuali itu, dipisahkan antara pihak yang mengajukan alat-alat bukti dan pihak yang harus menetapkan bahwa sesuatu telah terbukti.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Menurut Suyling, membuktikan secara yuridis tidak hanya memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga terjadinya suatu peristiwa, yang tidak tergantung pada tindakan para pihak, seperti pada persangkaan-persangkaan, dan tidak tergantung pada keyakinan hakim seperti pada pengakuan dan sumpah.(K. Wiersma, Bewijzen in hat burgerlijk geding. Themis 1966 afl, 5/6: t.t/462) Kesamaan ketiga jenis pembuktian adalah bahwa membuktikan berarti memberi motivasi mengapa sesuatu itu dianggap benar dan didasarkan pada pengalaman dan pengamatan.
Tujuan Pembuktian
Sudah menjadi communis opinio seperti yang telah
diketengahkan di muka bahwa membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim
tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Secara tidak langsung bagi hakim,
karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa, mengkualifisirnya, dan kemudian mengkonstituir. Maka tujuan
pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut.
Walaupun putusan itu diharuskan objektif, dalam hal pembuktian dibedakan antara
pembuktian dalam perkara pidana yang mensyaratkan adanya keyakinan dan
pembuktian dalam perkara perdata yang tidak secara tegas mensyaratkan adanya
keyakinan. Di Inggris disyaratkan bahwa di dalam perkara pidana peristiwanya
harus “beyond reasonable doubt’, sedang dalam perkara perdata cukup dengan
preponderance of evidence”.
Berbeda dengan tujuan pembuktian ilmiah ialah bahwa
pernbuktian ilmiah adalah suatu konstatasi peristiwa dan bukan semata-mata
untuk mengambil kesimpulan atau putusan. Tujuan pembuktian yuridis adalah untuk
mengambil putusan yang bersifat definitif, pasti dan tidak meragukan yang mempunyai akibat hukum.
Putusan pengadilan harus objektif dalam arti mengandung unsur kesamaan dalam
hukum: kesamaan perlakuan terhadap para pihak.
Hukum Pembuktian Positif
Di samping pembagian hukum menjadi hukum materiil
(substantive law) dan hukum formil (adjective law), masih dikenal adanya unsur
materiil dari hukum, yang rnengatur tentang isi, dan unsur fdrmil, yang
mengatur tentang caranya. Unsur-unsur ini kita jumpai baik di dalam hukum
materiil maupun hukum formil.
Hukum acara sebagai hukum formil mempunyai unsur materiil
maupun formil. Unsur-unsur materiil dari hukum acara adalah ketentuan yang
mengatur tentang wewenang, misalnya ketentuan tentang hak dari pihak yang
dikalahkan. Sedangkan unsur formil mengatur tentang cara menggunakan wewenang
tersebut, misalnya tentang bagaimana caranya naik banding dan sebagainya.
Hukum pembuktian pun, yang termasuk hukum acara juga; terdiri dari unsur materiil maupun formil. Hukum pembuktian materiil mengatur tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan (toelaabaarheid, admissiblity) serta kekuatan pembuktiannya, sedang hukum pembuktian formil mengatur tentang caranya mengadakan pembuktian.
Hukum pembuktian pun, yang termasuk hukum acara juga; terdiri dari unsur materiil maupun formil. Hukum pembuktian materiil mengatur tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan (toelaabaarheid, admissiblity) serta kekuatan pembuktiannya, sedang hukum pembuktian formil mengatur tentang caranya mengadakan pembuktian.
Hukum pembuktian positif kita dalam acara perdata diatur
dalam HIR dan Rbg serta BW buku IV. Yang tercantum dalam HIR dan Rbg adalah
hukum pembuktian baik yang materiil maupun formil. Apa yang tercantum dalam BW
buku IV adalah hukum pcmbuktian materiil. Sumber hukum pembuktian formil
lainnya kecuali yang termuat dalarn HIR dan Rbg adalah Rv.
Isi ketentuan dalam HIR (Rbg) mengenai pembuktian dalam
garis besarnya memiliki persamaan dengan BW buku IV. Hukum pembuktian yang
diatur dalam HIR (Rbg) dan BW itu tidak lengkap dan kurang sistematis.
Hukum pembuktian dalam BW buku IV itu disusun khusus untuk
acara contradictoir dalam bidang hukum harta kekayaan di muka hakim perdata.
Bagi acara declaratoir atau peradilan volunter pada asasnya tidak berlaku hukum
pembuktian BW buku IV, tetapi diperlakukan secara analog. (Asser-Anema-Veram,
Handleiding tot de Beoefeningvan het Netherlands Burgerlijk Recth, van Bewijs:
t.t/54)
Apa yang Harus Dibuktikan
Seperti yang telah diketengahkan di muka, yang harus
dibuktikan adalah peristiwa dan bukan hukumnya. Hukumnya tidak harus diajukan
atau dibuktikan oleh para pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus
diketahui dan diterapkan oleh hakim (ius curia novit). Ketentuan ini dapat
disimpulkan dari Pasal 178 ayat 1 HIR (Pasal 189 ayat 1 Rbg) dan Pasal 50 ayat
1 Rv.
Jadi, hakim dalam proses perdata terutama harus menemukan
dan menemukan peristiwanya atau hubungan hukumnya dan kemudian memperlakukan
atau menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkannya itu.
Peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh penggugat dan
tergugat belum tentu semuanya penting bagi hakim sebagai dasar pertimbangan
dari putusannya. Peristiwa-peristiwa itu masih harus disaring oleh hakim, harus
dipisahkan mana yang penting (relevant; material) bagi hukum dan mana yang
tidak (irrelevant, immaterial). Peristiwa yang relevan itulah yang harus
ditetapkan dan oleh karena itu harus dibuktikan. Misalnya yang harus dibuktikan
ialah adanya perjanjian utang-piutang antara penggugat dan tergugat. Tidaklah
relevan bagi hukum apakah penggugat pada waktu mengadakan perjanjian tersebut
memakai baju batik dan tergugat sedang merokok. Yang relevan bagi hakim ialah
apakah benar-benar pada waktu dan tempat tertentu telah terpenuhi syarat-syarat
sahnya perjanjian, sehingga terjadilah perjanjian utang-piutang terima antara
kedua belah pihak. Apakah yang dimaksud dengan peristiwa yang harus dibuktikan
itu juga hak? Dengan perkataan lain: apakah hak dapat dibuktikan? Dari pasal
163 HIR (Pasal 283 Rbg) dan 1865 BW telah jelas, bahwa siapa yang mengaku
mempunyai hak harus membuktikannya. Telah merupakan pendapat umum serta
yurisprudensi tetap juga bahwa hak dapat pula dibuktikan. Bukankah tujuan dari
pembuktian itu untuk menetapkan hubungan hukum antara kedua belah pihak, suatu
hubungan yang sering tidak dapat dilihat atau diamati oleh panca indra?
Pertanyaan tersebut timbul oleh karena para sarjana hukum dalam abad yang lalu
berpendapat bahwa yang dapat dibuktikan hanyalah yang dapat diamati dengan
panca indra saja.”(Pitlo, Bewijs en Verjaring: t.t/22)
Dari peristiwa itu yang harus dibuktikan adalah
kebenarannya. Sering dikatakan bahwa dalam acara perdata, kebenaran yang harus
dicari oleh hakim adalah kebenaran indrawi, berlainan dengan dalam acara
pidana, di mana hakim mencari kebenaran materiil. Ini tidak berarti bahwa dalam
acara perdata hakim mencari kebenaran yang setengah-setengah atau palsu.
Mencari kebenaran formil berarti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas
yang diajukan oleh yang berperkara, jadi tidak melihat kepada bobot atau isi,
akan tetapi kepada luasnya pemeriksaan oleh hakim. Pasal 178 ayat 3 HIR (Pasal
189 ayat 3 Rbg. 50 ayat 3 Rv) melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas
perkara yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari yang dituntut.
Dalam mencari kebenaran formil, hakim perdata cukup membuktikan dengan
‘preponderance of evidence” saja, sedang bagi hakim pidana dalam mencari
kebenaran materiil peristiwanya harus terbukti “beyond reasonable doubt”.
Kalau objek pembuktian yuridis adalah peristiwa konkret
individual dan bersifat historis, karena peristiwa yang dibuktikan pada umumnya
adalah peristiwa yang sudah terjadi diwaktu yang silarn, objek pembuktian
ilmiah adalah dalil-dalil. Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam pembuktian
ilmiah pun objeknya adalah peristiwa konkret individual seperti seorang dokter
yang harus mendiagnosis suatu penyakit.
Siapa yang Harus Membuktikan
Yang mencari kebenaran dan menetapkan atau mengkonstatir
peristiwanya adalah hakim. Peristiwa itu ditetapkan atau dikonstatir oleh hakim
setelah dianggapnya terbukti benar. Kalau hakim yang harus mengkonstatir
peristiwanya, siapakah yang wajib membuktikannya; yang wajib membuktikan atau
mengajukan alat-alat bukti adalah Yang berkepentingan di dalam perkara atau
sengketa. Yang berkepentingan tidak lain adalah para pihak, yaitu penggugat dan
tergugat. Para pihaklah yang wajib membuktikan peristiwa yang disengketakan dan
bukan hakim. Hal ini dapat kita baca dalam Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg) dan
1865 BW. “Barang siapa yang mengaku mempunyai suatu hak, harus membuktikan
adanya hak atau peristiwa itu (baca juga Pasal 178 ayat 1 HIR, 189 ayat 1 Rbg.
50 ayat 1 Rv). Jadi, dalam hal ini dipisahkan antara yang harus membuktikan
atau yang harus mengajukan alat-alat bukti, yaitu para pihak, dan yang harus
menyatakan terbukti atau tidaknya suatu peristiwa, yaitu hakim.
Penilaian Pembuktian
Sekalipun untuk suatu peristiwa yang disengketakan itu telah
diajukan pembuktian, pembuktian itu masih harus dinilai. Dalam hal ini
pembentuk undang-undang dapat mengikat hakim pada alat-alat bukti tertentu,
sehingga ia tidak bebas menilainya. Sebaliknya, pembentuk undang undang dapat
menyerahkan dan memberi kebebasan kepada hakim dalam menilai pembuktian.
Terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis misalnya, hakim terikat dalam
penilaiannya (Pasal 165 HIR, 285 Rbg. 1870 BW). Sebaliknya hakim tidak wajib
mempercayai seorang saksi, yang berarti bahwa ia bebas menilai kesaksian (Pasal
172 HIR, 309 Rbg, 1908 BW).
Pada umumnya, sepanjang undang-undang tidak mengatur
sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai
pembuktian, yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan, adalah hakim,
dan hanyalah judex facti saja, sehingga Mahkamah Agung tidak dapat
mempertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi.” (M.A 29 Juli 1967 No. 7
K/Sip/1967, J.I. Pen. II/69, hal. 93) Apabila alat bukti oleh hakim dinilai
cukup memberi kepastian tentang peristiwa yang disengketakan untuk mengabaikan
akibat hukum yang dituntut oleh penggugat, kecuali ada bukti lawan, bukti itu
dinilai sebagai bukti lengkap atau sempuma. Jadi bukti itu dinilai lengkap atau
sempuma apabila hakim berpendapat bahwa berdasarkan bukti yang telah diajukan,
peristiwa yang harus dibuktikan itu harus dianggap sudah pasti atau benar.
Tiap pembuktian, walau dengan bukti lengkap sekalipun, dapat
dilumpuhkan oleh bukti lawan. Pembuktian lawan adalah setiap pembuktian yang
bertujuan untuk menyangkut akibat hukum yang dikehendaki oleh pihak lawan atau
untuk membuktikan ketidakbenaran peristiwa yang diajukan oleh pihak lawan.
Bukti lawan tidak dimungkinkan terhadap bukti yang bersifat menentukan atau
memutuskan. Bukti yang bersifat menemukan ini adalah bukti lengkap atau sempuma
yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Pasal 177 HIR (Pasal 314 Rbg) dan
1936 BW tentang sumpah tidak memungkinkan bukti lawan.
Berhubung dalam menilai pembuktian, hakim dapat bertindak
bebas atau diikat oleh undang-undang, maka timbullah pertanyaan: sampai berapa
jauhkah hukum positif boleh mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian
peristiwa di dalam sidang? Tentang hal ini ada tiga teori: (Asser-Anema-Verdam,
49)
Teori pembuktian bebas“ Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian sedapat mungkin diserahkan kepadanya.
Teori pembuktian negatif" Menurut teori ini, harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada Iarangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim di sini dilarang dengan pengecualian (Pasal 169 HIR. 306 Rbg. 1905 BW).
Teori pembuktian bebas“ Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian sedapat mungkin diserahkan kepadanya.
Teori pembuktian negatif" Menurut teori ini, harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif, yaitu bahwa ketentuan ini harus membatasi pada Iarangan kepada hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi hakim di sini dilarang dengan pengecualian (Pasal 169 HIR. 306 Rbg. 1905 BW).
Teori Pembuktian
positif Di samping adanya Iarangan, teori ini menghendaki adanya perintah
kepada hakim. Di sini hakim diwajibkan, tetapi dengan syarat pasal 165 HIR. 285
Rbg. 1870 BW).
Pendapat umum menghendaki teori pembuktian yang lebih bebas.
Hasrat akan adanya kebebasan dalam hukum pembuktian ini dimaksudkan untuk
memberi kelonggaran wewenang kepada hakim dalam mencari kebenaran.(Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia: 2013/139-149)
0 komentar:
Post a Comment