MACAM-MACAM KUASA
Pada bagian ini, dijelaskan secara ringkas jenis kuasa yang
diatur dalam undang-undang. Penjelasan ini berkenaan dengan surat kuasa yang
dapat dipergunakan di depan sidang pengadilan.
Pertama, Kuasa Umum
Kuasa umum diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata. Menurut
pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus
kepentingan pemberi kuasa, yaitu:
melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;
pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan
dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya;
dengan demikian titik
berat kuasa umum, hanya meliputi perbuatan atau tindakan pengurusan kepentingan
pemberi kuasa.
Dengan demikian, dari segi hukum, kuasa umum adalah
pemberian kuasa mengenai pengurusan, yang disebut beherder atau manajer untuk
mengatur kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum,
surat kuasa umum, tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili
pemberi kuasa. Sebab, sesuai dengan ketentuan Pasal 123 HIR, untuk dapat tampil
di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, Penerima Kuasa harus mendapat
surat kuasa khusus. Hal ini ditegaskan dalam Putusan PT Bandung No. 149/1972
(2-8-1972)(Chaidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia: 1983/187)
bahwa seorang manajer yang bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas
(PT) berdasarkan surat kuasa Direktur PT, tidak dapat mengajukan gugatan di
Pengadilan, karena surat kuasa itu hanya bersifat umum untuk mengurus dan
bertindak bagi kepentingan PT terscbut, bukan Surat Kuasa Khusus sebagaimana
yang dimaksud Pasal 123 HIR.
Kedua, Kuasa Khusus
Pasal 1795 KUH Perdata menjelaskan, pemberian kuasa dapat
dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau
lebih. Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di
depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal.
Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa
khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempumakan terlebih dahulu
dengan syarat-syarat yang disebut dalam Pasal 123 HIR. Mengenai hal ini, akan
dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan yang akan datang.
Jadi, kalau tindakan khusus yang dilimpahkan kepada kuasa
tidak dimaksudkan untuk tampil mewakili pemberi kuasa di depan pengadilan,
tidak diperlukan syarat tambahan, cukup berpedoman pada ketentuan yang
digariskan Pasal 1795 KUH Perdata. Misalnya, kuasa untuk melakukan penjualan
rumah. Kuasa itu merupakan kuasa khusus, terbatas hanya untuk menjual rumah.
Akan tetapi, meskipun bersifat kuasa khusus, kuasa itu tidak dapat dipergunakan
untuk tampil di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa. Alasannya
sifat khusus yang dimilikinya bukan untuk tampil di pengadilan, tetapi hanya
untuk menjual rumah.
Ketiga, Kuasa Istimewa
Pasal 1796 KUH Perdata mengatur perihal pemberian kuasa
istimewa. Selanjutnya, ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG. Jika ketentuan pasal-pasal
ini dirangkai, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa
tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa.
Bersifat Limitatif kebolehan memberi kuasa istimewa hanya
terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya,
perbuatan hukum yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa
sendiri. Jadi pada dasarnya, pembuatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh
kuasa berdasarkan surat kuasa biasa. Untuk menghilangkan ketidakbolehan itu,
dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan yang hanya dapat
dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat diwakilkan kepada
kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa
istimewa, hanya terbatas: 1) untuk memindahtangankan benda-benda milik pemberi
kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut,
2) untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga, 3) untuk mengucapkan sumpah
penentu (decisoir eed) atau sumpah tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan
ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG. (M. Yahya Harahap, Hukum Acara
Perdata Indonesia: t.t/121)
Menurut pasal ini, yang dapat mengucapkan sumpah sebagai
alat bukti, hanya pihak yang beperkara secara pribadi. Tidak dapat diwakilkan
kepada kuasa. Akan tetapi, dalam keadaan yang sangat penting, misalnya pihak
yang beperkara sakit sehingga tidak dapat hadir:
hakim dapat memberi izin kepada kuasa untuk mengucapkannya,
untuk itu, kuasa diberi kuasa istimewa oleh principal, dan
principal menyebut dengan jelas bunyi sumpah yang akan diucapkan kuasa.
Harus Berbentuk Akta Otentik
Menurut Pasal 123 HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat
diberikan dalam bentuk surat yang sah. (R. Soesilo, RBG/HIR dengan Penjelasan:
1985) menafsirkannya dalam bentuk akta otentik (akta notaris). Pendapat ini
diterima secara umum oleh praktisi hukum. Oleh karena itu, agar pemberian kuasa
istimewa sah menurut hukum, harus dibuat dalam bentuk akta notaris. Dalam akta
itu ditegaskan dengan kata-kata yang jelas, mengenai tindakan apa yang hendak
dilakukan kuasa.
Keempat, Kuasa Perantara
Kuasa perantara disebut Juga agen (agent). Kuasa ini
dikonstruksi berdasarkan Pasal 1792 KUH Perdata, dan Pasal 62 KUHD yang dikenal
dengan agen perdagangan (commercial agency) atau makelar. Disebut juga broker
dan factor, tetapi lazim disebut perwakilan dagang”.
Dalam hal ini, pemberi kuasa sebagai principal memberi
perintah (instruction) kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau
perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga. Apa
yang dilakukan agen, langsung mengikat kepada principal, sepanjang hal itu
tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan. (Yahya
Harahap, Hukum Acara Perdata: 2009/8)
0 komentar:
Post a Comment