Showing posts with label HUKUM TATA USAHA NEGARA. Show all posts
Showing posts with label HUKUM TATA USAHA NEGARA. Show all posts

Thursday, April 16, 2020

MACAM-MACAM HUKUM



Hukum pada dasarnya diartikan sebagai aturan atau pedoman bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dengan tujuan agar terciptanya sebuah keteraturan dan ketertiban yang menjadi sumber ketenangan dalam  sebuah kehidupan, yang jika ditelaah kembali hukum-hukum tersebut dapat dibagi ke dalam beberapa spesifikasi pembagian hukum.
Adapun macam-macam, jenis dan bentuk-bentuk hukum berdasarkan spesifikasinya ialah sebagai berikut:
1. Hukum berdasarkan bentuknya
Hukum berdasarkan bentuknya, dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum tertulis, biasanya dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dibedakan menjadi dua macam hukum tertulis yaitu: Hukum tertulis yang dikodiflkasikan, Contoh: KUHP, KUH Perdata, KUHAP, KUH Dagang. Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan. Contoh: undang undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden.
  • Hukum tidak tertulis ialah kaidah yang hidup dan diyakini oleh masyarakat serta ditaati berlakunya sebagai kaidah hukum. Hukum demikian lazim disebut sebagai hukum kebiasaan.

2. Hukum berdasarkan sumber formalnya
Hukum berdasarkan sumber formalnya, dapat digolongkan menjadi enam macam, yakni:
  • Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan;
  • Hukum kebiasaan dan hukum adat, yaitu hukum yang berbentuk peraturan kebiasaan dan adat
  • Hukum yurisprudensi, yaitu hukum yang terbentuk karena keputusan hakim
  • Hukum traktat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh negara-negara peserta perjanjian internasional
  • Hukum perjanjian, yaitu hukum yang dibuat oleh para pihak yang mengadakan perjanjian.
  • Hukum ilmu (hukum doktrin), yaitu hukum yang bersumber dari pendapat para sarjana terkemuka atau hukum yang berasal dari doktrin.

3. Hukum berdasarkan isi atau kepentingan yang diatur
Hukum berdasarkan isi atau kepentingan yang diatur dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum privat, adalah hukum yang mengatur kepentingan pribadi, Misalnya hukum perdata, hukum dagang.
  • Hukum publik, ialah hukum yang mengatur kepentingan umum atau kepentingan publik. Contoh: hukum pidana, hukum tata negara, hukum acara pidana, hukum internasional publik.

4. Hukum berdasarkan kekuatan berlakunya atau sifatnya
Hukum berdasarkan kekuatan berlakunya dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum yang bersifat memaksa (imperatif) yaitu kaidah hukum yang tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak. Jadi hukum memaksa harus dilaksanakan. Ada kemungkinan bersifat imperatif, “secara apriori wajib ditaati, kaidah ini tidak dapat dikesampingkan dalam suatu keadaan konkret, hanya karena para pihak membuat perjanjian. Contoh: paasal 147 dan 148 KUH Perdata, ps. 326, ps.338 KUHP.
  • Hukum yang bersifat mengatur (fakultatif) yaitu kaidah hukum yang dapat dikesampingkan oleh para pihak yang bersangkutan. ada kemungkinan bersifat fakultatif, ”tidaklah secara apriori mengikal atau wajib ditaati, jadi ini merupakan kaidah hukum yang dalam keadaan konkret dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak . Contoh: pasal 1476 dan 1477 KUH Perdata.

5. Hukum berdasarkan fungsinya
Hukum berdasarkan fungsinya dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum materiil, yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum antara sesama anggota masyarakat, antara anggota masyarakat dengan penguasa negara, antara masyarakat dengan penguasan negara, dan antara anggota masyarakat dengan masyarakat itu sendiri, hukum materiil menimbulkan hak dan kewajiban sebagai akibat yang timbul karena adanya hubungan hukum.
  • Hukum formal, yaitu hukum yang mengatur bagaimana cara melaksanakan hukum (bagi penguasa) dan bagaimana cara menuntutnya bila hak-hak seseorang dilanggar oleh orang lain. Hukum formal lazimnya disebut hukum acara dan meliputi hukum acara perdata dan hukum acara pidana.

6. Hukum berdasarkan luas berlakunya
Hukum berdasarkan luas berlakunya dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Hukum Umum, ialah hukum yang berlaku bagi setiap orang dalam masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin, warga negara, maupun jabatan seseorang. Contoh: hukum pidana.
  • Hukum Khusus, ialah hukum yang berlakunya hanya bagi golongan orang tertentu saja. Contoh: hukum pidana militer.

7. Hukum berdasarkan tempat berlakunya
Hukum berdasarkan tempat berlakunya dapat digolongkan menjadi tiga macam, yakni:
  • Hukum nasional, ialah hukum yang berlakunya pada suatu negara tenentu.
  • Hukum internasional, ialah hukum yang mengatur hubungan antara negara satu dengan negara
  • Hukum asing, adalah hukum yang berlaku di negara lain jika dipandang dari suatu negara tertentu.

8. Hukum berdasarkan waktu berlakunya
Hukum berdasarkan waktu berlakunya dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni:
  • Ius Constitutum, ialah hukum positiv yang sedang berlaku di suatu negara tertentu
  • Ius Constituendum, ialah hukum yang diharapkan akan berlaku pada masa yang akan datang.

Sunday, March 3, 2019

KEPUTUSAN BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA DIIJNDUNGI ASAS PRESUMPTIO lUSTAE CAUSA


Asas presumptio iustae causa adalah salah satu asas yang terdapat dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Bila diartikan kata-perkata, maka akan diperoleh pengertian sebagai berikut: (N.E. Algra, et aL, Kamus lstilah Hukum Fockema Andrea BeIanda-Indonesia,  Binacipta, 1983) 
  1. Presumptio: an inference required or permitted by law as to the existence of one fact from proof of the existence of other facts or a conclusion derived from a particular set of facts based on law, rather than probable reasoning. 
  2. lustae: justice, the law and its administration.  
  3. Causa: (in the abl.) on account of; for the sake of; case at law, case, law-suit/ situation, condition; cause/reason, motive, pretext/interest.
Bila diartikan dalam bahasa Indonesia, maka secara presumptio iustae causa diartikan sebagai keputusan pemerintah harus selalu dianggap benar dan sah serta segera dilaksanakan sebelum ada keputusan hukum yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa keputusan itu tidak berlaku. Berdasarkan asas praduga Rechtmatig/Presumptio iustae causa bahwa keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) harus dianggap sah secara hukum sampai dengan adanya keputusan Pengadilan yang menyatakan sebaliknya, hal ini agar tugas pemerintahan khususnya dalam rangka memberikan perlindungan (protection), pelayanan umum (public service) dan mewujudkan kesejahteraan (welfare) bagi masyarakat dapat berjalan, namun sebagai penyeimbang guna memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan penggugat, hakim dapat mengeluarkan penundaan pelaksanaan (schorsing).  
Penetapan penundaan merupakan produk hukum yang lahir dari permohonan tapi dalam hal ini terdapat sengketa tata usaha negara, namun hakim dapat mengeluarkan penetapan penundaan/schorsing.
Pemberian perlindungan kepada rakyat merupakan amanat dari Pembukaan (Preambule) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-4 (empat) yang menyebutkan, untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia ”. Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia tidak hanya dari ancaman pihak luar yang bersifat eksternal, akan tetapi termasuk pula dari tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melanggar hukum yang berimplikasi menimbulkan kerugian bagi rakyat.  
Pemberian penghargaan amat penting terhadap penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara sebagaimana dikatakan oleh Adrian B. Webner, menurut Supandi dapat dipahami, oleh karena:
  1. Penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara mengakibatkan daya laku (gelding) terhadap keputusan tata usaha negara yang digugat terhenti untuk sementara waktu (tijdelijk); 
  2. Penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara mengakibatkan suasana/keadaan hukumnya (rechtstoestand) kembali pada keadaan atau posisi semula (restitutio in integrum) sebelum adanya keputusan tata usaha negara yang disengketakan;  
  3. Penundaan pelaksanaan képutusan tata usaha negara memberi batasan (restricteren) berlakunya asas praduga sah (presumptio iustae causa/vermoeden van rechtmatigheid).  
Dengan memerhatikan 3 (tiga) aspek hukum yang ditimbulkan bilamana penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara dikeluarkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, seyogianya menurut Supandi:  
Lembaga penangguhan (schorsing) maksudnya penudaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara harus dijabarkan secara sangat hati-hati karena semata-mata hanya untuk memberikan kualitas keseimbangan perIindungan kepentingan umum dengan kepentingan individu warga negara (penggugat). Namun, manakala dalam rangka melindungi kepentingan individu warga negara (penggugat) tersebut berakibat terlantarnya kepentingan umum, maka pengadilan (hakim) wajib mengutamakan kepentingan umum.“ (Supandi, Ganti Rugi Akibat Tindakan Pejabat Panerintah dalam RUU Administrasi Pemerintahan dan Prospek Peradilan Tata Usaha Negara, dalam Sophia Hadyanto (editor) Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi dalam Rangka Ultah Ke-80 Prof. Sally Lubis/ Medan: PT Sofemdia, Cet. 2010), hlm. 317-318) 
Di dalam ilmu hukum bahwa suatu “keputusan” dikatakan sah menurut hukum (rechsmatig) apabila keputusan tersebut memenuhi persyaratan tertentu yang ditentukan oleh hukum. Dengan dipenuhinya persyaratan yang ditentukan oleh hukum maka keputusan tersebut mempunyai kekuatan hukum (rechtskrach) untuk dilaksanakan. Sebaliknya apabila suatu keputusan tersebut tidak memenuhi persyaratan maka menurut hukum ketetapan atau keputusan tersebut menjadi “tidak sah” yang berakibat hukum menjadi “batal” (nietig). Menurut Van der Pot, ada 4 syarat yang harus dipenuhi agar ketetapam administrasi sebagai ketetapan sah dan apabila salah satunya tidak dipenuhi dapat menimbulkan akibat bahwa ketetapan administrasi tersebut menjadi ketetapan tidak sah: 1. Bevoedgheid (kewenangan) organ administrasi yang membuat keputusan; 2. geen juridische gebreken in de wilsvorming (tidak ada kekurangan yuridis dalam pembentukan kehendak); 3. vorm dan procedure yakni keputusan dituangkan dalam bentuk yang telah ditetapkan dan dibuat menurut tata cara yang telah ditetapkan; Isi dan tujuan keputusan sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar. (Abdul Rasyid THlmib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia/Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 211) 
Philipus M. Hadjon mengutarakan wewenang, prosedur dan substansi, ketiga aspek hukum merupakan landasan hukum untuk dapat dikatakan suatu ketetapan atau keputusan tersebut sah. Pertama, aspek wewenang dalam hal ini artinya bahwa pejabat yang mengeluarkan ketetapan tersebut memang mempunyai kewenangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk itu; kedua, aspek prosedur, berarti bahwa ketetapan atau keputusan tersebut dikeluarkan sesuai dengan tata cara yang disyaratkan dan bertumpu kepada asas keterbukaan pemerintah; ketiga, aspek substansi, artinya menyangkut objek ketetapan atau keputusan tidak ada “Error in re”. Selanjutnya dijelaskan bahwa istilah keabsahan adalah terjemahan dari istilah Belanda “rechtmatigheid”(van bestuur). Rechtmatigheid = legalitas = legality. (Mustamin DG. Matutu dkk, Mandat Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesid/Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 109-159) Ruang lingkup keabsahan meliputi: 1. wewenang; 2. prosedur; 3. Substansi. Butir 1 dan 2 (wewenang dan procedure) merupakan landasan bagi legalitas formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas presumptio iustae causa. Atas dasar asas itulah ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU. No. 5 Tahun 1986 menyatakan: Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.

Thursday, February 28, 2019

ACTIO POPULARIS VS TIGHT STANDING


Disadari atau tidak, pembedaan antara tipikal hukum publik dan hukum privat juga secara analogi terjadi pada aspek-aspek lain dalam kajian hukum, seperti adanya pembedaan Sistem Hukum Civil Law dan Common Law, yang sejatinya didasari praktik hukum dalam wilayah keberlakuan tertentu (Eropa Kontinental dan Anglo Saxon (Eropa Daratan) serta Amerika); dasar penegakan hukum, yakni wet/perundang-undangan (tertulis) yang diperbandingkan dengan recht/hukum (baik tertulis serta berdasarkan kebiasaan yang berlanjut); sampai tipikal negara hukum, yakni negara hukum murni dengan berbagai variannya, yang selanjutnya diperbandingkan dengan negara kesejahteraan (welfaar staat/welfare state).
Salah satu poin dikotomi yang relevan dengan bahasan ini adalah mengenai hak gugat (standing to the sue) atas dasar suatu kepentingan, yang juga memiliki 2 sisi perbedaan secara praktis, yakni dalam cakupan Hukum Perdata (Privat) dan Hukum Administrasi Negara (Publik), terkhusus dalam sistem hukum di negara ini.
Hak gugat umum (actio popularis) pada umumnya dilakukan dengan motivasi dasar adanya tuntutan ganti kerugian atas suatu tindakan pemerintah yang memiliki dampak kepada warga masyarakat. Kendati secara tekstual, actio popularis ini berkenaan dengan jaminan hukum bagi warga masyarakat (dalam bentuk tindakan hukum tertentu, baik secara indvidual maupun komunal), namun dalam praktiknya actio popularis lebih identik dengan gugatan perwakilan kelompok (class action) terhadap tindakan pemerintah (overheidsdaad) yang berimplikasi pada hajat hidup orang banyak, atau lingkungan hidup (alam).
Oleh karena motivasi dasarnya adalah adanya tuntutan ganti kerugian, maka secara prinsip konsep actio popularis baik dalam tindakan pokoknya maupun tuntutan pokoknya, cenderung ke arah praktik hukum perdata alih-alih dianut dalam praktik Hukum Administrasi Negara, yang substansinya adalah menguji keabsahan tindakan hukum pemerintah dan/ atau keputusan tata usaha negara yang diterbitkan oleh pemerintah. Sehingga dengan demikian, dalam sengketa tata usaha negara tak semua subjek hukum bisa mengajukan gugatan, kendati mendalilkan adanya kepentingan umum (masyarakat) yang dirugikan atas tindakan hukum pemerintah tersebut. Hal tersebut menjadi salah satu pembeda pokok antara hak gugat di dalam lingkup hukum perdata dengan hukum administrasi.
Bila dikaji secara mendasar terdapat pula pembeda pokok selain motivasi, yang secara prinsip juga harus dipahami adalah kepentingan yang menjadi dasar adanya motivasi untuk melakukan suatu tindakan hukum (gugatan) tertentu.
Perbedaan mendasar antara latar belakang adanya gugatan di Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara adalah adanya hak keperdataan yang dikomparasikan dengan adanya kepentingan. Keduanya kendati sering memiliki batasan yang serupa dan kadang sukar dibedakan, namun pada prinsipnya kedua term tersebut pada awalnya bersifat subjektif, yang pada akhirnya akan dibuktikan objektivitasnya oleh hakim/majelis hakim yang memeriksa.
Terkait dengan aspek kepentingan ini, ada pemaknaan yang silih berganti digunakan dan terkadang berderivasi (bila tidak dikatakan sebuah disparitas) terhadap pemaknaan konteks kepentingan mengajukan gugatan.Dalam perkembangannya, terdapat dinamika pasang surut antara dua rezim, yaitu actio popularis dan tight standing secara bergantian. Actio Popularis, diartikan bahwa setiap orang dapat mengajukan gugatan. Semua subjek hukum berkepentingan dengan pelaksanaan wewenang pemerintah yang sesuai dengan hukum. Tight standing diartikan hak mengajukan gugatan hanya diberikan kepada pihak yang dialamatkan oleh suatu keputusan.(Van Wijk, H.D., Hoofdstukkken Van Administratief Recht/Utrecht: Uitgeveru Lemma BV, 1995, hlm. 715)
Dalam actio popularis, hak mengajukan gugatan bagi warga negara atas nama kepentingan umum adalah tanpa syarat, sehingga orang yang mengambil inisiatif mengajukan gugatan tidak harus orang yang mengalami sendiri kerugian secara langsung, dan juga tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota masyarakat yang diwakilinya.(Susanti Adi Nugroho, Class Action & Perbandingannya dengan Negara Lain/Jakarta: Prenada Media Group, 2010, hlm. 386)
Adanya pengidentifikasian class action dengan actio popularis ini secara hukum menjadi logis, karena apa yang dituntut pada keduanya, mayoritas berkaitan dengan kepentingan umum, yang-juga bukan merupakan kebetulan-sering bersinggungan dengan tindakan pemerintah, baik tindakan faktual pemerintah (feitelijkehandelingen) maupun tindakan hukum pemerintah (rechtshandelingen).
Sementara dalam tight standing, kriteria subjek hukum yang dapat mengajukan gugatan lebih ketat dengan parameter tertentu yang secara objektif dapat diperkirakan eksistensinya. Kendati dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, frasa yang menjadi prasyarat hak gugat adalah “merasa kepentingannya dirugikan”, akan tetapi dengan mendasarkan diri pada konsep hukum publik dasar yang terkandung di dalamnya, di mana tidak semua subjek hukum dapat semaunya menggugat sebuah keputusan pemerintah yang telah diterbitkan, maka konsep tight standing ini diterapkan sebagai penyeimbang dari frasa “merasa kepentingannya dirugikan” dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.


HUKUM PUBLIK DAN HUKUM PRIVAT


Hukum privat dan hukum publik, memiliki karakteristik dan daya ikat (yurisdiksi) masing-masing yang juga berbeda. Pembedaan hukum menjadi 2 tipikal hukum ini didasarkan pada pendapat van Vollenhoven (C.S.T. Kansil, Hukum Tata Pemerintahan Indonesia/Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hlm. 14) dan sempat pula menjadi perdebatan lama di antara para ahli, seperti halnya Hammaker yang menyatakan kendati ada perbedaan hakiki antara kedua macam hukum tersebut, namun ia masih menyatakan bahwa hukum publik itu sebenarnya bukan hukum, tetapi hanya suatu perumusan dalam UU mengenai tugas-tugas dan sarana yang digunakan publik adalah hukum yang dibuat oleh pembuat UU (wetgeversrecht). Karenanya di luar UU juga tidak ada tempat untuk hukum publik. Sedangkan hukum privat itu asalnya bersumber pada kesadaran hukum yang bersifat umum, karena ia lebih tinggi kedudukannya daripada pemerintah maupun UU (Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata/Bogor: LPPHAN, 1999, hlm. 3)
Namun demikian menurut van Apeldoorn, pembedaan itu bukanlah pemisahan (onderscheiding, geenscheiding). Kepentingan orang-seorang tidak dapat dipisahkan dari kepentingan umum, karena seorang manusia adalah bersama-sama merupakan orang-seorang (individu) dan juga sebagai anggota masyarakat (social wezen)(Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia/Bandung: Penerbit CV Armico, 1985, hlm. 26)
Mengenai definisi dan cakupannya, bisa diperbandingkan antara pendapat van Apeldoorn yang pada pokoknya membedakan kedua tipikal hukum itu berdasarkan kepentingan yang dilindungi, yakni bila kepentingan yang dilindunginya adalah kepentingan umum maka itu adalah hukum publik, namun bila kepentingan yang dilindunginya adalah kepentingan khusus (i.c. antar-individu), maka itulah hukum privat (LJ. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum/Jakarta: Pradnya Pramita, 1990, hlm. 74), dengan pendapat dari Donner yang menyatakan bahwa hukum privat adalah hukum yang mengatur tentang hubungan-hubungan antar-para individu, sedang hukum publik itu mengatur hubungan hukum antara penguasa (pemerintah) dengan para warga masyarakat atau antara para instansi pemerintah sendiri. (Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata)
Meskipun pada awal mula berkembangnya kajian tentang hukum, pembedaan ini dianggap kurang relevan dan substantif, akan tetapi sejarah mencatat bahwa terlepas dari sistem hukum mana yang melingkupinya (baik sistem civil law maupun common law), pembedaan hukum publik dan hukum privat dalam kajian akademis maupun praktis, turut serta berperan dalam menyusun dan membangun peradaban hukum modern sesuai dengan tuntutan zaman dan masyarakat di mana hukum itu tumbuh dan berkembang.
Indikator sederhananya, banyak kalangan praktisi juga akademisi yang-sengaja ataupun tidak-mengkhususkan diri mereka pada keahlian hukum tertentu saja, baik itu dalam lingkup hukum publik (sebagai jaksa, advokat atau dosen, khusus dalam hukum pidana) maupun hukum privat (advokat, konsultan hukum pajak, notaris/PPAT). Pengecualiannya adalah hakim, karena kendati saat ini tengah berada pada rangkaian modernisasi dalam konteks Sistem Kamar Peradilan (dengan dasar bidang keahlian hukum tertentu) maupun lingkungan peradilan (sebagaimana telah digariskan UUD 1945), Hakim tetap harus dianggap mengetahui-semua hukum baik itu hukum publik ataupun hukum privat, sebagai refleksi umum dari asas ius curia novit. (dalam artikel yang berjudul Aspek & Pihak yang Berkepentingan dalam Sengketa Tata Usaha Negara oleh Febby Fajrurrahman, Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram)