Monday, March 4, 2019

RESTORATIVE JUSTICE DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA


Restorative justice merupakan bagian yang inheren dalam sistem peradilan pidana pada negara-negara maju. Di Indonesia restorative justice masih dimaknai dalam penjatuhan pidana, dan belum sampai pada tataran pemulihan hubungan antara pelaku kejahatan dan korban tindak pidana, baik selama pemidanaan maupun sesudah pemidanaan.  
Jepang dan Korea menurut J.O. Halley adalah dua negara yang sukses menurunkan angka kejahatan yaitu dengan cara melakukan pendekatan-pendekatan melalui instrumen restorative justice. Negara-negara maju lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda, juga memiliki instrumen hukum melalui restorative justice. Dalam banyak perkara pidana stigma akibat penjatuhan pidana pada dasarnya dapat dihapus melalui tindakan restoratif, karena selain kompensasi dan restitusi, restorasi dan rekonsiliasi memegang peranan penting menyembuhkan luka sosial akibat kejahatan.  
BACA JUGA UNDANG-UNDANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
BACA JUGA KEPUTUSAN BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA DILINDUNGI ASAS PRESUMPTIO IUSTAE CAUSA
Penegakan hukum yang berdasarkan undang-undang akan memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab. Semua itu akan terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interelasi dan saling memengaruhi satu sama lain.  
Peradilan pidana dalam pelaksanaannya terdapat satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang merupakan proses hukum yang adil dan layak. Proses hukum adil dan layak adalah sistem peradilan pidana, selain harus dilaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat.  
BACA JUGA DOLUS DAN CULPA
Model peradilan yang sesuai dengan peradilan pidana di Indonesia ke depan adalah model peradilan restoratif, karena model ini berusaha memperbaiki insan manusia anggota masyarakat dengan cara menghadapkan pelaku tanggung jawabnya pada korban Di dalam paradigma peradilan pidana Indonesia ke depan tampak indikator-indikator ke arah satu model peradilan pidana yang berupa model kesimbangan kepentingan (kepentingan negara, masyarakat, dan korban perkosaan) dipandang model yang mencerminkan nilai-nilai ideologi dan nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia yang bercirikan serasi, selaras, dan seimbang seperti terkandung dalam Pancasila. (Paulus Hadisuprapto, hlm. 314) 
Made Sadhi Astuti menjelaskan bahwa dalam teori pidana kebijaksanaan berdasarkan Pancasila, berati Pancasila harus menggarami, sebagai penyedap arti, sifat, bentuk, dan tujuan pidana atau pemidanaan. (Made Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana/IKIP Malang, 1997, hlm. 89) 
Upaya untuk menjalankan hukum yang hidup dalam masyarakat di bidang hukum pidana adalah merupakan cita-cita para pakar hukum pidana Indonesia. (Barda Nawawi Arief dalam pidato pengukuhan penerimaan jabatan sebagai Guru Besar dalam Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro: Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Pidana/Semarang, 25 Juni 1994, hlm. 15)
Karena pengaturan dalam hukum pidana adalah merupakan pencerminan ideologi politik dari suatu bangsa di mana hukum itu berkembang dan merupakan hal penting bahwa seluruh bangunan hukum bertumpu pada pandangan politik yang didasarkan pada semangat yang terkandung dalam Pancasila sebagai perwujudan cita hukum (rechtsidee) yang telah dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang 1945.  
Dalam rangka pembaruan hukum pidana, tentunya harus dilakukan reorientasi terhadap berbagaj aturan warisan Belanda yang sering dikatakan telah usang dan tidak adil (absolute and unjust) serta sudah ketinggalan zaman dan tidak lagi sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena tidak berakar pada nilai-nilai budaya serta tidak lagi responsif terhadap kebutuhan sosial dewasa ini.  Sehubungan dengan hal itu, dalam laporan Kongres VI (Fifth UN Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offender) telah ditegaskan bahwa: “the important af foreign cultural patterns which did not harmonize with indigenous culture had a criminogenic effect" 
(Penting di sini bahwa hukum yang mengandung model-model asing yang tidak cocok dengan budaya lokal, pada dasarnya mengandung efek kriminogen).  
Lebih lanjut Kongres VI juga menegaskan bahwa:  
”Often, lack of consistency between laws and reality was criminogenic; the further the law was removed from the feeling and the values shared by the community, the greater was the lack of confidence and trust in the efficacy of the legal system”.  
(”Acapkali, ketidakkonsistenan antara undang-undang dengan kenyataan adalah merupakan faktor kriminogen: semakin jauh undang-undang bergeser dari perasaan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, akan semakin besar ketidakpercayaan akan keefektifan sistem hukum itu).
Usaha pembaruan hukum pidana yang bertumpuh pada nilai-nilai yang dalam masyarakat, adalah merupakan upaya yang terus-menerus, karena merupakan kegiatan yang berkesinambungan dan berlanjut. Hal ini menegaskan apa yang pernah disampaikan oleh Jerome Hall:
“improvement of the criminal law should be a permanent ongoing enterprise and detailed records should be kept“ 
Herbert Packer memperkenalkan apa yang dinamakannya Crime Control Model (CCM), dan Due Process Model (DPM). Sedangkan John Griffiths mengemukakan apa yang dinamakannya The Third Model of the Criminal Process, atau yang lebih dikenal sebagai Family Model of Criminal Process (FM).
Pada dasarnya CCM adalah suatu model yang didasarkan pada sebuah proposisi bahwa fungsi terpenting proses peradilan pidana adalah penghukuman terhadap pelaku tindak pidana. Dengan alasan tersebut maka perilaku kriminal mesti dikendalikan secara ketat demi kepentingan umum. Untuk tujuan tersebut, maka tujuan CCM titik beratnya adalah pada efisiensi, sehingga dalam CCM proses peradilan pidana harus memberikan keluaran (output) berupa angka penahanan dan pemidanaan yang secara kuantitatif haruslah tinggi. Dengan dasar ini, maka CCM lebih mengutamakan pada kecepatan dalam menyelesaikan perkara. Perkara tindak pidana yang tidak memenuhi syarat penahanan secepatnya diselesaikan, sedangkan perkara-perkara pidana yang memenuhi syarat pelakunya ditahan dan dijatuhi hukuman, dijamin untuk ditangani secara cepat dan efisien melalui proses peradilan pidana. Kinerja komponen peradilan pidana yang menyangkut prosedur administratif yang dilaksanakan oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan haruslah cepat, akurat, dan efisien. Karena itu maka prosedur administratif pendukung keberlangsungan proses peradilan yang bertentangan dengan prinsip ini seperti proses peradilan yang lamban, tidak efisien dan tidak akurat, haruslah dihindari, dan campur tangan proses administratif harus dijaga seminimal mungkin, sejauh tidak bertentangan dengan tujuan utama proses peradilan pidana yang berupa penekanan terjadinya kejahatan.  
Due Process Model dasarnya berada dalam praktis yang sangat berlawanan dengan CCM. Hal ini disebabkan karena secara inheren ia dibatasi oleh sistem nilai yang mengutamakan individu dan limitasi kekuasaan negara. Pengutamaan hak-hak individu berhadapan dengan kekuasaan yang dimiliki negara mensyaratkan terselenggaranya peradilan pidana secara terkendali meski harus mengeluarkan biaya. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip efisiensi waktu dan biaya. Paradigma dalam DPM didasarkan pada fakta adanya kecenderungan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan, dan sikap skeptis yang bertumpu pada pengamatan kegagalan prosedur administratif untuk menghadirkan keadilan substantif yang merugikan kepentingan individu dan yang merupakan pokok perhatian DPM terletak pada pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan individu dari penyalahgunaan proses peradilan pidana. Karena itulah DPM berangkat dari konsep legal guilt yang mengedepankan asas Presumption of Innocent ketimbang Presumption of Guilty. Di sini dikonsepkan bahwa peradilan pidana berfungsi sebagai forum koreksi terhadap penyalahgunaan kekuasaan negara pada satu pihak, sementara pada pihak lain peradilan pidana berfungsi sebagai forum untuk mengingatkan kewajiban negara secara terus-menerus guna menjamin agar tertuduh atau pelaku tindak pidana hak-hak hukumnya tidak dirampas begitu saja, melainkan memperoleh perlindungan hukum dari tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum.  
The Family Model adalah Sistem Peradilan Pidana yang diperkenalkan olehJohn Griffiths pada tahun 1970, jadi muncul setelah Herbert Packer memperkenalkan CCM dan DPM. Griffiths mempelajari kedua model yang dikemukakan oleh Packer dan ia berpendapat bahwa sebenarnya CCM dan DPM jika disintesis sesungguhnya hanyalah merupakan satu model saja, dan untuk ini Griffiths mengabungkan DPM dan CCM serta memberikan nama baru yang disebutnya sebagai Battle Model (BM).  
Berangkat dari asumsi dasar yang berbeda secara fundamental dengan Packer, maka Griffiths membagun model yang berbeda yang dinamakannya “The Family Model” (FM). Di sini makna pemidanaan mengalami modifikasi di mana pemidanaan terselenggara dalam suasana kekeluargaan. Pemidanaan dalam lingkup keluarga adalah merupakan suatu hal yang biasa dan bertujuan untuk membangun sebuah kontrol diri (self control). Bahwa FM yang dilandasi dengan nilai-nilai rekonsiliabilitas dalam tindak pidana, sehingga kita sebaiknya perlu mempertimbangkan untuk menggunakan model FM dariJohn Griffiths apabila dibandingkan apa yang dimaksudkan Battle Model versi Packer.  
Peradilan restoratif merupakan model peradilan yang sangat ideal bagi penegakan hukum di Indonesia, karena adanya kesimbangan dalam memperoleh perlindungan hukum, yaitu selain melindungi kepentingan negara juga memberikan perlindungan hukum terhadap pelaku perkosaan dan korban perkosaan. Hukum yang menciptakan keseimbangan dan keselarasan seperti ini lebih cocok dengan cita hukum (rechtsidee) Pancasila, karena mengandung model yang mencerminkan nilai-nilai ideologi dan nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia yang bercirikan serasi, selaras, dan seimbang seperti terkandung dalam Pancasila.  
Perlindungan hukum terhadap korban tindak hendaknya merupakan bagian integral dari perlindungan hukum bagi masyarakat. Hal yang demikian sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu tersedianya hak hukum bagi pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis dan bantuan hukum dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban hanyalah kepada korban perkosaan dalam keadaan tertentu atau luar biasa saja. Aturan dalam hukum positif sangatlah diperlukan adanya, karena dapat mengakhiri ketidakpastian dan ketidakseimbangan perlakuan antara pelaku kejahatan dengan korban tindak pidana.  
Perlindungan hak-hak korban diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu:  
  1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;   
  2. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;  
  3. memberikan keterangan tanpa tekanan;  
  4. mendapat penerjemah;  
  5. bebas dari pertanyaan yang menjerat;  
  6. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;  
  7. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;  
  8. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;  
  9. mendapatkan identitas baru;  
  10. mendapatkan tempat kediaman baru; . memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;  
  11. mendapatkan nasihat hukum; 
  12. dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.  
Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menentukan bahwa korban dalam pelanggaran HAM yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan: 
a. bantuan medis; 
b. bantuan rehabilitasi psiko-social.
Demikian juga ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menentukan: 
(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: 
  1. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;  
  2. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. 
(2) Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.  
Perlindungan hukum terhadap hak-hak saksi dan korban tindak pidana dalam peradilan pidana di Indonesia, yaitu segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada korban tindak pidana yang wajib diberikan oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu antara lain:  
  1. hak untuk didengar pendapatnya dalam setiap tahap pemeriksaan, baik tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun tahap pemeriksaan di pengadilan; 
  2. hak atas restitusi oleh pelaku kejahatan;  
  3. hak untuk tidak didekati oleh pelaku atau kelompoknya dalam jarak tertentu, dalam tindak pidana tertentu;  
  4. hak untuk mendapatkan bantuan medis, bantuan konsultasi psikologis; dan hak atas kompensasi dari negara bagi saksi korban yang mengalami penderitaan fisik atau psikologis yang berat.
Hak-hak asasi manusia yang melekat pada setiap orang harus mendapatkan perlindungan hukum. Apabila dikaitkan dengan hak-hak korban tindak pidana, maka hak-hak yang perlu mendapat perlindungan hukum, yaitu antara lain: mendapatkan bantuan medis; mendapatkan bantuan rehabilitasi psiko-sosial; mendapatkan hak kompensasi dalam perkara pelanggaran HAM berat; mendapatkan hak restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.  
Tata cara pengaturan pembayaran ganti kerugian kepada korban tindak pidana dalam keadaan biasa di Indonesia dapat digabung dengan perkara pokoknya dan pengaturannya berdasarkan pada ketentuan Pasal 98 KUHAP, di mana tuntutan ganti rugi harus diajukan oleh korban kejahatan di persidangan, dan paling lambat diajukan oleh korban tindak pidana sebelum tuntutan perkara pokoknya dibacakan oleh jaksa penuntut umum yang besarnya ditetapkan oleh majelis hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut.  
Dalam perkembangannya di Indonesia terhadap kejahatan biasa/ tindak pidana umum seperti pedagang korban kekerasan oleh oknum TNI di sekitar Monas pada beberapa tahun yang lalu yang menyebabkan korban meninggal dunia, maka LPSK telah berani membuat terobosan baru, yaitu memberikan kompensasi kepada ahli waris dari korban kekerasan tersebut.  
Peradilan restoratif adalah peradilan sebagaimana dikemukakan oleh Muladi, yaitu peran korban tindak pidana dan pelaku kejahatan diakui, baik dalam menentukan masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban, di mana pelaku didorong untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Restitusi dan kompensasi sebagai sarana perbaikan para pihak, sedangkan rekonsiliasi dan restorasi merupakan tujuan utama dari peradilan restoratif. (Ansori, Hakim Ad Hoc Tipikor Tingkat Banding pada Pengadilan Tinggi Maluku Utara, Restorative Justice "Menuju Sistem Peradilan Pidana Terpadu" dalam Varia Peradilan No. 350 Januari 2015, hlm. 52-59)

0 komentar:

Post a Comment