RESTORATIVE JUSTICE DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
Restorative justice
merupakan bagian yang inheren dalam sistem peradilan pidana pada
negara-negara maju. Di Indonesia restorative justice masih dimaknai dalam
penjatuhan pidana, dan belum sampai pada tataran pemulihan hubungan
antara pelaku kejahatan dan korban tindak pidana, baik selama pemidanaan
maupun sesudah pemidanaan.
Jepang dan Korea menurut J.O. Halley
adalah dua negara yang sukses menurunkan angka kejahatan yaitu dengan
cara melakukan pendekatan-pendekatan melalui instrumen restorative
justice. Negara-negara maju lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan
Belanda, juga memiliki instrumen hukum melalui restorative justice.
Dalam banyak perkara pidana stigma akibat penjatuhan pidana pada
dasarnya dapat dihapus melalui tindakan restoratif, karena selain
kompensasi dan restitusi, restorasi dan rekonsiliasi memegang peranan
penting menyembuhkan luka sosial akibat kejahatan.
BACA JUGA UNDANG-UNDANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
BACA JUGA KEPUTUSAN BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA DILINDUNGI ASAS PRESUMPTIO IUSTAE CAUSA
BACA JUGA UNDANG-UNDANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
BACA JUGA KEPUTUSAN BADAN/PEJABAT TATA USAHA NEGARA DILINDUNGI ASAS PRESUMPTIO IUSTAE CAUSA
Penegakan
hukum yang berdasarkan undang-undang akan memberikan kekuasaan kehakiman
yang bebas dan bertanggung jawab. Semua itu akan terwujud apabila
orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu
mempergunakan segenap unsur yang terlibat di dalamnya sebagai suatu
kesatuan dan saling interelasi dan saling memengaruhi satu sama lain.
Peradilan
pidana dalam pelaksanaannya terdapat satu istilah hukum yang dapat
merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang
merupakan proses hukum yang adil dan layak. Proses hukum adil dan layak
adalah sistem peradilan pidana, selain harus dilaksanakan penerapan
hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga harus didukung oleh
sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga masyarakat.
BACA JUGA DOLUS DAN CULPA
BACA JUGA DOLUS DAN CULPA
Model
peradilan yang sesuai dengan peradilan pidana di Indonesia ke depan
adalah model peradilan restoratif, karena model ini berusaha memperbaiki
insan manusia anggota masyarakat dengan cara menghadapkan pelaku
tanggung jawabnya pada korban Di dalam paradigma peradilan pidana
Indonesia ke depan tampak indikator-indikator ke arah satu model
peradilan pidana yang berupa model kesimbangan kepentingan (kepentingan
negara, masyarakat, dan korban perkosaan) dipandang model yang
mencerminkan nilai-nilai ideologi dan nilai sosio-kultural masyarakat
Indonesia yang bercirikan serasi, selaras, dan seimbang seperti
terkandung dalam Pancasila. (Paulus Hadisuprapto, hlm. 314)
Made
Sadhi Astuti menjelaskan bahwa dalam teori pidana kebijaksanaan
berdasarkan Pancasila, berati Pancasila harus menggarami, sebagai
penyedap arti, sifat, bentuk, dan tujuan pidana atau pemidanaan. (Made
Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana/IKIP
Malang, 1997, hlm. 89)
Upaya untuk
menjalankan hukum yang hidup dalam masyarakat di bidang hukum pidana
adalah merupakan cita-cita para pakar hukum pidana Indonesia. (Barda
Nawawi Arief dalam pidato pengukuhan penerimaan jabatan sebagai Guru
Besar dalam Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro:
Beberapa Aspek Pengembangan Hukum Pidana/Semarang, 25 Juni 1994, hlm. 15)
Karena pengaturan dalam hukum pidana adalah merupakan pencerminan ideologi politik dari suatu bangsa di mana hukum itu berkembang dan merupakan hal penting bahwa seluruh bangunan hukum bertumpu pada pandangan politik yang didasarkan pada semangat yang terkandung dalam Pancasila sebagai perwujudan cita hukum (rechtsidee) yang telah dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang 1945.
Karena pengaturan dalam hukum pidana adalah merupakan pencerminan ideologi politik dari suatu bangsa di mana hukum itu berkembang dan merupakan hal penting bahwa seluruh bangunan hukum bertumpu pada pandangan politik yang didasarkan pada semangat yang terkandung dalam Pancasila sebagai perwujudan cita hukum (rechtsidee) yang telah dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang 1945.
Dalam
rangka pembaruan hukum pidana, tentunya harus dilakukan reorientasi
terhadap berbagaj aturan warisan Belanda yang sering dikatakan telah
usang dan tidak adil (absolute and unjust) serta sudah ketinggalan zaman
dan tidak lagi sesuai dengan kenyataan (outmoded and unreal) karena
tidak berakar pada nilai-nilai budaya serta tidak lagi responsif
terhadap kebutuhan sosial dewasa ini. Sehubungan dengan hal itu, dalam
laporan Kongres VI (Fifth UN Congress on the
Prevention of Crime and the Treatment of Offender) telah ditegaskan
bahwa: “the important af foreign cultural patterns which did not
harmonize with indigenous culture had a criminogenic effect"
(Penting
di sini bahwa hukum yang mengandung model-model asing yang tidak cocok
dengan budaya lokal, pada dasarnya mengandung efek kriminogen).
Lebih lanjut Kongres VI juga menegaskan bahwa:
”Often,
lack of consistency between laws and reality was criminogenic; the
further the law was removed from the feeling and the values shared by
the community, the greater was the lack of confidence and trust in the
efficacy of the legal system”.
(”Acapkali, ketidakkonsistenan
antara undang-undang dengan kenyataan adalah merupakan faktor
kriminogen: semakin jauh undang-undang bergeser dari perasaan dan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, akan semakin besar
ketidakpercayaan akan keefektifan sistem hukum itu).
Usaha
pembaruan hukum pidana yang bertumpuh pada nilai-nilai yang dalam
masyarakat, adalah merupakan upaya yang terus-menerus, karena merupakan
kegiatan yang berkesinambungan dan berlanjut. Hal ini menegaskan apa
yang pernah disampaikan oleh Jerome Hall:
“improvement of the criminal
law should be a permanent ongoing enterprise and detailed records should
be kept“
Herbert Packer memperkenalkan apa yang dinamakannya
Crime Control Model (CCM), dan Due Process Model (DPM). Sedangkan John
Griffiths mengemukakan apa yang dinamakannya The Third Model of the
Criminal Process, atau yang lebih dikenal sebagai Family Model of
Criminal Process (FM).
Pada dasarnya CCM adalah suatu model
yang didasarkan pada sebuah proposisi bahwa fungsi terpenting proses
peradilan pidana adalah penghukuman terhadap pelaku tindak pidana.
Dengan alasan tersebut maka perilaku kriminal mesti dikendalikan secara
ketat demi kepentingan umum. Untuk tujuan tersebut, maka tujuan CCM
titik beratnya adalah pada efisiensi, sehingga dalam CCM
proses peradilan pidana harus memberikan keluaran (output) berupa angka
penahanan dan pemidanaan yang secara kuantitatif haruslah tinggi. Dengan
dasar ini, maka CCM lebih mengutamakan pada kecepatan dalam
menyelesaikan perkara. Perkara tindak pidana yang tidak memenuhi syarat
penahanan secepatnya diselesaikan, sedangkan perkara-perkara pidana yang
memenuhi syarat pelakunya ditahan dan dijatuhi hukuman, dijamin untuk
ditangani secara cepat dan efisien melalui proses peradilan pidana.
Kinerja komponen peradilan pidana yang menyangkut prosedur administratif
yang dilaksanakan oleh pihak Kepolisian dan Kejaksaan haruslah cepat,
akurat, dan efisien. Karena itu maka prosedur administratif pendukung
keberlangsungan proses peradilan yang bertentangan dengan prinsip ini
seperti proses peradilan yang lamban, tidak efisien dan tidak akurat,
haruslah dihindari, dan campur tangan proses administratif harus dijaga
seminimal mungkin, sejauh tidak bertentangan dengan tujuan utama proses
peradilan pidana yang berupa penekanan terjadinya kejahatan.
Due
Process Model dasarnya berada dalam praktis yang sangat berlawanan
dengan CCM. Hal ini disebabkan karena secara inheren ia dibatasi oleh
sistem nilai yang mengutamakan individu dan limitasi kekuasaan negara.
Pengutamaan hak-hak individu berhadapan dengan kekuasaan yang dimiliki
negara mensyaratkan terselenggaranya peradilan pidana secara terkendali
meski harus mengeluarkan biaya. Hal ini tentu bertentangan dengan
prinsip efisiensi waktu dan biaya. Paradigma dalam DPM didasarkan pada
fakta adanya kecenderungan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan, dan
sikap skeptis yang bertumpu pada pengamatan kegagalan prosedur
administratif untuk menghadirkan keadilan substantif yang merugikan
kepentingan individu dan yang merupakan pokok perhatian DPM terletak
pada pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan individu dari
penyalahgunaan proses peradilan pidana. Karena itulah DPM berangkat dari
konsep legal guilt yang mengedepankan asas Presumption of Innocent
ketimbang Presumption of Guilty. Di sini dikonsepkan bahwa peradilan
pidana berfungsi sebagai forum koreksi terhadap penyalahgunaan kekuasaan
negara pada satu pihak, sementara pada pihak lain peradilan pidana
berfungsi sebagai forum untuk mengingatkan kewajiban negara secara
terus-menerus guna menjamin agar tertuduh atau pelaku tindak pidana
hak-hak hukumnya tidak dirampas begitu saja, melainkan memperoleh
perlindungan hukum dari tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak
hukum.
The Family Model adalah Sistem Peradilan Pidana yang diperkenalkan olehJohn Griffiths pada tahun 1970, jadi muncul setelah Herbert Packer memperkenalkan
CCM dan DPM. Griffiths mempelajari kedua model yang dikemukakan oleh
Packer dan ia berpendapat bahwa sebenarnya CCM dan DPM jika disintesis
sesungguhnya hanyalah merupakan satu model saja, dan untuk ini Griffiths
mengabungkan DPM dan CCM serta memberikan nama baru yang disebutnya
sebagai Battle Model (BM).
Berangkat dari asumsi dasar yang
berbeda secara fundamental dengan Packer, maka Griffiths membagun model
yang berbeda yang dinamakannya “The Family Model” (FM). Di sini makna
pemidanaan mengalami modifikasi di mana pemidanaan terselenggara dalam
suasana kekeluargaan. Pemidanaan dalam lingkup keluarga adalah merupakan
suatu hal yang biasa dan bertujuan untuk membangun sebuah kontrol diri
(self control). Bahwa FM yang dilandasi dengan nilai-nilai
rekonsiliabilitas dalam tindak pidana, sehingga kita sebaiknya perlu
mempertimbangkan untuk menggunakan model FM dariJohn Griffiths apabila
dibandingkan apa yang dimaksudkan Battle Model versi Packer.
Peradilan
restoratif merupakan model peradilan yang sangat ideal bagi penegakan
hukum di Indonesia, karena adanya kesimbangan dalam memperoleh
perlindungan hukum, yaitu selain melindungi kepentingan negara juga
memberikan perlindungan hukum terhadap pelaku perkosaan dan korban
perkosaan. Hukum yang menciptakan keseimbangan dan keselarasan seperti
ini lebih cocok dengan cita hukum (rechtsidee) Pancasila, karena
mengandung model yang mencerminkan nilai-nilai ideologi dan nilai
sosio-kultural masyarakat Indonesia yang bercirikan serasi, selaras, dan
seimbang seperti terkandung dalam Pancasila.
Perlindungan hukum
terhadap korban tindak hendaknya merupakan bagian integral dari
perlindungan hukum bagi masyarakat. Hal yang demikian sudah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu tersedianya hak hukum bagi
pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis dan bantuan hukum
dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban hanyalah kepada korban
perkosaan dalam keadaan tertentu atau luar biasa saja. Aturan dalam
hukum positif sangatlah diperlukan adanya, karena dapat mengakhiri
ketidakpastian dan ketidakseimbangan perlakuan antara pelaku kejahatan
dengan korban tindak pidana.
Perlindungan hak-hak korban diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu:
- memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
- ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
- memberikan keterangan tanpa tekanan;
- mendapat penerjemah;
- bebas dari pertanyaan yang menjerat;
- mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
- mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
- mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
- mendapatkan identitas baru;
- mendapatkan tempat kediaman baru; . memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
- mendapatkan nasihat hukum;
- dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Menurut
ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
menentukan bahwa korban dalam pelanggaran HAM yang berat, selain berhak
atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk
mendapatkan:
a. bantuan medis;
b. bantuan rehabilitasi psiko-social.
Demikian
juga ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban
menentukan:
(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan
berupa:
- hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
- hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
(2) Keputusan mengenai kompensasi
dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Perlindungan
hukum terhadap hak-hak saksi dan korban tindak pidana dalam peradilan
pidana di Indonesia, yaitu segala upaya pemenuhan hak dan
pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada korban tindak pidana
yang wajib diberikan oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, yaitu antara lain:
- hak untuk didengar pendapatnya dalam setiap tahap pemeriksaan, baik tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun tahap pemeriksaan di pengadilan;
- hak atas restitusi oleh pelaku kejahatan;
- hak untuk tidak didekati oleh pelaku atau kelompoknya dalam jarak tertentu, dalam tindak pidana tertentu;
- hak untuk mendapatkan bantuan medis, bantuan konsultasi psikologis; dan hak atas kompensasi dari negara bagi saksi korban yang mengalami penderitaan fisik atau psikologis yang berat.
Hak-hak asasi manusia
yang melekat pada setiap orang harus mendapatkan perlindungan hukum.
Apabila dikaitkan dengan hak-hak korban tindak pidana, maka hak-hak yang
perlu mendapat perlindungan hukum, yaitu antara lain: mendapatkan
bantuan medis; mendapatkan bantuan rehabilitasi psiko-sosial; mendapatkan
hak kompensasi dalam perkara pelanggaran HAM berat; mendapatkan hak
restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak
pidana.
Tata cara pengaturan pembayaran ganti kerugian kepada
korban tindak pidana dalam keadaan biasa di Indonesia dapat digabung
dengan perkara pokoknya dan pengaturannya berdasarkan pada ketentuan
Pasal 98 KUHAP, di mana tuntutan ganti rugi harus diajukan oleh korban
kejahatan di persidangan, dan paling lambat diajukan oleh korban tindak
pidana sebelum tuntutan perkara pokoknya dibacakan oleh jaksa penuntut
umum yang besarnya ditetapkan oleh majelis hakim yang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tersebut.
Dalam perkembangannya
di Indonesia terhadap kejahatan biasa/ tindak pidana umum seperti
pedagang korban kekerasan oleh oknum TNI di sekitar Monas pada beberapa
tahun yang lalu yang menyebabkan korban meninggal dunia, maka LPSK telah
berani membuat terobosan baru, yaitu memberikan kompensasi kepada ahli
waris dari korban kekerasan tersebut.
Peradilan restoratif
adalah peradilan sebagaimana dikemukakan oleh Muladi, yaitu peran korban
tindak pidana dan pelaku kejahatan diakui, baik dalam menentukan
masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban, di mana pelaku
didorong untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Restitusi dan
kompensasi sebagai sarana perbaikan para pihak, sedangkan rekonsiliasi
dan restorasi merupakan tujuan utama dari peradilan restoratif. (Ansori,
Hakim Ad Hoc Tipikor Tingkat Banding pada Pengadilan Tinggi Maluku
Utara, Restorative Justice "Menuju Sistem Peradilan Pidana Terpadu"
dalam Varia Peradilan No. 350 Januari 2015, hlm. 52-59)
0 komentar:
Post a Comment