Showing posts with label HUKUM PERDATA ISLAM. Show all posts
Showing posts with label HUKUM PERDATA ISLAM. Show all posts

Wednesday, July 3, 2019

SEBAB-SEBAB TERJADINYA SENGKETA EKONOMI SYARIAH


Kabanyakan dari sebab-sebab terjadinya sengketa ekonomi syariah adalah karena adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan yang disebabkan ada hak yang terganggu atau terlanggar. Sengketa merupakan conflict dan dispute yaitu berbentuk perselisihan atau disagreement on a point of law or fact of interest between two persons, artinya suatu kondisi di mana tidak ada kesepahaman para pihak tentang sesuatu dan faktanya atau perbedaan kepentingan di antara kedua belah pihak. Timbulnya sengketa berawal dari situasi dan kondisi yang menjadikan pihak yang satu merasa dirugikan oleh pihak yang lain.
Sengketa terhadap hukum akad adalah suatu kondisi terjadinya ketidaksepahaman atau perbedaan pendapat di antara para pihak yang membuat akad atau kontrak maupun perjanjian hukum yang terkait dengan fakta tidak dipenuhinya hak atau tidak dilaksanakan kewajiban yang ditentukan atau pemutusan hubungan hukum kontraktual yang dilakukan oleh salah satu pihak tanpa persetujuan dari pihak lainnya, Pola dari terjadinya sengketa sampai penyelesaian sengketa yang diawali dengan adanya perjanjian atau akad dapat dilihat pada flowchart berikut ini:
Ekonomi syariah telah menjadi instrumen terpenting dan berkembang dengan pesat dalam sistem perekonomian umat manusia. Aktivitas ekonomi syariah telah melibatkan banyak orang sebagai pelakunya, setiap manusia mempunyai naluri untuk beraktivitas dan hidup dengan orang lain (gregariousness),1 dalam aktivitasnya manusia melakukan interaksi antar-sesamanya. Interaksi sosial tersebut dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflict) 2 yang dapat menimbulkan sengketa. Selain itu, aktivitas ekonomi syariah tidak selalu sesuai akad sehingga hal tersebut dapat menimbulkan sengketa.3 Penyelesaian sengketa ekonomi syariah memakai hukum syariah, 4 dan KUH Perdata. 5
Dalam perbuatan atau kegiatan usaha itu tentunya tidak selalu berjalan mulus seperti yang diinginkan oleh pelaku usaha. Walaupun telah diatur oleh undang-undang, telah diadakan perjanjian antara pelaku usaha
yang telah disepakati. Meskipun pada awalnya tidak ada iktikad untuk melakukan penyimpangan dari kesepakatan, pada tahap berikutnya ada saja penyebab terjadinya penyimpangan. Apabila terjadi adanya penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan ekonomi syariah, maka ini menjadi sebuah sengketa ekonomi syariah.
Terjadinya sengketa ini pada umumnya karena adanya penipuan atau ingkar janji oleh pihak-pihak atau salah satu pihak tidak melakukan apa yang dijanjikan/disepakati untuk dilakukan. Pihak-pihak atau salah salu pihak telah melaksanakan apa yang disepukali akan tetapi tidak sama persis sebagaimana yang dijanjikan. Pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat dan pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Sehingga tindakan-tindakan tersebut menimbulkan salah satu pihak merasa dirugikan. 6
Ababila seseorang atau badan hukum telah melakukan akad syariah dengan pihak lain, maka antara pihak tersebut telah terjalinnya perikatan. Oleh karena itu, menurut hukum perdata, kesepakatan yang telah disetujui para pihak tersebut akan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 7
Dengan demikian, terjadinya suatu sengketa ekonomi syariah disebabkan oleh dua pihak, baik perorangan maupun badan hukum yang melakukan akad atau perjanjian dengan prinsip syariah yang salah satu pihak melakukan wanprestasi dan/atau melakukan perbuatan melawan hukum sehingga mengakibatkan pihak yang lainnya merasa dirugikan. Misalkan dalam sengketa perbankan syariah, salah seorang nasabah melakukan suatu akad pinjam-meminjam pada salah satu bank syariah, sebut saja misalnya Bank Syariah Bukopin, sebesar jumlah tertentu dengan angsuran bulanan sesuai kesepakatan, satu atau dua bulan pertama angsurannya lancar, namun pada bulan berikutnya nasabah tersebut tidak membayar angsuran dengan berbagai alasan (angsuran macet). Sehingga menyebabkan pihak Bank Syariah Bukopin merasa dirugikan. Keadan tersebut mengakibatkan terjadinya sengketa ekonomi syariah disebabkan melakukan wanprestasi.
Pada dasarnya, tcrdapat banyak hal yang menyebabkan terjadinya sengketa secara umum. Adapun penyebab terjadinya sengketa dalam ekonomi syariah, antara lain:
  1. Proses terbentuknya akad disebabkan pada ketidaksepahaman dalam proses bisnis karena terjebak pada orientasi keuntungan, karakter coba-coba, atau karena ketidakmampuan mengenali mitra bisnisnya dan mungkin tidak adanya legal cover; 
  2. Akad atau kontrak sulit untuk dilaksanakan karena:
  • Para pihak kurang cermat/kurang hati-hati ketika melakukan perundingan pendahuluan; 
  • Tidak mempunyai keahlian untuk mengkonstruksikan norma-norma akad yang pasti, adil, dan efisien; 
  • Kurang mampu mencermati risiko yang potensial akan terjadi atau secara sadar membiarkan potensi itu akan terjadi dan 
  • Tidak jujur atau tidak amanah.
Berkenaan dengan paradigma tersebut, terdapat beberapa bentuk akad yang dapat menimbulkan sengketa sehingga mesti diswapadai, bentuk-bentuk akad sebagai berikut:
  1. Salah satu pihak menemukan fakta bahwa syarat-syaratnya suatu akad, baik syarat subjektif maupun syarat objektif yang ternyata tidak terpenuhi sehingga menuntut pembatalan akad; 
  2. Akad diputus oleh satu pihak tanpa persetujuan pihak lain dan perbedaan menafsirkan isi akad oleh para pihak sehingga menimbulkan sengketa hukum; 
  3. Karena salah satu pihak tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan; 
  4. Terjadinya perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad); Adanya risiko yang tidak diduga pada saat pembuatan akad/force majeure/overmach. 

Catatn Kaki
1 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 73.
2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1982, hlm. 64.
3 Johnny Ibrahim, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum, Teori dan Aplikasi Penerapannya dalam Penegakan Hukum, Putra Media Nusantara ITS Press, Surabaya, 2009, hlm. 30.
4 M. Syafii Antonio, Bank Syariah, Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Bank Indonesia dan Tazkiyah Institute, Jakarta, 1999, hlm. 214.
5 Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Pustaka Umum Grafiti, Jakarta, 1999, hlm. 134.
6 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, him. 41.
7 Lihat: Pasal 1338 ayat (l) KUH Perdata.

Tuesday, July 2, 2019

PENGERTIAN HUKUM ACARA EKONOMI SYARIAH


Image from Adobe Post/Hukum Acara Ekonomi Syariah
Secara umum, hukum acara ekonomi syariah merupakan bagian dari hukum acara perdata atau hukum perdata formal. Oleh sebab itu, selain diatur secara khusus dan spesifik oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, maka hukum acara yang berlaku dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah juga merujuk kepada hukum acara perdata lainnya yang telah diatur menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam memahami hukum acara ekonomi syariah mesti memahami hukum acara perdata terlebih dahulu. Dalam hal ini, terdapat di berbagai pengertian hukum acara perdata yang dipaparkan oleh para ahli hukum.
Pada prinsipnya, hukum acara merupakan peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus berbuat dalam mengajukan gugatan perkara di muka pengadilan dan cara bagaimana pula pengadilan itu harus melakukan tindakan dari menerima, memeriksa, dan mengadili dalam menjalankan hukum perdata materiil yang diajukan orang ataupun subjek hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata adalah peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan jalannya peraturan-peraturan hukum perdata.1
Selanjutnya, R. Suparmono memberikan definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan, melaksanakan, dan menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan. Adapun Soedikno Mertokusumo menyatakan hukum acara perdata mengatur tentang cara bagaimana mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusan. Lebih jelas beliau menguraikan, bahwa pengertian hukum acara perdata ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim atau peraturan hukum yang menentukan.2 
Retnowulan Sutantio menjelaskan hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formal yaitu kaidah-kaidah hukum yang memuat dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil.3 Tidak jauh berbeda, Darwan Sprints mengkostruksikan bahwa gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh penggugat melalui pengadilan.4 
Lebih jelas diungkapkan bahwa, hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana ditegakannya hukum perdata materiil. Dalam hal ini, hukum acara perdata mengatur bagaimana cara berperkara di pengadilan, bagaimana cara mengajukan gugatan dan lain sebagainya di dalam hukum perdata.5 Menurut M.H. Tirtaamidjaja, pengertian hukum acara perdata adalah suatu akibat yang ditimbulkan dari hukum perdata materiil.6 
Menurut R. Subekti, hukum acara itu mengabdi kepada hukum materiil, setiap perkembangan dalam hukum materiil itu sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya.7 Oleh karena itu, hukum perdata diikuti dengan penyesuaian hukum acara perdata dan hukum pidana diikuti dengan penyesuaian hukum acara pidana. Adapun Soepomo menegaskan bahwa dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata (Burgerlijke rechts orde), serta menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.8 Dari pengertian hukum acara perdata tersebut dapat dipahami bahwa hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana ditegakkannya suatu hukum perdata materiil. 
Hukum acara perdata menurut Zainal Asikin adalah peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim (di pengadilan) sejak diajukan gugatan, diperiksanya gugatan, dan diputus sengketa sampai pelaksanaan putusan.9 Menurut Wantjik K. Saleh hukum acara perdata sebagai ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang bagaimana caranya beperkara perdata di muka pengadilan.10 Sejalan dengan deflnisi tersebut, Lilik Mulyadi menyebutkan bahwa hukum acara perdata merupakan peraturan hukum yang mengatur bagaimanakah proses seseorang untuk beperkara perdata di depan sidang pengadilan serta bagaimana proses hakim (pengadilan) menerima, memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara serta bagaimana proses pelaksanaan putusan dalam rangka mempertahankan eksistensi hukum perdata materiil.11
Abdul Kadir Muhammad menyebutkan bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata materiil sebagaimana mestinya melalui pengadilan (hakim).12 Soeroso mendefinisikan hukum acara perdata sebagai kumpulan ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi permasalahan hukum perdata materiil.13
Dengan demikian, hukum acara perdata adalah hukum yang berfungsi untuk menegakkan, mempertahankan, dan menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dalam praktik. Oleh karena itu, bagi orang yang merasa hak perdatanya dilanggar, tidak boleh diselesaikan dengan cara menghakimi sendiri (eigenrichting), tetapi ia dapat menyampaikan perkaranya ke pengadilan, yaitu dengan mengajukan tuntutan hak (gugatan) terhadap pihak yang dianggap merugikannya agar memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya. 
Selanjutnya, pemahaman terhadap hukum acara perdata secara umum sebagaimana telah dijelaskan di atas, perlu dimaknai dengan hukum acara peradilan agama karena penyelesaian sengketa ekonomi syariah menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama. 
Menurut Abdul Manan, hukum acara peradilan agama adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan hak, cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut di lingkungan peradilan agama.” Juga disebut sebagai hukum perdata formal karena ia mengatur tentang proses penyelesaian perkara melalui pengadilan sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan secara formal. 
Sampai saat ini, belum terdapat rumusan yang komprehensif tentang hukum acara ekonomi syariah di Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena keberadaan hukum ekonomi syariah masih terbilang baru di Indonesia, Secara yuridis formal, hukum ekonomi syariah baru diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang ditetapkan pada tanggal 10 September 2008. Idealnya, hukum acara itu mengabdi kepada hukum materiil, setiap perkembangan dalam hukum materiil itu sebaiknya selalu diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya. Berdasarkan hal tersebut, lahirlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah. 
Pada dasarnya, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah tidak mempertegas pengertian tentang hukum acara ekonomi syariah. Namun substansinya adalah hukum acara ekonomi syariah. Hanya saja dapat dipahami dan disimpulkan bahwa hukum acara ekonomi syariah adalah hukum yang mengatur bagaimana cara menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul di bidang ekonomi syariah, tata cara mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari putusan, serta bagaimana menegakkan hukum ekonomi syariah itu sendiri. 
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah menegaskan bahwa pemeriksaan perkara ekonomi syariah dilakukan dengan berpedoman pada hukum acara yang berlaku kecuali yang telah diatur secara khusus dalam PERMA tersebut. Adapun definisi yang dirumuskan pada Draf Kompilasi Hukum Acara Ekonomi Syariah menyebutkan bahwa hukum acara ekonomi syariah adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum materiil ekonomi syariah dengan perantaraan badan peradilan (hakim).
Perlu dipahami bahwa penegakan hukum pada intinya adalah menegakkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formal belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiil untuk mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata. 

Catatan Kaki
1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1975, hlm. 13. 
2 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1979, hlm. 2. 
3 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik, Alumni Bandung, hlm. 2. 
4 Darwan Sprints, Strategi Menyususn dan Menangani Gugatan Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 1. 
5 Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 55. 
6 M.H. Tirtaamidjaja, Kedudukan Hakim dan Jaksa, Fasco, Jakarta, 1955, hlm. 115. 
7 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975, hlm. 63. 
8 Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1972, hlm. 12. 
9 Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Prenadamedia, Jakarta, 2015, hlm. 1. 
10 K Wantjik Saleh, Hukum Acara Perdata, Ghalia, Jakarta, 1977, hlm. 7. 
11 Muhammad Saleh dan Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 2012, hlm. 3. 
12 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, 2000, hlm 5 
13 Soeroso, Hukum Acam Perdata, Tata Cara dan Proses Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 3. 
14 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Al Hikmah, Jakarta, 2000, hlm. 45.

Monday, March 4, 2019

ASAS-ASAS KONTRAK SYARIAH


Sebelum mengemukakan asas-asas kontrak syariah terlebih dahulu harus diketahui bahwa dalam hukum Islam ada prinsip umum bagi setiap cabang hukum Islam, termasuk hukum kontrak, yaitu prinsip tauhid. prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada di bawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La Ilaha Illallah (QS. 3, 64). Berdasarkan prinsip tersebut pelaksanaan hukum Islam, termasuk melaksanakan kontrak adalah ibadah. Prinsip ini juga mengharuskan manusia untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah. Dari prinsip tauhid ini lahirlah asas-asas hukum Islam. (Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam/Tasikmalaya: PT Latifah Press, 2009, hlm. 69) 
Adapun asas kontrak terdapat perbedaan pendapat atau penyebutan tentang asas kontrak atau akad, misalnya penyebutan asas akad yang dikemukakan oleh Fathurrahman Djamil (Guru Besar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Tim Penyusun KHES. Djamil menyebutkan 7 (tujuh) asas, yaitu kebebasan (al-hurriyah), persamaan/kesetaraan (al-musawah), keadilan (al-‘adl/al-‘adalah), kejujuran dan kebenaran (al-sidq), kerelaan (‘an taradin), kemanfaatan (al-manfa‘ah), dan tertulis (al-kitabah).(Abdul Ghoful Anshori, Hukum Perjanjian Islam di Indonesia - Konsep, Regulasi dan Implementasi/ Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2010, hlm. 32-35)
Sementara KHES, membahas asas akad dalam Buku II, Bab II, Pasal 21. Dalam Pasal 21 ini disebutkan 13 asas akad, yaitu: (Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi/Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, 2009, hlm. 20-22) 1) ikhtiyari/sukarela; 2) amanah/menepati janji; 3) ikhtiyati/kehati-hatian; 4) luzum/tidak berubah; 5) saling menguntungkan; 6) taswiyah/kesetaraan; 7) transparansi; 8) kemampuan; 9) taysir/kemudahan; 10) iktikad baik; 11) sebab yang halal; 12) al-hurriyah (kebebasan berkontrak); dan 13) al-kitabah (tertulis). Dengan demikian, terdapat persamaan antara asas akad menurut Fathurrahman Djamil dan KHES. Beberapa asas yang sama, yang terdapat dalam kedua buku tersebut adalah asas kerelaan/ikhtiyari, asas kesetaraan/al-taswiyah; asas kebebasan (al-hurriyah), dan asas tertulis (al-kitabah).