BERAKHIRNYA AKAD DALAM ISLAM
Semua akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akad jual-beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. dalam akad gadai dan pertanggungan (kafalah), akad dipandang telah berakhir apabila hutang telah dibayar. selain telah tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya.
Fasakg terjadi dengan sebab-sebab sebagai berikut:[1]
- Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara', seperti yang disebutkan dalam akad rusak. Misalnya, jual-beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan.
- Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat, atau majelis.
- Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini disebut iqalah. Dalam hubungan terdapat hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud: Barang siapa mengabulkan permintaan pembatalan orang yang menyesal atas akad jual beli yang dilakukan, Allah akan menghilangkan kesukarannya pada hari kiamat kelak.
- Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad yang tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya, dalam khiyar pembayaran (khiyar naqd) penjual mengatakan, bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli, dengan ketentuan apabila dalam tempo seminggu harganya tidak dibayar, akad jual beli menjadi batal. Apabila pembeli dalam waktu yang ditentukan itu membayar, akad berlangsung. Akan tetapi apabila ia tidak membayar, akad menjadi rusak (batal).
- Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa-menyewa berjangka waktu tertentu dan tidak dapat diperpanjang.
- Karena tidak mendapatkan izin pihak yang berwenang.
- Karena kematian.
Mengenai kematian ini, terdapat perbedaan pendapat di antara para fuqaha mengenai masalah apakah kematian pihak-pihak yang melakukan akad mengakibatkan berakhirnya akad. Sejalan dengan perbedaan pendapat mereka apakah hak yang ditimbulkan oleh akad itu dapat diwariskan atau tidak.. Demikian pula adanya perbedaan pendapat tentang bagaimana terjadinya akad-akad tertentu serta sifat (watak) masing-masing.
Dalam akad sewa menyewa yang merupakan akad yang mengikat secara pasti dua belah pihak itu, kematian salah satu pihak, penyewa atau yang menyewakan, menurut pendapat ulama-ulama mazhab Hanafi mengakibatkan berakhirnya akad. Namun, menurut pendapat ulama-ulama mazhab Syafi'i tidak. Ulama-ulama Hanafiyah berpendapat, bahwa objek sewa menyewa adalah manfaat barang sewa yang terjadinya sedikit-sedikit sejalan dengan waktu yang dilalui. Manfaat barang yang ada setelah meninggalnya pemilik bukan lagi menjadi haknya sehingga akad tidak berlaku lagi terhadapnya. Berbeda dengan ulama-ulama Hanafiyah, ulama-ulama Syafi'iyah memandang manfaat barang sewa semuanya telah ada ketika akad diadakan, tidak terjadi sedikit-sedikit, sehingga kematian salah satu pihak tidak membatalkan akad.
Dalam akad gadai, kematian pihak pemegang gadai tidak mengakibatkan berakhirnya akad, tetapi dilanjutkan oleh ahli warisnya, guna menjamin hak atas piutang. Apabila yang meninggal adalah pihak yang berutang, dan ahli warisnya masih kecil-kecil (anak-anak), barang gadai dijual untuk melunasi utang. Akan tetapi, apabila ahli warisnya sudah besar (dewasa), mereka mengganti kedudukan yang mewariskan, dan berkewajiban untuk menyelesaikan akad gadai dengan melunasi utang.
Dalam akad persekutuan, karena akad itu tidak mengikat secara pasti kedua belah pihak, kematian salah satu anggotanya mengakibatkan berakhirnya akad. Demikian pula dalam akad perwakilan.[2]
Berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa berakhirnya sebuah akad dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu di antara ialah kematian. Kematian sebagai salah satu faktor yang mengakibatkan berakhirnya sebuah akad harus dipahami apakah akad tersebut berkaitan dengan hak-hak perorangan bukan hak-hak kebendaan. Sedangkan akad yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan memiliki beberapa ketentuan tergantung bentuk dan sifat akad tersebut.
Referensi
------------
1. Mas'adi Ghufron A. Fiqh Muamalah Kontektual, cet. 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h, 114-117.
2. Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 93-94.
0 komentar:
Post a Comment