Menelusuri Eksistensi Wahyu Tuhan dengan Pemikiran Manusia
By: Nursalam Rahmatullah
A.
Pendahuluan
1. Latar
Belakang Masalah
Manusia
merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna jika dibandingkan dengan
makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Hal
ini dikarenakan Allah menganugerahkan kepada manusia suatu hal yang amat luar
biasa yang Ia tidak berikan kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain.
Anugerah tersebut berupa akal yang dengan akal tersebut manusia dapat berfikir,
menentukan mana yang baik dan buruk sehingga mereka dapat mengambil keputusan
berdasarkan pemikiran mereka sendiri.
Oleh
karena itulah Islam sebagai agama memberikan tempat yang istimewa kepada akal,
karena dengan akal tersebut manusia dapat memahami kandungan ayat-ayat suci al-Qur’an
yang diturunkan kepada ummat manusia melalui perantara seorang Rasul Allah yang
bernama Muhammad saw. dan sekaligus agar manusia dapat memikirkan serta merenungkan
tanda-tanda kebesaran-Nya.
Tetapi perlu disadari bahwa, meskipun agama Islam memberikan tempat
istimewa kepada akal yang memiliki begitu banyak kelebihan, Islam tidak serta merta menjadikan akal
manusia sebagai sumber utama untuk menetapkan sebuah kebenaran. Karena pada
hakikatnya kebenaran yang didapatkan melalui akal merupakan kebenaran yang
hanya bersifat relatif, oleh karena itu Allah sebagai pencipta langit dan bumi
beserta yang ada di dalamnya menurunkan sebuah pedoman berupa wahyu yang
diturunkan kepada ummat manusia melalui perantara rasul-rasul-Nya untuk dijadikan
petunjuk dalam kehidupan dunia dan untuk mencapai keselamatan di akhirat kelak.
Hal inilah yang kemudian menjadi sumber awal keraguan manusia
terhadap wahyu Tuhan, karena akal manusia diciptakan Allah dalam keadaan
terbatas, yang hanya dapat memikirkan hal-hal yang bersifat materil, sedangkan
hal-hal yang ghaib “proses pewahyuan” merupakan suatu hal yang berada di luar
jangkauan akal. Lantas bagaimana akal/pemikiran manusia dapat menelususri
eksistensi wahyu Tuhan tersebut.
2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, nampak bahwa yang menjadi
pokok permasalahan dalam makalah ini ialah bagaimana cara menelusuri eksistensi
wahyu Tuhan dengan Pemikiran Manusia yang akan diuraikan ke dalam beberapa sub
pembahasan yaitu:
- Apa pengertian
wahyu dan akal?
- Bagaimana relasi
antara wahyu dan akal?
- Bagaimana menelusuri eksistensi wahyu Tuhan dengan pemikiran manusia?
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Wahyu dan Akal
a)
Wahyu
Menurut bahasa/etimologi, wahyu bermakna pemberian isyarat,
pembicaraan rahasia, dan menggerakan hati. Adapun menurut Ibnu Hajar
al-Asqalani, wahyu adalah memberitahukan secara samar. Sedangkan menurut
al-Qaththan, al-Wahy adalah kata masdar dan materi kata itu menunjukkan
dua pengertian dasar yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh karena itu, wahyu
diartikan sebagai pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus
ditunjukkan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.[1]
Adapun wahyu menurut istilah diungkapkan oleh Ibnu Hajar, yakni
memberitahukan hukum-hukum syari’at, namun terkadang yang dimaksud dengan wahyu
adalah sesuatu yang diwahyukan, yaitu kalam Allah swt. yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw. selanjutnya disampaikan oleh Imam al-Zuhri bahwa wahyu ialah
kalam Allah swt. yang disampaikan kepada salah seorang nabi-Nya kemudian
dikukuhkan-Nya ke dalam hatinya. Lalu Nabi itu mengatakan bahwa itu adalah
wahyu dan ditulisnya. Sedangkan menurut Muhammad Husein Abdullah, wahyu adalah
pemberitahuan Allah swt. kepada rasul-rasul tentang risalah mereka.[2].Jadi
dapat disimpulkan dari beberapa pengertian tersebut bahwa wahyu adalah
pengetahuan yang datang dari Allah swt. kepada para nabi-nabi-Nya dengan
berbagai cara.
b)
Akal
Kata akal berasal dari bahasa Arab, ‘aql. Dalam kamus-kamus bahasa
Arab, kata ‘aql itu berarti mengikat atau menahan. Misalnya, pengikat
serban disebut ‘iqal, menahan orang di penjara disebut i’taqal,
orang yang dapat menahan amarahnya disebut ‘aqil. Dalam al-Qur’an, kata ‘aql
hanya terdapat dalam bentuk kerja, misalnya ‘aqalu, ta’qilun,
na’qilu, ya’qilun, dan ya’qiluha, yang semuanya mengandung arti paham.[3]
Adapun penggunaan kata ‘aql dalam berbagai susunannya dapat
dijelaskan ke dalam beberapa bentuk sebagai berikut:[4]
- Digunakan untuk memikirkan dalil-dalil dan dasar keimanan.
- Digunakan untuk
memikirkan dan memahami alam semesta, serta hukum-hukumnya (sunnatullah).
- Dihubungkan dengan pemahaman terhadap peringatan dan wahyu Allah.
- Dihubungkan dengan pemahaman terhadap proses sejarah keberadaan umat manusia di dunia.
- Dihubungkan dengan
pemahaman terhadap kekuasaan Allah.
- Dihubungkan
dengan pemahaman terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan moral.
- Dihubungkan dengan pemahaman terhadap makna ibadah, semacam shalat.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa ‘aql dipakai
untuk memahami berbagai objek yang riil (nyata) maupaun abstrak.. Oleh karena
itu ‘aql atau akal yang dalam bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat
untuk memperoleh pengetahuan melalui proses berfikir dan perenungan terhadap
kejadian-kejadian yang dialami, sehingga manusia dapat menarik (i’tibar)
pelajaran dari hal-hal tersebut.
Selanjutnya dijelaskan oleh Imam al-Ghazali bahwa akal merupakan salah
satu dimensi terpenting pada diri manusia, dimana akal sebagai alat berpikir
telah memberi andil besar terhadap alur kehidupan manusia, mempolakan hidup dan
mengatur proses kehidupan secara esensial. Akal telah bekerja menurut ukuran
yang ada, justru itu maka al-Ghazali membagi akal dalam beberapa daya.
Klasifikasi tentang akal ini menurut al-Ghazali dilihat dari potensi dan kadar
akal dalam beberapa macam, yaitu akal praktis dan akal teoritis. Akal praktis
merupakan saluran yang menyampaikan gagasan-gagasan akal teoritis kepada daya
penggerak (Al-muharrikat) sekaligus merangsangnya menjadi aktual.[5]
Akal praktis tersebut berfungsi untuk menggugah dan menggerakkan
anggota tubuh secara praktis untuk melakukan kepentingan-kepentingannya.
Kebutuhan-kebutuhan diri manusia itu sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang
dicapainya. Kerja akal praktis hasilnya terlihat lebih efisien dalam gerak dan
wujudnya. Bahkan mampu memotivasi secara langsung anggota tubuh manusia dan
melahirkan pengetahuan-pengetahuan praktis. Oleh karenanya akal praktis
merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, seperti perkembangan kreatifitas
dan penerapan akhlak dalam diri pribadi seseorang. Kekuatan daya akal praktis
harus selalu dibina agar dapat menguasai daya-daya jiwa yang ada secara
menyeluruh. Dengan demikian akan melahirkan kemuliaan-kemuliaan dalam tingkah
manusia, artinya terwujudnya tingkah laku yang baik tergantung kepada kekuatan
akal praktis menguasai daya jiwa tersebut.[6]
Selanjutnya al-Ghazali memberikan penjelasan tentang fungsi dan
aktifitas akal teoritis. Akal teoritis merupakan daya mengetahui dalam diri
manusia, maka keinginan manusia untuk mengetahui sesuatu adalah hasil kerja
dari akal teoritis. Untuk itu maka akal teoritis adalah berfungsi untuk
menyempurnakan substansinya yang bersifat immateri dan abstrak.[7]
Kumpulan pengetahuan yang didapatkan melalui akal teoritis tersebut
hasilnya dikategorikan sesuai dengan tingkatan dan pembagian dari akal-akal
teoritis itu sendiri. Dalam hal ini al-Ghazali membaginya dalam empat tingkatan: [8]
1) Akal hayulani
(akal material), akal ini berguna untuk memahami dan mengetahui tentang
kenyataan-kenyataan materi yang ada secara mendasar, maka untuk mendapatkan
kebenaran akal hayulani ini harus melalui indera, karena materi merupakan akal
pertama untuk mengetahui lebih lanjut tentang hakikat sesuatu,
2) Akal naluri,
akal ini bekerja dan berfungsi setelah manusia mengetahui sejumlah ilmu-ilmu
dasar yang apriori. Akal ini berupaya untuk mengetahui tentang hakikat
dibalik kenyataan-kenyataan yang ada. Usaha untuk mendapatkan kebenaran di luar
kenyataan materi, merupakan hasil kerja akal naluri. Melalui akal naluri
pengetahuan manusia akan melaju lebih jauh dari pengetahuan dasarnya dan
memberi keyakinan akan kebenaran yang diperolehnya.
3) Akal aktif
(akal aktual), akal ini berfungsi untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang
tidak diragukan lagi kebenarannya. Akal ini dapat mengetahui beberapa
pengetahuan teoritis, sehingga ia mampu menampilkan kembali bentuk-bentuk
rasional yang diketahui.
4) Akal mustafad,
akal ini menurut Al-Ghazali fungsinya lebih jauh di-bandingkan akal-akal
sebelumnya. Bahkan menurut Al-Ghazali akal mustafad ini tergolong akal
tingkat tinggi. Al-Ghazali menjelaskan bahwa melalui akal ini manusia mampu
mengetahui dan mengenal sesuatu serta sekaligus sanggup menghubungkan diri
dengan akal ke sepuluh (akal fedal). Potensi daya akal mustafad ini
cukup besar. Bahkan ia menyerupai prinsip-prinsip wujud semata.
Senada dengan
hal tersebut Ibn Sina dalam pandangannya membagi daya menjadi dua bagian:
- Daya praktis (amilah), yaitu akal yang berhubungan dengan hal-hal konkrit.
- Daya teoritis (alimah), yaitu akal yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat abstrak. Yang kemudian daya teoritis ini dibagi ke dalam empat tingkatan, yaitu:
- Akal materil (al-aql al-huyulani), yaitu akal yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir namun belum terlatih.
- Akal bakat (al-aql bi al-Mamlakah), yaitu akal yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang abstrak.
- Akal aktual (al-aql bi al-fi’li), yaitu akal yang telah mampu berpikir tentang hal-hal abstrak.
- Akal perolehan (al-aql al-mustafad), yaitu akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Akal yang serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (al-aql al-fa’all), yang menurut Ibn Sina akal aktif itu adalah Jibril.[9]
Dari
kerja akal mustafad telah menghasilkan pengetahuan-pengetahuan untuk
mendapatkan sebuah kebenaran dan keyakinan, akal ini merupakan tujuan akhir
yang ingin dicapai oleh akal-akal di bawahnya. Akal pada tingkat ini menyadari
pengetahuan-pengetahuan itu secara aktual dan menyadari kesadaran secara
faktual.[10]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akal memiliki beberapa bentuk
menurut kedua tokoh tersebut, yakni akal teoritis dan akal praktis. Dimana akal
teoritis memiliki salah satu fungsi untuk merumuskan sebuah teori berdasarkan
hal-hal yang ditangkap oleh indra manusia, kemudian hasil dari pemikiran akal
teoritis tersebut ditangkap oleh akal praktis yang merupakan saluran untuk menyampaikan
gagasan-gagasan akal teoritis kepada daya penggerak agar diaktualisasikan ke
dalam bentuk gerak tubuh. Sebagai sarana pembuktian teori-teori yang diperoleh
dari akal teoritis tersebut sehingga melahirkan ilmu-ilmu praktis.
2.
Relasi
antara wahyu dan akal
Dalam sejarah panjang turunnya al-Qur’an kita dapat mengamati bahwa
terdapat penghargaan yang tinggi diberikan al-Qur’an terhadap akal. Sehingga
nampak bahwa antara akal dan wahyu pada dasarnya memiliki hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lainnya. Hal ini terlihat jelas dengan banyaknya ayat al-Qur’an yang menganjurkan
serta mendorong ummat manusia agar menggunakan akalnya untuk berikir. Mengingat
bahwa akal manusia merupakan karunia Allah swt. yang menjadikan manusia sebagai
ciptaannya yang paling sempurna. Hal ini tentu dikarenakan akal memiliki daya
pikir yang amat luar biasa sehingga dengan akal tersebut manusia dapat mengetahui
berbagai hal yang bersifat empirik.
Sedangkan bagaimana cara manusia untuk mencapai pengetahuan yang
bersifat abstrak (ghaib) dalam hal ini Muhammad Abduh berpendapat bahwa, jalan
yang dipakai untuk mengetahui Tuhan serta hal-hal yang bersifat ghaib lainnya,
sebagaimana telah dijelaskan dalam filsafat wujudnya, bukan hanya dengan wahyu
saja melainkan juga akal.[11] Jadi
berdasarkan pernyataannya tersebut diketahui bahwa akal manurut Muhammad Abduh
pada dasarnya berusaha untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan serta hal-hal
yang bersifat ghaib lainnya, sedangkan wahyu datang untuk memperkuat hal
tersebut segaligus mempertegas bahwa ada beberapa hal yang dapat dijangkau akal
dan selebihnya hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Adapun wahyu yang merupakan sumber utama dalam ajaran agama Islam
merupakan landasan bagi ummat Islam untuk mengetahui ajaran agama, baik yang
berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar, maupun hal-hal yang bersifat
ghaib, seperti pemberitaan tentang adanya surga dan neraka. Yang pada hakikatnya
hanya dapat diperoleh dengan perantara wahyu yang tertuang dalam kitab-kitab
suci agama samawi. Sehingga nampak bahwa wahyu memiliki kedudukan yang tinggi
di samping akal.
Senada dengan hal itu para filosof-filosof Islam juga berkeyakinan
bahwa antara akal dan wahyu, antara filsafat dan agama tidak ada pertentangan.
Keduanya sejalan dan serasi, antara keduanya terdapat keharmonisan.[12] Yang
berarti bahwa akal dan wahyu merupakan dua hal yang berfungsi untuk saling
melengkapi satu sama lain.
Sebagaimana akal mampu mengetahui konsep peredaran benda-benda
langit. Namun demikian akal manusia tetap tidak akan mampu untuk mengatahui
sepenuhnya. Karena pada dasarnya hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana
benda-benda langit tersebut dapat beredar pada tempatnya (garis edarnya) berada
di luar jangkauan akal manusia. Sedangkan hal tersebut telah tertuang jelas
dalam al-Qur’an QS al-Anbiya: 33, QS Yasin: 38, dan QS Rad: 2, yang menjelaskan
bahwa bumi, bulan, matahari dan planet-planet lainnya beredar/berputar pada
lintasannya masing-masing yang merupakan suatu ketetapan dari Allah sebagai
pencipta alam semesta.
Oleh karna itu bagi Ibnu Rusyd akal bukanlah segala-galanya. Segala
sesuatu yang tidak dicapai oleh akal, maka sejatinya Tuhan memberikannya kepada
manusia melalui wahyu-Nya. Di antaranya adalah
mengenai ilmu pengetahuan Tuhan, mengetahui arti kebahagian dan kesengsaraan
di dunia dan akhirat dan mengetahui jalan untuk mencapai kebahagian dan
menjahui kesengsaraan. Dalam hal tersebut Ibnu Rusyd menegaskan bahwa perhatian
filsafat ditujukan untuk mengenal apa yang dibawa syari’at.[13]
Oleh karena itu, di samping akal menjadi sumber pengetahuan, wahyu
juga mempunyai peranan penting. Sebab tidak semua persoalan bisa dijawab oleh
akal, karena walau bagaimanapun akal sifatnya terbatas dan tidak mampu
menjangkau hal-hal yang berada di luar nalar atau logika. Sedangkan wahyu
merupakan Firman Tuhan yang diturunkan kepada manusia untuk melengkapi
kekurangan akal dalam memperoleh pengetahuan yang bersifat abstrak tersebut. Sehingga
dapat dipahami bahwa hubungan antara akal dan wahyu adalah hubungan yang saling
mengisi satu sama lainnya.
3.
Menelusuri
eksistensi wahyu Tuhan dengan pemikiran manusia
Pemikiran manusia merupakan sesuatu yang lahir akibat adanya daya
dan upaya akal dalam menelaah suatu hal yang diperoleh melalui penglihatan dan
perasaan yang dialami oleh manusia itu sendiri. Manusia dengan akalnya dapat mengetahui
hal-hal yang terjadi di sekitarnya, baik pengetahuan itu bersumber langsung
dari indra manusia maupun pengetahuan yang bersumber dari wahyu Tuhan yang
dapat dibenarkan oleh akal dan perasaan yang timbul akibat kekaguman terhadap
alam semesta beserta isinya.
Terkadang akal dapat menjelaskan hal-hal yang bersifat materi dan
terkadang membutuhkan wahyu untuk menjelaskan hal-hal yang berada di luar
batasan akal, seperti hal-hal yang bersifat metafisik di mana akal tidak mampu
menjangkaunya kecuali dengan perbantuan wahyu.
Kaitannya dengan wahyu, akal merupakan penopang, serta memperkuat
keyakinan terhadap kebenaran wahyu. Oleh karena itu, Allah memuliakan akal itu
dengan menjadikannya sebagai sasaran perintah, sebagai tempat bergantungnya
pertanggungjawaban dan mengajukannya melakukan penelitian serta pemikiran.
Dalam QS Qaaf/50: 6.
افلم ينظروا الى السماء فوقهم كيف بنينها وزينها وما لها من فروج
Terjemahnya:
Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas
mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak
mempunyai retak-retak sedikit pun.[14]
Ayat
ini memberikan penjelasan bahwa ajaran Islam yang bersumber dari wahyu,
memerintahkan manusia menfungsikan akalnya untuk memikirkan kejadian dan
kebenaran alam yang ada di sekelilingnya, dengan memperhatikan bagaimana alam
semesta ini dapat tercipta, begitupula bagaimana langit ini dapat terbentuk
sehingga manusia yang berada di bawahnya dapat dapat merasa aman dari ancaman
benda-benda langit yang hendak menimpa bumi. Sehingga nampak bahwa langit yang
begitu kokoh tidak mungkin hadir begitu saja tanpa adanya pencipta.
Hal
inilah yang menjadikan para filosof muslim, salah satunya di antaranya ialah al-Razy
yang menjunjung tinggi fungsi akal dalam mencari hakekat kebenarannya. Beliau
berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik dan apa
yang buruk bahkan dengan akal manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang
Tuhan.[15]
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa fungsi akal bagi manusia menduduki tempat
yang sangat penting. Karena kemampuan akal untuk mengetahui sesuatu, tidak
hanya terbatas pada apa yang terdapat dalam dirinya, melainkan juga yang di
luar dirinya.
Oleh
sebab itu keistimewaan dan kelebihan manusia, terlihat jelas pada kemampuan
berpikirnya, yang dalam istilah ilmu manthiq, disebut “al-Insan Hayawanun nathiq”
bahwa manusia itu hewan yang bepikir.[16]
Ungkapan serupa juga dikemukakan oleh Aristoteles jauh sebelumnya yang mana Ia berpandangan
bahwa sesungguhnya manusia itu adalah hewan yang berkata-kata.[17]
Selanjutnya,
Imam al-Gazali mengemukakan bahwa, manusia itu berbeda dengan hewan, perbedaan
tersebut terletak pada akal yang merupakan ciri khas bagi manusia.[18] Dimana
akal sebagai alat berfikir akan bekerja jika dipacu dengan
pertanyaan-pertanyaan yang bersumber dari ketidaktahuan, yang menimbulkan usaha
untuk mencari jawaban dari ketidaktahuan tersebut, dalam rangka menemukan
sebuah kebenaran, sehingga dengan demikian para filosof memandang bahwa akal merupakan
salah satu alat yang ampuh untuk mencari hakekat kebenaran. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa keistimewaan manusia terletak pada akal yang merupakan
potensi untuk berpikir. Yang mana jika bertambah tinggi daya berpikir seorang manusia,
maka akan bertambah tinggi pula kemampuannya dalam memecahkan berbagai
permasalahan yang dihadapinya.
Hal
inilah yang menjadikan mengapa akal dalam agama Islam sangat penting, seperti
diketahui bahwa al-Qur’an mengandung banyak ayat yang memerlukan pembahasan
akal. Karena tidak semua kata dalam wahyu Allah itu, dapat diartikan menurut
arti zhahirnya, tetapi kadang kala harus diartikan menurut arti bathinnya.
Berdasarkan
hal tersebut, dapat dimengerti bahwa pemikiran berarti mempergunakan akal. Walaupun pada kenyataannya akal yang
digunakan manusia untuk berfikir memiliki keterbatasan. Bukan berarti batasan dalam
artian bersifat pasif terhadap wahyu, melainkan akal digunakan untuk menangkap
informasi yang berasal dari wahyu sesuai dengan kapasitasnya.
Untuk
memperjelas kedudukan akal (pemikiran manusia) di hadapan wahyu Tuhan akan
dikemukakan beberapa wahyu Allah yang dapat dijadikan dasar sekaligus
pembuktian akan keeksistensian wahyu secara rasional.
Sebagaimana
Harifuddin Cawidu dalam makalanya “al-Qur’an Kemukjizatan dan
Keistimewaannya”, mengemukakan bahwa “dalam al-Qur’an ditemukan
ayat-ayat yang mempunyai isyarat-isyarat ilmiah. Di antara isyarat-isyarat
tersebut adalah matahari sebagai benda langit yang mengeluarkan cahaya
sendiri sementara bulan adalah benda langit yang bercahaya tetapi tidak
memproduksi cahayanya sendiri, melainkan memantulkan cahaya matahari.
Isyarat ini dapat ditangkap dari penggunaan istilah dhiyaan dan sirajan
untuk matahari, sedangkan untuk bulan digunakan istilah muniran (QS
Yunus/10: 5; al-Furqan/25: 61; al-Ahzab/33: 46; Nuh/71: 16).[19]
Bergitu pula dengan gunung yang merupakan ciptaan Allah yang menakjubkan. Allah
menciptakan gunung sebagai pasak yang ditanam ke dalam permukaan bumi kemudian
menerobos hingga ke lapisan Litosfer. Akar gunung ini menembus lapisan bumi
yang ketebalannya mencapai lima puluh kilometer, yang berfungsi untuk membuat
bumi kokoh dan seimbang.[20]
Hal ini termuat dalam QS al-Naba’/78: 7.
والجبال اوتادا
Terjemahnya:
dan gunung-gunung sebagai pasak[21]
dari
ayat tersebut dapat dipahami bahwa gunung sebagai salah satu ciptaan Allah,
merupakan karya-Nya yang amat luar biasa sehingga dengan keberadaannya manusia
yang hidup di atasnya merasa aman dan tenang dari goncangan yang diakibatkan
oleh pergeseran lempengan-lempengan bumi. Begitupula dalam QS al-Nazi’at/79: 32.
والجبال ارسها
Terjemahnya:
dan gunung-gunung Dia pancangkan dengan teguh[22]
Pada
ayat ini juga dijelaskan bahwa Allah memancangkan gunung-gunung dengan cara
yang teguh sekali laksana tonggak sehingga menjadikan bumi stabil tidak goyah. Hal
ini juga diperjelas oleh QS Luqman/31: 10.
والقى فى الارض
رواسي ان تميدبكم
Terjemahnya:
dan Dia meletakkan gunung-gunung (dipermukaan) bumi agar ia (bumi)
tidak menggoyahkan kamu.[23]
Senada
dengan ayat sebelumnya bahwa Allah menciptakan gunung-gunung di permukaan bumi
agar bumi itu stabil, tidak berguncang, agar manusia, binatang, dan
tumbuh-tumbuhan dapat hidup tenang di atasnya. Gunung itu seakan-akan menjadi
pasak yang dapat mengokohkan permukaan bumi seperti halnya tiang-tiang kapal
yang menjulang, yang dapat menstabilkan kapal itu berlayar dan berlabuh di tengah
lautan, sehingga kapal tersebut tidak oleng. Sementara para ilmuan baru
mengetahuinya pada masa kini.
Syekh
Muhammad Abduh mengatakan bahwa, Islam adalah agama rasional. Dalam Islam,
agama dan akal buat pertama kali mengikat tali persaudaraan. Islam datang
berbicara kepada manusia, bahwa Islamlah yang berteriak keras pada akal manusia
sehingga ia terkejut dan bangun dari tidurnya yang nyenyak. Islam sesungguhnya
datang dengan hal-hal yang tidak sulit untuk dapat dipahami, dan tidak mungkin
membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Jika ada teks ayat yang
zhahirnya kelihatan bertentangan dengan akal, akallah wajib berkeyakinan bahwa
bukanlah arti yang dimaksudkan, dan selanjutnya akal boleh memilih antara
memakai ta’wil atau berserah diri kepada Allah.[24]
Hal
tersebut didukung oleh beberapa pernyataan para filosof, baik filosof Islam
maupun non-Islam tentang pengakuan akal manusia terhadap kebenaran wahyu di
antaranya ialah:
- Al-Kindi mengatakan bahwa “Argumen yang dibawa al-Qur’an lebih meyakinkan daripada argumen yang dikemukakan filsafat, tetapi filsafat dan al-Qur’an tidaklah saling bertentangan.[25]
- Ibnu Rusyd mengatakan bahwa “Dalam dunia ini ada hal-hal yang terletak di luar kesanggupan akal untuk dapat mengetahuinya. Karena itu, kita harus kembali kepada wahyu yang diturunkan untuk menyempurnakan pengetahuan akal”.[26]
- Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa: “Nabi membawa apa yang tidak bisa ditolak oleh akal, Nabi dan wahyu diperlukan untuk mengetahui perbuatan-perbuatan yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan”.[27]
- G. Margoliuuth, dalam bukunya “De Karacht Vanden Islam” mengemukakan sebagai berikut: “Adapun al-Qur’an itu menempati kedudukan yang maha penting di barisan agama-agama yang besar di seluruh dunia. Meskipun al-Qur’an sangat mudah usianya, ia menempati bagian terpenting dalam ilmu kitab. Ia dapat menghasilkan suatu akibat yang tidak pernah dan tidak akan pernah seseorang dapat menghasilkannya. al-Qur’an membuat perubahan pikiran dalam lingkungan umat manusia dan anjuran dari isinya tentang tabi’at dan peradaban mereka. Pertama kali al-Qur’an menggerakkan bangsa Arab yang sedang dalam kegelapan dan kebodohan, menjadi suatu bangsa yang cerdik pandai dan gagah berani di seluruh dunia, dan bangsa itu menjadi pemuka dalam agama berdasarkan politik-sosial sehingga terbangunlah organisasi Islam”.[28]
- David Trueblood dalam bukunya Philosophy of Religion mengatakan, ahli agama pada umumnya mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu. Mereka mengatakan, bahwa mereka menghadapi anggapan-anggapan atau pengakuan-pengakuan tentang adanya wahyu, sedang macam-macam agama dan wahyu itu bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu untuk mengahadapi hal-hal yang bertentangan ini akal dipakai untuk menemukan mana yang merupakan wahyu yang betul dan mana yang hanya merupakan pengakuan-pengakuan saja.[29]
Berdasarkan
pernyataan filosof yang dikemukakan di atas, baik dari kalangan muslim maupun
non muslim, yang memberikan pengakuan akan kebenaran wahyu yang pada hakikatnya
berasal dari Tuhan adalah bukti bahwa akal yang menjadi dasar dalam berfilsafat
semakin memperkuat kedudukan wahyu yang tidak saling bertentangan dengan akal
manusia.
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa akal/pemikiran manusia marupakan suatu alat yang
dapat dipergunakan untuk menelusuri keeksistensian wahyu Tuhan, karna dengannya
kita dapat meyakini bahwa segala apa yang tersurat dalam firman-Nya baik yang
dapat dipahami melalui zhahir ayat maupun yang harus melalui telaah mendalam
untuk mencapai maksud yang ingin disampaikan oleh ayat tersebut adalah bukti bahwa ada sesuatu yang lebih kuasa
daripada manusia yang telah menurunkan sebuah kitab yang dapat menjelaskan
fenomena-fenomena alam yang mustahil diungkap bagi seorang manusia yang hidup
pada masa 1.400 tahun yang lalu. Tentu hal ini membuktikan bahwa betapa
lemahnya akal manusia jika dibandingkan wahyu Tuhan.
C.
Penutup
1.
Kesimpulan
a) Akal
merupakan anugrah yang diberikan Allah kepada manusia. Yang dengan akal
tersebut manusia dapat belajar, mengenal, serta mengetahui berbagai hal. Yang
dengan pengetahuan tersebut manusia dapat menciptakan sebuah peradaban yang modern.
Sedangkan wahyu merupakan firman Allah yang diturunkan kepada para nabi dan
rasul sebagai pedoman bagi umat manusia. Berisi ajaran-ajaran tentang agama,
baik dan buruk serta mencakup kejadian-kejadian penciptaan alam semesta.
b) Akal
dan wahyu merupakan dua hal yang saling berhubungan, akal sebagai daya berpikir
memiliki batas jangkauan terhadap
hal-hal yang bersifat ghaib. Sedangkan wahyu yang bersumber dari Tuhan
berfungsi untuk menutupi serta melengkapi pengetahuan-pengetahuan tersebut.
Dengan demikian, wahyu menjadikan apa yang buram oleh akal nampak jelas.
Sehingga dapat dikatakan bahwa antara akal dan wahyu terdapat hubungan yang
saling melengkapi.
c) Akal
(Pemikiran manusia) merupakan sarana untuk menelusuri eksistensi wahyu Tuhan, dengan
pengetahuan yang diperoleh akal, manusia dapat mencapai sebuah kebenaran
melalui wahyu yang bersumber dari Zat yang Maha Kuasa yakni Allah swt. sehingga
nampak suatu kemustahilan bila al-Qur’an itu berasal dari seorang manusia yang
hidup pada masa 1.400 tahun yang lalu. Dimana pada masa itu mustahil baginya
untuk menulis sendiri sebuah buku yang berisi tentang informasi
kejadian-kejadian penciptaan alam semesta yang baru dapat diketahui menggunakan
alat-alat modern pada masa ini.
Akal
yang merupakan anugerah dari Tuhan hendaknya dapat dipergunakan dengan
semaksimal mungkin, sehingga dengan akal tersebut dapat menjadikan manusia
lebih takut, tunduk dan taat serta beriman kepada Allah swt.
Daftar pustaka
Al-Ghazali, Ilmu dalam Perspektif Tasauf, Terj.
Muhammad Al-Baqir, Bandung: Kharisma, 1996.
--------------, Wasiat Imam Al-Ghazali, Terj.
Zakaria Adhan, Jakarta: Darul Ulum Press, 1993.
Al-Ahwani, Fuad. Al-Falsafah al-Islamiyah.
Qairo: Dar al-Kalam Daudy Ahmad. 1981.
Anshari. Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat dan Agama.
Cet. I. Surabaya: Bina Ilmu, 1979.
Ensiklopedi Islam,
Vol.5 ,Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ensiklopedia Kemukjizatan Ilmiah dalam al-Qur’an dan
al-Sunnah, jilid 3. Jakarta:
PT. Kharisma Ilmu, 2009.
Haq, Hamka. Al-Syathibi, t.t: PT. Gelora Aksara
Pratama, 2007.
Hutasuhut, Efrianto. “Akal
Dan Wahyu Dalam Islam (Perbandingan Pemikiran Harun Nasution Dan Muhammad
Abduh)” Tesis. Medan: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera
Utara, 2017.
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafutuh, Beirut: Dar
al-Fikr, 1993.
Iqbal, Muhammad. Ibnu Rusyd dan Averroisme: Sebuah
Pemberontakan dalam Agama, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Mubarak, Agus.
Eksistensi Wahyu, Injil, dan al-Qur’an Menurut Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi, Komunikasi
dan Sosial Agama Vol. XVI, No. 1 (2014): h. 67-80.
Nasruddin, Juhana. Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an
Praktis, Yogyakarta: Deepublish, 2017.
Nasution, Harun. Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah, Jakarta: UI Press, 1987.
--------------, Filsafat dan Mistitisme dalam Islam,
Cet. IV . Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
--------------. Akal dan Wahyu dalam Islam,
Jakarta : Ul Press, 1986.
Nasution, M.Yasir. Manusia Menurut Al-Ghazali,
Jakarta: Grafindo Persada, 1996.
Othman, Ali Issa. Manusia Menurut al-Ghazali,
t.t: Pustaka, 1981.
Rasyidi, HM. Filsafat Agama, Jakarta: Bulan
Bintang, 1965.
Sidik, Aktivitas Akal dalam Pembuktian Kebenaran Wahyu,
Hunafa Vol. 4, No.1 (2007): h. 41-48.
Syarif, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan,
1998.
Zaini, Syahiman. Bukti-bukti Kebenaran Al-Qur’an
sebagai Wahyu Allah, Malang: Kalam Mulia, 1980.
[1]Juhana
Nasruddin, Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis, (Yogyakarta:
Deepublish, 2017), h. 39.
[2] Juhana
Nasruddin, Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis, h. 42-43.
[3]Hamka Haq, Al-Syathibi,
(t.t: PT. Gelora Aksara Pratama, 2007), h. 42
[4]Efrianto
Hutasuhut, “Akal Dan Wahyu Dalam Islam
(Perbandingan Pemikiran Harun Nasution Dan Muhammad Abduh)” Tesis
(Medan: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2017), h. 21.
[5]M.Yasir
Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996),
h. 97.
[6]M.Yasir
Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, h. 98.
[7]Al-Ghazali, Wasiat
Imam Al-Ghazali, Terj. Zakaria Adhan (Jakarta: Darul Ulum Press, 1993), h.
72.
[8]Al-Ghazali,
Ilmu dalam Perspektif Tasauf, Terj. Muhammad Al-Baqir (Bandung: Kharisma,
1996), h. 61.
[9]Ensiklopedi
Islam,
Vol.5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 168. Baca juga dalam
Harun.Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 35-36.
[10]M.Yasir
Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, h. 105.
[11]Harun
Nasution, Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press,
1987), h. 43.
[12]Harun
Nasution. Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta : Ul Press, 1986), h. 82.
[13]Muhammad Iqbal,
Ibnu Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan dalam Agama, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2004), h. 47.
[14]Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 518.
[15]Syarif, Para
Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1998), h. 39. Dikutip dalam Agus Mubarak, Eksistensi Wahyu, Injil, dan al-Qur’an
Menurut Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi, Komunikasi dan Sosial Agama Vol.
XVI, No. 1 (2014): h. 69.
[16]Endang
Saifuddin Anshari. Ilmu Filsafat dan Agama. Cet. I. (Surabaya: Bina
Ilmu, 1979), h. 14.
[17]Fuad Al-Ahwani,
Al-Falsafah al-Islamiyah. (Kairo: Dar al-Kalam Daudy Ahmad. 1981). h.
147.
[18]Ali Issa
Othman, Manusia Menurut al-Ghazali, (t.t: Pustaka, 1981), h. 140.
[19]Harifuddin
Cawidu, Al-Qur’an Kemukjizatan dan Keistimewaannya, dikutip dalam Sidik,
Aktivitas Akal dalam Pembuktian Kebenaran Wahyu, Hunafa Vol. 4, No.1
(2007): h. 45.
[20]Ensiklopedia
Kemukjizatan Ilmiah dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, jilid 3 (Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2009), h.
3
[21]Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 582.
[22]Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 584.
[23]Kementerian
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 411.
[24]Harun Nasution,
Filsafat dan Mistitisme dalam Islam, Cet. IV (Jakarta: Bulan Bintang,
1985), h. 99.
[25]Juhaya S Praja,
Filasafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, (Jakarta: Teraju, 2002), h.
197.
[26]Ibnu Rusyd, Tahafut
al-Tahafutuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), h. 67.
[27]Harun Nasution,
Filsafat dan Mistitisme dalam Islam, h. 84.
[28]Syahiman
Zaini, Bukti-bukti Kebenaran Alquran sebagai Wahyu Allah, (Malang: Kalam
Mulia, 1980), h. 183.
[29]David
Trueblood, Filsafat Agaama, diterjemahkan dan disusun kembali oleh HM.
Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 12.
0 komentar:
Post a Comment