Sunday, July 12, 2020

Menelusuri Eksistensi Wahyu Tuhan dengan Pemikiran Manusia



By: Nursalam Rahmatullah
A.    Pendahuluan
      1. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya.  Hal ini dikarenakan Allah menganugerahkan kepada manusia suatu hal yang amat luar biasa yang Ia tidak berikan kepada makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain. Anugerah tersebut berupa akal yang dengan akal tersebut manusia dapat berfikir, menentukan mana yang baik dan buruk sehingga mereka dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran mereka sendiri.
Oleh karena itulah Islam sebagai agama memberikan tempat yang istimewa kepada akal, karena dengan akal tersebut manusia dapat memahami kandungan ayat-ayat suci al-Qur’an yang diturunkan kepada ummat manusia melalui perantara seorang Rasul Allah yang bernama Muhammad saw. dan sekaligus agar manusia dapat memikirkan serta merenungkan tanda-tanda kebesaran-Nya.
Tetapi perlu disadari bahwa, meskipun agama Islam memberikan tempat istimewa kepada akal yang memiliki begitu banyak kelebihan,  Islam tidak serta merta menjadikan akal manusia sebagai sumber utama untuk menetapkan sebuah kebenaran. Karena pada hakikatnya kebenaran yang didapatkan melalui akal merupakan kebenaran yang hanya bersifat relatif, oleh karena itu Allah sebagai pencipta langit dan bumi beserta yang ada di dalamnya menurunkan sebuah pedoman berupa wahyu yang diturunkan kepada ummat manusia melalui perantara rasul-rasul-Nya untuk dijadikan petunjuk dalam kehidupan dunia dan untuk mencapai keselamatan di akhirat kelak.
Hal inilah yang kemudian menjadi sumber awal keraguan manusia terhadap wahyu Tuhan, karena akal manusia diciptakan Allah dalam keadaan terbatas, yang hanya dapat memikirkan hal-hal yang bersifat materil, sedangkan hal-hal yang ghaib “proses pewahyuan” merupakan suatu hal yang berada di luar jangkauan akal. Lantas bagaimana akal/pemikiran manusia dapat menelususri eksistensi wahyu Tuhan tersebut.
      2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, nampak bahwa yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini ialah bagaimana cara menelusuri eksistensi wahyu Tuhan dengan Pemikiran Manusia yang akan diuraikan ke dalam beberapa sub pembahasan yaitu:
  •  Apa pengertian wahyu dan akal?
  •  Bagaimana relasi antara wahyu dan akal?
  •  Bagaimana menelusuri eksistensi wahyu Tuhan dengan pemikiran manusia?

B.     Pembahasan
1.      Pengertian Wahyu dan Akal
a)      Wahyu
Menurut bahasa/etimologi, wahyu bermakna pemberian isyarat, pembicaraan rahasia, dan menggerakan hati. Adapun menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, wahyu adalah memberitahukan secara samar. Sedangkan menurut al-Qaththan, al-Wahy adalah kata masdar dan materi kata itu menunjukkan dua pengertian dasar yaitu tersembunyi dan cepat. Oleh karena itu, wahyu diartikan sebagai pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditunjukkan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.[1]
Adapun wahyu menurut istilah diungkapkan oleh Ibnu Hajar, yakni memberitahukan hukum-hukum syari’at, namun terkadang yang dimaksud dengan wahyu adalah sesuatu yang diwahyukan, yaitu kalam Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. selanjutnya disampaikan oleh Imam al-Zuhri bahwa wahyu ialah kalam Allah swt. yang disampaikan kepada salah seorang nabi-Nya kemudian dikukuhkan-Nya ke dalam hatinya. Lalu Nabi itu mengatakan bahwa itu adalah wahyu dan ditulisnya. Sedangkan menurut Muhammad Husein Abdullah, wahyu adalah pemberitahuan Allah swt. kepada rasul-rasul tentang risalah mereka.[2].Jadi dapat disimpulkan dari beberapa pengertian tersebut bahwa wahyu adalah pengetahuan yang datang dari Allah swt. kepada para nabi-nabi-Nya dengan berbagai cara.

b)       Akal
Kata akal berasal dari bahasa Arab, ‘aql. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata ‘aql itu berarti mengikat atau menahan. Misalnya, pengikat serban disebut ‘iqal, menahan orang di penjara disebut i’taqal, orang yang dapat menahan amarahnya disebut ‘aqil. Dalam al-Qur’an, kata ‘aql hanya terdapat dalam bentuk kerja, misalnya ‘aqalu, ta’qilun, na’qilu, ya’qilun, dan ya’qiluha, yang semuanya mengandung arti paham.[3]
Adapun penggunaan kata ‘aql dalam berbagai susunannya dapat dijelaskan ke dalam beberapa bentuk sebagai berikut:[4]
  1. Digunakan untuk memikirkan dalil-dalil dan dasar keimanan.
  2.  Digunakan untuk memikirkan dan memahami alam semesta, serta hukum-hukumnya (sunnatullah).
  3. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap peringatan dan wahyu Allah.
  4. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap proses sejarah keberadaan umat manusia di dunia.
  5.  Dihubungkan dengan pemahaman terhadap kekuasaan Allah.
  6.  Dihubungkan dengan pemahaman terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan moral.
  7. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap makna ibadah, semacam shalat.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa ‘aql dipakai untuk memahami berbagai objek yang riil (nyata) maupaun abstrak.. Oleh karena itu ‘aql atau akal yang dalam bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan melalui proses berfikir dan perenungan terhadap kejadian-kejadian yang dialami, sehingga manusia dapat menarik (i’tibar) pelajaran dari hal-hal tersebut.
Selanjutnya dijelaskan oleh Imam al-Ghazali bahwa akal merupakan salah satu dimensi terpenting pada diri manusia, dimana akal sebagai alat berpikir telah memberi andil besar terhadap alur kehidupan manusia, mempolakan hidup dan mengatur proses kehidupan secara esensial. Akal telah bekerja menurut ukuran yang ada, justru itu maka al-Ghazali membagi akal dalam beberapa daya. Klasifikasi tentang akal ini menurut al-Ghazali dilihat dari potensi dan kadar akal dalam beberapa macam, yaitu akal praktis dan akal teoritis. Akal praktis merupakan saluran yang menyampaikan gagasan-gagasan akal teoritis kepada daya penggerak (Al-muharrikat) sekaligus merangsangnya menjadi aktual.[5]
Akal praktis tersebut berfungsi untuk menggugah dan menggerakkan anggota tubuh secara praktis untuk melakukan kepentingan-kepentingannya. Kebutuhan-kebutuhan diri manusia itu sesuai dengan tuntutan pengetahuan yang dicapainya. Kerja akal praktis hasilnya terlihat lebih efisien dalam gerak dan wujudnya. Bahkan mampu memotivasi secara langsung anggota tubuh manusia dan melahirkan pengetahuan-pengetahuan praktis. Oleh karenanya akal praktis merupakan hal yang sangat penting bagi manusia, seperti perkembangan kreatifitas dan penerapan akhlak dalam diri pribadi seseorang. Kekuatan daya akal praktis harus selalu dibina agar dapat menguasai daya-daya jiwa yang ada secara menyeluruh. Dengan demikian akan melahirkan kemuliaan-kemuliaan dalam tingkah manusia, artinya terwujudnya tingkah laku yang baik tergantung kepada kekuatan akal praktis menguasai daya jiwa tersebut.[6]
Selanjutnya al-Ghazali memberikan penjelasan tentang fungsi dan aktifitas akal teoritis. Akal teoritis merupakan daya mengetahui dalam diri manusia, maka keinginan manusia untuk mengetahui sesuatu adalah hasil kerja dari akal teoritis. Untuk itu maka akal teoritis adalah berfungsi untuk menyempurnakan substansinya yang bersifat immateri dan abstrak.[7]
Kumpulan pengetahuan yang didapatkan melalui akal teoritis tersebut hasilnya dikategorikan sesuai dengan tingkatan dan pembagian dari akal-akal teoritis itu sendiri. Dalam hal ini al-Ghazali membaginya dalam empat tingkatan: [8]
1)  Akal hayulani (akal material), akal ini berguna untuk memahami dan mengetahui tentang kenyataan-kenyataan materi yang ada secara mendasar, maka untuk mendapatkan kebenaran akal hayulani ini harus melalui indera, karena materi merupakan akal pertama untuk mengetahui lebih lanjut tentang hakikat sesuatu,
2)   Akal naluri, akal ini bekerja dan berfungsi setelah manusia mengetahui sejumlah ilmu-ilmu dasar yang apriori. Akal ini berupaya untuk mengetahui tentang hakikat dibalik kenyataan-kenyataan yang ada. Usaha untuk mendapatkan kebenaran di luar kenyataan materi, merupakan hasil kerja akal naluri. Melalui akal naluri pengetahuan manusia akan melaju lebih jauh dari pengetahuan dasarnya dan memberi keyakinan akan kebenaran yang diperolehnya.
3)   Akal aktif (akal aktual), akal ini berfungsi untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Akal ini dapat mengetahui beberapa pengetahuan teoritis, sehingga ia mampu menampilkan kembali bentuk-bentuk rasional yang diketahui.
4)  Akal mustafad, akal ini menurut Al-Ghazali fungsinya lebih jauh di-bandingkan akal-akal sebelumnya. Bahkan menurut Al-Ghazali akal mustafad ini tergolong akal tingkat tinggi. Al-Ghazali menjelaskan bahwa melalui akal ini manusia mampu mengetahui dan mengenal sesuatu serta sekaligus sanggup menghubungkan diri dengan akal ke sepuluh (akal fedal). Potensi daya akal mustafad ini cukup besar. Bahkan ia menyerupai prinsip-prinsip wujud semata.
Senada dengan hal tersebut Ibn Sina dalam pandangannya membagi daya menjadi dua bagian:
  1. Daya praktis (amilah), yaitu akal yang berhubungan dengan hal-hal konkrit.
  2. Daya teoritis (alimah), yaitu akal yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat abstrak. Yang kemudian daya teoritis ini dibagi ke dalam empat tingkatan, yaitu:

  • Akal materil (al-aql al-huyulani), yaitu akal yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir namun belum terlatih.
  • Akal bakat (al-aql bi al-Mamlakah), yaitu akal yang telah mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal yang abstrak.
  • Akal aktual (al-aql bi al-fi’li), yaitu akal yang telah mampu berpikir tentang hal-hal abstrak.
  • Akal perolehan (al-aql al-mustafad), yaitu akal yang tertinggi dan terkuat dayanya. Akal yang serupa inilah yang sanggup menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (al-aql al-fa’all), yang menurut Ibn Sina akal aktif itu adalah Jibril.[9]

Dari kerja akal mustafad telah menghasilkan pengetahuan-pengetahuan untuk mendapatkan sebuah kebenaran dan keyakinan, akal ini merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh akal-akal di bawahnya. Akal pada tingkat ini menyadari pengetahuan-pengetahuan itu secara aktual dan menyadari kesadaran secara faktual.[10]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akal memiliki beberapa bentuk menurut kedua tokoh tersebut, yakni akal teoritis dan akal praktis. Dimana akal teoritis memiliki salah satu fungsi untuk merumuskan sebuah teori berdasarkan hal-hal yang ditangkap oleh indra manusia, kemudian hasil dari pemikiran akal teoritis tersebut ditangkap oleh akal praktis yang  merupakan saluran untuk menyampaikan gagasan-gagasan akal teoritis kepada daya penggerak agar diaktualisasikan ke dalam bentuk gerak tubuh. Sebagai sarana pembuktian teori-teori yang diperoleh dari akal teoritis tersebut sehingga melahirkan ilmu-ilmu praktis.
2.      Relasi antara wahyu dan akal
Dalam sejarah panjang turunnya al-Qur’an kita dapat mengamati bahwa terdapat penghargaan yang tinggi diberikan al-Qur’an terhadap akal. Sehingga nampak bahwa antara akal dan wahyu pada dasarnya memiliki hubungan yang erat dan  tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini terlihat jelas dengan banyaknya ayat al-Qur’an yang menganjurkan serta mendorong ummat manusia agar menggunakan akalnya untuk berikir. Mengingat bahwa akal manusia merupakan karunia Allah swt. yang menjadikan manusia sebagai ciptaannya yang paling sempurna. Hal ini tentu dikarenakan akal memiliki daya pikir yang amat luar biasa sehingga dengan akal tersebut manusia dapat mengetahui berbagai hal yang bersifat empirik.
Sedangkan bagaimana cara manusia untuk mencapai pengetahuan yang bersifat abstrak (ghaib) dalam hal ini Muhammad Abduh berpendapat bahwa, jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan serta hal-hal yang bersifat ghaib lainnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam filsafat wujudnya, bukan hanya dengan wahyu saja melainkan juga akal.[11] Jadi berdasarkan pernyataannya tersebut diketahui bahwa akal manurut Muhammad Abduh pada dasarnya berusaha untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan serta hal-hal yang bersifat ghaib lainnya, sedangkan wahyu datang untuk memperkuat hal tersebut segaligus mempertegas bahwa ada beberapa hal yang dapat dijangkau akal dan selebihnya hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Adapun wahyu yang merupakan sumber utama dalam ajaran agama Islam merupakan landasan bagi ummat Islam untuk mengetahui ajaran agama, baik yang berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar, maupun hal-hal yang bersifat ghaib, seperti pemberitaan tentang adanya surga dan neraka. Yang pada hakikatnya hanya dapat diperoleh dengan perantara wahyu yang tertuang dalam kitab-kitab suci agama samawi. Sehingga nampak bahwa wahyu memiliki kedudukan yang tinggi di samping akal.
Senada dengan hal itu para filosof-filosof Islam juga berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara filsafat dan agama tidak ada pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi, antara keduanya terdapat keharmonisan.[12] Yang berarti bahwa akal dan wahyu merupakan dua hal yang berfungsi untuk saling melengkapi satu sama lain.
Sebagaimana akal mampu mengetahui konsep peredaran benda-benda langit. Namun demikian akal manusia tetap tidak akan mampu untuk mengatahui sepenuhnya. Karena pada dasarnya hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana benda-benda langit tersebut dapat beredar pada tempatnya (garis edarnya) berada di luar jangkauan akal manusia. Sedangkan hal tersebut telah tertuang jelas dalam al-Qur’an QS al-Anbiya: 33, QS Yasin: 38, dan QS Rad: 2, yang menjelaskan bahwa bumi, bulan, matahari dan planet-planet lainnya beredar/berputar pada lintasannya masing-masing yang merupakan suatu ketetapan dari Allah sebagai pencipta alam semesta.
Oleh karna itu bagi Ibnu Rusyd akal bukanlah segala-galanya. Segala sesuatu yang tidak dicapai oleh akal, maka sejatinya Tuhan memberikannya kepada manusia melalui wahyu-Nya. Di antaranya adalah  mengenai ilmu pengetahuan Tuhan, mengetahui arti kebahagian dan kesengsaraan di dunia dan akhirat dan mengetahui jalan untuk mencapai kebahagian dan menjahui kesengsaraan. Dalam hal tersebut Ibnu Rusyd menegaskan bahwa perhatian filsafat ditujukan untuk mengenal apa yang dibawa syari’at.[13]
Oleh karena itu, di samping akal menjadi sumber pengetahuan, wahyu juga mempunyai peranan penting. Sebab tidak semua persoalan bisa dijawab oleh akal, karena walau bagaimanapun akal sifatnya terbatas dan tidak mampu menjangkau hal-hal yang berada di luar nalar atau logika. Sedangkan wahyu merupakan Firman Tuhan yang diturunkan kepada manusia untuk melengkapi kekurangan akal dalam memperoleh pengetahuan yang bersifat abstrak tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa hubungan antara akal dan wahyu adalah hubungan yang saling mengisi satu sama lainnya.
3.      Menelusuri eksistensi wahyu Tuhan dengan pemikiran manusia
Pemikiran manusia merupakan sesuatu yang lahir akibat adanya daya dan upaya akal dalam menelaah suatu hal yang diperoleh melalui penglihatan dan perasaan yang dialami oleh manusia itu sendiri. Manusia dengan akalnya dapat mengetahui hal-hal yang terjadi di sekitarnya, baik pengetahuan itu bersumber langsung dari indra manusia maupun pengetahuan yang bersumber dari wahyu Tuhan yang dapat dibenarkan oleh akal dan perasaan yang timbul akibat kekaguman terhadap alam semesta beserta isinya. 
Terkadang akal dapat menjelaskan hal-hal yang bersifat materi dan terkadang membutuhkan wahyu untuk menjelaskan hal-hal yang berada di luar batasan akal, seperti hal-hal yang bersifat metafisik di mana akal tidak mampu menjangkaunya kecuali dengan perbantuan wahyu.
Kaitannya dengan wahyu, akal merupakan penopang, serta memperkuat keyakinan terhadap kebenaran wahyu. Oleh karena itu, Allah memuliakan akal itu dengan menjadikannya sebagai sasaran perintah, sebagai tempat bergantungnya pertanggungjawaban dan mengajukannya melakukan penelitian serta pemikiran.
Dalam QS Qaaf/50: 6.
افلم ينظروا الى السماء فوقهم كيف بنينها وزينها وما لها من فروج
Terjemahnya:

Maka Apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun.[14]
Ayat ini memberikan penjelasan bahwa ajaran Islam yang bersumber dari wahyu, memerintahkan manusia menfungsikan akalnya untuk memikirkan kejadian dan kebenaran alam yang ada di sekelilingnya, dengan memperhatikan bagaimana alam semesta ini dapat tercipta, begitupula bagaimana langit ini dapat terbentuk sehingga manusia yang berada di bawahnya dapat dapat merasa aman dari ancaman benda-benda langit yang hendak menimpa bumi. Sehingga nampak bahwa langit yang begitu kokoh tidak mungkin hadir begitu saja tanpa adanya pencipta.
Hal inilah yang menjadikan para filosof muslim, salah satunya di antaranya ialah al-Razy yang menjunjung tinggi fungsi akal dalam mencari hakekat kebenarannya. Beliau berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk bahkan dengan akal manusia dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan.[15] Dengan demikian, dapat dipahami bahwa fungsi akal bagi manusia menduduki tempat yang sangat penting. Karena kemampuan akal untuk mengetahui sesuatu, tidak hanya terbatas pada apa yang terdapat dalam dirinya, melainkan juga yang di luar dirinya.
Oleh sebab itu keistimewaan dan kelebihan manusia, terlihat jelas pada kemampuan berpikirnya, yang dalam istilah ilmu manthiq, disebut “al-Insan Hayawanun nathiq” bahwa manusia itu hewan yang bepikir.[16] Ungkapan serupa juga dikemukakan oleh Aristoteles jauh sebelumnya yang mana Ia berpandangan bahwa sesungguhnya manusia itu adalah hewan yang berkata-kata.[17]
Selanjutnya, Imam al-Gazali mengemukakan bahwa, manusia itu berbeda dengan hewan, perbedaan tersebut terletak pada akal yang merupakan ciri khas bagi manusia.[18] Dimana akal sebagai alat berfikir akan bekerja jika dipacu dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersumber dari ketidaktahuan, yang menimbulkan usaha untuk mencari jawaban dari ketidaktahuan tersebut, dalam rangka menemukan sebuah kebenaran, sehingga dengan demikian para filosof memandang bahwa akal merupakan salah satu alat yang ampuh untuk mencari hakekat kebenaran. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keistimewaan manusia terletak pada akal yang merupakan potensi untuk berpikir. Yang mana jika bertambah tinggi daya berpikir seorang manusia, maka akan bertambah tinggi pula kemampuannya dalam memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya.
Hal inilah yang menjadikan mengapa akal dalam agama Islam sangat penting, seperti diketahui bahwa al-Qur’an mengandung banyak ayat yang memerlukan pembahasan akal. Karena tidak semua kata dalam wahyu Allah itu, dapat diartikan menurut arti zhahirnya, tetapi kadang kala harus diartikan menurut arti bathinnya.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dimengerti bahwa pemikiran berarti mempergunakan akal.  Walaupun pada kenyataannya akal yang digunakan manusia untuk berfikir memiliki keterbatasan. Bukan berarti batasan dalam artian bersifat pasif terhadap wahyu, melainkan akal digunakan untuk menangkap informasi yang berasal dari wahyu sesuai dengan kapasitasnya.
Untuk memperjelas kedudukan akal (pemikiran manusia) di hadapan wahyu Tuhan akan dikemukakan beberapa wahyu Allah yang dapat dijadikan dasar sekaligus pembuktian akan keeksistensian wahyu secara rasional.
Sebagaimana Harifuddin Cawidu dalam makalanya “al-Qur’an Kemukjizatan dan Keistimewaannya”, mengemukakan bahwa “dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang mempunyai isyarat-isyarat ilmiah. Di antara isyarat-isyarat tersebut adalah matahari sebagai benda langit yang mengeluarkan cahaya sendiri sementara bulan adalah benda langit yang bercahaya tetapi tidak memproduksi cahayanya sendiri, melainkan memantulkan cahaya matahari. Isyarat ini dapat ditangkap dari penggunaan istilah dhiyaan dan sirajan untuk matahari, sedangkan untuk bulan digunakan istilah muniran (QS Yunus/10: 5; al-Furqan/25: 61; al-Ahzab/33: 46; Nuh/71: 16).[19] Bergitu pula dengan gunung yang merupakan ciptaan Allah yang menakjubkan. Allah menciptakan gunung sebagai pasak yang ditanam ke dalam permukaan bumi kemudian menerobos hingga ke lapisan Litosfer. Akar gunung ini menembus lapisan bumi yang ketebalannya mencapai lima puluh kilometer, yang berfungsi untuk membuat bumi kokoh dan seimbang.[20] Hal ini termuat dalam QS al-Naba’/78: 7.
والجبال اوتادا
Terjemahnya:

dan gunung-gunung sebagai pasak[21]

dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa gunung sebagai salah satu ciptaan Allah, merupakan karya-Nya yang amat luar biasa sehingga dengan keberadaannya manusia yang hidup di atasnya merasa aman dan tenang dari goncangan yang diakibatkan oleh pergeseran lempengan-lempengan bumi.  Begitupula dalam QS al-Nazi’at/79: 32.
والجبال ارسها
Terjemahnya:

dan gunung-gunung Dia pancangkan dengan teguh[22]

Pada ayat ini juga dijelaskan bahwa Allah memancangkan gunung-gunung dengan cara yang teguh sekali laksana tonggak sehingga menjadikan bumi stabil tidak goyah. Hal ini juga diperjelas oleh QS Luqman/31: 10.
والقى فى الارض رواسي ان تميدبكم

Terjemahnya:

dan Dia meletakkan gunung-gunung (dipermukaan) bumi agar ia (bumi) tidak menggoyahkan kamu.[23]
Senada dengan ayat sebelumnya bahwa Allah menciptakan gunung-gunung di permukaan bumi agar bumi itu stabil, tidak berguncang, agar manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan dapat hidup tenang di atasnya. Gunung itu seakan-akan menjadi pasak yang dapat mengokohkan permukaan bumi seperti halnya tiang-tiang kapal yang menjulang, yang dapat menstabilkan kapal itu berlayar dan berlabuh di tengah lautan, sehingga kapal tersebut tidak oleng. Sementara para ilmuan baru mengetahuinya pada masa kini.
Syekh Muhammad Abduh mengatakan bahwa, Islam adalah agama rasional. Dalam Islam, agama dan akal buat pertama kali mengikat tali persaudaraan. Islam datang berbicara kepada manusia, bahwa Islamlah yang berteriak keras pada akal manusia sehingga ia terkejut dan bangun dari tidurnya yang nyenyak. Islam sesungguhnya datang dengan hal-hal yang tidak sulit untuk dapat dipahami, dan tidak mungkin membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Jika ada teks ayat yang zhahirnya kelihatan bertentangan dengan akal, akallah wajib berkeyakinan bahwa bukanlah arti yang dimaksudkan, dan selanjutnya akal boleh memilih antara memakai ta’wil atau berserah diri kepada Allah.[24]
Hal tersebut didukung oleh beberapa pernyataan para filosof, baik filosof Islam maupun non-Islam tentang pengakuan akal manusia terhadap kebenaran wahyu di antaranya ialah:
  1. Al-Kindi mengatakan bahwa “Argumen  yang dibawa al-Qur’an lebih meyakinkan daripada argumen yang dikemukakan filsafat, tetapi filsafat dan al-Qur’an tidaklah saling bertentangan.[25]
  2. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa “Dalam dunia ini ada hal-hal yang terletak di luar kesanggupan akal untuk dapat mengetahuinya. Karena itu, kita harus kembali kepada wahyu yang diturunkan untuk menyempurnakan pengetahuan akal”.[26]
  3. Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa: “Nabi membawa apa yang tidak bisa ditolak oleh akal, Nabi dan wahyu diperlukan untuk mengetahui perbuatan-perbuatan yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan”.[27]
  4.  G. Margoliuuth, dalam bukunya “De Karacht Vanden Islam” mengemukakan sebagai berikut: “Adapun al-Qur’an itu menempati kedudukan yang maha penting di barisan agama-agama yang besar di seluruh dunia. Meskipun al-Qur’an sangat mudah usianya, ia menempati bagian terpenting dalam ilmu kitab. Ia dapat menghasilkan suatu akibat yang tidak pernah dan tidak akan pernah seseorang dapat menghasilkannya. al-Qur’an membuat perubahan pikiran dalam lingkungan umat manusia dan anjuran dari isinya tentang tabi’at dan peradaban mereka. Pertama kali al-Qur’an menggerakkan bangsa Arab yang sedang dalam kegelapan dan kebodohan, menjadi suatu bangsa yang cerdik pandai dan gagah berani di seluruh dunia, dan bangsa itu menjadi pemuka dalam agama berdasarkan politik-sosial sehingga terbangunlah organisasi Islam”.[28]
  5.  David Trueblood dalam bukunya Philosophy of Religion mengatakan, ahli agama pada umumnya mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu. Mereka mengatakan, bahwa mereka menghadapi anggapan-anggapan atau pengakuan-pengakuan tentang adanya wahyu, sedang macam-macam agama dan wahyu itu bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu untuk mengahadapi hal-hal yang bertentangan ini akal dipakai untuk menemukan mana yang merupakan wahyu yang betul dan mana yang hanya merupakan pengakuan-pengakuan saja.[29]

Berdasarkan pernyataan filosof yang dikemukakan di atas, baik dari kalangan muslim maupun non muslim, yang memberikan pengakuan akan kebenaran wahyu yang pada hakikatnya berasal dari Tuhan adalah bukti bahwa akal yang menjadi dasar dalam berfilsafat semakin memperkuat kedudukan wahyu yang tidak saling bertentangan dengan akal manusia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa akal/pemikiran manusia marupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk menelusuri keeksistensian wahyu Tuhan, karna dengannya kita dapat meyakini bahwa segala apa yang tersurat dalam firman-Nya baik yang dapat dipahami melalui zhahir ayat maupun yang harus melalui telaah mendalam untuk mencapai maksud yang ingin disampaikan oleh ayat tersebut  adalah bukti bahwa ada sesuatu yang lebih kuasa daripada manusia yang telah menurunkan sebuah kitab yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena alam yang mustahil diungkap bagi seorang manusia yang hidup pada masa 1.400 tahun yang lalu. Tentu hal ini membuktikan bahwa betapa lemahnya akal manusia jika dibandingkan wahyu Tuhan.

C.    Penutup
1.      Kesimpulan
a)  Akal merupakan anugrah yang diberikan Allah kepada manusia. Yang dengan akal tersebut manusia dapat belajar, mengenal, serta mengetahui berbagai hal. Yang dengan pengetahuan tersebut manusia dapat menciptakan sebuah peradaban yang modern. Sedangkan wahyu merupakan firman Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebagai pedoman bagi umat manusia. Berisi ajaran-ajaran tentang agama, baik dan buruk serta mencakup kejadian-kejadian penciptaan alam semesta.
b)  Akal dan wahyu merupakan dua hal yang saling berhubungan, akal sebagai daya berpikir memiliki batas  jangkauan terhadap hal-hal yang bersifat ghaib. Sedangkan wahyu yang bersumber dari Tuhan berfungsi untuk menutupi serta melengkapi pengetahuan-pengetahuan tersebut. Dengan demikian, wahyu menjadikan apa yang buram oleh akal nampak jelas. Sehingga dapat dikatakan bahwa antara akal dan wahyu terdapat hubungan yang saling melengkapi.
c)     Akal (Pemikiran manusia) merupakan sarana untuk menelusuri eksistensi wahyu Tuhan, dengan pengetahuan yang diperoleh akal, manusia dapat mencapai sebuah kebenaran melalui wahyu yang bersumber dari Zat yang Maha Kuasa yakni Allah swt. sehingga nampak suatu kemustahilan bila al-Qur’an itu berasal dari seorang manusia yang hidup pada masa 1.400 tahun yang lalu. Dimana pada masa itu mustahil baginya untuk menulis sendiri sebuah buku yang berisi tentang informasi kejadian-kejadian penciptaan alam semesta yang baru dapat diketahui menggunakan alat-alat modern pada masa ini.
 2.      Implikasi
Akal yang merupakan anugerah dari Tuhan hendaknya dapat dipergunakan dengan semaksimal mungkin, sehingga dengan akal tersebut dapat menjadikan manusia lebih takut, tunduk dan taat serta beriman kepada Allah swt.  

Daftar pustaka
Al-Ghazali, Ilmu dalam Perspektif Tasauf, Terj. Muhammad Al-Baqir, Bandung: Kharisma, 1996.
--------------, Wasiat Imam Al-Ghazali, Terj. Zakaria Adhan, Jakarta: Darul Ulum Press, 1993.
Al-Ahwani, Fuad. Al-Falsafah al-Islamiyah. Qairo: Dar al-Kalam Daudy Ahmad. 1981.
Anshari. Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat dan Agama. Cet. I. Surabaya: Bina Ilmu, 1979.
Ensiklopedi Islam, Vol.5 ,Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Ensiklopedia Kemukjizatan Ilmiah dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,  jilid 3. Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2009.
Haq, Hamka. Al-Syathibi, t.t: PT. Gelora Aksara Pratama, 2007.
Hutasuhut,  Efrianto. “Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Perbandingan Pemikiran Harun Nasution Dan Muhammad Abduh)” Tesis. Medan: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2017.
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafutuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
Iqbal, Muhammad. Ibnu Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan dalam Agama, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Mubarak,  Agus. Eksistensi Wahyu, Injil, dan al-Qur’an Menurut Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi, Komunikasi dan Sosial Agama Vol. XVI, No. 1 (2014): h. 67-80.
Nasruddin, Juhana. Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis, Yogyakarta: Deepublish, 2017.
Nasution, Harun. Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press, 1987.
--------------, Filsafat dan Mistitisme dalam Islam, Cet. IV . Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
--------------. Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta : Ul Press, 1986.
Nasution, M.Yasir. Manusia Menurut Al-Ghazali, Jakarta: Grafindo Persada, 1996.
Othman, Ali Issa. Manusia Menurut al-Ghazali, t.t: Pustaka, 1981.
Rasyidi, HM. Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
Sidik, Aktivitas Akal dalam Pembuktian Kebenaran Wahyu, Hunafa Vol. 4, No.1 (2007): h. 41-48.
Syarif, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1998.
Zaini, Syahiman. Bukti-bukti Kebenaran Al-Qur’an sebagai Wahyu Allah, Malang: Kalam Mulia, 1980.



[1]Juhana Nasruddin, Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis, (Yogyakarta: Deepublish, 2017), h. 39.
[2] Juhana Nasruddin, Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis, h. 42-43.
[3]Hamka Haq, Al-Syathibi, (t.t: PT. Gelora Aksara Pratama, 2007), h. 42
[4]Efrianto Hutasuhut,  “Akal Dan Wahyu Dalam Islam (Perbandingan Pemikiran Harun Nasution Dan Muhammad Abduh)” Tesis (Medan: Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2017), h. 21.

[5]M.Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Grafindo Persada, 1996), h. 97.
[6]M.Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, h. 98.
[7]Al-Ghazali, Wasiat Imam Al-Ghazali, Terj. Zakaria Adhan (Jakarta: Darul Ulum Press, 1993), h. 72.
[8]Al-Ghazali, Ilmu dalam Perspektif Tasauf, Terj. Muhammad Al-Baqir (Bandung: Kharisma, 1996), h. 61.
[9]Ensiklopedi Islam, Vol.5 (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 168. Baca juga dalam Harun.Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 35-36.
[10]M.Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, h. 105.
[11]Harun Nasution, Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), h. 43.
[12]Harun Nasution. Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta : Ul Press, 1986), h. 82.
[13]Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd dan Averroisme: Sebuah Pemberontakan dalam Agama, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), h. 47.
[14]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 518.
[15]Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1998), h. 39. Dikutip dalam Agus Mubarak,  Eksistensi Wahyu, Injil, dan al-Qur’an Menurut Muhammad Ibnu Zakaria al-Razi, Komunikasi dan Sosial Agama Vol. XVI, No. 1 (2014): h. 69.
[16]Endang Saifuddin Anshari. Ilmu Filsafat dan Agama. Cet. I. (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), h. 14.
[17]Fuad Al-Ahwani, Al-Falsafah al-Islamiyah. (Kairo: Dar al-Kalam Daudy Ahmad. 1981). h. 147.
[18]Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali, (t.t: Pustaka, 1981), h. 140.
[19]Harifuddin Cawidu, Al-Qur’an Kemukjizatan dan Keistimewaannya, dikutip dalam Sidik, Aktivitas Akal dalam Pembuktian Kebenaran Wahyu, Hunafa Vol. 4, No.1 (2007): h. 45.
[20]Ensiklopedia Kemukjizatan Ilmiah dalam al-Qur’an dan al-Sunnah,  jilid 3 (Jakarta: PT. Kharisma Ilmu, 2009), h. 3
[21]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 582.
[22]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 584.
[23]Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 411.
[24]Harun Nasution, Filsafat dan Mistitisme dalam Islam, Cet. IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h.  99.
[25]Juhaya S Praja, Filasafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 197.
[26]Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafutuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), h. 67.
[27]Harun Nasution, Filsafat dan Mistitisme dalam Islam, h. 84.
[28]Syahiman Zaini, Bukti-bukti Kebenaran Alquran sebagai Wahyu Allah, (Malang: Kalam Mulia, 1980), h. 183.
[29]David Trueblood, Filsafat Agaama, diterjemahkan dan disusun kembali oleh HM. Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 12.



0 komentar:

Post a Comment