Sunday, July 12, 2020

TAFSIR MAUDHU'IY TENTANG MUSIBAH


By Nursalam Rahmatullah

A.    Pendahuluan
      1.  Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantara malaikat Jibril, mengandung berbagai macam sumber pengetahuan mulai dari cara penciptaan lagit, bumi, manusia bahkan meliputi kisah-kisah umat terdahulu.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang paling utama merupakan mukjizat terbesar nabi Muahammad saw. yang oleh para mufassir merupakan sebuah objek penelitian yang tidak akan pernah selelsai untuk dibahas. Yang mana salah satu obejek pembahasan para mufassir tersebut ialah ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan topik muşībah.
Mengingat bahwa negara kita Indonesia sedang berjuang menghadapi muşībah wabah penyakit yang sudah tersebuar hampir ke seluruh dunia. Yang mengakibatkan kerugian yang amat besar baik kerugian dari segi materil maupun nonmateril.
Oleh karena itu, penting untuk dikaji kembali tentang bagaimana konsep musibah yang dijelaskan dalam al-Qur’an serta bagaimana cara menyikapi hal tersebut.
      2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, nampak bahwa yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini ialah bagaimana konsep muşībah menurut al-Qur’an yang akan diuraikan ke dalam beberapa sub-pembahasan sebagai berikut:
a.       Apa yang dimaksud dengan muşībah?
b.      Bagaimana cara menyikapi muşībah menurut al-Qur’an?
c.       Apa hikmah dari adanya muşībah menurut al-Qur’an?
B.     Pembahasan
       1. Term Muşībah dalam al-Quran
a.      Etimologi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), muşībah diartikan dengan 1). kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa; 2). malapetaka, bencana.[1] Sedangkan dalam Kamus Al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir dijelaskan
bahwa lafal itu berarti bencana atau malapetaka.[2] Dalam Kamus Al-Bisri disebutkan bahwa lafal الصابة : المصيبة itu berarti bencana atau muşībah.[3] Kata muşībah berasal dari bahasa Arab, yakni muşībah ( مصيبة ) diambil dari akar kata yang terdiri dari huruf şad, wau, dan ba’ (şad-wa-ba/ص- و- ب ).  Menurut  Raghib  Al-Asfahani asal makna kata tersebut adalah  الرمية(lemparan).[4] Adapun derivasi bentuk beserta maknanya, antara lain sebagai berikut:
1) Şaub, inşāb, şayyib, dan şayuūb dari perubahan kata şāba-yaşūbu (صاب- يصوب), maka berarti turun hujan, seperti dijelaskan berikut:
الصوب نزول المطر صوبا وانصاب كلاهما انصب ومطر صوب وصيب وصيوب وقوله تعالى أو كصيب من السماء[5]
Artinya:

(kata al-şaub berarti turun hujan, keduanya berarti turun hujan, begitu juga şayyib dan şayyūb. Sebagaimana firman Allah swt.  atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit. 

2) Şawāb/صواب   dari  kata  aşāba-yuşību ((أصاب- يصيب,  maka  berarti  benar  atau kebenaran, seperti dijelaskan sebagai berikut:
والصواب ضد الخطاء...وفي حديث أبي وائل كان يسأل عن التفسير فيقول أصاب الله الذي أراد يعني أراد الله الذي أراد واصله من الصواب وهو ضد الخطإ[6]
Artinya:

Kata  şawāb /  صواب  adalah  lawan  dari  kata  khaţa’/  خطإ    dalam sebuah hadis Abi Wa’il, beliau pernah ditanya tentang penjelasan (kata şawāb / صواب),  lalu  beliau  menjawab  أصاب الله الذي أراد yakni  Allah swt. menghendaki yang dia kehendaki. Pada dasarnya  yang  dikehendaki oleh Allah swt. adalah kebenaran. Kebenaran itu adalah lawan dari kesalahan.

3) Muşībah/ مصيبة dari  kata  aşāba-yuşību,  maka  berarti  bencana  besar atau sesuatu yang tidak disukai kedatangannya oleh manusia, seperti dijelaskan sebagai berikut:
من يرد الله به خيرا يصب منه أي ابتلاه بالمصائب ليثيبه عليها وهو الأمر المكروه ينزل بالإنسان[7]
Artinya:

(siapa yang dikehendaki oleh Allah swt. untuk mendapat kebaikan, maka dia akan ditimpa muşībah yakni diuji dengan berbagai bencana supaya Allah swt. memberikan pahala padanya. Musîbah adalah perihal yang turunnya atau kehadirannya pada manusia tidak disukai.)
حكاه ابن الأعرابي وأصابته مصيبة فهو مصاب والصابة والمصيبة ما أصابك من الدهر وكذلك المصابة والمصوبة بضم الصاد والتاء للداهية أو للمبالغة والجمع مصاوب ومصائب[8]
Artinya:

(diceritakan oleh ibn al-A’arabiyyî, kata مصيبة  muşībah adalah diambil dari  أصابته مصيبة / aşābathu   muşībah,   masdarnya   bisa  مصاب / maşābun, الصابة/ al-şābah atau المصيبة/muşībah. (Engkau  telah  ditimpa  oleh  bencana).  Demikian  juga  kata المصابة /al-maşābah, dan المصوبة/al-maşūbah.  Sedangkan  ta  marbuthah  (ة) yang ada di akhir kata tersebut berfaidah untuk menegaskan sebuah bencana   besar للداهية والمبالغة/al-dāhiyah   al-mubālagah.   Sementara jamaknya adalahمصاوب ومصائب / maşāwib atau maşāib.
وزعم الأخفش أن مصائب إنما وقعت الهمزة فيها بدلا من الواو لأنها أعلت في مصيبة[9]
Artinya:

(Al-Akhfasy menduga bahwa kata / maşāwib sesungguhnya hamzah terdapat dalam kata tersebut adalah ganti dari wau karena wau itu penyakit (tidak enak diucapkannya) dalam kata مصيبة/muşībah.
وقال أحمد بن يحيى مصيبة كانت في الأصل مصوبة ومثله أقيمواالصلاة أصله أقوموا فألقوا حركة الواو على القاف فانكسرت وقلبواالواو ياء لكسرة القاف[10]
Artinya:

(Ahmad bin yahya berkata, “kata مصيبة/ muşībah asalnya adalah kata  مصوبة/ maşūbah,  seperti  halnya  kata  أقيموا الصلاة / aqimū  al-şalāta asalnya adalah  أقوموا/aqwimū dirubah dengan harkat wau dimasukan ke huruf qaf lalu dikasrahkan dan wau nya dirubah jadi ya’ karena kasrahnya qaf)
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kata muşībah berarti ibtalāhu bi al-maşāib liyuśibahu ‘alaiha wahuwa al-amr al-makrūh yanzilu bi al-inşān [11] (ujian yang menimpa manusia atau yang serupa atasnya, yakni segala hal yang negatif yang datang menimpa manusia). Sementara menurut sebagian mufassir, muşībah diartikan sebagai ujian yang berat[12] atau segala sesuatu yang dapat melukai atau menyakiti orang yang beriman.[13]
Adapun kata muşībah dengan segala bentuknya digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 77 kali, yang tersebar pada 56 ayat, di 27 surah. 33 kali dalam bentuk kata kerja lampau, 31 kali dalam bentuk kata kerja sekarang, dalam bentukمصيب  1 kali, dalam bentuk  صواب1 kali, dalam bentuk  صيّب1 kali, dan 10 kali dalam bentuk   مصيبة/muşībah.[14] Untuk memperjelas bentuk-bentuk lafaz tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Surah & Ayat
Jumlah Lafaz
Bentuk Lafaz
No
QS. Hud ayat 89/ QS. Al-Rum ayat 48/ QS. Sad ayat 36/ QS. Al-Hadid ayat 57/ QS. Al-Tagabun ayat 11
5
أصاب
1
QS. Ali Imran ayat 117
1
أصابت
2
QS. Ali Imran ayat 165/ QS. Al-Nisa ayat 72/ QS. Al-Maidah ayat 106
3
أصابتكم
3
QS. Al-Hajj ayat 11
1
أصابته
4
QS. Al-Baqarah ayat 156/ QS. Al-Nisa ayat 62
2
أصابتهم
5
QS. Al-Nisa ayat 79/ QS. Al-Nisa ayat 79/ QS. Luqman ayat 17
3
أصابك
6
QS. Ali Imran ayat 153/ QS. Ali Imran ayat 166/ QS. Al-Nisa ayat 73/  QS. Al-Syura ayat 30
4
أصابكم
7
QS. Al-Baqarah 264/ QS. Al-Baqarah 266/ QS. Al-Hajj ayat 11
3
أصابه
8
QS. Al-Baqarah ayat 265/ QS. Al-Baqarah 266
2
أصابها
9
QS. Ali Imran ayat 146/ QS. Ali Imran ayat 172/ QS. Hud ayat 81/ QS. Al-Nahl ayat 34/ QS. Al-Hajj ayat 35/ QS. Al-Zumar ayat 51/ QS. Al-Syura ayat 39
7
أصابهم
10
QS. Ali Imran ayat 165
1
أصبتم
11
QS. Al-A’raf ayat 100
1
أصبناهم
12
QS. Al-A’raf ayat 156
1
أصيب
13
QS. Al-Taubah ayat 50/ QS. Al-Taubah ayat 50
2
تصبك
14
QS. Ali Imran ayat 120
1
تصبكم
15
QS. Al-Nisa ayat 78/ QS. Al-Nisa ayat 78/ QS. Al-A’raf ayat 131/ QS. Al-Rum ayat 36/ QS. Al-Syura ayat 48
5
تصبهم
16
QS. Al-Fath ayat 25
1
فتصيبكم
17
QS. Al-Maidah ayat 52
1
تصيبنا
18
QS. Al-Anfal ayat 25
1
تصيبنّ
19
QS. Al-Ra’d ayat 31/ QS. Al-Nur ayat 63/ QS. Al-Qashash ayat 37
3
تصيبهم
20
QS. Al-Hujrat ayat 6
1
تصيبوا
21
QS. Yusuf ayat 56
1
نصيب
22
QS. Gafir ayat 28
1
يصبكم
23
QS. Al-Baqarah ayat 265
1
يصبها
24
QS. Al-An’am ayat 124/ QS. Al-Taubah ayat 90/ QS. Yunus ayat 107/ QS. Al-Ra’d ayat 13/ QS. Al-Nur ayat 43
5
يصيب
25
QS. Al-Taubah ayat 52/ QS. Hud ayat 79
2
يصيبكم
26
QS. Al-Taubah ayat 51
1
يصيبنا
27
QS. Al-Maidah ayat 49/ QS. Al-Taubah ayat 120/ QS. Al-Nur ayat  63/ QS. Al-Zumar ayat 51
4
يصيبهم
28
QS. Hud ayat 81
1
مصيبها
29
QS. Al-Naba ayat 38
1
صوابا
30
QS. Al-Baqarah ayat 19
1
كصيب
31
QS. Al-Baqarah ayat 152/ QS. Ali Imran ayat 165/ QS. Al-Nisa ayat 62/ QS. Al-Nisa ayat 72/ QS. Al-Maidah ayat 106/ QS. Al-Taubah ayat 50/ QS. Al-Qashash ayat 47/ QS. Al-Syura ayat 30/ QS. Al-Hadid ayat 22/ QS. Al-Tagabun ayat 11
10
مصيبة
32
b.      Terminologi
Pengertian muşībah secara terminologi diungkapkan oleh beberapa ulama antara lain:
1)  Al-Qurtubi menyatakan bahwa muşībah adalah segala sesuatu yang mengganggu orang mukmin dan menjadi bencana baginya. Muşībah ini biasanya diucapkan jika seseorang mengalami malapetaka, walaupun malapetaka yang dirasakan itu ringan atau berat baginya. Kata muşībah ini juga sering dipakai untuk kejadian-kejadian yang buruk dan tidak dikehendaki.[15]
2)   Hamka menyatakan bahwa muşībah adalah bencana, baik bencana besar yang terjadi pada alam, seperti gunung meletus, banjir, gempa bumi dan lain-lain, maupun bencana kecil yang terjadi pada manusia seperti sakit dan tenggelam.[16]
3)    Menurut Ahmad Mustafa al-Maragi menyatakan bahwa muşībah adalah semua peristiwa yang menyedihkan, seperti meninggalkan seseorang yang dikasihani, kehilangan harta benda atau penyakit yang menimpa, baik ringan atau berat.[17]
4)   Menurut Quraish Shihab kata muşībah tidak selalu berarti bencana, tetapi mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik positif maupun negatif, baik anugerah maupun bencana‛.[18]
5)  Menurut Imam al-Baidawi, muşībah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia.[19]
6)  Menurut Imam Nawawi muşībah adalah segala sesuatu yang menimpa manusia, berupa kesedihan, kepayahan, kesusahan dan lain-lain. Allah sedang mengangkatnya dan menghapus kesalahannya. Di dalamnya terdapat pesan tentang turunnya kebahagiaan agung bagi umat Islam yang ditimpa muşībah. Tidak ada kabar terindah yang mampu membahagiakan seorang muslim, kecuali terhapusnya dosa dan kekeliruan.[20]
Jadi, dapat dipahami bahwa muşībah merupakan segala sesuatu yang menimpa manusia baik berupa kebaikan meupun keburukan. Tetapi pada umumnya lafal muşībah sering disandarkan kepada hal-hal yang bersifat negatif sebagaimana beberapa definisi muşībah yang diutarakan oleh sebagain besar ulama tafsir di atas.

      2. Klasifikasi dan Syarah Ayat-Ayat al-Qur’an tentang Muşībah
a.      Bentuk-bentuk muşībah
       Surat al-Baqarah: 155
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ

Terjemah :

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.[21]
Musibah kesulitan hidup yang menjadi ujian bagi orang-orang  yang beriman yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas adalah: Pertama, sedikit ketakutan yakni keresahan hati menyangkut sesuatu yang buruk atau hal-hal yang tidak menyenangkan terhadap orang lain yang diduga akan terjadi.[22] Kedua, sedikit kelaparan karena mereka mengingkari ketetapan-ketetapan Allah. Baik ketetapan berupa sunnahtullah yang tersebar di jagat raya maupun berita-berita yang sudah diberikan kepada umat manusia melalui para rasul-Nya, Ketiga kekurangan harta yakni kekhawatiran habisnya harta yang dimilki ketika mengeluarkan zakat,[23] kekuarangan jiwa seperti kematian sanak saudara, sahabat dan orang-orang yang dicintai[24] dan kekuarangan buah-buahan seperti musim paceklik.
Selanjutnya huruf من/min dalam ayat tersebut berfungsi sebagai bayan sekaligus tab’idh yang dapat menunjukan bahwa ujian dalam bentuk musibah hakikatnya sedikit dibanding dengan potensi yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka untuk memikulnya. Demikian karena Allah swt. Maha Mengetahui dengan segala sesuatu yang terdapat dalam diri hamba-Nya. Maka ujian yang diberikan pastilah sesuai dengan potensi kemampuan orang yang diujinya.
      Surat Ali Imran: 165
أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Terjemahnya:

Dan mengapa kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada Perang Badar) kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.. (QS. Ali Imran/3: 165)[25]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Umar bin Khattab berkata bahwa menderitanya orang-orang dalam perang Uhud akibat perbuatan mereka mengambil fida’ di Perang Badar. Pada waktu perang uhud, ada 70 sahabat yang syahid, sebahagian lagi lari bercerai berai bahkan gigi Nabi patah, topi besinya pecah, sehingga berlumuran darah di mukanya. Allah menurunkan ayat tersebut di atas sebagai peringatan bahwa penderitaan tersebut akibat perbuatan mereka sendiri.[26]
Maksud muşībah pada ayat di atas adalah kekalahan pasukan muslimin dalam perang Uhud. Muşībah itu merupakan imbalan bagi kekalahan pasukan musyrikin dalam perang Badar yaitu 70 orang terbunuh dan 70 orang tertawan. Allah menerangkan bahwa mereka tidak perlu mencari sebab-sebab kekalahan itu, karena itu semuanya disebabkan kesalahan yang telah dilakukan oleh regu pemanah dengan meninggalkan pos strategisnya, walaupun diperintahkan oleh Nabi untuk tetap bertahan di tempat meski dalam keadaan bagaimanapun. Dalam menafsirkan ayat di atas, Zamaksyari mengutip QS. Ali Imran: 152 yang menjelaskan tentang sebab-sebab terjadinya kekalahan dalam perang Uhud. Allah memenuhi janjinya ketika kaum muslimin membunuh orang-orang kafir sampai dengan kaum muslimin mendurhakai perintah Nabi sehingga terjadi kekalahan dalam peperangan. Ada pun firman Allah قل ھو من عند أنفسكم maksudnya bahwa terjadinya muşībah berupa kekalahan dalam perang Uhud itu disebabkan kesalahan kaum muslimin sendiri dengan meninggalkan pos yang ditugaskan oleh Rasulullah.[27]
      Surat al-Nisa: 72
وَإِنَّ مِنكُمْ لَمَن لَّيُبَطِّئَنَّ فَإِنْ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَالَ قَدْ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَىَّ إِذْ لَمْ أَكُن مَّعَهُمْ شَهِيدًا

Terjemahnya:

Dan sesungguhnya di antara kamu pasti ada orang yang sangat enggan (ke medan pertempuran). Lalu jika kamu ditimpa musibah dia berkata, “Sungguh, Allah telah memberikan nikmat kepadaku karena aku tidak ikut berperang bersama mereka.” (QS. al-Nisa/4: 72)[28]
Dapat dipahami bahwa kata muşībah pada ayat di atas mengandung pengertian kekalahan atau terbunuh (dikarenakan konteks ayat sesuai dengan keadaan peperangan). Menurut Ibnu Katsir, Allah menggambarkan sikap orang-orang munafik yang enggan ikut berperang. Bila terjadi muşībah dan kerugian seperti jatuhnya korban dan kekalahan dalam perang yang mereka tidak ikut, mereka berkata bahwa Allah telah memberi karunia kepada mereka dengan tidak ikut berperang. Padahal muslim yang wafat di medan perang adalah syahid dan disediakan bagi mereka pahala yang besar atas kesabaran dan pengorbanan mereka. Akan tetapi jika kaum muslimin menang dan memperoleh ganīmah (harta rampasan perang) mereka berkata “Alangkah beruntungnya andaikata kami bersama-sama, niscaya kami akan mendapat bahagian dari kemenangan dan ganīmah yang diperoleh itu.[29]
Quraisy Shihab mengatakan, ayat di atas menggambarkan sikap orang munafik saat panggilan jihad, mereka melambat-lambatkan bahkan berat hati jika diajak ke medan perang. Bahkan mendorong orang lain untuk ikut jejak mereka agar tidak ikut berjuang karena kelemahan iman mereka. Lebih lanjut Quraisy Shihab mengatakan ayat ini merupakan kecaman, sekaligus menggambarkan sikap aneh dari orang-orang munafik, pada saat orang beriman gagal, mereka bersyukur pada saat kaum muslimin berhasil, mereka sedih. Ketika itu mereka mengucapkan kata-kata yang sebenarnya sungguh aneh, keadaan mereka dan ucapan itu sama dengan ucapan orang yang tidak pernah ada hubungan pergaulan yang mestinya akrab, harmonis dan penuh kasih sayang dengan orang-orang yang beriman.[30]
      Surat al-Maidah: 106
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ ۚ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۙ وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الْآثِمِينَ

Terjemahnya:
                 
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang (di antara) kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan (agama) dengan kamu. Jika kamu dalam perjalanan di bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian, hendaklah kamu tahan kedua saksi itu setelah salat, agar keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu, “Demi Allah kami tidak akan mengambil keuntungan dengan sumpah ini, walaupun dia karib kerabat, dan kami tidak menyembunyikan kesaksian Allah; sesungguhnya jika demikian tentu kami termasuk orang-orang yang berdosa.” (QS. al-Maidah/5:106)[31]
Dalam riwayat dikemukakan, asbāb al-nuzūl ayat di atas adalah karena dua orang Nasrani bernama Tamim al-Dairi dan Adi bin Bada sering pulang pergi ke Syam berdagang sebelum mereka masuk Islam. Ikut bersama mereka seorang maula dari Bani Salim yang bernama Badil bin Abi Maryam yang juga membawa dagangan serta membawa bejana yang dibuat dari perak. Di perjalanan Badil bin Abi Maryam sakit dan ia berwasiat kepada kedua orang itu agar harta pusakanya disampaikan kepada ahli warisnya. Namun mereka tidak melaksanakan amanah tersebut.
Setelah Tamim masuk Islam, ia merasa berdosa dari perbuatannya, lalu mendatangi ahli waris Badil dan mengaku serta menyerahkan uang sebanyak lima ratus dirham dan sisanya lima ratus dirham ada pada kawannya (Adi bin Bada).
Maka berangkatlah ahli warisnya itu beserta Adi menghadap Nabi. Lalu Nabi minta bukti-bukti tuduhan terhadap Adi, tetapi mereka tidak dapat memenuhinya. Kemudian Nabi menyuruh mereka menyumpah Adi dan ia pun bersumpah, maka turunlah ayat ini.[32]
Pada ayat sebelumnya, Allah mengingatkan bahwa kepada- Nyalah tempat kembali dan pada hari kiamat akan ada penghisaban/perhitungan dan pembalasan atas amal. Ayat ini Allah memberikan petunjuk supaya berwasiat sebelum meninggal dan harus diadakan persaksian terhadap wasiat itu, sehingga tidak hilang dari orang yang berhak menerimanya.
Kata-kata minkum pada ayat di atas menurut al-Maraghi berarti di antara kaum mukminin atau kesaksian dua orang lainnya bukan dari kaum muslimin, jika kalian dalam keadaan bepergian, lalu terkena bahaya dan melihat tanda-tanda kematian kalian, sedang kalian ingin berwasiat. Tidak diragukan lagi, di dalam ayat ini tersirat anjuran untuk menguatkan wasiat dan memberikan kesaksian terhadapnya.[33]
Ayat ini mengandung hukum yang sangat berharga. Ada pendapat bahwa hukum ayat ini mansukh, tetapi kebanyakan ulama berpendapat bahwa hukum ini tetap muhkam, karena jika itu ada yang berpendapat mansukh harus menjelaskan buktinya, demikian pendapat Ibnu Jarir.[34]
Ibnu Zaid sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan adanya seseorang yang akan meninggal dunia sementara di sampingnya tidak ada orang Islam. Sementara Ibnu Mas’ud ketika ditanya mengenai ayat ini mengatakan bahwa ayat itu mengenai seorang musafir membawa hartanya tiba-tiba akan mati, maka jika mendapatkan dua orang muslim, diserahkan kepadanya hartanya dan dipersaksikan oleh kedua orang yang adil dari kaum muslimin.[35]
      Surah al-Taubah: 50
إِن تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ ۖ وَإِن تُصِبْكَ مُصِيبَةٌ يَقُولُوا۟ قَدْ أَخَذْنَآ أَمْرَنَا مِن قَبْلُ وَيَتَوَلَّوا۟ وَّهُمْ فَرِحُونَ

Terjemahnya:

Jika engkau (Muhammad) mendapat kebaikan, mereka tidak senang; tetapi jika engkau ditimpa bencana, mereka berkata, “Sungguh, sejak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi berperang),” dan mereka berpaling dengan (perasaan) gembira. (QS. al-Taubah/9: 50)[36]
Menurut al-Maraghi kebaikan adalah sesuatu yang apabila tercapai akan menyenangkan jiwa, seperti harta rampasan perang, dan kemenangan, sebagaimana yang diperoleh dalam perang Badar. Hal itu membuat orang-orang kafir berduka cita, karena sangat dengki dan benci kepada umat Islam. Jika ditimpa kesusahan seperti bercerai-berainya pasukan sebagaimana terjadi dalam perang Uhud, maka dengan membanggakan pikiran dan memuji perbuatannya, mereka berkata “Kami telah mendapatkan kepentingan kami dengan memerintahkan supaya berhati-hati, yang merupakan kebiasaan kami ketika kami tidak turut berperang dan tidak menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan”. Mereka meninggalkan tempat ketika kata-kata itu dilontarkan, dengan rasa gembira di atas penderitaan orang lain.[37]
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Jabir bin Abdullah bahwa kaum munafik yang menyelusup ke Madinah menyebarkan berita buruk tentang Nabi dan para sahabatnya. Mereka mengatakan bahkan kaum mukminin mendapatkan kesusahan dalam perjalanannya dan binasa. Namun kemudian sampai berita tentang kedustaan berita mereka dan selamatnya Nabi beserta para sahabat. Akhirnya mereka menerima akibat yang buruk, lalu Allah menurunkan ayat ini.[38]
Allah memberitahu Nabi Muhammad tentang rasa dengki dan permusuhan orang-orang munafik terhadap dirinya, sehingga bila Nabi mendapat kebaikan dan karunia seperti kemenangan dalam suatu peperangan, maka mereka tidak senang dan merasa jengkel. Tetapi sebaliknya bila ditimpa muşībah dan hal-hal yang buruk seperti kekalahan dalam suatu peperangan, mereka menyambut peristiwa itu dengan suka ria dan gembira. Allah memberi petunjuk bagaimana menghadapi sikap kaum munafik dan memerintahkan agar Nabi menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka itu dengan mengatakan “Sekali-kali tidak ada sesuatu yang akan menimpa diri kami selain apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah. Dialah pelindung kami dan hanya kepada-Nya kami dan orang-orang mukmin bertawakal.[39]
Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas dengan mengutip pendapat al- Biqa’i. Ayat ini merupakan penjelasan mengapa neraka jahannam meliputi mereka. Apapun hubungan yang dipilih yang jelas adalah hati kecil mereka tidak senang jika Nabi menang dalam peperangan bahkan jika suatu kebaikan menimpa Muhammad, mereka tidak senang karena adanya kedengkian dalam jiwa mereka.
Dan jika suatu bencana menimpa seperti ketika terjadi perang Uhud, mereka berkata: “Sesungguhnya kami, sebelum jatuhnya muşībah ini telah mengambil ancang-ancang menyangkut urusan kami sehingga kami tidak taat kepadanya dan tidak mengikutinya pergi berperang. Dan mereka terus menerus berpaling menuju tempat mereka dalam keadaan gembira, akibat muşībah yang menimpa Nabi serta keterhindaran mereka.[40]
Berdasarkan uraian dari beberapa ayat tersebut dapat dipahami bahwa muşībah dibedakan menjadi dua bentuk, yakni berupa kebaikan dan keburukan. Sedangkan muşībah dalam bentuk keburukan menurut ayat-ayat di atas dapat diuraikan ke dalam beberapa hal sebagai berikut:
a)      Muşībah dalam bentuk rasa ketakutan
b)      Muşībah dalam bentuk kelaparan
c)      Muşībah dalam bentuk kekurangan harta
d)     Muşībah dalam bentuk kekurangan buah-buahan
e)      Muşībah dalam bentuk kekalahan dalam perang
f)       Muşībah dalam bentuk kematian, dan
g)      Muşībah dalam bentuk azab sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Maragi dalam memaknai lafal muşībah dalam surah al-Qaşaş ayat 47.
b.      Alasan-alasan mengapa terjadi muşībah
      Surat al-Hadid: 22

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ
Terjemahnya:

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. al-Hadid/57: 22)[41]
Ibnu Katsir mengutip riwayat dari Ibnu Jarir al-Thabari dari Ya’qub dari Ibnu ‘Aliyah dari Manshur bin Abdurrahman, dia berkata: “Saya duduk bersama Hasan, ketika Hasan ditanya oleh seseorang tentang ayat di atas, maka Hasan menjawab, bahwa siapakah yang ragu tentang hal ini, bahwa tiap kejadian muşībah yang terjadi diantara langit dan bumi semua telah ditentukan sebelumnya oleh Allah. Apakah muşībah itu berupa kekurangan hasil makanan, tanaman atau yang menimpa manusia pada dirinya dan keluarganya. Dalam hadis diterangkan Tiada seseorang yang ditimpa muşībah terkena duri, terkilir, atau sakit di dalam urat melainkan semua itu disebabkan oleh dosa yang dilakukannya, sedang yang dimaafkan oleh Allah jauh lebih banyak.[42]
Al-Maraghi menafsirkan ayat di atas bahwa setelah Allah menerangkan bahwa kenikmatan dunia ini akan sirna dan binasa dan kebaikan maupun keburukan yang ada padanya tidaklah kekal, maka dilanjutkan dengan menyatakan remehnya muşībah-muşībah yang menimpa orang-orang mukmin.
Karena muşībah-muşībah itu merupakan kebahagiaan dan ketentraman jiwa mereka. Tanpa muşībah tersebut, maka mereka akan mengalami kesengsaraan dan penderitaan. Oleh karena itu, tidak sepatutnya mereka bersedih atas apa yang luput dari mereka dan tidak perlu bersenang-senang dengan kelezatan dunia yang fana ini.[43]
Menurut Quraisy Shihab, ayat di atas mengingatkan agar manusia jangan terlalu risau dengan apa yang mungkin dibisikan syaithan menyangkut dampak negatif dari berinfak dan berjuang. Muşībah sebenarnya mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik positif maupun negatif, baik anugerah maupun bencana. Tetapi kata tersebut populer digunakan untuk makna bencana. Bahkan Quraisy Shihab mengatakan ayat diatas bisa saja dipahami dalam pengertian umum yakni selain bencana, karena memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[44]
      Surah al-Nisa: 62
فَكَيْفَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌۢ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَآءُوكَ يَحْلِفُونَ بِٱللَّهِ إِنْ أَرَدْنَآ إِلَّآ إِحْسَٰنًا وَتَوْفِيقًا

Terjemahnya:

Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian.”. (QS. al-Nisa/4: 62)[45]
Menurut riwayat al-Tabrani dari Ibnu Abbas, asbāb al-nuzūl ayat ini adalah karena ada seorang pendeta Yahudi yang bernama Abu Barzah al-Aslami menjadi hakim, untuk memberi keputusan pada hal-hal yang dipersengketakan, dan didatangi pula oleh orang-orang musyrikin untuk menyelesaikan masalah yang menjadi persengketaan, maka turunlah ayat ini.[46] Al-Maraghi menafsirkan bahwa ayat di atas menggambarkan bagaimana keadaan orang munafik yang menjadikan hakim selain Nabi dengan alasan untuk kebaikan di dalam mu’amalah dan tercapainya kesepakatan antara mereka dengan musuh-musuhnya dengan cara mengambil manfaat. Namun ketika mereka tertimpa muşībah, mereka kembali menjadikan Nabi sebagai hakim mereka padahal mereka hanya menipu.[47]
Ibnu Katsir lebih tegas mengatakan bahwa Allah mencela orang-orang munafik. Mereka terpaksa datang kepadamu, disebabkan muşībah yang menimpa mereka, akibat dosa-dosa mereka dan mereka bersumpah untuk membenarkan tindakan mereka berhakim kepada thaghut. Namun mereka sebenarnya melakukan itu bukan dari hati mereka dan bukan karena percaya akan kebenaran hakim-hakim, tetapi hanya sekedar berpura-pura.[48] Sedangkan menurut Quraisy Shihab, ayat ini merupakan gambaran tentang sifat dari orang munafik ketika mereka ditimpa muşībah dan dapat juga dipahami dalam arti ancaman terhadap mereka saat bencana menimpa.[49]
      Surat al-Taghabun: 11
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

Terjemahnya:

Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Taghabun/64: 11)[50]
Menurut al-Maraghi, muşībah adalah sesuatu yang mengenai dan menimpa manusia berupa kebaikan dan keburukan. Dan diharapkan bagi manusia untuk bersungguh-sungguh dan bekerja, kemudian ia tidak perlu menghiraukan apa yang dilakukan terhadap dirinya, karena dia tahu bahwa yang demikian itu di luar kesanggupannya, tidak akan menyulitkan dan tidak akan menyusahkannya. Orang mukmin mempunyai dua kewajiban, pertama berusaha dan mencurahkan tenaga untuk mendatangkan kebaikan dan menolak bencana semampunya. Kedua, bertawakkal kepada Allah, karena yakin bahwa segala sesuatu itu terjadi menurut qadha dan qadar-Nya. Sehingga tidak bersedih dan susah jika terjadi keburukan dan tidak pula berkepanjangan dalam kesenangan jika terjadi kebaikan.[51]
Dalam ayat ini Ibnu Katsir berpendapat bahwa Allah menyatakan tiada sesuatu yang terjadi di alam ini melainkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah. Siapa yang beriman kepada Allah pasti rela pada putusan Allah. Dengan iman itulah hati akan mendapatkan ketenangan, karena ia telah yakin bahwa yang dikehendaki tidak akan terjadi.[52] Dalam riwayat Muslim, Nabi bersabda:

Sungguh mengagumkan keadaan mukmin itu karena semuanya mengandung kebaikan, apabila ia mendapat kenikmatan, maka ia bersyukur dan hal itu baik baginya dan apabila ditimpa kesengsaraan, maka ia bersabar dan itu baik pula baginya”.[53]
Dalam Tafsir al-Razi ada beberapa pendapat ulama tentang maksud dari lafaz قلبه یھد pada ayat tersebut. Ibnu Abbas menafsirkan potongan ayat tersebut dengan menyelamatkan karena perintah Allah. Para ulama ahl al-ma’āni mengartikannya dengan bersyukur ketika mendapatkan kelapangan dan bersabar ketika terkena muşībah. Sedangkan al-Zujaj memaknainya dengan ketenangan.[54] Pendapat lain mengatakan makna قلبه یھد adalah istirjā’ kepada Allah ketika ditimpa muşībah, sedangkan menurut Mujahid adalah dengan bersabar.[55]
Sebelum ayat di atas, Allah berfirman mengancam kaum kafir dengan siksa neraka. Menurut Quraisy Shihab, para ulama berpendapat bahwa ketika itu kaum musyrikin berkata: “Jika kaum muslimin berada dalam kebenaran tentu Allah tidak akan menjatuhkan bencana atas mereka, termasuk bencana yang terjadi melalui upaya kaum musyrikin. Untuk menyingkirkan keresahan itu, ayat di atas menyatakan bahwa seseorang tidak menimpa satu muşībah pun berkaitan urusan dunia atau agama kecuali atas izin Allah. Siapa yang kufur kepada Allah, maka dia akan membiarkan hatinya dalam kesesatan dan siapa yang beriman kepada Allah dan percaya bahwa tidak ada yang terjadi kecuali atas izin-Nya.
Sehingga ia akan semakin percaya, serta tabah dan rela atas muşībah yang menimpanya sambil mencari sebab-sebabnya dan semakin meningkat pula amal baiknya. Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, karena itu hendaklah manusia bersabar menghadapi aneka cobaan serta lakukan introspeksi dan taat kepada Allah di setiap tempat dan waktu dan taat kepada Rasul dalam segala hal yang diperintahkan.[56]
      Surah al-Qaşaş: 47
 وَلَوْلَآ أَن تُصِيبَهُم مُّصِيبَةٌۢ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَيَقُولُوا۟ رَبَّنَا لَوْلَآ أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ ءَايَٰتِكَ وَنَكُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ

Terjemahnya:

Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang rasul kepada kami, agar kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan termasuk orang mukmin.”. (QS al-Qaşaş /28: 47).[57]
Al-Maraghi memaknai muşībah pada ayat di atas dengan azab, baik di dunia maupun di akhirat. Pada ayat di atas, al-Maraghi menjelaskan tentang pengutusan Rasul kepada orang-orang kafir, untuk mematahkan alasan mereka, sehingga apabila siksaan Allah datang, mereka tidak akan mendapatkan hujjah lagi.
Sebelum Allah mengutus Nabi, orang-orang kafir ketika ditimpa azab berdalih dengan tidak diutusnya seorang rasul untuk diikuti dan diimani. Kesimpulan dari penafsiran al-Maraghi terhadap ayat di atas adalah Allah telah mengutus Nabi kepada manusia dan Allah tidak menyiksa seorang hambapun kecuali setelah Allah menyempurnakan penjelasan dan hujjah serta mengutus para rasul.[58]
Adapun Ibnu Katsir menafsirkan Allah berfirman untuk menerangkan salah satu bukti kebenaran risalah Muhammad. Bahwa ia dapat menceritakan hal-hal ghaib dan kisah-kisah umat terdahulu, padahal Nabi tidak pernah meninggalkan jazirah Arab dan menyaksikan dengan langsung apa yang diceritakan dan kabarkan. Di samping itu, ia seorang ummi yang tidak dapat menulis dan membaca, lahir dan dibesarkan di tengah bangsa yang demikian keadaannya.[59]
Menurut Quraisy Shihab, kata muşībah dapat mencakup muşībah duniawi dan ukhrawi, sedangkan kalimat bimā qaddamat aidīhim (disebabkan apa yang mereka kerjakan), dapat mencakup amal batin seperti keyakinan yang batil atau penyakit-penyakit hati lainnya seperti iri hati, takabur dan lain-lain dan dapat juga mencakup amal lahiriah berupa aneka kedurhakaan seperti permusuhan, korupsi, perzinahan dan lain-lain.[60] Para ulama menurut Quraisy Syihab memahami kata muşībah pada ayat ini dalam arti siksa duniawi.[61]
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa muşībah yang Allah timpakan kepada manusia tidak lain karena merupakan suatu hal yang sudah menjadi ketetapan dari Allah swt. sebagai bentuk dari qaḍa-Nya sedangkan muşībah yang terjadi akibat dari ulah manusia itu sendiri sebagai bentuk dari qadar-Nya.
Dengan demikian, konsep qaḍa dan qadar dalam hal ini mengandung makna bahwa manusia sebagai satu-satunya ciptaan Allah yang dibekali akal pikiran diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan dalam menjalani kehidupannya di muka bumi. Oleh karena itu ketetapan-ketetapan yang sudah ditentukan oleh Allah swt. sebelumnya dapat terlaksana jika sejalan dengan pilihan yang diambil oleh manusia itu sendiri. 
c.       Cara menyikapi muşībah
 Surat al-Baqarah: 156
ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ

Terjemahnya:

(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). (QS. al-Baqarah: 156)[62]
Menurut al-Maraghi, muşībah adalah semua peristiwa yang menyedihkan seperti meninggalkan seseorang yang dikasihi, kehilangan harta benda atau penyakit yang menimpa baik ringan atau berat. Ketika ditimpa cobaan, hendaklah bersabar dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yakni orang-orang yang mengatakan perkataan tersebut sebagai ungkapan rasa iman dengan kodrat kepastian Allah. Sabar bukannya bertentangan dengan perasaan sedih ketika datang suatu muşībah. Sebab perasaan sedih ini merupakan perasaan halus yang ada secara fitri pada diri manusia normal.[63]
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas, mengutip beberapa hadis Nabi. Hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, ia berkata “Pada suatu hari Abu Salamah pulang ke rumah dari majlis Nabi dan berkata “Aku mendengar Nabi bersabda yang sangat menyenangkan hatiku: “Tiada seorang muslim yang ditimpa muşībah, kemudian ia membaca “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn”, lalu membaca “Ya Allah berilah pahala bagiku dalam muşībahku ini dan gantikanlah untukku yang lebih baik darinya, melainkan akan diganti oleh Allah”.[64]
Menurut al-Razi makna انا للّه pada ayat di atas adalah adanya keikhlasan menerima segala sesuatu yang diturunkan oleh Allah dari semua cobaan dan ujian, sedangkan makna  وإنا إليه راجعونadalah adanya keikhlasan menerima segala sesuatu berupa cobaan dan ujian yang akan terjadi kemudian dengan harapan mendapatkan pahala dari Allah.[65] Al-Razi juga mengutip beberapa hadis Nabi dalam menafsirkan ayat di atas, diantaranya adalah Nabi bersabda “Barangsiapa mengembalikan kepasrahan ketika terkena muşībah, maka Allah akan menggantinya, menjadikannya baik akibatnya dan menjadikan orang yang saleh yang diridhai Allah”.
 Surat al-Hadid: 23

لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ
Terjemahnya:

Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri,[66]
Pada ayat ini Allah swt menyatakan bahwa semua peristiwa itu ditetapkan sebelum terjadinya, agar manusia bersabar menerima cobaan Allah. Cobaan Allah itu adakalanya berupa kesengsaraan dan malapetaka, adakalanya berupa kesenangan dan kegembiraan. Karena itu janganlah terlalu bersedih hati menerima kesengsaraan dan malapetaka yang menimpa diri, sebaliknya jangan pula terlalu bersenang hati dan bergembira menerima sesuatu yang menyenangkan hati. Sikap yang paling baik ialah sabar dalam menerima bencana dan malapetaka yang menimpa serta bersyukur kepada Allah atas setiap menerima nikmat yang dianugerahkan-Nya. Ayat ini bukan untuk melarang kaum Muslimin bergembira dan bersedih hati, tetapi maksudnya ialah melarang kaum Muslimin bergembira dan bersedih hati dengan berlebih-lebihan. 'Ikrimah berkata, "Tidak ada seorang pun melainkan ia dalam keadaan sedih dan gembira, tetapi hendaklah ia menjadikan kegembiraan itu sebagai tanda bersyukur kepada Allah dan kesedihan itu sebagai tanda bersabar." Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa orang yang terlalu bergembira menerima sesuatu yang menyenangkan hatinya dan terlalu bersedih hati menerima bencana yang menimpanya adalah orang yang pada dirinya terdapat tanda-tanda tabkhil dan angkuh, seakan-akan ia hanya memikirkan kepentingan dirinya saja. Allah swt menyatakan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang mempunyai sifat-sifat bakhil dan angkuh.[67]
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa sebagai manusia, kita dituntut untuk senantiasa bersabar, ikhlas dan berserah diri kepada-Nya tatkala kita ditimpa muşībah dan senantiasa bersyukur atas segala kebaikan yang Allah berikan sebagai tanda kesyukuran kita kepada-Nya. Oleh karena itu janganlah terlalu bersedih hati ketika ditimpa kesengsaraan dan malapetaka, sebaliknya jangan pula terlalu bersenang hati dan bergembira tatkala menerima sesuatu yang menyenangkan hati. Adapun sikap yang paling baik ialah sabar dalam menerima muşībah yang menimpa serta bersyukur kepada Allah atas setiap nikmat yang dianugerahkan-Nya.
d.      Hikmah dari Adanya Muşībah
QS al-Syura: 30
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ

Terjemahnya:

Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. al-Syura/42: 30)[68]
Al-Maraghi menafsirkan bahwa muşībah-muşībah di dunia yang menimpa manusia tidak lain sebagai hukuman atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Namun Allah memaafkan manusia atas kejahatan yang telah di lakukan dengan tidak menghukum atas semua kejahatan-kejahatan tersebut. Allah menjadikan dosa sebagai sebab-sebab yang menghasilkan akibat. Misalnya peminum khamar akan ditimpa banyak penyakit jasmani maupun akal di dunia, penyakit itu merupakan salah satu bekas dari dosa yang dilakukan. Namun hukuman yang menimpa individu-individu di dunia ini tidaklah bersifat umum. Karena sering pula seorang pemabuk yang kecanduan, ternyata tidak ditimpa satu penyakit pun akibat perbuatan. Sering juga didapatkan seorang pedagang berkhianat, ternyata tidak ditimpa kerugian dalam perdagangannya. Dalam keadaan demikian, maka hukuman bagi masing-masing dari keduanya ditangguhkan sampai hari hisab. Al-Maraghi selanjutnya menafsirkan ayat di atas dengan mengutip salah satu hadis Nabi. Menurut satu riwayat, Nabi bersabda kepada Ali bin Abi Thalib,

“Dan aku akan tafsirkan ayat ini (QS. al-Syura: 30) kepadamu wahai Ali: Apapun yang menimpamu baik itu penyakit, suatu hukuman atau suatu bencana di dunia, maka adalah dikarenakan perbuatan yang telah dilakukan oleh tangan-tanganmu.
Sedang Allah terlalu mulia untuk mengulangi hukuman terhadapmu di akhirat. Sedangkan apa yang telah dimaafkan oleh Allah di dunia ini, maka Allah terlalu mulia untuk mengulangi setelah dia memaafkan”.[69]
Sementara Ibnu Katsir menafsirkan bahwa muşībah dan bala yang menimpa manusia adalah akibat dari manusia sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.[70] Adapun Imam al-Razi mengatakan bahwa yang dimaksud muşībah pada ayat di atas adalah semua kejadian yang tidak disukai seperti sakit, paceklik, banjir, dan kesusahan lainnya.[71]
Menurut al-Razi, para ulama berbeda pendapat tentang muşībah manusia, apakah muşībah yang terjadi di dunia akibat perbuatan dosa-dosa yang telah lalu? Kelompok pertama mengatakan, bahwa Allah akan membalas amal perbuatan manusia pada yaum al-jazā atau hari pembalasan, sebagaimana firman Allah  اليوم تجزى كل نفس بما كسبت dan مالك یوم الدین . Dengan demikian, menurut kelompok ini muşībah yang menimpa manusia di dunia ini bukan akibat dosa manusia.
Kelompok kedua berpendapat, muşībah di dunia dapat menimpa siapa saja baik orang zindiq atau orang yang telah berbuat baik. Bahkan menurut kelompok ini, terkadang orang saleh dan bertakwa lebih banyak mendapat muşībah dibandingkan orang yang berdosa. Dengan demikian kelompok kedua ini sependapat dengan kelompok yang pertama bahwa muşībah yang terjadi di dunia bukan akibat perbuatan dosa dan bukan sebagai siksaan di dunia.
Sedangkan kelompok ketiga berpendapat bahwa dunia sebagai tempat pembebanan (dīr al-taklīf) dan juga pembalasan (dār al-jazā’). Namun ketika ada yang mengatakan bahwa muşībah di dunia ini sebagai pembalasan akibat dosa yang telah lalu, maka hal ini berdasarkan hadis Nabi “Tidak akan ditimpa muşībah seseorang kecuali karena berdosa”. Jadi muşībah yang menimpa bagi para nabi dan para wali itu bukan berarti siksaan, melainkan ujian dari Allah. Dengan demikian, muşībah itu hanya menimpa manusia yang sudah dewasa, tidak termasuk binatang atau anak kecil karena mereka tidak kena beban syari’at.[72]
Sedangkan menurut al-Zamakhsyari, ayat di atas dikhususkan bagi orang yang berdosa, karena terjadinya muşībah akibat dari perbuatan orang-orang yang berdosa. Adapun orang yang tidak berdosa seperti para nabi, anak-anak dan bayi yang masih dalam kandungan, apabila mereka tertimpa muşībah maka hal itu sebagai pengganti dari ke-Maha-Pemaafnya Allah dan kemaslahatan bagi mereka.[73]
Quraisy Shihab mengatakan muşībah yang menimpa manusia kapan dan dimana pun terjadinya, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri yakni dosa dan kemaksiatan yang telah dilakukan, paling tidak disebabkan oleh kecerobohan atau ketidakhati-hatian. Muşībah yang dialami manusia hanyalah akibat sebagian kesalahan manusia, karena Allah tetap melimpahkan rahmat-Nya kepada manusia dan Allah memaafkan banyak kesalahan manusia. Sehingga kesalahan itu tidak mengakibatkan muşībah atas diri manusia. Seandainya pemaafan itu tidak dilakukan-Nya, maka pasti manusia semua binasa bahkan tidak akan ada satu binatang melata pun di muka bumi ini.[74]
Menurut Quraisy Shihab, walaupun ayat di atas dari segi konteksnya tertuju pada kaum musyrik Makkah, tetapi dari segi kandungannya tertuju kepada seluruh manusia baik perorangan maupun kolektif, kapan dan dimana pun, baik mukmin atau pun kafir.[75] Lebih lanjut Quraisy Shihab mengatakan bahwa ayat ini menggaris-bawahi adanya muşībah atau hal-hal negatif yang dijatuhkan Allah menimpa manusia dalam kehidupan dunia ini sebagai sanksi atas pelanggaran mereka. Namun demikian bisa saja ada pelanggaran yang ditangguhkan sanksinya di akhirat nanti. Sebagaimana ada juga yang dicukupkan di dunia dan ada yang ganjarannya di terima di dunia sebagai muqaddimah dari sanksi ukhrawi.
Di akhir ayat di atas, Allah berfirman ویعفوعن كثیر berarti Allah memaafkan banyak kedurhakaan, sehingga tidak dijatuhkan sanksi duniawi. Pemaafan ini berkaitan dengan kehidupan duniawi. Itu sebabnya sekian banyak yang melakukan pelanggaran masih hidup nyaman dan terlihat bahagia. Mereka itulah yang dimaafkan, yakni yang ditangguhkan Allah siksanya dalam kehidupan dunia ini. Bisa juga pemaafan ini mencakup pemaafan duniawi dan ukhrawi.[76]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa muşībah merupakan salah satu sarana agar Allah dapat mengampuni dosa-dosa manusia. Adapun menurut Muhammad Yusuf ada lima kelebihan bagi orang yang ditimpa muşībah yaitu dapat mengangkat derajatnya, menghapus keburukan, ditanamkan jiwa yang ikhlas, mendidik muslim supaya gigih dalam berdakwah dan mendapatkan syurga.[77]
Dalil-dalil yang menyebutkan tentang diangkatnya derajat manusia yaitu QS. al-An’am: 165, Allah berfirman:
وَهُوَ ٱلَّذِى جَعَلَكُمْ خَلَٰٓئِفَ ٱلْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ ءَاتَىٰكُمْ ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلْعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌۢ

Terjemahnya:

Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS al-An’am/6: 165)[78]
Al-Razi menafsirkan lafaz  رفع بعضكم فوق بعض درجتyaitu dimaknai dengan kemuliaan, akal, harta, jabatan dan rizki. Kesemuanya itu tidak ada gunanya jika manusia lemah, bodoh dan pelit karena pada intinya apa yang dianugerahkan Allah itu merupakan ujian bagi manusia.[79] Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah, Nabi bersabda: “Tidak ada yang menimpa seorang mukmin yang tertusuk duri atau yang lebih dari itu, kecuali dinaikkan derajatnya oleh Allah dan dihapus kesalahan-kesalahannya.[80] Kelebihan lain yaitu menghapus keburukan manusia, hal ini sesuai dengan sabda Nabi, “Tidak ada satu cobaan yang menimpa muslim, seperti sakit, kesusahan, kesedihan, kecemasan, sekalipun muşībah itu hanya tertusuk duri, melainkan Allah menghapus dosa-dosanya.[81]
Kelebihan selanjutnya adalah merupakan penyebab masuk syurga, berdasarkan firman Allah:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم ۖ مَّسَّتْهُمُ ٱلْبَأْسَآءُ وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلْزِلُوا۟ حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصْرُ ٱللَّهِ ۗ أَلَآ إِنَّ نَصْرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ

Terjemahnya:

Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. (QS. al-Baqarah/2: 214).[82]
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa balasan Allah akan diberikan kepada manusia yang lulus dalam menghadapi muşībah adalah memperoleh kasih sayang, rahmat dan hidayah Allah. Maka dari itu, sebagai orang yang beriman sudah menjadi kewajiban untuk menyadari bahwa muşībah adalah segala sesuatu yang menimpa pada diri baik berupa kesenangan ataupun kesusahan. Muşībah bisa saja terjadi pada setiap orang, terlepas dari dia saleh atau tidak, muslim atau tidak, tua atau muda. Muşībah bisa datang kapan dan dimana saja, tidak ada manusia yang bebas dari muşībah, karena semua berjalan sesuai ketentuan Allah swt. Dengan muşībah, Allah swt hendak menguji siapa yang paling baik amalnya. Karena muşībah bukan sekedar peristiwa alamiah biasa tetapi juga merupakan peringatan untuk kembali kepada Allah swt.
C.    Penutup
1.      Kesimpulan
a.  Muşībah merupakan segala sesuatu yang ditimpakan Allah kepada manusia, baik berupa keburukan maupun kebaikan, tetapi pada umumnya lafal muşībah lebih cenderung dimaknai sebagai hal-hal yang mendatangkan kesedihan dan kepedihan.
b.  Sikap yang paling baik dalam menghadapi muşībah dalam bentuk keburukan ialah dengan bersabar dan tidak terlalu bersedih hati. Sedangkan sikap yang paling baik tatkala diberikan anugrah yakni dengan cara bersyukur dan tidak terlalu bersenang hati yang dapat mengarahkan manusia kepada sikap angkuh dan sombong. Dengan selalu mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.
c.   Hikmah dari muşībah yang Allah timpakan kepada manusia ialah sebagai sarana agar manusia senantiasa lebih mendekatkan diri kepada-Nya dan dengannya pula Allah menghapus dosa-dosa mereka yang senantiasa bersabar dalam menghadapi ujian dan cobaan yang dihadapinya.

Daftar Pustaka

Adib Bisri, Munawwir AF, Kamus Al-Bisri, .Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.
al-Maragi, Ahmad bin Mustafa, Tafsir al-Maragi, .Cet. I; Misr: Maktabah Mustafa al-Babi, 1946.
Ahmmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir. Cet. IV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. 800.
Ainur Rozon, Penafsiran Ayat-Ayat Muşībah Dalam Al-Qur’an (Studi Analisis Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir al-Mishbah) “Skripsi .Semarang: Fak. Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo, 2015.
Al-Andalusi, Muhammad bin Yusuf al-Syahir bi al-Hayyan. Al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir. Beirut: Dar al Fikr, tt.
Al-Ashfahani, Raghib. Mu’jam Mufradat al fazh al Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Al-Baidawi, Nasir al-Din Abu Sa’id ‘Abdillah bin ‘Umar bin Muhammad al-Syirazi. Anwar al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil. Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1418.
al-Baqi, Fu’ad ‘Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, Bairut: Dar al-Fikr, 1981.
al-Hambali, Muhammad al-Manjibi. Menghadapi Muşībah Kematian, Penerjemah Muhammad Suhadi .Jakarta: Hikmah, 2007.
Al-Nisaburi, Abu Husain Muslim bin Hajjaj al Qusyairi. Shahih Muslim. t.tp: Dar al-Ihya wa al-Kutub al-Arabiyah, tt.
Al-Qurtubi,  Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an, Juz II, Cet. 1 ,Beirut: Muassasah Risalah, 2006.
Al-Razi, Muhammad Fakhruddin. Tafsir al-Razi. Beirut: Dar al Fikr, tt.
Al-Wahidi, Abi Hasan Ali bin Ahmad. Asbab al-Nuzul. Beirut: al-Maktabah al-Tsaqafiyah, 1989
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1995.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia .KBBI pusat bahasa.
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, tt.
Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Madinah: Maktabah al-Ulum wa al- Hikam, 1993
Ibnu Manzhur. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Shadir, t.t.
Nurcholish, Asbabun Nuzul .Surabaya: Pustaka Anda, 1997.
Shihab, M. Quraisy. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002
Team Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Yusuf, Muhammad. Al-Insan baina al-Sarra wa al-Dadharra fi Taswir al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar al-Salam, 2002.




[1]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI pusat bahasa), h. 942.
[2]Ahmmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Cet.CIV; Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 800.
[3]Adib Bisri, Munawwir AF, Kamus Al-Bisri, (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 1999), h. 422.
[4]Al-Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat li Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h. 297.
[5]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan al-Arabi, Juz I, h. 534
[6]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan al-Arabi, Juz I, h. 534
[7]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan al-Arabi, Juz I, h. 536.
[8]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan al-Arabi, Juz I, h. 535.
[9]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan al-Arabi, Juz I, h. 536.
[10]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan al-Arabi, Juz I, h. 536.
[11]Abu al-Fadl Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, Lisan al-‘Arab, h. 536.
[12]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 1, Cet. 1 (Jakarta: Lentera Hati, 2000). h. 343.
[13]Al-Qurtubi,  Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an, Juz II, Cet. 1 (Beirut: Muassasah Risalah, 2006) h. 465.
[14]Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Bairut: Dar al-Fikr, 1981), h. 415-416.
[15]Al-Qurtubi,  Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an, h. 465.
[16]Hamka, Tafsir al-Azhar (Juz. XXVII; Jakarta: Pustaka Panji Mas, tt), h. 299.
[17]Ahmad bin Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Cet. I; Misr: Maktabah Mustafa al-Babi, 1946) h. 21.
[18]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Kesrasian al-Qur’an , h. 43.
[19]Nasir al-Din Abu Sa’id ‘Abdillah bin ‘Umar bin Muhammad al-Syirazi Al-Baidawi, Anwar al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil (Juz. 1; Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1418), h. 115.
[20]Muhammad al-Manjibi al-Hambali, Menghadapi Muşībah Kematian, Penerjemah Muhammad Suhadi (Jakarta: Hikmah, 2007), h. 12.
[21]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 24.
[22]M.  Quraish  Shihab,  Tafsir  Al-Misbah: Pesan-pesan  dan Keserasian  al-Qur’an,  jilid  I, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 342
[23]Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz I, (Beirut : Al-Mâktabah al-Ăshriyah, 2000) h. 343 
[24]Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz I, h. 343.
[25]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 71.
[26]Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul (Beirut: al-Maktabah al- Saqafiyah, 1989), 73; lihat juga Nurcholish, Asbabun Nuzul (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), h. 119.
[27]Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf,  jilid. 1, h. 427.
[28]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 89.
[29]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 1, h. 524.
[30]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, h. 482.
[31]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 125.
[32]Nurcholis, Asbab al-Nuzul, h. 221-222
[33]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 3, h. 39-40
[34]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, h. 113
[35]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, h. 113.
[36]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 195.
[37]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 4, h. 110.
[38]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 4, h. 110
[39]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, h. 370
[40]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 5, h. 583.
[41]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 540.
[42]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 4, h. 313-314.
[43]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 9, h. 438.
[44]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 14, h. 43.
[45]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 88.
[46]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, juz. 1, h. 519.
[47]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 2, h. 77.
[48]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, juz. 1, h. 519.
[49]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 467.
[50]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 557.
[51]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 10, h. 126-127.
[52]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 4, h. 375.
[53]Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, juz. 4 (ttp: Dar al-Ihya wa al-Kutub al-Arabiyah, tt.), h. 2295.
[54]Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 30, h. 27.
[55]Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, jil. 4, h. 537
[56]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 14, h. 274-275.
[57]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 391.
[58]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 7, h. 176.
[59]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur an al-‘Azhim, juz. 3, h. 405.
[60]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, h. 360.
[61]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, h. 360.
[62]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 24.
[63]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 1, h. 206-207.
[64]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, h. 8.
[65]Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 4, h. 2.
[66]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 540.
[67]Kemenag, Tafsir Kemenag, https://quran.kemenag.go.id/sura/57/23 (diakses tanggal 6 Juli 2020)
[68]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 486.
[69]Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 9, h. 38-40.
[70]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur an al-‘Azim, juz. 4, h. 116.
[71]Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 27, h. 173.
[72]Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 27, h. 173.
[73]Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, jil. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1995), h. 219.
[74]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mihsbah, h. 503.
[75]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 504.
[76]M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 505-505.
[77]Muhammad Yusuf, al-Insan baina al-Sarra wa al-Dharra fi Taswir al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar al-Salam, 2002), h. 127-128.
[78]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 150.
[79]Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 7, h. 31
[80]Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, juz. 2, h. 427
[81]Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, h. 428
[82]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 33.

0 komentar:

Post a Comment