TAFSIR MAUDHU'IY TENTANG MUSIBAH
By Nursalam Rahmatullah
A.
Pendahuluan
1. Latar
Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. melalui perantara malaikat Jibril, mengandung berbagai macam
sumber pengetahuan mulai dari cara penciptaan lagit, bumi, manusia bahkan
meliputi kisah-kisah umat terdahulu.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang paling utama merupakan
mukjizat terbesar nabi Muahammad saw. yang oleh para mufassir merupakan sebuah
objek penelitian yang tidak akan pernah selelsai untuk dibahas. Yang mana salah
satu obejek pembahasan para mufassir tersebut ialah ayat-ayat al-Qur’an yang
berkenaan dengan topik muşībah.
Mengingat bahwa negara kita Indonesia sedang berjuang menghadapi muşībah
wabah penyakit yang sudah tersebuar hampir ke seluruh dunia. Yang mengakibatkan
kerugian yang amat besar baik kerugian dari segi materil maupun nonmateril.
Oleh karena itu, penting untuk dikaji kembali tentang bagaimana
konsep musibah yang dijelaskan dalam al-Qur’an serta bagaimana cara menyikapi
hal tersebut.
2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang tersebut, nampak bahwa yang menjadi pokok pembahasan dalam
makalah ini ialah bagaimana konsep muşībah menurut al-Qur’an yang akan
diuraikan ke dalam beberapa sub-pembahasan sebagai berikut:
a.
Apa yang
dimaksud dengan muşībah?
b.
Bagaimana cara
menyikapi muşībah menurut al-Qur’an?
c.
Apa hikmah dari
adanya muşībah menurut al-Qur’an?
B.
Pembahasan
1. Term
Muşībah dalam al-Quran
a.
Etimologi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), muşībah diartikan
dengan 1). kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa; 2). malapetaka,
bencana.[1] Sedangkan
dalam Kamus Al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir dijelaskan
bahwa lafal itu berarti bencana atau malapetaka.[2]
Dalam Kamus Al-Bisri disebutkan bahwa lafal الصابة : المصيبة
itu berarti bencana atau muşībah.[3] Kata
muşībah berasal dari bahasa Arab, yakni muşībah ( مصيبة
) diambil dari akar kata yang terdiri dari huruf şad, wau, dan ba’ (şad-wa-ba/ص- و- ب ).
Menurut Raghib Al-Asfahani asal makna kata tersebut adalah الرمية(lemparan).[4]
Adapun derivasi bentuk beserta maknanya, antara lain sebagai berikut:
1) Şaub, inşāb, şayyib, dan şayuūb
dari perubahan kata şāba-yaşūbu (صاب- يصوب),
maka berarti turun hujan, seperti dijelaskan berikut:
Artinya:
(kata al-şaub
berarti turun hujan, keduanya berarti turun hujan, begitu juga şayyib
dan şayyūb. Sebagaimana firman Allah swt. atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan
lebat dari langit.
2) Şawāb/صواب dari
kata aşāba-yuşību ((أصاب- يصيب,
maka berarti benar
atau kebenaran, seperti dijelaskan sebagai berikut:
والصواب ضد الخطاء...وفي حديث أبي وائل كان يسأل
عن التفسير فيقول أصاب الله الذي أراد يعني أراد الله الذي أراد واصله من الصواب
وهو ضد الخطإ[6]
Artinya:
Kata şawāb / صواب adalah
lawan dari kata khaţa’/ خطإ …
dalam sebuah hadis Abi Wa’il, beliau pernah ditanya tentang penjelasan (kata
şawāb / صواب), lalu
beliau menjawab أصاب الله الذي أراد
yakni Allah swt. menghendaki yang dia
kehendaki. Pada dasarnya yang dikehendaki oleh Allah swt. adalah kebenaran.
Kebenaran itu adalah lawan dari kesalahan.
3) Muşībah/ مصيبة dari
kata aşāba-yuşību, maka
berarti bencana besar atau sesuatu yang tidak disukai
kedatangannya oleh manusia, seperti dijelaskan sebagai berikut:
Artinya:
(siapa yang
dikehendaki oleh Allah swt. untuk mendapat kebaikan, maka dia akan ditimpa muşībah
yakni diuji dengan berbagai bencana supaya Allah swt. memberikan pahala
padanya. Musîbah adalah perihal yang turunnya atau kehadirannya pada manusia
tidak disukai.)
حكاه ابن الأعرابي وأصابته مصيبة فهو مصاب
والصابة والمصيبة ما أصابك من الدهر وكذلك المصابة والمصوبة بضم الصاد والتاء
للداهية أو للمبالغة والجمع مصاوب ومصائب[8]
Artinya:
(diceritakan
oleh ibn al-A’arabiyyî, kata مصيبة muşībah adalah diambil dari أصابته مصيبة
/ aşābathu muşībah, masdarnya
bisa مصاب
/ maşābun, الصابة/ al-şābah atau
المصيبة/muşībah. (Engkau telah
ditimpa oleh bencana).
Demikian juga kata المصابة
/al-maşābah, dan المصوبة/al-maşūbah. Sedangkan
ta marbuthah (ة)
yang ada di akhir kata tersebut berfaidah untuk menegaskan sebuah bencana besar للداهية والمبالغة/al-dāhiyah al-mubālagah. Sementara jamaknya adalahمصاوب ومصائب / maşāwib atau maşāib.
Artinya:
(Al-Akhfasy
menduga bahwa kata / maşāwib sesungguhnya hamzah terdapat dalam kata
tersebut adalah ganti dari wau karena wau itu penyakit (tidak enak
diucapkannya) dalam kata مصيبة/muşībah.
وقال أحمد بن يحيى مصيبة كانت في الأصل مصوبة ومثله
أقيمواالصلاة أصله أقوموا فألقوا حركة الواو على القاف فانكسرت وقلبواالواو ياء
لكسرة القاف[10]
Artinya:
(Ahmad bin
yahya berkata, “kata مصيبة/ muşībah
asalnya adalah kata مصوبة/ maşūbah,
seperti halnya kata أقيموا الصلاة / aqimū
al-şalāta asalnya adalah أقوموا/aqwimū dirubah dengan harkat wau
dimasukan ke huruf qaf lalu dikasrahkan dan wau nya dirubah jadi ya’
karena kasrahnya qaf)
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kata muşībah berarti ibtalāhu
bi al-maşāib liyuśibahu ‘alaiha wahuwa al-amr al-makrūh yanzilu bi al-inşān [11]
(ujian yang menimpa manusia atau yang serupa atasnya, yakni segala hal yang
negatif yang datang menimpa manusia). Sementara menurut
sebagian mufassir, muşībah diartikan sebagai ujian yang berat[12]
atau segala sesuatu yang dapat melukai atau menyakiti orang yang beriman.[13]
Adapun kata muşībah dengan segala bentuknya digunakan dalam
al-Qur’an sebanyak 77 kali, yang tersebar pada 56 ayat, di 27 surah. 33 kali
dalam bentuk kata kerja lampau, 31 kali dalam bentuk kata kerja sekarang, dalam
bentukمصيب 1
kali, dalam bentuk صواب1 kali, dalam bentuk صيّب1 kali, dan 10 kali dalam bentuk مصيبة/muşībah.[14]
Untuk memperjelas bentuk-bentuk lafaz tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut:
Surah
& Ayat
|
Jumlah Lafaz
|
Bentuk Lafaz
|
No
|
QS. Hud ayat 89/ QS. Al-Rum ayat 48/ QS. Sad ayat 36/ QS.
Al-Hadid ayat 57/ QS. Al-Tagabun ayat 11
|
5
|
أصاب
|
1
|
QS. Ali Imran ayat 117
|
1
|
أصابت
|
2
|
QS. Ali Imran ayat 165/ QS. Al-Nisa ayat 72/ QS. Al-Maidah ayat
106
|
3
|
أصابتكم
|
3
|
QS. Al-Hajj ayat 11
|
1
|
أصابته
|
4
|
QS. Al-Baqarah ayat 156/ QS. Al-Nisa ayat 62
|
2
|
أصابتهم
|
5
|
QS. Al-Nisa ayat 79/ QS. Al-Nisa ayat 79/ QS. Luqman ayat 17
|
3
|
أصابك
|
6
|
QS. Ali Imran ayat 153/ QS. Ali Imran ayat 166/ QS. Al-Nisa ayat
73/ QS. Al-Syura ayat 30
|
4
|
أصابكم
|
7
|
QS. Al-Baqarah 264/ QS. Al-Baqarah 266/ QS. Al-Hajj ayat 11
|
3
|
أصابه
|
8
|
QS. Al-Baqarah ayat 265/ QS. Al-Baqarah 266
|
2
|
أصابها
|
9
|
QS. Ali Imran ayat 146/ QS. Ali Imran ayat 172/ QS. Hud ayat 81/
QS. Al-Nahl ayat 34/ QS. Al-Hajj ayat 35/ QS. Al-Zumar ayat 51/ QS. Al-Syura
ayat 39
|
7
|
أصابهم
|
10
|
QS. Ali Imran ayat 165
|
1
|
أصبتم
|
11
|
QS. Al-A’raf ayat 100
|
1
|
أصبناهم
|
12
|
QS. Al-A’raf ayat 156
|
1
|
أصيب
|
13
|
QS. Al-Taubah ayat 50/ QS. Al-Taubah ayat 50
|
2
|
تصبك
|
14
|
QS. Ali Imran ayat 120
|
1
|
تصبكم
|
15
|
QS. Al-Nisa ayat 78/ QS. Al-Nisa ayat 78/ QS. Al-A’raf ayat 131/
QS. Al-Rum ayat 36/ QS. Al-Syura ayat 48
|
5
|
تصبهم
|
16
|
QS. Al-Fath ayat 25
|
1
|
فتصيبكم
|
17
|
QS. Al-Maidah ayat 52
|
1
|
تصيبنا
|
18
|
QS. Al-Anfal ayat 25
|
1
|
تصيبنّ
|
19
|
QS. Al-Ra’d ayat 31/ QS. Al-Nur ayat 63/ QS. Al-Qashash ayat 37
|
3
|
تصيبهم
|
20
|
QS. Al-Hujrat ayat 6
|
1
|
تصيبوا
|
21
|
QS. Yusuf ayat 56
|
1
|
نصيب
|
22
|
QS. Gafir ayat 28
|
1
|
يصبكم
|
23
|
QS. Al-Baqarah ayat 265
|
1
|
يصبها
|
24
|
QS. Al-An’am ayat 124/ QS. Al-Taubah ayat 90/ QS. Yunus ayat 107/
QS. Al-Ra’d ayat 13/ QS. Al-Nur ayat 43
|
5
|
يصيب
|
25
|
QS. Al-Taubah ayat 52/ QS. Hud ayat 79
|
2
|
يصيبكم
|
26
|
QS. Al-Taubah ayat 51
|
1
|
يصيبنا
|
27
|
QS. Al-Maidah ayat 49/ QS. Al-Taubah ayat 120/ QS. Al-Nur
ayat 63/ QS. Al-Zumar ayat 51
|
4
|
يصيبهم
|
28
|
QS. Hud ayat 81
|
1
|
مصيبها
|
29
|
QS. Al-Naba ayat 38
|
1
|
صوابا
|
30
|
QS. Al-Baqarah ayat 19
|
1
|
كصيب
|
31
|
QS. Al-Baqarah ayat 152/ QS. Ali Imran ayat 165/ QS. Al-Nisa ayat
62/ QS. Al-Nisa ayat 72/ QS. Al-Maidah ayat 106/ QS. Al-Taubah ayat 50/ QS.
Al-Qashash ayat 47/ QS. Al-Syura ayat 30/ QS. Al-Hadid ayat 22/ QS.
Al-Tagabun ayat 11
|
10
|
مصيبة
|
32
|
b.
Terminologi
Pengertian muşībah secara terminologi diungkapkan oleh
beberapa ulama antara lain:
1) Al-Qurtubi
menyatakan bahwa muşībah adalah segala sesuatu yang mengganggu
orang mukmin dan menjadi bencana baginya. Muşībah ini biasanya diucapkan jika seseorang mengalami malapetaka, walaupun
malapetaka yang dirasakan itu ringan atau berat
baginya. Kata muşībah ini juga sering dipakai untuk kejadian-kejadian
yang buruk dan tidak dikehendaki.[15]
2) Hamka menyatakan bahwa muşībah adalah bencana, baik
bencana besar yang terjadi pada alam, seperti gunung
meletus, banjir, gempa bumi dan lain-lain, maupun bencana kecil
yang terjadi pada manusia seperti sakit dan tenggelam.[16]
3) Menurut Ahmad Mustafa al-Maragi menyatakan bahwa muşībah adalah
semua peristiwa yang menyedihkan, seperti meninggalkan
seseorang yang dikasihani, kehilangan harta benda atau penyakit
yang menimpa, baik ringan atau berat.[17]
4) Menurut Quraish Shihab kata muşībah tidak selalu berarti bencana,
tetapi mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik
positif maupun negatif, baik anugerah maupun bencana‛.[18]
5) Menurut Imam
al-Baidawi, muşībah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia.[19]
6) Menurut Imam
Nawawi muşībah adalah segala sesuatu yang menimpa manusia,
berupa kesedihan, kepayahan, kesusahan dan lain-lain. Allah
sedang mengangkatnya dan menghapus kesalahannya. Di dalamnya terdapat pesan tentang turunnya kebahagiaan agung bagi umat Islam
yang ditimpa muşībah. Tidak ada kabar
terindah yang mampu membahagiakan seorang muslim, kecuali terhapusnya
dosa dan kekeliruan.[20]
Jadi,
dapat dipahami bahwa muşībah merupakan segala sesuatu yang menimpa
manusia baik berupa kebaikan meupun keburukan. Tetapi pada umumnya lafal muşībah
sering disandarkan kepada hal-hal yang bersifat negatif sebagaimana beberapa
definisi muşībah yang diutarakan oleh sebagain besar ulama tafsir di
atas.
2. Klasifikasi
dan Syarah Ayat-Ayat al-Qur’an tentang Muşībah
a.
Bentuk-bentuk
muşībah
Surat
al-Baqarah: 155
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ
وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
Terjemah
:
Dan Kami pasti
akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa,
dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.[21]
Musibah
kesulitan hidup yang menjadi ujian bagi orang-orang yang beriman yang dimaksud dalam ayat
tersebut di atas adalah: Pertama, sedikit ketakutan yakni keresahan hati
menyangkut sesuatu yang buruk atau hal-hal yang tidak menyenangkan terhadap
orang lain yang diduga akan terjadi.[22] Kedua,
sedikit kelaparan karena mereka mengingkari ketetapan-ketetapan Allah. Baik
ketetapan berupa sunnahtullah yang tersebar di jagat raya maupun berita-berita
yang sudah diberikan kepada umat manusia melalui para rasul-Nya, Ketiga
kekurangan harta yakni kekhawatiran habisnya harta yang dimilki ketika
mengeluarkan zakat,[23]
kekuarangan jiwa seperti kematian sanak saudara, sahabat dan orang-orang yang
dicintai[24]
dan kekuarangan buah-buahan seperti musim paceklik.
Selanjutnya
huruf من/min
dalam ayat tersebut berfungsi sebagai bayan sekaligus tab’idh
yang dapat menunjukan bahwa ujian dalam bentuk musibah hakikatnya sedikit dibanding
dengan potensi yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka untuk memikulnya.
Demikian karena Allah swt. Maha Mengetahui dengan segala sesuatu yang terdapat
dalam diri hamba-Nya. Maka ujian yang diberikan pastilah sesuai dengan potensi
kemampuan orang yang diujinya.
Surat
Ali Imran: 165
أَوَلَمَّآ
أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ
هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ
قَدِيرٌ
Terjemahnya:
Dan mengapa
kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada Perang Uhud), padahal kamu
telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada Perang
Badar) kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu
dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu..
(QS. Ali Imran/3: 165)[25]
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Umar bin Khattab berkata bahwa
menderitanya orang-orang dalam perang Uhud akibat perbuatan mereka mengambil fida’
di Perang Badar. Pada waktu perang uhud, ada 70 sahabat yang syahid, sebahagian
lagi lari bercerai berai bahkan gigi Nabi patah, topi besinya pecah, sehingga
berlumuran darah di mukanya. Allah menurunkan ayat tersebut di atas sebagai
peringatan bahwa penderitaan tersebut akibat perbuatan mereka sendiri.[26]
Maksud muşībah pada ayat di atas adalah kekalahan pasukan
muslimin dalam perang Uhud. Muşībah itu merupakan imbalan bagi kekalahan
pasukan musyrikin dalam perang Badar yaitu 70 orang terbunuh dan 70 orang tertawan.
Allah menerangkan bahwa mereka tidak perlu mencari sebab-sebab kekalahan itu, karena
itu semuanya disebabkan kesalahan yang telah dilakukan oleh regu pemanah dengan
meninggalkan pos strategisnya, walaupun diperintahkan oleh Nabi untuk tetap
bertahan di tempat meski dalam keadaan bagaimanapun. Dalam menafsirkan ayat di
atas, Zamaksyari mengutip QS. Ali Imran: 152 yang menjelaskan tentang
sebab-sebab terjadinya kekalahan dalam perang Uhud. Allah memenuhi janjinya
ketika kaum muslimin membunuh orang-orang kafir sampai dengan kaum muslimin
mendurhakai perintah Nabi sehingga terjadi kekalahan dalam peperangan. Ada pun
firman Allah قل ھو من عند أنفسكم maksudnya bahwa
terjadinya muşībah berupa kekalahan dalam perang Uhud itu disebabkan kesalahan
kaum muslimin sendiri dengan meninggalkan pos yang ditugaskan oleh Rasulullah.[27]
Surat
al-Nisa: 72
وَإِنَّ
مِنكُمْ لَمَن لَّيُبَطِّئَنَّ فَإِنْ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَالَ قَدْ
أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَىَّ إِذْ لَمْ أَكُن مَّعَهُمْ شَهِيدًا
Terjemahnya:
Dan
sesungguhnya di antara kamu pasti ada orang yang sangat enggan (ke medan
pertempuran). Lalu jika kamu ditimpa musibah dia berkata, “Sungguh, Allah telah
memberikan nikmat kepadaku karena aku tidak ikut berperang bersama mereka.” (QS.
al-Nisa/4: 72)[28]
Dapat dipahami bahwa kata muşībah pada ayat di atas
mengandung pengertian kekalahan atau terbunuh (dikarenakan konteks ayat sesuai
dengan keadaan peperangan). Menurut Ibnu Katsir, Allah menggambarkan sikap
orang-orang munafik yang enggan ikut berperang. Bila terjadi muşībah dan
kerugian seperti jatuhnya korban dan kekalahan dalam perang yang mereka tidak
ikut, mereka berkata bahwa Allah telah memberi karunia kepada mereka dengan
tidak ikut berperang. Padahal muslim yang wafat di medan perang adalah syahid
dan disediakan bagi mereka pahala yang besar atas kesabaran dan pengorbanan mereka.
Akan tetapi jika kaum muslimin menang dan memperoleh ganīmah (harta
rampasan perang) mereka berkata “Alangkah beruntungnya andaikata kami bersama-sama,
niscaya kami akan mendapat bahagian dari kemenangan dan ganīmah yang
diperoleh itu.[29]
Quraisy Shihab mengatakan, ayat di atas menggambarkan sikap orang munafik
saat panggilan jihad, mereka melambat-lambatkan bahkan berat hati jika diajak
ke medan perang. Bahkan mendorong orang lain untuk ikut jejak mereka agar tidak
ikut berjuang karena kelemahan iman mereka. Lebih lanjut Quraisy Shihab
mengatakan ayat ini merupakan kecaman, sekaligus menggambarkan sikap aneh dari
orang-orang munafik, pada saat orang beriman gagal, mereka bersyukur pada saat
kaum muslimin berhasil, mereka sedih. Ketika itu mereka mengucapkan kata-kata
yang sebenarnya sungguh aneh, keadaan mereka dan ucapan itu sama dengan ucapan
orang yang tidak pernah ada hubungan pergaulan yang mestinya akrab, harmonis
dan penuh kasih sayang dengan orang-orang yang beriman.[30]
Surat
al-Maidah: 106
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ
بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا
عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي
الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ ۚ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ
بَعْدِ الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِي بِهِ
ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۙ وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا
إِذًا لَمِنَ الْآثِمِينَ
Terjemahnya:
Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang (di antara) kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan
oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan (agama)
dengan kamu. Jika kamu dalam perjalanan di bumi lalu kamu ditimpa bahaya
kematian, hendaklah kamu tahan kedua saksi itu setelah salat, agar keduanya
bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu, “Demi Allah kami tidak akan
mengambil keuntungan dengan sumpah ini, walaupun dia karib kerabat, dan kami
tidak menyembunyikan kesaksian Allah; sesungguhnya jika demikian tentu kami
termasuk orang-orang yang berdosa.” (QS. al-Maidah/5:106)[31]
Dalam riwayat dikemukakan, asbāb al-nuzūl ayat di atas
adalah karena dua orang Nasrani bernama Tamim al-Dairi dan Adi bin Bada sering
pulang pergi ke Syam berdagang sebelum mereka masuk Islam. Ikut bersama mereka
seorang maula dari Bani Salim yang bernama Badil bin Abi Maryam yang juga
membawa dagangan serta membawa bejana yang dibuat dari perak. Di perjalanan
Badil bin Abi Maryam sakit dan ia berwasiat kepada kedua orang itu agar harta
pusakanya disampaikan kepada ahli warisnya. Namun mereka tidak melaksanakan
amanah tersebut.
Setelah Tamim masuk Islam, ia merasa berdosa dari perbuatannya,
lalu mendatangi ahli waris Badil dan mengaku serta menyerahkan uang sebanyak
lima ratus dirham dan sisanya lima ratus dirham ada pada kawannya (Adi bin
Bada).
Maka berangkatlah ahli warisnya itu beserta Adi menghadap Nabi.
Lalu Nabi minta bukti-bukti tuduhan terhadap Adi, tetapi mereka tidak dapat
memenuhinya. Kemudian Nabi menyuruh mereka menyumpah Adi dan ia pun bersumpah,
maka turunlah ayat ini.[32]
Pada ayat sebelumnya, Allah mengingatkan bahwa kepada- Nyalah
tempat kembali dan pada hari kiamat akan ada penghisaban/perhitungan dan
pembalasan atas amal. Ayat ini Allah memberikan petunjuk supaya berwasiat sebelum
meninggal dan harus diadakan persaksian terhadap wasiat itu, sehingga tidak
hilang dari orang yang berhak menerimanya.
Kata-kata minkum pada ayat di atas menurut al-Maraghi berarti di
antara kaum mukminin atau kesaksian dua orang lainnya bukan dari kaum muslimin,
jika kalian dalam keadaan bepergian, lalu terkena bahaya dan melihat
tanda-tanda kematian kalian, sedang kalian ingin berwasiat. Tidak diragukan lagi,
di dalam ayat ini tersirat anjuran untuk menguatkan wasiat dan memberikan
kesaksian terhadapnya.[33]
Ayat ini mengandung hukum yang sangat berharga. Ada pendapat bahwa
hukum ayat ini mansukh, tetapi kebanyakan ulama berpendapat bahwa hukum ini
tetap muhkam, karena jika itu ada yang berpendapat mansukh harus menjelaskan
buktinya, demikian pendapat Ibnu Jarir.[34]
Ibnu Zaid sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir mengatakan bahwa
ayat ini diturunkan berkaitan dengan adanya seseorang yang akan meninggal dunia
sementara di sampingnya tidak ada orang Islam. Sementara Ibnu Mas’ud ketika ditanya
mengenai ayat ini mengatakan bahwa ayat itu mengenai seorang musafir membawa
hartanya tiba-tiba akan mati, maka jika mendapatkan dua orang muslim,
diserahkan kepadanya hartanya dan dipersaksikan oleh kedua orang yang adil dari
kaum muslimin.[35]
Surah
al-Taubah: 50
إِن تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ ۖ وَإِن تُصِبْكَ مُصِيبَةٌ يَقُولُوا۟
قَدْ أَخَذْنَآ أَمْرَنَا مِن قَبْلُ وَيَتَوَلَّوا۟ وَّهُمْ فَرِحُونَ
Terjemahnya:
Jika engkau (Muhammad)
mendapat kebaikan, mereka tidak senang; tetapi jika engkau ditimpa bencana,
mereka berkata, “Sungguh, sejak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi
berperang),” dan mereka berpaling dengan (perasaan) gembira. (QS. al-Taubah/9:
50)[36]
Menurut al-Maraghi kebaikan adalah sesuatu yang apabila tercapai
akan menyenangkan jiwa, seperti harta rampasan perang, dan kemenangan,
sebagaimana yang diperoleh dalam perang Badar. Hal itu membuat orang-orang
kafir berduka cita, karena sangat dengki dan benci kepada umat Islam. Jika
ditimpa kesusahan seperti bercerai-berainya pasukan sebagaimana terjadi dalam
perang Uhud, maka dengan membanggakan pikiran dan memuji perbuatannya, mereka berkata
“Kami telah mendapatkan kepentingan kami dengan memerintahkan supaya berhati-hati,
yang merupakan kebiasaan kami ketika kami tidak turut berperang dan tidak
menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan”. Mereka meninggalkan tempat ketika
kata-kata itu dilontarkan, dengan rasa gembira di atas penderitaan orang lain.[37]
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Jabir bin Abdullah bahwa kaum munafik
yang menyelusup ke Madinah menyebarkan berita buruk tentang Nabi dan para
sahabatnya. Mereka mengatakan bahkan kaum mukminin mendapatkan kesusahan dalam
perjalanannya dan binasa. Namun kemudian sampai berita tentang kedustaan berita
mereka dan selamatnya Nabi beserta para sahabat. Akhirnya mereka menerima
akibat yang buruk, lalu Allah menurunkan ayat ini.[38]
Allah memberitahu Nabi Muhammad tentang rasa dengki dan permusuhan orang-orang
munafik terhadap dirinya, sehingga bila Nabi mendapat kebaikan dan karunia
seperti kemenangan dalam suatu peperangan, maka mereka tidak senang dan merasa
jengkel. Tetapi sebaliknya bila ditimpa muşībah dan hal-hal yang buruk
seperti kekalahan dalam suatu peperangan, mereka menyambut peristiwa itu dengan
suka ria dan gembira. Allah memberi petunjuk bagaimana menghadapi sikap kaum
munafik dan memerintahkan agar Nabi menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka itu
dengan mengatakan “Sekali-kali tidak ada sesuatu yang akan menimpa diri kami
selain apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Allah. Dialah pelindung
kami dan hanya kepada-Nya kami dan orang-orang mukmin bertawakal.[39]
Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas dengan mengutip pendapat
al- Biqa’i. Ayat ini merupakan penjelasan mengapa neraka jahannam meliputi mereka.
Apapun hubungan yang dipilih yang jelas adalah hati kecil mereka tidak senang
jika Nabi menang dalam peperangan bahkan jika suatu kebaikan menimpa Muhammad,
mereka tidak senang karena adanya kedengkian dalam jiwa mereka.
Dan jika suatu bencana menimpa seperti ketika terjadi perang Uhud,
mereka berkata: “Sesungguhnya kami, sebelum jatuhnya muşībah ini telah
mengambil ancang-ancang menyangkut urusan kami sehingga kami tidak taat
kepadanya dan tidak mengikutinya pergi berperang. Dan mereka terus menerus
berpaling menuju tempat mereka dalam keadaan gembira, akibat muşībah
yang menimpa Nabi serta keterhindaran mereka.[40]
Berdasarkan uraian dari beberapa ayat tersebut dapat dipahami bahwa
muşībah dibedakan menjadi dua bentuk, yakni berupa kebaikan dan
keburukan. Sedangkan muşībah dalam bentuk keburukan menurut ayat-ayat di
atas dapat diuraikan ke dalam beberapa hal sebagai berikut:
a)
Muşībah dalam
bentuk rasa ketakutan
b)
Muşībah dalam
bentuk kelaparan
c)
Muşībah dalam
bentuk kekurangan harta
d)
Muşībah dalam
bentuk kekurangan buah-buahan
e)
Muşībah dalam
bentuk kekalahan dalam perang
f)
Muşībah dalam
bentuk kematian, dan
g)
Muşībah dalam
bentuk azab sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Maragi dalam memaknai lafal muşībah
dalam surah al-Qaşaş ayat 47.
b.
Alasan-alasan
mengapa terjadi muşībah
Surat
al-Hadid: 22
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلْأَرْضِ
وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ
ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ
Terjemahnya:
Setiap bencana
yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis
dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian
itu mudah bagi Allah. (QS. al-Hadid/57: 22)[41]
Ibnu Katsir mengutip riwayat dari Ibnu Jarir al-Thabari dari Ya’qub
dari Ibnu ‘Aliyah dari Manshur bin Abdurrahman, dia berkata: “Saya duduk
bersama Hasan, ketika Hasan ditanya oleh seseorang tentang ayat di atas, maka
Hasan menjawab, bahwa siapakah yang ragu tentang hal ini, bahwa tiap kejadian muşībah
yang terjadi diantara langit dan bumi semua telah ditentukan sebelumnya oleh
Allah. Apakah muşībah itu berupa kekurangan hasil makanan, tanaman atau yang
menimpa manusia pada dirinya dan keluarganya. Dalam hadis diterangkan “Tiada seseorang
yang ditimpa muşībah terkena duri, terkilir, atau sakit di dalam urat
melainkan semua itu disebabkan oleh dosa yang dilakukannya, sedang yang dimaafkan
oleh Allah jauh lebih banyak.[42]
Al-Maraghi menafsirkan ayat di atas bahwa setelah Allah menerangkan
bahwa kenikmatan dunia ini akan sirna dan binasa dan kebaikan maupun keburukan
yang ada padanya tidaklah kekal, maka dilanjutkan dengan menyatakan remehnya muşībah-muşībah
yang menimpa orang-orang mukmin.
Karena muşībah-muşībah itu merupakan kebahagiaan dan
ketentraman jiwa mereka. Tanpa muşībah tersebut, maka mereka akan
mengalami kesengsaraan dan penderitaan. Oleh karena itu, tidak sepatutnya
mereka bersedih atas apa yang luput dari mereka dan tidak perlu
bersenang-senang dengan kelezatan dunia yang fana ini.[43]
Menurut Quraisy Shihab, ayat di atas mengingatkan agar manusia
jangan terlalu risau dengan apa yang mungkin dibisikan syaithan menyangkut
dampak negatif dari berinfak dan berjuang. Muşībah sebenarnya mencakup
segala sesuatu yang terjadi, baik positif maupun negatif, baik anugerah maupun
bencana. Tetapi kata tersebut populer digunakan untuk makna bencana. Bahkan
Quraisy Shihab mengatakan ayat diatas bisa saja dipahami dalam pengertian umum
yakni selain bencana, karena memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[44]
Surah
al-Nisa: 62
فَكَيْفَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم
مُّصِيبَةٌۢ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَآءُوكَ يَحْلِفُونَ
بِٱللَّهِ إِنْ أَرَدْنَآ إِلَّآ إِحْسَٰنًا وَتَوْفِيقًا
Terjemahnya:
Maka bagaimana
halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan
perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil
bersumpah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan
kedamaian.”. (QS. al-Nisa/4: 62)[45]
Menurut riwayat al-Tabrani dari Ibnu Abbas, asbāb al-nuzūl
ayat ini adalah karena ada seorang pendeta Yahudi yang bernama Abu Barzah
al-Aslami menjadi hakim, untuk memberi keputusan pada hal-hal yang
dipersengketakan, dan didatangi pula oleh orang-orang musyrikin untuk
menyelesaikan masalah yang menjadi persengketaan, maka turunlah ayat ini.[46]
Al-Maraghi menafsirkan bahwa ayat di atas menggambarkan bagaimana keadaan orang
munafik yang menjadikan hakim selain Nabi dengan alasan untuk kebaikan di dalam
mu’amalah dan tercapainya kesepakatan antara mereka dengan musuh-musuhnya
dengan cara mengambil manfaat. Namun ketika mereka tertimpa muşībah,
mereka kembali menjadikan Nabi sebagai hakim mereka padahal mereka hanya
menipu.[47]
Ibnu Katsir lebih tegas mengatakan bahwa Allah mencela orang-orang munafik.
Mereka terpaksa datang kepadamu, disebabkan muşībah yang menimpa mereka,
akibat dosa-dosa mereka dan mereka bersumpah untuk membenarkan tindakan mereka
berhakim kepada thaghut. Namun mereka sebenarnya melakukan itu bukan dari hati
mereka dan bukan karena percaya akan kebenaran hakim-hakim, tetapi hanya
sekedar berpura-pura.[48]
Sedangkan menurut Quraisy Shihab, ayat ini merupakan gambaran tentang sifat dari
orang munafik ketika mereka ditimpa muşībah dan dapat juga dipahami
dalam arti ancaman terhadap mereka saat bencana menimpa.[49]
Surat
al-Taghabun: 11
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۗ وَمَن
يُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ ۚ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
Tidak ada
sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan
barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada
hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Taghabun/64: 11)[50]
Menurut al-Maraghi, muşībah adalah sesuatu yang mengenai dan
menimpa manusia berupa kebaikan dan keburukan. Dan diharapkan bagi manusia
untuk bersungguh-sungguh dan bekerja, kemudian ia tidak perlu menghiraukan apa
yang dilakukan terhadap dirinya, karena dia tahu bahwa yang demikian itu di
luar kesanggupannya, tidak akan menyulitkan dan tidak akan menyusahkannya.
Orang mukmin mempunyai dua kewajiban, pertama berusaha dan mencurahkan tenaga untuk
mendatangkan kebaikan dan menolak bencana semampunya. Kedua, bertawakkal kepada
Allah, karena yakin bahwa segala sesuatu itu terjadi menurut qadha dan
qadar-Nya. Sehingga tidak bersedih dan susah jika terjadi keburukan dan tidak
pula berkepanjangan dalam kesenangan jika terjadi kebaikan.[51]
Dalam ayat ini Ibnu Katsir berpendapat bahwa Allah menyatakan tiada
sesuatu yang terjadi di alam ini melainkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah.
Siapa yang beriman kepada Allah pasti rela pada putusan Allah. Dengan iman itulah
hati akan mendapatkan ketenangan, karena ia telah yakin bahwa yang dikehendaki
tidak akan terjadi.[52]
Dalam riwayat Muslim, Nabi bersabda:
Sungguh
mengagumkan keadaan mukmin itu karena semuanya mengandung kebaikan, apabila ia
mendapat kenikmatan, maka ia bersyukur dan hal itu baik baginya dan apabila
ditimpa kesengsaraan, maka ia bersabar dan itu baik pula baginya”.[53]
Dalam Tafsir al-Razi ada beberapa pendapat ulama tentang maksud
dari lafaz قلبه یھد pada ayat tersebut. Ibnu Abbas menafsirkan
potongan ayat tersebut dengan menyelamatkan karena perintah Allah. Para ulama ahl
al-ma’āni mengartikannya dengan bersyukur ketika mendapatkan kelapangan dan
bersabar ketika terkena muşībah. Sedangkan al-Zujaj memaknainya dengan
ketenangan.[54]
Pendapat lain mengatakan makna قلبه یھد adalah istirjā’
kepada Allah ketika ditimpa muşībah, sedangkan menurut Mujahid adalah
dengan bersabar.[55]
Sebelum ayat di atas, Allah berfirman mengancam kaum kafir dengan siksa
neraka. Menurut Quraisy Shihab, para ulama berpendapat bahwa ketika itu kaum
musyrikin berkata: “Jika kaum muslimin berada dalam kebenaran tentu Allah tidak
akan menjatuhkan bencana atas mereka, termasuk bencana yang terjadi melalui
upaya kaum musyrikin. Untuk menyingkirkan keresahan itu, ayat di atas
menyatakan bahwa seseorang tidak menimpa satu muşībah pun berkaitan urusan
dunia atau agama kecuali atas izin Allah. Siapa yang kufur kepada Allah, maka
dia akan membiarkan hatinya dalam kesesatan dan siapa yang beriman kepada Allah
dan percaya bahwa tidak ada yang terjadi kecuali atas izin-Nya.
Sehingga ia akan semakin percaya, serta tabah dan rela atas muşībah
yang menimpanya sambil mencari sebab-sebabnya dan semakin meningkat pula amal baiknya.
Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, karena itu hendaklah manusia bersabar
menghadapi aneka cobaan serta lakukan introspeksi dan taat kepada Allah di
setiap tempat dan waktu dan taat kepada Rasul dalam segala hal yang
diperintahkan.[56]
Surah
al-Qaşaş: 47
وَلَوْلَآ
أَن تُصِيبَهُم مُّصِيبَةٌۢ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ فَيَقُولُوا۟
رَبَّنَا لَوْلَآ أَرْسَلْتَ إِلَيْنَا رَسُولًا فَنَتَّبِعَ ءَايَٰتِكَ
وَنَكُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Terjemahnya:
Dan agar mereka
tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka
kerjakan, “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang rasul kepada
kami, agar kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan termasuk orang mukmin.”. (QS al-Qaşaş
/28: 47).[57]
Al-Maraghi memaknai muşībah pada ayat di atas dengan azab,
baik di dunia maupun di akhirat. Pada ayat di atas, al-Maraghi menjelaskan
tentang pengutusan Rasul kepada orang-orang kafir, untuk mematahkan alasan
mereka, sehingga apabila siksaan Allah datang, mereka tidak akan mendapatkan
hujjah lagi.
Sebelum Allah mengutus Nabi, orang-orang kafir ketika ditimpa azab
berdalih dengan tidak diutusnya seorang rasul untuk diikuti dan diimani.
Kesimpulan dari penafsiran al-Maraghi terhadap ayat di atas adalah Allah telah
mengutus Nabi kepada manusia dan Allah tidak menyiksa seorang hambapun kecuali
setelah Allah menyempurnakan penjelasan dan hujjah serta mengutus para rasul.[58]
Adapun Ibnu Katsir menafsirkan Allah berfirman untuk menerangkan salah
satu bukti kebenaran risalah Muhammad. Bahwa ia dapat menceritakan hal-hal ghaib
dan kisah-kisah umat terdahulu, padahal Nabi tidak pernah meninggalkan jazirah
Arab dan menyaksikan dengan langsung apa yang diceritakan dan kabarkan. Di
samping itu, ia seorang ummi yang tidak dapat menulis dan membaca, lahir
dan dibesarkan di tengah bangsa yang demikian keadaannya.[59]
Menurut Quraisy Shihab, kata muşībah dapat mencakup muşībah
duniawi dan ukhrawi, sedangkan kalimat bimā qaddamat aidīhim (disebabkan
apa yang mereka kerjakan), dapat mencakup amal batin seperti keyakinan yang
batil atau penyakit-penyakit hati lainnya seperti iri hati, takabur dan
lain-lain dan dapat juga mencakup amal lahiriah berupa aneka kedurhakaan seperti
permusuhan, korupsi, perzinahan dan lain-lain.[60]
Para ulama menurut Quraisy Syihab memahami kata muşībah pada ayat ini
dalam arti siksa duniawi.[61]
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa muşībah yang
Allah timpakan kepada manusia tidak lain karena merupakan suatu hal yang sudah
menjadi ketetapan dari Allah swt. sebagai bentuk dari qaḍa-Nya sedangkan
muşībah yang terjadi akibat dari ulah manusia itu sendiri sebagai bentuk
dari qadar-Nya.
Dengan demikian, konsep qaḍa dan qadar dalam hal ini
mengandung makna bahwa manusia sebagai satu-satunya ciptaan Allah yang dibekali
akal pikiran diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan dalam
menjalani kehidupannya di muka bumi. Oleh karena itu ketetapan-ketetapan yang
sudah ditentukan oleh Allah swt. sebelumnya dapat terlaksana jika sejalan
dengan pilihan yang diambil oleh manusia itu sendiri.
c.
Cara
menyikapi muşībah
Surat
al-Baqarah: 156
ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ
Terjemahnya:
(yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Innā lillāhi wa
innā ilaihi rāji’ūn” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami
kembali). (QS. al-Baqarah: 156)[62]
Menurut al-Maraghi, muşībah adalah semua peristiwa yang
menyedihkan seperti meninggalkan seseorang yang dikasihi, kehilangan harta
benda atau penyakit yang menimpa baik ringan atau berat. Ketika ditimpa cobaan,
hendaklah bersabar dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang
sabar, yakni orang-orang yang mengatakan perkataan tersebut sebagai ungkapan
rasa iman dengan kodrat kepastian Allah. Sabar bukannya bertentangan dengan
perasaan sedih ketika datang suatu muşībah. Sebab perasaan sedih ini
merupakan perasaan halus yang ada secara fitri pada diri manusia normal.[63]
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas, mengutip beberapa
hadis Nabi. Hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, ia berkata “Pada suatu
hari Abu Salamah pulang ke rumah dari majlis Nabi dan berkata “Aku mendengar Nabi
bersabda yang sangat menyenangkan hatiku: “Tiada seorang muslim yang ditimpa muşībah,
kemudian ia membaca “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn”, lalu membaca
“Ya Allah berilah pahala bagiku dalam muşībahku ini dan gantikanlah untukku
yang lebih baik darinya, melainkan akan diganti oleh Allah”.[64]
Menurut al-Razi makna انا للّه pada ayat di atas adalah
adanya keikhlasan menerima segala sesuatu yang diturunkan oleh Allah dari semua
cobaan dan ujian, sedangkan makna وإنا إليه راجعونadalah
adanya keikhlasan menerima segala sesuatu berupa cobaan dan ujian yang akan
terjadi kemudian dengan harapan mendapatkan pahala dari Allah.[65]
Al-Razi juga mengutip beberapa hadis Nabi dalam menafsirkan ayat di atas,
diantaranya adalah Nabi bersabda “Barangsiapa mengembalikan kepasrahan ketika
terkena muşībah, maka Allah akan menggantinya, menjadikannya baik
akibatnya dan menjadikan orang yang saleh yang diridhai Allah”.
Surat
al-Hadid: 23
لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ
اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا
يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ
Terjemahnya:
Agar kamu tidak
bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong dan membanggakan diri,[66]
Pada
ayat ini Allah swt menyatakan bahwa semua peristiwa itu ditetapkan sebelum
terjadinya, agar manusia bersabar menerima cobaan Allah. Cobaan Allah itu
adakalanya berupa kesengsaraan dan malapetaka, adakalanya berupa kesenangan dan
kegembiraan. Karena itu janganlah terlalu bersedih hati menerima kesengsaraan
dan malapetaka yang menimpa diri, sebaliknya jangan pula terlalu bersenang hati
dan bergembira menerima sesuatu yang menyenangkan hati. Sikap yang paling baik
ialah sabar dalam menerima bencana dan malapetaka yang menimpa serta bersyukur
kepada Allah atas setiap menerima nikmat yang dianugerahkan-Nya. Ayat ini bukan
untuk melarang kaum Muslimin bergembira dan bersedih hati, tetapi maksudnya
ialah melarang kaum Muslimin bergembira dan bersedih hati dengan
berlebih-lebihan. 'Ikrimah berkata, "Tidak ada seorang pun melainkan ia
dalam keadaan sedih dan gembira, tetapi hendaklah ia menjadikan kegembiraan itu
sebagai tanda bersyukur kepada Allah dan kesedihan itu sebagai tanda bersabar."
Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa orang yang terlalu bergembira menerima
sesuatu yang menyenangkan hatinya dan terlalu bersedih hati menerima bencana
yang menimpanya adalah orang yang pada dirinya terdapat tanda-tanda tabkhil
dan angkuh, seakan-akan ia hanya memikirkan kepentingan dirinya saja. Allah swt
menyatakan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang mempunyai sifat-sifat bakhil
dan angkuh.[67]
Dari
uraian tersebut dapat dipahami bahwa sebagai manusia, kita dituntut untuk senantiasa
bersabar, ikhlas dan berserah diri kepada-Nya tatkala kita ditimpa muşībah
dan senantiasa bersyukur atas segala kebaikan yang Allah berikan sebagai tanda
kesyukuran kita kepada-Nya. Oleh karena itu janganlah terlalu bersedih hati
ketika ditimpa kesengsaraan dan malapetaka, sebaliknya jangan pula terlalu
bersenang hati dan bergembira tatkala menerima sesuatu yang menyenangkan hati. Adapun
sikap yang paling baik ialah sabar dalam menerima muşībah yang menimpa
serta bersyukur kepada Allah atas setiap nikmat yang dianugerahkan-Nya.
d.
Hikmah
dari Adanya Muşībah
QS
al-Syura: 30
وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ
أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُوا۟ عَن كَثِيرٍ
Terjemahnya:
Dan musibah apa
pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan
Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu). (QS. al-Syura/42: 30)[68]
Al-Maraghi menafsirkan bahwa muşībah-muşībah di dunia
yang menimpa manusia tidak lain sebagai hukuman atas dosa-dosa yang telah
mereka lakukan. Namun Allah memaafkan manusia atas kejahatan yang telah di
lakukan dengan tidak menghukum atas semua kejahatan-kejahatan tersebut. Allah
menjadikan dosa sebagai sebab-sebab yang menghasilkan akibat. Misalnya peminum
khamar akan ditimpa banyak penyakit jasmani maupun akal di dunia, penyakit itu
merupakan salah satu bekas dari dosa yang dilakukan. Namun hukuman yang menimpa
individu-individu di dunia ini tidaklah bersifat umum. Karena sering pula seorang
pemabuk yang kecanduan, ternyata tidak ditimpa satu penyakit pun akibat perbuatan.
Sering juga didapatkan seorang pedagang berkhianat, ternyata tidak ditimpa
kerugian dalam perdagangannya. Dalam keadaan demikian, maka hukuman bagi
masing-masing dari keduanya ditangguhkan sampai hari hisab. Al-Maraghi
selanjutnya menafsirkan ayat di atas dengan mengutip salah satu hadis Nabi.
Menurut satu riwayat, Nabi bersabda kepada Ali bin Abi Thalib,
“Dan aku akan
tafsirkan ayat ini (QS. al-Syura: 30) kepadamu wahai Ali: Apapun yang menimpamu
baik itu penyakit, suatu hukuman atau suatu bencana di dunia, maka adalah
dikarenakan perbuatan yang telah dilakukan oleh tangan-tanganmu.
Sedang Allah terlalu mulia untuk mengulangi hukuman terhadapmu di akhirat.
Sedangkan apa yang telah dimaafkan oleh Allah di dunia ini, maka Allah terlalu
mulia untuk mengulangi setelah dia memaafkan”.[69]
Sementara Ibnu Katsir menafsirkan bahwa muşībah dan bala
yang menimpa manusia adalah akibat dari manusia sendiri dan Allah memaafkan sebagian
besar kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.[70]
Adapun Imam al-Razi mengatakan bahwa yang dimaksud muşībah pada ayat di
atas adalah semua kejadian yang tidak disukai seperti sakit, paceklik, banjir,
dan kesusahan lainnya.[71]
Menurut al-Razi, para ulama berbeda pendapat tentang muşībah
manusia, apakah muşībah yang terjadi di dunia akibat perbuatan dosa-dosa
yang telah lalu? Kelompok pertama mengatakan, bahwa Allah akan membalas amal
perbuatan manusia pada yaum al-jazā atau hari pembalasan, sebagaimana
firman Allah اليوم تجزى كل نفس بما كسبت dan مالك یوم الدین . Dengan demikian,
menurut kelompok ini muşībah yang menimpa manusia di dunia ini bukan
akibat dosa manusia.
Kelompok kedua berpendapat, muşībah di dunia dapat menimpa
siapa saja baik orang zindiq atau orang yang telah berbuat baik. Bahkan menurut
kelompok ini, terkadang orang saleh dan bertakwa lebih banyak mendapat muşībah
dibandingkan orang yang berdosa. Dengan demikian kelompok kedua ini sependapat dengan
kelompok yang pertama bahwa muşībah yang terjadi di dunia bukan akibat
perbuatan dosa dan bukan sebagai siksaan di dunia.
Sedangkan kelompok ketiga berpendapat bahwa dunia sebagai tempat
pembebanan (dīr al-taklīf) dan juga pembalasan (dār al-jazā’).
Namun ketika ada yang mengatakan bahwa muşībah di dunia ini sebagai
pembalasan akibat dosa yang telah lalu, maka hal ini berdasarkan hadis Nabi
“Tidak akan ditimpa muşībah seseorang kecuali karena berdosa”. Jadi muşībah
yang menimpa bagi para nabi dan para wali itu bukan berarti siksaan, melainkan
ujian dari Allah. Dengan demikian, muşībah itu hanya menimpa manusia
yang sudah dewasa, tidak termasuk binatang atau anak kecil karena mereka tidak
kena beban syari’at.[72]
Sedangkan menurut al-Zamakhsyari, ayat di atas dikhususkan bagi
orang yang berdosa, karena terjadinya muşībah akibat dari perbuatan
orang-orang yang berdosa. Adapun orang yang tidak berdosa seperti para nabi,
anak-anak dan bayi yang masih dalam kandungan, apabila mereka tertimpa muşībah
maka hal itu sebagai pengganti dari ke-Maha-Pemaafnya Allah dan kemaslahatan
bagi mereka.[73]
Quraisy Shihab mengatakan muşībah yang menimpa manusia kapan
dan dimana pun terjadinya, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan manusia sendiri
yakni dosa dan kemaksiatan yang telah dilakukan, paling tidak disebabkan oleh
kecerobohan atau ketidakhati-hatian. Muşībah yang dialami manusia
hanyalah akibat sebagian kesalahan manusia, karena Allah tetap melimpahkan
rahmat-Nya kepada manusia dan Allah memaafkan banyak kesalahan manusia. Sehingga
kesalahan itu tidak mengakibatkan muşībah atas diri manusia. Seandainya pemaafan
itu tidak dilakukan-Nya, maka pasti manusia semua binasa bahkan tidak akan ada
satu binatang melata pun di muka bumi ini.[74]
Menurut Quraisy Shihab, walaupun ayat di atas dari segi konteksnya
tertuju pada kaum musyrik Makkah, tetapi dari segi kandungannya tertuju kepada seluruh
manusia baik perorangan maupun kolektif, kapan dan dimana pun, baik mukmin atau
pun kafir.[75]
Lebih lanjut Quraisy Shihab mengatakan bahwa ayat ini menggaris-bawahi adanya muşībah
atau hal-hal negatif yang dijatuhkan Allah menimpa manusia dalam kehidupan
dunia ini sebagai sanksi atas pelanggaran mereka. Namun demikian bisa saja ada
pelanggaran yang ditangguhkan sanksinya di akhirat nanti. Sebagaimana ada juga
yang dicukupkan di dunia dan ada yang ganjarannya di terima di dunia sebagai muqaddimah
dari sanksi ukhrawi.
Di akhir ayat di atas, Allah berfirman ویعفوعن كثیر
berarti Allah memaafkan banyak kedurhakaan, sehingga tidak dijatuhkan sanksi
duniawi. Pemaafan ini berkaitan dengan kehidupan duniawi. Itu sebabnya sekian
banyak yang melakukan pelanggaran masih hidup nyaman dan terlihat bahagia.
Mereka itulah yang dimaafkan, yakni yang ditangguhkan Allah siksanya dalam
kehidupan dunia ini. Bisa juga pemaafan ini mencakup pemaafan duniawi dan
ukhrawi.[76]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa muşībah merupakan salah
satu sarana agar Allah dapat mengampuni dosa-dosa manusia. Adapun menurut
Muhammad Yusuf ada lima kelebihan bagi orang yang ditimpa muşībah yaitu
dapat mengangkat derajatnya, menghapus keburukan, ditanamkan jiwa yang ikhlas,
mendidik muslim supaya gigih dalam berdakwah dan mendapatkan syurga.[77]
Dalil-dalil yang menyebutkan tentang diangkatnya derajat manusia yaitu
QS. al-An’am: 165, Allah berfirman:
وَهُوَ ٱلَّذِى جَعَلَكُمْ خَلَٰٓئِفَ ٱلْأَرْضِ
وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِى مَآ
ءَاتَىٰكُمْ ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلْعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌۢ
Terjemahnya:
Dan Dialah yang
menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat)
sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang
diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan
sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS al-An’am/6: 165)[78]
Al-Razi menafsirkan lafaz رفع بعضكم فوق بعض درجتyaitu
dimaknai dengan kemuliaan, akal, harta, jabatan dan rizki. Kesemuanya itu tidak
ada gunanya jika manusia lemah, bodoh dan pelit karena pada intinya apa yang
dianugerahkan Allah itu merupakan ujian bagi manusia.[79]
Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah, Nabi bersabda: “Tidak ada yang menimpa
seorang mukmin yang tertusuk duri atau yang lebih dari itu, kecuali dinaikkan
derajatnya oleh Allah dan dihapus kesalahan-kesalahannya.[80]
Kelebihan lain yaitu menghapus keburukan manusia, hal ini sesuai dengan sabda
Nabi, “Tidak ada satu cobaan yang menimpa muslim, seperti sakit, kesusahan,
kesedihan, kecemasan, sekalipun muşībah itu hanya tertusuk duri,
melainkan Allah menghapus dosa-dosanya.[81]
Kelebihan selanjutnya adalah merupakan penyebab masuk syurga,
berdasarkan firman Allah:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ
وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم ۖ مَّسَّتْهُمُ ٱلْبَأْسَآءُ
وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلْزِلُوا۟ حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟
مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصْرُ ٱللَّهِ ۗ أَلَآ إِنَّ نَصْرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ
Terjemahnya:
Ataukah kamu
mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan)
seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa
kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul
dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan
Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. (QS. al-Baqarah/2:
214).[82]
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa balasan Allah akan
diberikan kepada manusia yang lulus dalam menghadapi muşībah adalah
memperoleh kasih sayang, rahmat dan hidayah Allah. Maka
dari itu, sebagai orang yang beriman sudah menjadi kewajiban untuk menyadari
bahwa muşībah adalah segala sesuatu yang menimpa pada diri baik berupa
kesenangan ataupun kesusahan. Muşībah bisa saja terjadi pada setiap
orang, terlepas dari dia saleh atau tidak, muslim atau tidak, tua atau muda. Muşībah
bisa datang kapan dan dimana saja, tidak ada manusia yang bebas dari muşībah,
karena semua berjalan sesuai ketentuan Allah swt. Dengan muşībah, Allah
swt hendak menguji siapa yang paling baik amalnya. Karena muşībah bukan
sekedar peristiwa alamiah biasa tetapi juga merupakan peringatan untuk kembali kepada
Allah swt.
C.
Penutup
1.
Kesimpulan
a. Muşībah merupakan segala
sesuatu yang ditimpakan Allah kepada manusia, baik berupa keburukan maupun
kebaikan, tetapi pada umumnya lafal muşībah lebih cenderung dimaknai
sebagai hal-hal yang mendatangkan kesedihan dan kepedihan.
b. Sikap yang
paling baik dalam menghadapi muşībah dalam bentuk keburukan ialah dengan
bersabar dan tidak terlalu bersedih hati. Sedangkan sikap yang paling baik
tatkala diberikan anugrah yakni dengan cara bersyukur dan tidak terlalu
bersenang hati yang dapat mengarahkan manusia kepada sikap angkuh dan sombong.
Dengan selalu mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn.
c. Hikmah dari muşībah
yang Allah timpakan kepada manusia ialah sebagai sarana agar manusia senantiasa
lebih mendekatkan diri kepada-Nya dan dengannya pula Allah menghapus dosa-dosa
mereka yang senantiasa bersabar dalam menghadapi ujian dan cobaan yang
dihadapinya.
Daftar Pustaka
Adib Bisri,
Munawwir AF, Kamus Al-Bisri, .Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.
al-Maragi,
Ahmad bin Mustafa, Tafsir al-Maragi, .Cet. I; Misr: Maktabah Mustafa
al-Babi, 1946.
Ahmmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir. Cet. IV; Surabaya: Pustaka Progressif,
1997. 800.
Ainur Rozon, Penafsiran
Ayat-Ayat Muşībah Dalam Al-Qur’an (Studi Analisis Penafsiran M. Quraish
Shihab Dalam Tafsir al-Mishbah) “Skripsi .Semarang: Fak. Ushuluddin dan
Humaniora UIN Walisongo, 2015.
Al-Andalusi,
Muhammad bin Yusuf al-Syahir bi al-Hayyan. Al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir.
Beirut: Dar al Fikr, tt.
Al-Ashfahani,
Raghib. Mu’jam Mufradat al fazh al Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Al-Baidawi, Nasir
al-Din Abu Sa’id ‘Abdillah bin ‘Umar bin Muhammad al-Syirazi. Anwar
al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil. Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 1418.
al-Baqi, Fu’ad
‘Abd. al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, Bairut: Dar
al-Fikr, 1981.
al-Hambali,
Muhammad al-Manjibi. Menghadapi Muşībah Kematian, Penerjemah Muhammad
Suhadi .Jakarta: Hikmah, 2007.
Al-Nisaburi, Abu
Husain Muslim bin Hajjaj al Qusyairi. Shahih Muslim. t.tp: Dar al-Ihya
wa al-Kutub al-Arabiyah, tt.
Al-Qurtubi, Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an, Juz II,
Cet. 1 ,Beirut: Muassasah Risalah, 2006.
Al-Razi,
Muhammad Fakhruddin. Tafsir al-Razi. Beirut: Dar al Fikr, tt.
Al-Wahidi, Abi
Hasan Ali bin Ahmad. Asbab al-Nuzul. Beirut: al-Maktabah al-Tsaqafiyah,
1989
Al-Zamakhsyari,
Tafsir al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1995.
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia .KBBI pusat bahasa.
Hamka, Tafsir
al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, tt.
Ibnu Katsir. Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim. Madinah: Maktabah al-Ulum wa al- Hikam, 1993
Ibnu Manzhur. Lisan
al-Arab. Beirut: Dar Shadir, t.t.
Nurcholish, Asbabun
Nuzul .Surabaya: Pustaka Anda, 1997.
Shihab, M.
Quraisy. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002
Team Penulis, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988
Yusuf,
Muhammad. Al-Insan baina al-Sarra wa al-Dadharra fi Taswir al-Qur’an
al-Karim. Kairo: Dar al-Salam, 2002.
[1]Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI pusat bahasa),
h. 942.
[2]Ahmmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Cet.CIV; Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), h. 800.
[3]Adib Bisri,
Munawwir AF, Kamus Al-Bisri, (Cet. I; Surabaya: Pustaka Progresif,
1999), h. 422.
[4]Al-Ragib
al-Asfahani, Mu’jam Mufradat li Alfaz al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr,
t.t), h. 297.
[5]Abu al-Fadl
Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan
al-Arabi, Juz I, h. 534
[6]Abu al-Fadl
Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan
al-Arabi, Juz I, h. 534
[7]Abu al-Fadl
Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan
al-Arabi, Juz I, h. 536.
[8]Abu al-Fadl
Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan
al-Arabi, Juz I, h. 535.
[9]Abu al-Fadl
Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan
al-Arabi, Juz I, h. 536.
[10]Abu al-Fadl
Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, lisan
al-Arabi, Juz I, h. 536.
[11]Abu al-Fadl
Jamal al-Din Muhammad bin Mukrim bin Manzur, Lisan al-‘Arab, h. 536.
[12]M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 1, Cet. 1 (Jakarta: Lentera Hati,
2000). h. 343.
[13]Al-Qurtubi, Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an, Juz II,
Cet. 1 (Beirut: Muassasah Risalah, 2006) h. 465.
[14]Fu’ad ‘Abd
al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Bairut: Dar
al-Fikr, 1981), h. 415-416.
[15]Al-Qurtubi, Al-Jami’ Liahkam al-Qur’an, h. 465.
[16]Hamka,
Tafsir al-Azhar (Juz. XXVII; Jakarta: Pustaka Panji Mas, tt), h. 299.
[17]Ahmad bin
Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Cet. I; Misr: Maktabah Mustafa
al-Babi, 1946) h. 21.
[18]M. Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Kesrasian al-Qur’an , h. 43.
[19]Nasir al-Din
Abu Sa’id ‘Abdillah bin ‘Umar bin Muhammad al-Syirazi Al-Baidawi, Anwar
al-Tanzil wa asrar al-Ta’wil (Juz. 1; Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi,
1418), h. 115.
[20]Muhammad
al-Manjibi al-Hambali, Menghadapi Muşībah Kematian, Penerjemah Muhammad
Suhadi (Jakarta: Hikmah, 2007), h. 12.
[21]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 24.
[22]M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan-pesan dan Keserasian al-Qur’an, jilid
I, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 342
[23]Ibn Katsir,
Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz I, (Beirut : Al-Mâktabah al-Ăshriyah, 2000) h.
343
[24]Ibn Katsir,
Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Juz I, h. 343.
[25]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 71.
[26]Abi Hasan Ali
bin Ahmad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul (Beirut: al-Maktabah al- Saqafiyah,
1989), 73; lihat juga Nurcholish, Asbabun Nuzul (Surabaya: Pustaka Anda,
1997), h. 119.
[27]Al-Zamakhsyari,
Tafsir al-Kasyaf, jilid. 1, h.
427.
[28]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 89.
[29]Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 1, h. 524.
[30]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, h. 482.
[31]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 125.
[32]Nurcholis, Asbab
al-Nuzul, h. 221-222
[33]Ahmad Mustofa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 3, h. 39-40
[34]Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, h. 113
[35]Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, h. 113.
[36]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 195.
[37]Ahmad Mustofa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 4, h. 110.
[38]Ahmad Mustofa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 4, h. 110
[39]Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, h. 370
[40]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 5, h. 583.
[41]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 540.
[42]Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 4, h. 313-314.
[43]Ahmad Mustofa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 9, h. 438.
[44]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 14, h. 43.
[45]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 88.
[46]Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azim, juz. 1, h. 519.
[47]Ahmad Mustofa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 2, h. 77.
[48]Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azim, juz. 1, h. 519.
[49]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 467.
[50]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 557.
[51]Ahmad Mustofa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 10, h. 126-127.
[52]Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 4, h. 375.
[53]Abu Husain
Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, juz. 4 (ttp:
Dar al-Ihya wa al-Kutub al-Arabiyah, tt.), h. 2295.
[54]Muhammad
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 30, h. 27.
[55]Al-Zamakhsyari,
Tafsir al-Kasyaf, jil. 4, h. 537
[56]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 14, h. 274-275.
[57]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 391.
[58]Ahmad Mustofa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 7, h. 176.
[59]Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur an al-‘Azhim, juz. 3, h. 405.
[60]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, h. 360.
[61]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, h. 360.
[62]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 24.
[63]Ahmad Mustofa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 1, h. 206-207.
[64]Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, h. 8.
[65]Muhammad
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 4, h. 2.
[66]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 540.
[68]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 486.
[69]Ahmad Mustofa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 9, h. 38-40.
[70]Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur an al-‘Azim, juz. 4, h. 116.
[71]Muhammad
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 27, h. 173.
[72]Muhammad
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 27, h. 173.
[73]Zamakhsyari, Tafsir
al-Kasyaf, jil. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1995), h. 219.
[74]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Mihsbah, h. 503.
[75]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 504.
[76]M. Quraisy
Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 505-505.
[77]Muhammad Yusuf,
al-Insan baina al-Sarra wa al-Dharra fi Taswir al-Qur’an al-Karim
(Kairo: Dar al-Salam, 2002), h. 127-128.
[78]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 150.
[79]Muhammad
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 7, h. 31
[80]Abu Husain
Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, juz. 2, h. 427
[81]Abu Husain
Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, h. 428
[82]Kementerian
Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 33.
0 komentar:
Post a Comment