Sunday, July 12, 2020

QATH’IY DAN ZANNIY DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN ISLAM


By Nursalam Rahmatullah
A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran agama Islam yang paling utama, bersumber dari Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantara malaikat Jibril mencakup lafaz dan maknanya sekaligus. Kemudian dengan dasar wahyu inilah Nabi Muhammad saw. menjelaskan berbagai persoalan-persoalan yang timbul di tengah masyarakat.
Al-Qur’an yang merupakan kumpulan firman Allah swt. telah disepakati penggunaannya oleh para ulama sebagai sumber rujukan hukum yang paling utama dalam rangka menentukan sebuah hukum. Oleh karen itu, isi dan kandungannya harus dikaji secara mendalam dalam rangka memahami ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya agar dapat diamalkan dalam kehidupan umat manusia.
Dalam memahami kandungan dan isi ayat-ayat al-Qur’an diperlukan sebuah ketelitian dan kecermatan agar dapat memahami maksud yang hendak disampaikan oleh ayat tersebut. Mengingat bahwa al-Qur’an selain mengandung lafal-lafal yang lugas sehingga mudah dipahami juga mengandung lafal yang memiliki makna musytarak sehingga perlu kehati-hatian dalam memberikan makna ke dalam lafal-lafal tersebut. Sehingga lahirnya istilah qath’i al-dalalah dan zanni al-dalalah yang merupakan pemetaan oleh sebagian ulama sebagai bentuk upaya pembatasan pintu ijtihad agar nas-nas yang bersifat qath’i tersebut tidak lagi mengalami reinterpretasi atau bersifat final. Lalu bagaimanakah al-Qur’an dan hadis dapat memenuhi kebutuhan hukum umat manusia dalam menghadapi dinamika masyarakat yang terus mengalami perkembangan dan perubahan.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dipahami bahwa yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini ialah “bagaimana Konsep qath’i dan zanni dalam Perpektif Pemikiran Islam” yang akan diuraikan ke dalam beberapa sub-masalah sebagai berikut:
  • Apakah hakikat qath’i dan zanni ?
  • Bagaimana pandangan ulama tentang qath’i dan zanni dalam perspektif pemikiran Islam ?
  •  Bagaimana penerapan konsep qath’i dan zanni dalam perkembangan dinamika masyarakat saat ini ?

B.      Pembahasan
       1. Hakikat Qath’i dan zanni
a.       Pengertian Qath’i dan zanni Menurut Bahasa
Dari segi etimologi/bahasa kata qath’i berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Qat’u, yang merupakan bentuk Masdar dari kata kerja قطـعyang terdiri dari tiga huruf; ق–ط–عyang berarti “memotong, tajam, menjadikan sesuatu dengan yang lainnya jelas”.[1] Dalam kamus bahasa Arab al-Munjid tertulis: قطعdengan contoh: قطع في القول berarti menyatakan dengan pasti.[2] Dari Pengertian قطعdi atas dapat disimpulkan bahwa kata tersebut dalam bahasa Arab dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti: tajam, jelas, pasti, yakin, tak syak lagi. Kemudian kata tersebut mendapat imbuhan “ya nisbah” sehingga terbentuk kata: ( قطعيqath’iy) yang menunjuk kepada kata sifat sehingga bermakna sesuatu yang jelas atau sesuatu yang pasti. Sedangkan kata zanni berasal dari bahasa Arab yang akar katanya:   يظـن ظـنـا  ظـن  berarti ragu atau sangkaan.[3]
Kata zanni kadang disinonimkan dengan kata nazar yang berarti relatif atau nisbi.[4] Sedang menurut Ibnu Zakarya kata zanni adalah bentuk yang terdiri dari tiga huruf ن-ن- ظyang menunjuk masdar dari kata kerja zanna ()ظـن kepada dua makna yang berbeda, yaitu yakin dan ragu.[5] Zanni juga berarti tidak kuat atau diragukan.[6] Dengan bentuk masdar tersebut lalu mendapat imbuhan ya al-nisbah sehingga terbentuk kata zanniy yang bermakna sesuatu yang bersifat dugaan, perkiraan atau sesuatu yang tidak pasti.
Melihat pengertian zanni di atas, maka dapat disimpulkan bahwa zanni adalah sesuatu yang bersifat dugaan, relatif, sangkaan dan tidak pasti.
b.      Pengertian qath’i dan zanni menurut istilah
Adapun pengertian qath’i dan zanni menurut istilah adalah sebagai berikut :
  • Menurut Abu al-Ainain Badran al-Ainain seorang guru besar ushul al-Fiqh di Mesir bahwa qath’i adalah sesuatu yang menunjuk kepada hukum tertentu dan tidak mengandung kemungkinan makna lain, sedangkan zanni adalah dalil (ayat atau hadis) yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.[7]
  • Menurut Abdul Wahhab Khallaf, qath’i adalah yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus dipahami darinya (teks) tidak mengandung kemungkinan ta’wil serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna selain makna tersebut darinya (teks tersbut).[8] Sedangkan zanni, nas yang menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk dita’wilkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna yang lain.[9]

Dari kedua definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa qath’i adalah suatu petunjuk hukum atau nas yang pengertiannya dapat dipahami dengan jelas tanpa ada peluang untuk menginterpretasikan dengan yang lain, sedang zanni suatu pentunjuk hukum yang dapat menerima makna lain. Di bawah ini akan dikemukakan contoh masing-masing baik qath’i maupun zanni, yaitu :
I.       Contoh qath’i :
a)      Tentang waris QS al-Nisa/4: 11

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ .....

Terjemahnya:

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta…”.[10]

b)     Tentang Zina QS. al-Nur/24: 2:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ .......

Terjemahnya:

 “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. . .[11]
c)      Tentang Kiffarat Sumpah QS. al-Maidah/5: 89:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَٰكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ ۖ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ....

Terjemahnya:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpahsumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. . .”.[12]
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas, mengenai bagian waris, seratus kali dera bagi orang yang melakukan zina, dan puasa tiga hari untuk kaffarat sumpah menurut para ulama ushul fiqh, mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain.[13]
II.    Contoh zanni
a)      QS. al-Baqarah/2: 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ ...

Terjemahnya :

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. . .”.[14]
Kata quru’ ( )قروءmerupakan lafaz musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan hai«. Oleh sebab itu, apabila kata quru’ diartikan dengan suci, sebagaimana yang dianut oleh ulama Syafi’iyah adalah boleh (benar) dan jika diartikan dengan haid juga benar sebagaimana yang dianut oleh ulama Hanafiyah.
b)      QS. al-Maidah (5):38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Terjemahnya:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[15]
Kata tangan dalam ayat ini, mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kiri, di samping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan tangan saja atau sampai siku. Penjelasan untuk yang dimaksud tangan ini ditentukan dalam hadis Rasulullah saw.[16]
Jadi kekuatan hukum kata quru’ pada ayat pertama dan kata tangan pada ayat kedua "Ulama Fiqh" sepakat bahwa itu bersifat zanni.[17] Dengan demikian para mujtahid bisa saja memilih pengertian mana yang mereka yakini atau yang terkuat.
2.      Pandangan Ulama tentang Qath’i dan Zanni dalam al-Qur’an dan Hadis
Pembahasan qath’i dan zanni di kalangan ulama masing-masing terdiri atas dua bagian, yaitu qath’i al-Wurud atau qath’i al-tsubut (kepastian kebenaran sumber), qath’i al-dalalah (kepastian kandungan makna) dan zanni al-Wurud atau zanni al-zubut (ketidakpastian sumber) dan zanni al-dalalah (mengandung ta’wil).[18] Nas-nas al-Qur’an seluruhnya bersifat qath’i (pasti) dari segi kehadirannya, ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah saw. kepada umatnya. Maksudnya dipastikan bahwa setiap nas al-Qur’an yang dibaca itu adalah hakikat nas al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya. Ayat al-Qur’an dari segi kepastian kebenaran sumber atau qath’i al-tsubut, tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Semua umat Islam yang dalam hal ini ulama, baik mufassir, usuliyyun maupun para fuqaha meyakini bahwa redaksi ayat al-Qur’an yang dibaca dewasa ini serupa dan sama dengan ayat-ayat yang diterima oleh Nabi Muhammad dari Allah swt. melalui perantaraan Malaikat Jibril a.s. Kepastian dan kebenaran sumber ayat-ayat alQur’an, dengan sendirinya merupakan ma’lum min al-din bi al-darurah sesuatu yang sudah sangat jelas, aksiomatik dalam ajaran Islam.[19]Dengan demikian ayat-ayat al-Qur’an dari segi sumbernya dinyatakan sebagai qath’i al-wurud atau qath’i al-tsubut tidak lagi menjadi pembahasan. Adapun dari segi dalalahnya terhadap hukum, sebagiannya adalah qath’i dan sebagiannya adalah zanni. Dengan demikian dikatakan bahwa, al-Qur’an itu dari segi wurudnya adalah qath’i dan dari segi dalalahnya ada yang qath’i dan ada yang zanni. M. Quraish Shihab menulis pendapat Muhammad Arkoum dalam bukunya Membumikan al-Qur’an mengatakan: “Kitab suci al-Qur’an itu mengandung kemungkinan makna yang tak terbatas, ia menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat dasariah, eksistensi yang absolut. Selalu terbuka, tak pernah tetap dan tertutup hanya satu penafsiran makna.[20] Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Abdullah Darras: “Apabila anda membaca al-Qur’an, maknanya akan jelas di hadapan anda. Tetapi bila anda membaca sekali lagi, maka anda akan menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-sampai anda dapat menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam. Semuanya benar atau mungkin benar (ayat-ayat Qur’an) bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka dia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.[21] Begitupula dengan pemikiran Masdar F. Mas’udi yang mengatakan bahwa dengan hanya berpijak pada teks formal, konsep qath’i dan zanni hanya akan menghasilkan kekakuan dan tidak bisa menghadapi persoalan-persoalan dunia modern.[22]
Perlu juga dicatat bahwa walaupun masalah yang dibicarakan di atas tidak menjadi pokok bahasan ulama tafsir, namun mereka menekankan perlunya seorang mufassir untuk mengetahui ushul fiqh, khususnya dalam rangka menggali ayat-ayat hukum.[23] Al-Syatibi mengemukakan bahwa: “Tidak atau jarang sekali ada sesuatu yang pasti dalam dalil-dalil syara’ (jika berdiri sendiri), karena dalil-dalil syarat tersebut bersifat Ahad, maka jelas ia tidak dapat memberi kepastian. Bukankah Ahad sifatnya zanni ? Sedangkan bila dalil tersebut bersifat mutawatir lafaz-nya, maka untuk menarik makna yang pasti dibutuhkan premis-premis (mukaddimah) yang tentunya harus bersifat pasti (qath’i ) pula. Dalam hal ini, premis-premis tersebut harus bersifat mutawatir. Ini tidak mudah ditemukan, karena kenyataan membuktikan bahwa premis-premis tersebut kesemuanya atau sebagian besarnya bersifat Ahad dalam arti zanni (tidak pasti). Sesuatu yang bersandar kepada zanni, tentu tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang zanni pula.[24]
Al-Syatibi mengantarkan kita untuk berkesimpulan bahwa tidak ada yang qath’i dalam al-Qur’an. Memang demikian jika ditinjau dari sudut ayat-ayat tersebut secara berdiri sendiri. Tetapi lebih jauh ia menjelaskan bagaimana proses yang dilalui oleh suatu hukum yang diangkat dari nas sehingga ia pada akhirnya di namai qath’i. Menurut al-Syatibi lebih jauh, “kepastian makna” (qath’i al-dalalah) suatu nas muncul dari sekumpulan dalil zanni yang kesemuanya mengandung kemungkinan makna yang sama. Terhimpunnya makna yang sama dari dalil-dalil yang beraneka ragam itu memberi “kekuatan” tersendiri. Ini pada akhirnya berbeda dari keadaan masing-masing dalil tersebut ketika berdiri sendiri. Kekuatan dari himpunan tersebut menjadikannya tidak bersifat zanni lagi. Ia telah meningkat menjadi semacam mutawatir ma’nawy, dengan demikian dinamailah ia sebagai qath’i al-dalalah.[25] Sebagai contoh kewajiban salat tidak dapat ditangkap hanya dari firman Allah swt. dalam QS. al-Baqarah/2: 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ .....

Terjemahnya :

“Dan Dirikanlah shalat. . .[26]
Kata salat itu sendiri sudah mengandung dua makna, yatu doa dan salat menurut syara’ sebagai salah satu rukun Islam. Kewajiban shalat itu baru bisa ditangkap, menurut al-Syatibi, setelah dalil-dalil tentang salat itu diinduksi.[27] Dalam contoh tersebut di atas ditemukan sekian banyak ayat atau hadis yang menjelaskan antara lain hal-hal berikut:

  • Pujian kepada orang-orang yang salat;
  • Celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya;
  • Perintah kepada mukallaf untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat, sakit, damai, perang, dalam keadaan berdiri, bila uzur duduk atau berbaring atau bahkan dengan isyarat sekalipun;
  •  Pengalaman-pengalaman yang diketahui secara turun-temurun dari Nabi saw., sahabat beliau, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkannya.[28]
Kumpulan nas yang memberikan makna-makna tersebut, yang kemudian disepakati oleh ulama, lalu melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat aqimu al-salat adalah pasti atau qath’i mengandung wajibnya salat. Juga disepakati bahwa tidak ada kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya, kecuali kewajiban salat.
Ulama-ulama ushul fiqh menunjuk kepada ijma’ untuk menetapkan sesuatu yang bersifat qath’i. Sebab jika mereka menunjuk kepada nas (dalil naqli) secara berdiri sendiri, maka akan terbuka peluang bagi mereka yang tidak mengetahui ijma’ itu untuk mengalihkan makna yang dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain. Untuk menghindari hal itu mereka langsung menunjuk ijma’.[29]
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
  • Qath’i al-dalalah suatu ayat atau hadis apabila telah didukung oleh beberapa dalil zanni yang beraneka ragam dan kesemuanya mengandung kemungkinan arti yang sama.
  • Penunjukan sejumlah dalil zanni tadi kemudian disepakati oleh ulama. Artinya ke-qath’i-an suatu ayat atau hadis tergantung pada kesepakatan ulama.
  •  Tidak ada ayat atau hadis yang qath’i apabila ia berdiri sendiri.

Perlu ditambahkan bahwa suatu ayat atau hadis mutawatir dapat menjadi qath’i dan zanni pada saat yang sama. Firman Allah yang berbunyi : Wa imsahu bi ru’usikum adalah qath’i al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam ber-wudhu. Tetapi ia zanni al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh. Ke-qath’i-an dan ke-zanni-an tersebut disebabkan karena seluruh ulama ber-ijma’ (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala dalam ber-wudhu berdasarkan berbagai argumentasi. Namun mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan ba pada lafaz bi ru’usikum. Dengan demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qath’i di satu sisi, dan zanni di sisi yang lain. Di satu sisi ia menunjukkan makna yang pasti, dan di sisi lain ia memberi berbagai alternative makna.[30]
Sedangkan mengenai hadis nabi, ulama mengatakan bahwa dari segi keberadaannya ada yang bersifat qath’i al-wurūd atau al-tsubut dan ada yang bersifat zanni al-wurūd atau al-tsubut. Menurut Abdul Karim Zaidan dan Abdul Wahab al-Khallaf, hadis yang digolongkan kepada qath’i al-wurūd atau al-tsubūt adalah hadis-hadis mutawātir, sebab hadis-hadis yang demikian tidak diragukan kebenarannya bahwa ia pasti bersumber dari Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, hadis mutawātir dilihat dari segi penukilannya dilakukan oleh jumlah rawi yang banyak dan secara logika tidak mungkin jumlah rawi yang banyak itu melakukan kedustaan.[31]
Sementara sunnah yang digolongkan kepada zanni al-wurūd atau al-tsubut adalah hadis-hadis masyhur dan ahad, sebab kedua hadis ini dari segi penukilannya dari Nabi tidak mencapai tingkat mutawtir.[32]
Jadi berdasarkan uraian tersebut dapat dipahami bahwa baik nas yang bersumber dari al-Qur’an maupun hadis jika ditinjau dari segi dalalah-nya maka kedua-duanya dapat digolongkan kepada qath’i al-dalalah dan zanni al-dalalah sementara dari segi penukilan atau periwayatannya terdapat perbedaan yang terletak pada nas al-Qur’an yang hanya bersifat qath’i al-wurud dikarenakan proses periwayatannya yang mutawatir sedangkan hadis terbagi ke dalam dua bagian yakni ada yang qath’i al-wurud (hadis mutawatir) dan ada yang zanni al-wurud (hadis-hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir).
3.      Penerapan Teori Qath’i dan Zanni
Konsep qath’i dan zanni merupakan hasil pemikiran ulama-ulama dalam rangka menetapkan kaidah hukum Islam atau hukum syara’. Proses pemikiran yang mereka lakukan untuk sampai pada penetapan adanya qath’i dan zanni adalah berujung adanya kesepakatan terhadap nas (al-Qur’an dan Hadis) bahwa nas tersebut adalah qath’i atau zanni, baik dari segi wurud-nya maupun dalalah-nya. Jika hasil pemikiran tersebut dilihat dari tinjauan pemikiran Islam, maka sama artinya bahwa konsep qath’i dan zanni sebagai hasil pemikiran Islam. Sementara pemikiran Islam, sebagaimana tampak dalam dinamika masyarakat, berkembang sesuai dengan kemajuan masyarakat. Dengan kata lain, karakteristik pemikiran Islam ialah selalu berusaha menerjemahkan ajaran Islam sesuai dengan tuntutan kemajuan. Oleh karena itu dapat ditegaskan, bahwa konsep qath’i dan zanni yang sudah baku pada sejumlah kitab masa lalu, akan mengalami peninjauan ulang. Sangat boleh jadi, dalil-dalil yang sudah disepakati ulama terdahulu sebagai qath’i kembali menjadi zanni pada masa kini disebabkan adanya tuntutan zaman perlunya suatu reinterpretasi. Beberapa kasus yang aktual bisa menjadi contoh dalam makalah ini, di antaranya masalah kewarisan tentang bagian anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan dalam QS. al-Nisa/4: 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ ....

Terjemahnya:

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. . .”[33]
Jika dilihat teks ayat di atas sudah jelas bahwa anak laki-laki mendapat dua bagian harta pusaka, sementara anak perempuan mendapat satu bagian (2:1). Pemahaman ini sejak dulu diperpegangi oleh ulama dan dalalah ayat tersebut dianggap sebagai qath’i yang tidak boleh diubah. Menurut Munawir Sjadzali mantan menteri Agama RI. masa Orde Baru dalam melontarkan ide-ide pembaharuannya bahwa pembagian warisan umat Islam Indonesia memberikan bagian yang sama terhadap anak laki-laki dan perempuan (1:1). Maka spontan banyak ulama menentangnya karena dianggap bertentangan dengan ayat al-Qur’an yang secara qath’i telah mengatur hal itu.[34] Alasan Munawir Sjadzali memberikan bagian yang sama kepada ahli waris laki-laki dan perempuan adalah “dahulu pada masa sebelum Islam wanita sama sekali tidak mendapat bagian warisan”. Setelah Islam datang, wanita diberi bagian warisan meskipun hanya setengah dari bagian laki-laki. Ini berarti secara sadar Islam hendak meningkatkan hak dan derajat wanita. Kenapa tidak sekaligus saja wanita diberi bagian yang sama dengan laki-laki memang tidak jelas, tetapi ajaran Islam itu memang sering diberlakukan secara bertahap (ingat penetapan hamr). Karena itu dapat dipahami bahwa jiwa dari ayat waris tersebut ialah bahwa pada dasarnya usaha meningkatkan hak dan derajat wanita itu harus terus dilakukan dan tidak boleh terhenti. Kemudian kehidupan modern sekarang ini telah memberikan kewajiban yang lebih besar kepada wanita dibanding pada masa lalu sehingga wanita kini juga dapat memberikan peran yang sama dengan laki-laki dalam masyarakat, maka logis saja hak-haknya dalam warisan juga ditingkatkan agar sama dengan laki-laki.[35] Ide Munawir Sjadzali pembagian yang sama anak laki-laki dan perempuan bukan pertama kali dikemukakan di dunia Islam. Di Turki sejak tahun 1926 telah memberlakukan aturan seperti ini dan Somalia memberlakukannya sejak tahun 1974. Negeri-negeri Islam tidak pernah mempersoalkan hal itu.[36] Kalau dilihat kasus-kasus ijtihad yang dilakukan Umar bin Khattab r.a. dan didekati melalui teori qath’i dan zanni akan terlihat bahwa nas yang ditinggalkan oleh Umar adalah nas yang qath’i al-dalalah.  Yang kemudian ditafsirkan oleh Umar berdasarkan kemaslahatan sesuai dengan jiwa syari’at, bukan menurut aksara dari nas syari’at saja. Oleh karena itu, ketika terjadi bencana kelaparan dalam pemerintahannya yang menyebabkan banyak pencuri ia tidak memotong tangan pencuri yang tertangkap dengan hukum had, karena ia berpendapat bahwa kemaslahatan yang diharapkan akibat pemberian hukum tidak bakal terealisasikan akibat bencana kelaparan.[37] Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam seringkali ditemukan bertentangan dengan apa yang tertuang dalam kitab-kitab fikih sebagai literatur hukum baku yang ada. Ada beberapa masalah yang telah dituangkan dalam hukum keluarga misalnya, di dunia Islam semuanya tidak tercantum atau bahkan bertentangan dengan kitab-kitab fikih, yaitu:
·         Masalah pembatasan umur minimal kawin dan perbedaan umur pasangan antara laki-laki dan perempuan yang akan melangsungkan pernikahan. Semua negeri Islam sekarang ini telah memberlakukan batas minimal umur kawin. Di Indonesia menurut UU No. 16/2019 batas minimal itu adalah 19 tahun untuk lakilaki dan perempuan, di Algeria 21 dan 18 tahun, di Banglades 21 dan 18 tahu, di Mesir 18 dan 16 tahun, di Libanon 18 dan 17 tahun, di Irak samasama 18 tahun, di Yordania 16 dan 15 tahun, di Libiya 18 dan 16 tahun, di Malaysia 18 dan 16 tahun, di Maroko 18 dan 15 tahun, di Yaman Utara samasama 15 tahun, di Pakistan 18 dan 16 tahun, di Somalia sama-sama 18 tahun, di Yaman Selatan 18 dan 16 tahun, di Syria 18 dan 17 tahun, di Tunisia 19 dan 17 tahun, dan di Turki 17 dan 15 tahun. Semua batas Umur ini tentu saja tidak sesuai dengan kitab-kitab fikih, apalagi bagi wanita yang menurut contoh Aisyah umur 9 tahun pun boleh dikawinkan.[38]
·         Masalah Poligami. Hampir seluruh dunia Islam sekarang sedang bergerak ke arah mempersempit terjadinya poligami, Indonesia melakukan hal itu sejak tahun 1974, Pakistan sejak tahun 1961 dan Syria sejak tahun 1953. Bahkan di Turki sejak 1926 poligami resmi di larang. Di Tunisia seperti di Turki, Poligami juga dilarang dengan UU tahun 1956, bahkan bagi yang melanggar dikenakan hukuman kurungan selama setahun dan denda sebesar 240 ribu Frank. Semua ini adalah upaya reinterpretasi dan reaktualisasi hukum Islam yang mapan dalam kitab-kitab fikih selama ini tentang poligami yang begitu mudah memberikan izin poligami dan karenanya terkadang disalahgunakan sehingga menjadi sumber kesengsaraan sebagian wanita.[39]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa dalam penerapan konsep qath’i dan zanni dalam masyarakat muslim sangat kondisional bedasarkan dengan kemaslahatan umat yang ingin dicapai.
Konsep qath’i dan zanni merupakan hasil interpretasi para ulama tentang nas (al-Qur’an dan Hadis) atau hasil pemikiran para ulama. Sebagai hasil pemikiran, maka sifat dan karakter pemikiran Islam ialah selalu berusaha menerjemahkan ajaran Islam sesuai dengan tuntutan kemajuan. Oleh karena itu dapat ditegaskan, bahwa nas-nas al-Qur’an dan Hadis yang selama ini dianggap qath’i boleh jadi mengalami peninjauan ulang (reinterpretasi) untuk memenuhi tuntutan masyarakat muslim yang selalu berubah dan berkembang sesuai zamannya, terutama jika dikaitkan dengan kemaslahatan umat.


C.    Penutup
1.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah lalu dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a.   Qath’i dan zanni merupakan buah pemikiran ulama tentang teks al-Qur’an dan Hadis. Qath’i berarti tegas dan jelas, sedang zanni berarti sesuatu yang belum jelas, dan mengandung pengertian lain.
b.    Ulama tidak berbeda pendapat tentang qath’i al-wurud atau qath’i al-tsubut (kebenaran sumber) al-Qur’an dan Hadis Mutawatir. Perbedaan pendapat ulama terjadi pada qath’i al-dalalah (Kepastian makna). Ulama tafsir menolak adanya qath’i al-dalalah dalam al-Qur’an dan Hadis. Menurut mereka tidak ada yang qath’i al-dalalah dalam al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan beberapa kandungan makna. Sementara ulama ushul fiqh mengakui adanya qath’i dan zanni.
c.  Penerapan qath’i dan zanni dalam masyarakat muslim sangat kondisional, sesuai dengan kemaslahatan umat pada masa itu. Konsep qath’i dan zanni merupakan hasil pemikiran ulama tentang al-Qur’an dan Hadis (ulama ushul fiqh). Karena sifatnya pemikiran Islam, maka selalu berusaha menerjemahkan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tuntutan kemajuan. Karena itu boleh jadi mengalami perubahan (reinterpretasi) sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat, terutama bila ditinjau dengan kemaslahatan umat.




Daftar Pustaka
Abu Bakar, Ali Yasa. “Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya” dalam Hukum Islam di Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1991.
Ahmad Ibn Faris, Ibn Zakaryah Abi al-Huasayn. Mu’jam al-Maqayis al-Lugah, jus V, t.tp. Dar al-Fikr, t. th.
al-An¡ari, Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram. Lisan al-Arab. Mesir: Dar alMisriyah, t.th.
al-Munawir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: PT. al-Munawir, 1984.
al-Qaththan,  Manna’,  Pengantar  Studi  Hadis,  terj.  Mifdhol  Abdurrahman . Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2004.
al-Syatibi, Abu Ishaq. al-Muwufaqat fi Ushul al-Syari’ah. jilid I. Mesir: al-Maktabah alTijariyah al-Kubra, t. th.
Atho Muzhar, M. “Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam” dalam. Kontekstualisasi Ajaran Islam. Cet. I; Jakarta: IPHI, 1999.
Badran al-Ayinayn, Abu al-Aynayn. Ushul al-Fiqh al-Islam, tt.:tp., t.th.
Dahlan, Abd. Aziz. Ensinklopedi Hukum Islam, jilid 5. Cet. V; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2001.
Darras, Abdullah. Annaba’ al-‘Azym. Mesir: Dar al-‘Urubah, 1966.
Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1999.
Hanafi, Hassan. al-Yamin wa al Yashr fi al-Fikr al-Dan. Cairo: Madbouliy,1989.
Haroen, Nasrun. Ushul Fiqh. Cet. I; Jakarta: Logos, 1996.
Khallaf, Abd. Wahhab. ‘Ilmu Usul al-Fiqh. Kuwait: Dar al-Kuwaitiyah, 1968.
Ma’luf, Lois. al-Munjid al-Lugah wa al-A’lam. Cet. XXII; Beirut: Dar al-Masyriq, t.th.
Muhammad Syah, Ismail. et al., Filasafat Hukum Islam. Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Quraish Shihab, M. Membumikan al-Qur’an. Cet. XI; Bandung: Mizan, 1995.
Syarifuddin, Amir. “Pengertian dan sumber Hukum Islam” dalam Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam, 1980.
Zaidan,  Abdul Karim. al-Wajīz fi-Ushūl al-fiqh, Bagdad: Dar al-Arabiyah, 1977.





[1]Ibn Zakariyah Abi al-Husayn Ahmad Ibn Faris, Mu’jam al-Maqayis al-Lugah, jus V, (T. tp. Dar al-Fikr, t. th.), h. 101. Lihat Pula Hasan Muarif Ambary, et al., Ensiklopedi Islam, jilid 2, (Cet. VII; Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2001), h. 109.
[2]Lois Ma’luf, al-Munjid al-Lugah wa al-A’lam, (Cet. XXII; Beirut: Dar al-Masyriq, t.th.), h. 638.
[3]Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: PT. al-Munawir, 1984), h. 787.
[4]M. Syuhudi Ismail, Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsuannya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 93.
[5]Ibn Zakarya Abi al-Husayn Ahmad Ibn Faris, Mu’jam al-Maqayis al-Lugah, Juz III, , h. 462.
[6]Jamal al-Din Muhammad Ibn Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab, (Mesir: Dar al-Misriyah, t. th.), h. 146.
[7]Abu al-Aynayn Badran al-Ayinayn, Ushul al-Fiqh al-Islam (tt.:tp., t.th.), h. 63. Lihat pula Abd. Aziz Dahlan, Ensinklopedi Hukum Islam, julid 5 (Cet. V; Jakarta: Pt Ichtiar Baru Van Houve, 2001), h. 1454.
[8]Abd. Wahhab Khallaf, 'Ilmu Ushu al-Fiqh, h. 35.
[9]Abd. Wahhab Khallaf, 'Ilmu Ushu al-Fiqh, h. 46.
[10]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 78.
[11]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 350.
[12]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 122.
[13]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Cet. I; Jakarta: Logos, 1996), h. 33
[14]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 36.
[15]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya,  h. 114
[16]Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, h. 33.
[17]Hamzah Kamma, Qath’i Dan Zanni Dalam Perspektif Pemikiran Islam, Al-Ahkam Vol. VI,  no. 1 (2016): h. 71.
[18]Ali Yasa Abu Bakar, Beberapa Teori Penalaran Fiqh dan Penerapannya dalam Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1991), h. 173.
[19]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 137.
[20]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 138.
[21]Abdullah Darras, Annaba’ al-‘Azim, (Mesir: Dar al-‘Urubah, 1966), h. 111.
[22]Masdar  F.  Mas’udi,    Agama  Keadilan,  Risalah  Zakat  (Pajak)  dalam  Islam,  (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), cet ke 3, h. 30-31.
[23]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 138.
[24]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 139.
[25]Abu Ishaq al-Syatiibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, jilid I, (Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t. th.), h. 36-37. Lihat pula Abd. Azis Dahlan, Eensiklopedi Hukum Islam, (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1996), h. 1455.
[26]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 7.
[27]Abd. Azis Dahlan, Eensiklopedi Hukum Islam, h. 1455.
[28]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h., 140-141.
[29]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h., 140-141.
[30]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 141
[31]Manna’  al  Qaththan,  Pengantar  Studi  Hadis,  terj.  Mifdhol  Abdurrahman  (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2004), h. 110
[32]Abdul Karim Zaidan, al-Wajīz fi-Ushūl al-fiqh, (Bagdad: Dar al-Arabiyah, 1977), h. 174.
[33]Kementerian Agama RI,  al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 78
[34]M. Atho Muzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Cet. I; Jakarta: IPHI, t.th.), h. 311.
[35]M. Atho Muzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, h. 312-313.
[36]M. Atho Muzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, h. 314
[37]Muchtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Cet. I; Bandung: al-Ma’rif, 1986), h. 373.
[38]M. Atho Muzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, h. 318.
[39]M. Atho Muzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam” dalam Kontekstualisasi Ajaran Islam, h. 318-319

1 comment:

  1. Casinos Near Me - The Ultimate Guide to Casinos Near Me
    Find your nearest casinos and get your 라이브배팅 gambling It's 크레이지 슬롯 no secret that finding the sms4brands.com best casinos to play on is as 바카라 사이트 주소 simple as picking the closest poker 스포츠분석 room to

    ReplyDelete